Diberdayakan oleh Blogger.

IMPRINT AGENCY

MINI CONFERENCE SINGAPURE

Waktu menunjukkan jam 5 pagi di hari Minggu 10 September 2017 itu, ketika saya tiba di Bandara Internasional Adisucipto Yogyakarta. Cuaca dingin dan rasa kantuk masih  menggelayut di pelupuk mata. Maklum, hampir semalaman saya tidak tidur karena harus menyiapkan berbagai keperluan presentasi.

Saya sadar, bahwa presentasi yang akan saya sampaikan pada hari Senin 11 September 2017 keesokan harinya adalah presentasi yang bagi saya sangat luar biasa. Ya, luar biasa. Sebab saya harus melakukan presentasi di hadapan orang-orang baru, di ruangan baru, tepatnya di sebuah negara yang juga merupakan negara baru yang saya datangi. Singapura.
 
 

Sebelumnya bagi saya, datang ke negara tetangga itu seperti sebuah mimpi saja. Singapura yang selama berpuluh-puluh tahun lalu saya hanya mendengarnya sebagai negara maju, di hari Minggu itu akan saya kunjungi. Negara yang warna benderanya (kecuali motif bintang dan bulannya) sama persis dengan bendera Indonesia itu akan menjadi negara pertama yang saya kunjungi dalam sejarah hidup saya bepergian ke luar negeri. Semoga akan ada kesempatan lain untuk bisa berkunjung ke negara-negara lain di waktu yang lain.
 
Dan tujuan utama dari kepergian saya ke negara yang bisa ditempuh hanya dalam waktu satu jam lebih dari Jakarta itu bukan untuk traveling atau shooping, melainkan untuk presentasi paper dalam acara mini conference yang diselenggarakan S.Rajaratnam School of International Studies (RSIS), yang berada di lingkungan salah satu kampus terkemuka di dunia; Nanyang Technological University.

Barangkali bukan hanya saya, keempat rekan saya seperti Imas Luul Jannah, Moh. Anwar Salafuddin, Lutfan Muntaqo dan Dahlia Hidayati Umar Hasan mungkin juga merasakan perasaan yang sama -senang dan gugup- ketika mereka tahu bahwa abstrak paper hasil penelitian yang mereka kirimkan ternyata diterima dan disetujui untuk dipresentasikan di Singapura. Kami senang karena bisa bepergian ke luar negeri dengan gratis, tapi juga gugup karena kepergian itu sebenarnya tidak benar-benar gratis. Ada ‘harga’ yang harus dibayar, yaitu kesungguhan untuk bisa mempresentasikan paper kami dengan sebaik-baiknya dan kami telah berupaya untuk itu. 

Sepanjang penerbangan dari Yogyakarta-Tangerang hingga Singapura, saya pribadi tak henti-hentinya bersyukur dengan mengikuti program call paper yang banyak ditawarkan oleh berbagai lembaga dan perguruan tinggi luar negeri lewat kerjasama mereka dengan pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. Salah satunya sebagaimana program call paper yang diselenggarakan RSIS di mana tahun ini mengangkat tema Islam, Globalisation and Activism in Southeast Asia.
 

Juga, sepanjang penerbangan itu, saya menyiapkan mental untuk bisa menjalankan kewajiban saya agar bisa mempresentasikan paper dengan sebaik-baiknya, sebagus-bagusnya, meskipun segala persiapan itu harus runtuh secara perlahan saat saya ‘ditahan’ (random chek) untuk suatu alasan yang bagi saya hingga saat ini masih menjadi misteri. Duh! Peristiwa random yang saya alami untuk pertamakalinya itu tentu saja membuat saya shock. Apalagi, itu saya alami di suatu tempat yang amat jauh dari negara saya, di mana tak satu pun orang-orang yang saya lihat bisa diajak untuk sekadar curhat mengurai rasa shock yang tak bisa hilang begitu saja meski Pak Najib Kailani, Pak Ahmad Rafiq dan Pak Sunarwoto berkali-kali berkata, “Tenang, Rus. Itu biasa, santai saja”. Ya, tenang saja. Mungkin memang seperti itulah perjalanan hidup manusia. Selalu ada masalah, rintangan, hambatan dan juga random.   
 

