Diberdayakan oleh Blogger.

Jadilah Pemaaf Biar Piring Gelas Tetap Aman

Setiap orang pasti pernah marah pada orang lain. Sebabnyapun bisa bermacam-macam. Ada yang marah kerena soal materi, perbedaan pendapat, hingga kemarahan yang disebabkan oleh soal keyakinan dan masih banyak sebab-sebab lainnya.

Namun sehebat apapun kemarahan yang kita rasakan, seharusnya kita tetap menyediakan peluang untuk memaafkan lho. Bukan hanya kepada orang yang kita marahi, melainkan juga kepada diri sendiri. Seperti kata pepatah, "Sesudah berselisih kita harus tetap menyediakan tempat untuk saling berdamai."

Amarah sejatinya merupakan hal yang manusiawi. Artinya, nggak ada orang yang sama sekali nggak pernah marah seumur hidupnya. Setiap orang pasti punya rasa marah. Tetapi hanya sedikit orang yang tahu bagaimana caranya ngendaliin diri ketika sedang marah. Bagi yang nggak bisa mengendalikan amarahnya, mereka cenderung melampiaskan rasa marahnya dengan berbagai tindakan. Bahkan esktreem. Ada yang melampiaskan amarah dengan cara teriak-teriak, banting piring, gelas hingga kulkas. Haduuuhh...giliran marahnya reda pasti menyesal tuh. Guling-guling di halaman.

"Gue nyesel..gue nyesel," ratapnya. Tapi sayang semuanya sudah terlambat. Piring, gelas dan kulkas sudah pada penyok semua hanya gara-gara satu hal; nggak bisa mengendalikan amarah.

Dari sini kita jadi merasa kan, bahwa membiarkan rasa marah menguasai pikiran dan akal sehat kita akan berdampak buruk, berakibat negatif. Amarah yang tak terkendali bukan hanya bisa merusak piring, gelas dan kulkas..hehehe. Tapi juga mengancam kesehatan tubuh kita. Orang yang mudah marah dan tidak belajar mengendalikan rasa marahnya, mereka sangat rentan terhadap berbagai penyakit kronis. Jantung dan hipertensi salah satunya.

Jadi, guys! Nggak ada salahnya deh kalau kita berusaha mengendalikan pikiran kita saat sedang marah. Langkah sederhana adalah dengan menarik nafas dan menghembuskannya secara perlahan. Ini bisa membuat detak jantung kita kembali normal. Sebab saat marah, biasanya detak jantung kita itu lebih cepat. Seperti bunyi kaki kuda yang lagi lari dikejar polisi...hihiii.

Dengan menormalkan kembali detak jantung, siapa tahu pikiran kita juga ikut kembali normal. Syaraf yang tegang jadi lentur dan perlahan-lahan rasa amarah bisa menghilang. Kalau amarah bisa dikendalikan, piring, gelas sama kulkas kan tetap aman di tempatnya semula..hehehe.

Keep your spirit, deh!

  

Menjadi Bahagia Itu Tergantung Komitmen

Hidup itu nggak bisa ditebak. Kadang memberikan sesuatu yang membuat kita tersenyum bahagia, namun kadang juga memberi sesuatu yang bikin diri menangis penuh lara. Begitupun halnya dengan sebuah pernikahan. Ada suka dan juga ada duka di dalamnya. Keduanya menjadi ritme yang tidak boleh tidak harus dihadapi oleh siapa saja yang memutuskan menikah, berkeluarga.

Namun idealnya, setiap orang yang menikah pasti mengiginkan kebahagiaan. Ya jelas dong ya. Memang siapa juga sih yang ingin dalam pernikahannya ribut mulu, berantem mulu. Kalau hanya ingin berantem kan nggak harus menikah. Cukup bikin gara-gara sama preman pasar, jadilah!
 
Nah, mewujudkan kebahagiaan dalam sebuah keluarga itu bisa dibilang bukan pekerjaan yang mudah, meskipun pada akhirnya nggak akan sulit juga kalau kita serius mau melakukannya. Sebab yang diperlukan adalah komitmen bersama. Komitmen untuk apa? Komitmen untuk meraih kebahagiaan itu tadi.
 