Dengan mengikuti program call paper semacam itu, yang utama bagi kami para mahasiswa tentu bukan sekadar bisa pergi gratis ke luar negeri. Tapi, dengan adanya program itu, kita juga bisa menyadari apa yang seharusnya kita benahi dari setiap kekurangan kita sebagai mahasiswa lewat pertukaran ide dengan berbagai pihak dalam ruang lingkup yang lebih luas. Hal ini tampak selaras dengan sambutan Bapak Noorhaidi Hasan selaku direktur pascasarjana UIN Sunan Kalijaga yang menyatakan bahwa, lewat program call paper ini beliau ingin memberikan peluang, pengalaman dan kesempatan kepada mahasiswa untuk membuka wawasan mereka seluas-luasnya lewat interaksi secara internasional melalui riset dan karya-karya intelektual. 


Bagi saya dan empat rekan saya lainnya sesama mahasiswa, kesempatan mengikuti mini conference ke Singapura tahun ini adalah pengalaman yang cukup berharga. Terlebih ketika Bapak Noorhaidi Hasan, Bapak Najib Kailani, Bapak Sunarwoto, Bapak Ahmad Rafiq, Ibu Nina Mariani Noor, Ibu Eti Rohaeti dan Ibu Kenya Budiani yang notabene banyak mengenyam pengalaman mengikuti kegiatan seperti itu, turut pula menemani dan membimbing kami.
 

Di samping itu, bagi saya, mengikuti program mini conference seperti itu tidak sekadar meniscayakan diperolehnya pengalaman berdiskusi dalam kancah internasional lewat paper yang dipresentasikan. Namun yang tidak kalah penting adalah, kita juga dapat saling memahami bagaimana tradisi dan budaya masyarakat di setiap negara yang kita kunjungi serta turut merasakan atmosfer kehidupan mereka. Kenyataan ini tentu saja memberikan nilai pengalaman lebih bagi kita dan membuat kita bisa mempelajari banyak hal tentang apa yang baik di negara lain yang bisa kita ikuti, di mana yang demikian tidak kita temui di negara sendiri.
 
Seperti halnya negara Singapura. Harus saya akui bahwa negara ini dihuni oleh orang-orang yang menjadikan kedisiplinan sebagai sikap hidup yang penting. Sebagai contoh, bila kita menyusuri jalanan Singapura yang ramai itu, kita seperti sedang menyusuri jalanan perkampungan yang sunyi. Deru mobil yang berseleweran tak ubahnya desir angin yang menelusup di antara ranting-ranting dan dedaunan. Itu terjadi karena para pengendara tak perlu membunyikan klakson untuk sekadar mendahului atau pindah jalur dan mereka tak perlu merasa khawatir disenggol atau ditabrak mobil lain. Di Singapura, kedisiplinan tidak hanya ada di kampus dan tempat-tempat kerja, tapi juga di jalan-jalan raya.
 
“Coba kamu perhatikan, di Singapura ini, betapa jarangnya kita mendengar suara klakson mobil meskipun jalanan ramai seperti ini, kan?” bisik Pak Sunarwoto di samping saya. Dan saya pun terpengaruh ucapan beliau sehingga sepanjang perjalanan menyusuri bagian-bagian Singapura, saya lebih banyak terdiam di dalam mobil, memperhatikan kalau-kalau ada suara klakson mobil. Ini memang terdengar cukup aneh.
 
Malam hari, usai siangnya mengikuti mini conference, kami rombongan dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini kami diberi kesempatan untuk menikmati makan malam di kawasan Chinatown Food Street. Kawasan ini hampir dapat dikatakan sebagai kawasan yang tidak pernah sepi. Tumpukan kursi selalu dipenuhi oleh para turis yang ingin menikmati makan malam mereka di daerah yang banyak dipenuhi dengan ornamen-ornamen China.

Selesai menikmati acara makan malam di Chinatown Food Street, kami bergegas menuju pusat keramaian lain di Singapura. Kali ini kami menuju Merlion Park, sebuah tempat di mana ikon Singapura berada. Di tempat ini, peserta mini conference dapat menikmati beberapa pemandangan seperti Esplanade, bangunan yang merupakan pusat seni paling aktif di dunia, Singapura River dan Marina Bay Sands yang sedang mempertontonkan atraksi cahayanya. Menjelang tengah malam, kami mengakhiri perjalanan di Mustafa Center Singapure untuk keperluan membeli oleh-oleh yang akan dibawa pulang pada Selasa keesokan harinya.
 



Sampai acara selesai dan kami harus kembali bertolak ke tanah air, peristiwa random chek itu kembali saya alami. Saya tertahan kembali untuk diperiksa beberapa saat di pintu masuk Bandara Changi. Cek sidik jari berkali-kali. Cek paspor berkali-kali, dan wajah saya ditatap petugas berkali-kali. Dalam hati saya hanya bisa membatin, “Ya, Tuhan! Ini akibat salah saya atau ada yang salah dengan wajah saya.” Tapi ya...biarlah, saya tak ingin memikirkannya lagi. Saya sudah capek, ngantuk. Wayyyyy....uzzzz!




Singapure - Jakarta, 15 September 2017


Manusia-Manusia Malam Seribu Bulan

Oleh Achmad Faqih Mahfudz

“Malam Lailatul Qadar tidak pernah lewat dalam hidupku setiap Ramadan. Masih mau ikut dengan aku? Menunggu yang spektakuler, Ramadan tahun ini Monumen Nasional itu akan merunduk, malam lebih indah dari seribu bulan itu terwujud dalam lentur menara bingkai emas itu. Aku akan memperoleh Lailatul Qadar Ramadan tahun ini. Ini merupakan pengalaman keagamaanku yang luar biasa. Anugerah Lailatul Qadar terwujud di lapangan Monas.”
 
Ungkapan tersebut terlontar dari bibir Ibnu, salah seorang tokoh dalam cerpen “Malam Seribu Bulan” karya Hamsad Rangkuti. Ibnu, lelaki penjual obat di pasar itu, meyakinkan tokoh aku yang juga narator cerpen tersebut tentang keyakinannya bahwa Lailatul Qadar adalah sebuah malam ketika Monumen Nasional merunduk, dan siapapun yang dianugerahi malam tersebut dapat mengambil emas sebanyak mungkin di pucuknya.
 
“Tahun ini Monas akan merunduk di depanku. Aku akan mengikis kepingan emasnya sampai serbuknya sepanci penuh,” ucapnya lagi kepada tokoh aku, meyakinkan.
 
Entah mendapat ilham dari mana, Ibnu pun benar-benar begadang dan menunggui malam Lailatul Qadar itu di Monas di malam-malam ganjil pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadan. Syahdan, Ibnu benar-benar mendapatkan apa yang dikatakannya. Sepanci penuh serbuk emas di pucuk Monas berhasil ia dapatkan di malam yang diyakininya itu sebagai malam Lailatul Qadar. Singkat cerita, ketika shalat Idul Fitri, bertemulah Ibnu dengan tokoh aku, ia ceritakan segala apa yang dialaminya berikut apa yang didapatkan di malam itu. Si aku yang sejak awal tak percaya masih saja tak percaya akan apa yang dikatakan tukang obat jalanan itu.
 
Bibir bolehlah menyangkal, namun hati manusia siapa yang tahu. Dalam perjalanan ke rumah seusai shalat ied, tokoh aku masih saja gelisah dan kepikiran dengan apa yang dikatakan Ibnu. Kegelisahan yang menghunjam itu pun mencapai puncaknya ketika Ibnu benar-benar datang ke rumahnya, membawa segenggam serbuk emas untuknya. Bukannya menerima dengan bahagia bagian emas yang dijanjikan Ibnu kepadanya itu, aku justru panik dan buru-buru bergegas ke Monas.
 
Aku berangkat ke Monas untuk melihat dan membuktikan apa yang dikatakan Ibnu atau justru ingin mengikis emas seperti apa yang dikatakan Ibnu, entahlah, tak ada kepastian. Hamsad membiarkan hikayat dua manusia ini menggantung begitu saja di akhir cerita, seolah ingin memberikan secelah renung bagi pembaca.
 