Apa cukup hanya dengan sebuah komitmen? Bagaimana dengan materi? Materi penting juga sih, tapi bukan yang utama. Kalau kita berpikir bahwa kebahagiaan dalam sebuah keluarga itu sepenuhnya ditentukan oleh materi, maka kita akan kecewa. Sebab materi itu sifatnya bergantung pada siklus waktu. Hari ini kita punya uang, tapi entah besok. Selagi masih punya uang, kita bahagia. Lalu bagaimana saat uang kita berkurang atau bahkan habis. Apakah kebahagiaan itu juga akan berkurang atau bahkan ikutan habis?
 
Banyak fakta yang menunjukkan bahwa keluarga yang bergelimang materi terkadang penghuninya tidak bahagia. Cekcok tiap waktu. Namun ada juga keluarga yang sederhana, tapi kelihatan tenteram dan tenang. Kenapa Nabi Saw yang hidupnya miskin masih bisa berbahagia dengan keluarga-keluarganya hingga dari bibirnya keluarlah untaian kata yang begitu menakjubkan, "Rumah tanggaku laksana sorga bagiku (baitii jannatii)?" Kemungkinan besar karena beliau memiliki komitmen yang kuat untuk menciptakan kebahagiaan itu. Untuk itulah beliau mengingatkan bahwa "Sebaik-baik suami adalah yang berbuat baik bagi istrinya." Begitupun sebaliknya.
 
Jadi, mari kita berusaha membuat komitmen yang kuat untuk membahagiakan pasangan kita sehingga dari sana akan tercipta kehidupan keluarga yang juga bahagia. Salah satu caranya adalah dengan merawat rasa cinta. 
 
Kenapa harus cinta? Sebab, "Pernikahan yang berhasil menuntut jatuh cinta berkali-kali, namun tetap pada orang yang sama."
 
So sweet kan!?

*Catatan ini sekadar merefleksikan peristiwa pernikahan teman saya pada Kamis, 27 Februari 2014 kemarin. Semoga berbahagia kawan Najah & Cici.
 
 
 
 
 

Lacan dan Baudrillard Bertabligh di Kebumen

Catatan ini sebenarnya sudah lama mengendap dalam benak. Sekitar pertengahan September lalu, pasca bersuanya saya dengan satu fenomena sosial yang tak ayal membuat saya harus rela memikirkannya.

Waktu itu, saat menunggu istri belanja di pasar, saya istirah di depan sebuah salon. Di depannya, tiga sepeda motor terparkir. Tak ada yang menarik sebenarnya bagi saya. Sebab dimana-mana, yang namanya salon pasti tempatnya orang memanjakan penampilan. Bukan sedang tahlilan seperti yang dibid'ahkan oleh makhluk bercingkrang.

"Entar aku beli yang itu ya, Mbak. Berapa harganya? Dua ratus lima puluh? Ya, nunggu transferan dulu, hehe. Cerah nggak buat wajah?"

Ini hanya secuil obrolan mereka yang saya tangkap. Entah siapa. Tapi yang jelas perempuan muda. Saya baru yakin saat perempuan itu keluar dari dalam salon. Masih usia SMA rupanya. Berdua dengan temannya yang juga perempuan. Saat mereka berdua berlalu dengan motor Suzuki Satria FU-nya, seperti ada yang mereka tinggalkan di benak saya. Wabilkhusus tentang bagaimana seseorang begitu antusiasnya mengurus penampilan.


Tak ada yang salah memang. Setiap orang mesti harus memperhatikan dirinya sendiri. Tentang penampilannya, kesehatannya. Semuanya. Penampilan menjadi bagian inhern yang harus diperhatikan, terutama saat seseorang memiliki jadwal interaksi sedemikian padat dengan banyak kalangan. Maka tidak heran, bagi mereka yang berada di dalam lingkaran kehidupan jetset, para sosialita, artis, harus ada budget khusus untuk mengurus soal yang satu ini. Tak tanggung-tanggung, semuanya bisa mencapai angka jutaan.

Tetapi, apakah gadis muda barusan termasuk person yang sedang mendiami lingkaran kehidupan semacam itu? Entahlah. Pastinya mereka adalah satu dari sekian orang yang terobsesi untuk mengurus penampilannya sedemikian rupa. Dan itu tidak salah atau wajar bagi sebagian lainnya.