Cerpen ”Malam Seribu Bulan” karya Hamsad Rangkuti yang terkumpul dalam buku kumpulan cerpen Panggilan Rasul (Kepustakaan Populer Gramedia, 2010) ini menyuguhkan sebuah potret manusia dan keberagamaannya. Bahwa bagi sebagian manusia, agama masih saja diukur dengan kemilau benda-benda. Emas, misalnya. Hingga malam Lailatul Qadar yang diabadikan al-Qur’an sebagai malam yang lebih agung dari malam-malam seribu bulan pun menjadi sekadar malam pesugihan atau malam untuk mendapatkan harta kekayaan yang diidam-idamkan.
 
Dalam pemahaman umum yang sering kali diceramahkan para mubalig atau khotib Jum’at di masjid-masjid, Lailatul Qadar adalah sebuah malam yang berada di bulan Ramadan. Ia berada di malam-malam ganjil pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadan. Dalam beberapa riwayat disebutkan, dunia akan terasa tenang, tenteram, dan damai apabila malam ini datang. Di malam itu, konon Allah benar-benar menumpahkan ampunan, rida, dan akan mengabulkan doa-doa apapun yang dimunajatkan hamba-hamba-Nya. Tak heran kemudian apabila banyak orang menunggu malam ini; merindukan dan mengharap-harap agar “mendapatkan” malam ini. Mereka menitip harapan pada malam ini, baik harapan yang ukhrawi berupa keselamatan kelak di alam setelah kematian, lebih-lebih harapan duniawi sebagaimana digambarkan Hamsad Rangkuti pada tokoh Ibnu dan aku dalam cerpen tersebut.
 
Dalam cakrawala tasawuf, Lailatul Qadar adalah melubernya cahaya spiritual seseorang, yaitu ketika tabung cahaya rohani telah kebak dengan nilai-nilai dan tajalli (manifestasi) keilahian sehingga dapat dipastikan, bahwa dari ujung rambut hingga ujung kaki orang beruntung itu berhiaskan dengan napas hadirat-Nya.
 
Dari pemahaman ini, dapat diketahui bahwa Lailatul Qadar bukan sekadar malam terkabulnya doa-doa, melainkan malam menyatunya Tuhan dan hamba dalam sebuah getaran rasa rohani yang tak berhingga. Ketika yang-Ilahi telah mewujud dan menubuh dalam diri seseorang, saat itulah ia mendapatkan Lailatul Qadar. Ketika nilai-nilai keilahan telah mengejawantah dalam perangai seseorang, maka pada momen itulah ia berada di dalam sebuah ruang dan waktu yang lebih berharga sekaligus lebih betapa nilainya daripada malam-malam lain dalam seribu bulan.
 
Ibn ‘Arabi, sufi sekaligus filsuf agung itu, dalam kitabnya, Tafsir Ibn ‘Arabi, memaknai seribu dalam frasa “seribu bulan” bukan sekadar hitungan jumlah, melainkan sebagai puncak capaian tertinggi dari sebuah karunia. Artinya, momen ketika seorang manusia mengalami penyatuan diri dengan yang-Ilahi itu sebagai momen tak berhingga sekaligus karunia yang tak tepermanai.
 
Bagaimana tidak, martabat kemanusiaan sekaligus kehambaan seseorang yang semula imanen tiba-tiba menjadi transenden di momen ini. Luberan cahaya dari tabung rohani mengguyur diri seseorang tersebut sehingga laku dan perangainya semata-mata laku dan perangai keilahian. Manusia yang semula seolah entitas profan beralih menjadi entitas sakral karena gerak dan diamnya telah tersinari pancaran keilahan.
 
Ketika luberan cahaya rohani itu sudah menjelma perangai dari seseorang, maka ia tak akan melakukan apapun tanpa nilai-nilai keilahian. Ia akan melakukan segalanya dengan cinta dan kasih sayang. Ketika cinta dan kasih sayang yang merupakan pancaran ilahi ini sudah menjadi laku kesehariannya, saat itulah keberagamaan seseorang menemukan hakikatnya, menemukan kesejatiannya, menemukan Lailatul Qadar-nya. Saat-saat begitu, tak akan ada lagi seseorang yang mencari kekayaan dalam agama maupun dengan agama sebagaimana Ibnu dan tokoh aku dalam cerita “Malam Seribu Bulan” karya Hamsad Rangkuti di atas, tak akan ada lagi orang yang meremehkan dan merendahkan orang lain atas nama agama, bahkan tak akan ada lagi orang yang merasa bahwa keberagamaan dan spiritualitasnya lebih unggul dari yang lain.
 
Maka dengan cerita “Malam Seribu Bulan”, Hamsad menelanjangi keberagamaan kita habis-habisan. Sikap kita yang masih memposisikan agama sebagai jalan untuk mendapatkan harta atau apapun yang bersifat duniawi dikritiknya dalam wujud Ibnu dan tokoh aku. Hamsad menyindir cara kita dalam beragama yang masih di wilayah wadah, tidak—sampai—pada isi.
 
Lailatul Qadar bukan malam tempat seseorang mendulang peruntungan harta atau apapun yang bersifat bendawi, bukan pula sekadar malam yang bertabur pahala hingga mampu mengantar siapa saja ke surga; lebih dari sekadar itu, Lailatul Qadar adalah sebuah suasana rohani ketika antara manusia dan Tuhannya menyatu dalam getaran yang sama, yakni getaran dari melubernya cahaya rohani dari tabung cahaya yang kebak akan cinta dan kasih sayang sebagai hakikat utama dari dimensi keilahian.
 
Ketika seseorang telah mendapatkan Lailatul Qadar, ia akan melihat segala-galanya dengan tatapan cinta dan kasih sayang, karena dirinya telah menjadi manifestasi yang-Ilahi di muka bumi. Jangankan kepada sesama manusia; pada tumbuhan, hewan, dan pada tiap-tiap ciptaan di semesta raya ini ia akan senantiasa bersikap indah penuh cinta dan kasih sayang. Tak akan ada lagi kekerasan, tak aka nada lagi eksploitasi dan perusakan alam, karena ia telah memperoleh karunia Lailatul Qadar.
 
Semoga kita, lebih-lebih kau dan aku, menjadi manusia-manusia malam seribu bulan. Manusia-manusia yang meraih agama sebagai hulu keindahan dari segenap tindakan; manusia-manusia beragama yang mendapat luberan cahaya keilahian berupa cinta dan kasih sayang: seberkas cahaya yang kemudian termanifestasi dalam perangai keseharian, demi terwujudnya harmoni kemanusiaan di tengah-tengah perhelatan akbar bernama kehidupan. 

 Achmad Faqih Mahfudz, penyair, tinggal di Yogyakarta.

TAWANAN

Oleh: Achmad Faqih Mahfudz

Hari-hari berlalu
Nabi-nabi berlalu
Tuhan datang dan pergi
Di padang-padang diri ini

Impian dan kenyataan
Bertempur dalam diam
Berebut kekuasaan
Alam khayal tanah jajahan

Betapa malang betapa malam
Diri terkungkung keinginan
Tak terungkap oleh kiasan
Meledak diri di lubuk diam

Dukaku lebih duka dari duka para utusan
Yunus tertawan perut ikan
Jiwa tertawan keinginan
Diri sekarat menempuh jalan
Memanggul mayat alam ciptaan

Telah cukup hari, telah cukup hari
Telah cukup nabi-nabi
Mengantar bercawan-cawan anggur ke diri ini
Mengajak mabuk bersama di taman surgawi
Sebagaimana Hafiz, Rumi, juga Sana'i
Berdansa dengan musik ilahi

Tapi surga hanyalah dukacita
Bagi ia yang jatuh cinta
Kekasihlah wajah damba
Hilang dia hilang dunia
Hilang segala-gala

PELAJARAN BERHARGA DARI SEEKOR KUCING PELIHARAAN

Ataka dan Kucingnya Lagi Tidur
Suatu waktu di hari Jum'at, bertepatan dengan hari dimana istri saya boleh pulang dari rumah sakit setelah lima hari opname akibat typus, dalam perjalanan menuju rumah sakit saya menemukan dua ekor anak kucing merayap-rayap di tengah jalan raya. Masih sangat kecil kedua anak kucing itu. Yang satu berwarna orange putih, satunya berwarna hitam abu-abu. Entah bagaimana kedua anak kucing itu bisa berada di tengah jalan. Karena khawatir dilindas kendaraan, keduanya saya pungut dan saya bawa pulang.
 
Merawat anak kucing yang masih bayi, tentu sangat sulit melakukannya. Apalagi mereka masih perlu ASIK alias Air Susu Ibunya Kucing. Karena tak mungkin mencari induknya, jadilah saya sebagai orang tua asuh bagi kucing-kucing balita itu. Setiap pagi mereka saya buatkan susu, dikasih makan pindang. Tidak lupa juga setiap pagi dan sore dilap dengan kain yang diberi dettol mengingat anak saya sering megang-megang mereka berdua.
 
Hari demi hari, kedua kucing itu makin bertambah besar. Namun sayang, kucing yang berwarna hitam abu-abu pergi entah kemana. Tinggallah kucing berwarna orange sendirian yang menjadi teman hiburan saya sekeluarga. Terutama anak saya yang begitu menyayanginya. Kucing orange itu jinaknya menggemaskan. Kalau saya jalan-jalan pagi hari dia ikut di belakang. Kalau saya lari, dia ikut lari mengejar. Kegemarannya yang lain adalah menangkap tikus di dapur.
 
Satu lagi yang membuat saya sekeluarga sangat sayang kepada itu kucing; bila dia berak atau kencing, keduanya dilakukan di kamar mandi tepat di lubang comberan. Setiap hari dia tak pernah pergi kemana-mana. Malam hari ikut tidur di kamar bersama-sama. Bila malam-malam kami bangun untuk kencing, dia pun ikut pergi ke kamar mandi dan lalu kencing. Di siang hari, kerjanya hanya tidur dan ikut duduk di samping saya, istri saya atau anak saya kalau sedang belajar mengaji. Kami memberinya kalung rantai kecil berwarna kuning sebagai tanda bahwa kami sangat terhibur olehnya.
 
Kucing itu, benar-benar menunjukkan pengabdiannya kepada keluarga saya dengan tingkah polahnya yang lucu dan menggemaskan serta ketangkasannya mengusir tikus. Maka tak heran kalau istri saya selalu membelikannya ikan pindang yang memang secara khusus diberikan untuk dia. Dan sesekali, dia pun dapat jatah minum susu sachet yang dibuat dalam mangkok kecil. Bila kebetulan saya memancing, dia pun ikut menunggui saya di pinggir sungai dan terlihat betapa girangnya dia saat mata kail saya berhasil disambar ikan. Bila yang nyangkut di kail hanyalah ikan-ikan kecil, saya memberikannya dan dia menyantapnya dengan begitu lahap.
 
Memperhatikan kucing itu, saya berpikir betapa mewahnya apa yang didapatkan kucing saya itu. Dia tidak bekerja apa-apa selain hanya mengabdi kepada tuannya dengan tingkahnya yang membuat kami terhibur melihatnya. Tapi apa yang dia peroleh? Jatah pindang setiap hari dan juga susu. Untuk mendapatkan pindang, dia tak perlu mengais-ngais di pasar. Untuk minum susu, dia tak perlu susah-susah mendapatkannya sebab kami dengan senang hati akan memberikannya sebagai balasan atas pengabdian yang dia lakukan.
 
Sampai di sini, saya akhirnya memahami jawaban atas pertanyaan-pertanyaan saya; kenapa ada orang yang rejekinya selalu lancar meski dia tidak bekerja (bekerja seperti pada umumnya) dan sehari-hari hidupnya hanya digunakan untuk mengabdi kepada Tuhan dan melayani masyarakat. Maha benar Allah yang berfirman dalam hadis qudsi-Nya, "Wahai dunia, mengabdilah kepada orang-orang yang mengabdi kepada-Ku."
 
Kucing atau anjing saja rejekinya ditanggung habis-habisan selama dia mengabdi pada tuannya, apalagi kita manusia yang sudah pasti rejeki kita akan ditanggung  oleh Tuhan bila kita benar-benar tulus mengabdi kepada-Nya. Mari dan semoga saya, kita semua tidak putus asa dan selalu tulus mengabdi kepada-Nya. 

Terima kasih kucingku. Kau adalah salah satu ayat-ayat Allah yang telah membuatku memahami arti sebuah pengabdian.
 
Salam meonnngggg. Semoga bermanfaat.

Kebumen, 13 Juni 2016

BERDOA UNTUK BISA MEMBELI ROKOK

Saya masih ingat dengan pernyataan Cak Kuswaidi Syafiie pada tanggal 17 April 2016 lalu. Beliau berkata bahwa harta yang paling berkah menurut kacamata tashawwuf salah satunya yang diperoleh dengan jalan tawakkal kepada Allah tanpa harus bekerja dan dipergunakan untuk mengabdi kepada-Nya. Apakah mungkin memperoleh harta tanpa harus bekerja? Sangat mungkin. Sebab bagi Allah, untuk memberikan harta kepada hamba-Nya, baik melalui perantara kerja atau tidak sama sekali, keduanya sama-sama mudah bagi-Nya. Kemudian harta berkah yang kedua adalah harta yang diperoleh dengan cara bekerja dan kemudian digunakan untuk mengabdi kepada-Nya.
 
Untuk bisa mendapatkan harta dengan cara yang pertama, tentu diperlukan kualitas tawakkal, keimanan, kesucian hati dan pengabdian yang total kepada-Nya. Seseorang bila sudah sampai pada tahap ini, maka berlakulah baginya firman Allah sebagaimana termaktud dalam hadis qudsi, "Wahai dunia, mengabdilah kamu kepada orang-orang yang sepenuhnya mengabdi kepada-Ku."
 
Terkait dengan masalah rejeki, maqam saya tentu saja masih berkutat di level kedua, yakni bekerja meski sayangnya rejeki yang diperoleh tidak sepenuhnya buat mengabdi kepada-Nya. 

Namun ada kejadian menarik hari ini yang saya alami sendiri terkait dengan betapa mudahnya bagi Allah untuk memberikan rejekinya kepada saya meski saya tak bekerja apa-apa selain hanya berdoa.
 
Sejak kemarin, saya nyaris tak punya uang sama sekali untuk membeli rokok. Bila tidak punya uang, saya pantang meminta uang kepada istri kalau untuk digunakan buat beli rokok. Bagi saya, lebih baik hutang rokok dulu daripada harus minta kepadanya. Kalau saya dapat uang, maka 60% saya berikan kepada dia, sedangkan 40%-nya buat biaya bensin, pulsa dan rokok.
 
Nah, dari kemarin anggaran buat beli rokok sudah habis. Jelas saja saya bingung hingga rokok pun saya irit-irit. Kalau biasanya saya pakai rokok filter, maka sejak menipisnya anggaran itu terpaksa saya pakai rokok kretek. Di saat seperti itu, istri saya cerita kalau dia dapat bayaran ini dan itu dari sekolah. Namun saya tetap tak mau meminta kepadanya kalau untuk beli rokok. Urusan rokok adalah urusan saya dan saya tak mau merecokinya.
 
Dalam kondisi seperti itu, apa jalan keluar yang bisa saya lakukan? 

Saya mencoba untuk tidak berhutang, tapi berdoa. Ya, berdoa sesering mungkin dari kemarin dengan doa yang benar-benar saya baca secara vulgar kepada Tuhan dengan suara pelan. Kepada-Nya saya meminta agar diberikan uang untuk membeli rokok...heheee. Geli juga saya kalau mengingat doa ini. Sebab sebagian kalangan menuding rokok itu haram dan ada juga yang bilang makruh. Lha saya kok malah berani-beraninya minta uang buat beli rokok sama Tuhan. Yowiss...bhen.
 
Apa yang terjadi kemudian....? Duh....Gusti! Terima kasih sekali karena Engkau pun akhirnya memberi saya uang buat beli rokok. 

Ceritanya, sore tadi saya datang ke panti asuhan tempat saya biasa mengajari ngaji anak-anak di sana. Seperti biasa, meski pemilik panti itu adalah seorang penguasaha kaya yang memiliki toko emas, toko pakaian, toko hp dan klontong, namun saya tak menerima gaji bulanan sepeserpun. Sudah lima tahunan saya ngajar ngaji di sana. Mungkin orang berkata saya konyol karena tak meminta gaji padahal pemilik pantinya baru bangun rumah miliaran rupiah. Yowiss...konyol ya konyol....ora urusan.
 
Selesai ngaji bersama anak-anak dan sedikit cerita-cerita bersama mereka, kok tiba-tiba malah ada seseorang yang mendekati saya dan bersalaman dengan saya. Saya kira dia mau salaman biasa, tapi ternyata ada amplop yang terselip di tangannya. Ini untuk bapak, katanya. Saya diam sejenak dan kemudian mengucapkan terima kasih kepadanya. Saya tak sempat ngobrol banyak dengan dia sebab anak-anak riuh meminta jatah buka puasa karena adzan maghrib sudah tiba.
 
Terima kasih ya Allah. Akhirnya saya bisa membeli rokok lagi....      

Kebumen, 10 Juni 2016

ATAKA DAN DOA-DOANYA

Ataka Berdoa
Usai mengikut jalan-jalan sehat, Ataka enggan diajak pulang. Rupanya dia termakan promosi kupon berhadiah yang disediakan oleh panitia.
 
"Yah, apa Ata bisa dapat hadiah?" tanyanya penuh harap. Saya bingung menjawabnya karena kalau tidak dapat hadiah dia pasti minta hadiah pada saya meski paling banter hadiah yang diminta hanya es krim.
 
Kemudian saya berkata, "Kamu berdoa saja kepada Allah dalam hati, semoga kamu dapat hadiah." Dan betapa girangnya dia karena setelah itu dia benar-benar dapat hadiah. Baju koko lengkap dengan celana dan pecinya.
 
"Nah, benar kan. Allah senang kalau kita meminta kepada-Nya. Dia pasti akan mengabulkan," jawab saya.
 
"Berarti kalau Ata minta terus, pasti Allah kasih terus?"
 
"Tidak. Allah akan kasih pelan-pelan biar tidak cepat habis. Kadang dikasihnya sekarang, kadang besok, kadang satu tahun lagi. Kadang berapa tahun lagi." Dia diam. Entah apakah dia paham.
 
Beberapa hari berikutnya, saat ikut lomba mewarnai, saya kembali mengingatkan, "Kalau mau dapat bingkisan, jangan lupa berdoa." Saya lihat dia seperti berkomat-kamit. Saat pengumuman, dia pun dapat hadiah hiburan berupa mangkok warna hijau dengan motif daun.
 
"Yah, doanya Ata dikabulkan. Tapi hadiahnya kok mangkok ya. Padahal Ata tadi berdoanya minta piala," katanya.
 
"Allah tidak ijinkan kamu dapat piala. Allah cuma ijinkan kamu dapat mangkok. Sebabnya mangkok itu mungkin yang kamu butuhkan."
 
"Nggak kok. Ata nggak butuh mangkok."
 
"Sebentar lagi kan puasa. Kalau kamu mau beli bubur atau es buat buka puasa enaknya kan ditaruh di mangkok."
 
"O...iya. Ata lupa."
 
Dan hari tadi, listrik di rumah padam sampai menjelang isya. Ataka gusar karena rencananya sehabis maghrib dia ingin menulis surat kepada sepupunya dan juga simbah puterinya di Madura. Dia terobsesi ingin punya sahabat pena seperti halnya dalam episode Upin-Ipin kesayangannya.
 
"Duuuh....ini tukang pln-nya gimana sih. Listrik kok dimatikannya lama sekali. Apa lupa paling ya nggak dinyalain?" gerutunya.
 
"Gimana kalau berdoa semoga listriknya bisa cepat menyala," kata saya.
 
"O..iya benar," katanya sambil kembali mulutnya berkomat-kamit. Dan benar saja, kurang dari tiga menit kemudian listrik menyala. Dia girang bukan main sambil melompat-lompat. Saya tersenyum dan kemudian teringat kata-kata Cak Kuswaidi Syafi'ie tentang pentingnya mendoktrin anak dengan masalah-masalah ketuhanan sejak dini.

Kebumen, 9 Juni 2016