Zaman terus bergulir. Ya, dan semakin akan terus bergulir. Dalam tiap gulirannya ia selalu datang membawa gempita produk dengan prosesi penawaran yang membuat banyak orang seakan perlu mengikutinya, wajib mentaatinya, harus memilikinya. Termasuk produk untuk mengurus soal penampilan tadi.

Ada dua kekuatan -menurut saya- mengapa banyak orang harus bersikap demikian. Imaji dan janji. Produk kecantikan sedemikian piawainya menanam imaji yang dengan kekuatan kapitalnya mereka mampu menghadirkan sosok/figur (idola) publik untuk membantu meyakinkan sebanyak mungkin audiens bahwa mereka bisa digugah imajinya.

Imaji yang sudah berhasil digugah merupakan kesempatan potensial untuk dijadikan sebagai lahan menebar janji (spread promise). Tidak usah jauh-jauh. Lihat saja iklan sabun mandi. Lifeboy menjanjikan efek kesehatan bagi pemakainya sementara Lux menjanjikan efek kecantikan bagi pembelinya. Jika ingin mendapatkan dua manfaat itu; apakah berarti kita harus menggunakan dua sabun berbeda untuk setiap kali mandi? Terserah.

 Ini baru sabun. Belum ke kosmetik wajah. Ada kosmetik yang menjanjikan efek cerah, menghilangkan noda, mengubur flek, menyumbat minyak, menggusur komedo dan sekian janji lainnya. Janji itu sedemikian meyakinkan karena pada saat yang bersamaan kita dihadapkan pada hadirnya sosok-sosok jernih-kinclong yang tak dapat tidak telah sempurna menggugah imaji kita. "Aku ingin seperti dia," inilah etape pertama yang muncul diam-diam dalam benak. Selanjutnya, "Ya, nunggu transferan dulu." Sebuah ungkapan yang menyiratkan adanya keinginan untuk tetap memiliki sesuatu yang kita imajikan. Walaupun itu berat.

 Maka sampai disini saya dapat memahami apa kata Jacques Lacan saat dia berkultum tentang dua hasrat tubuh. Pertama, tentang hasrat menjadi. Dari hasrat inilah seseorang terobsesi untuk menjadi objek; objek kekaguman, objek pemujaan yang karenanya seseorang dapat dengan rela melakukan sesuatu sebagaimana yang mereka inginkan. Lebih tepatnya mereka imajikan.
 
Kedua, tentang hasrat memiliki sesuatu seperti yang dimiliki oleh orang lain. Berimaji ingin cantik seperti Dian Sastrowardoyo yang menjadi objek kekaguman banyak orang, maka kita akan pakai itu sabun Lux. Menanam keinginan untuk tampil cantik cerah seperti Inneke Koesherawati, tentu kita akan ikut pakai kosmetik Wardah. Begitulah seterusnya sampai kita melupakan sebuah kata. Lelah.

Apakah gadis muda yang keluar dari salon tadi sedang memerankan apa kata Lacan? Wallahu A'lam.

Tapi lamat-lamat terdengar juga tabligh Jean Baudrillard dari corong sebelah yang ngupas soal keutuhan diri. Katanya, "Saat kosmetik melapisi wajahmu, maka pada saat yang bersamaan wajahmu jadi terhapuskan. Wajahmu tak ada, hanya kosmetik yang tersisa. Bibirmu hilang, hanya lipstick.yang nampang. Kalau kau bertingkah seperti mereka yang kau idolakan, maka engkaupun lenyap bersama citra idolamu. Dan saat itulah dirimu dikuasai oleh sesuatu yang ada di luar dirimu dan engkaupun menjadi seseorang selain dirimu.".

Kedua gadis yang baru keluar dari salon itu pun lenyap dari pandangan. Sementara pada saat yang bersamaan istriku datang. Keringat membasahi wajahnya. Begitu kusam dan tak enak dipandang. Ada kontroversi dalam diri saya yang tiba-tiba berkecamuk. Haruskah saya katakan tentang kultum Lacan dan tabligh Jean tadi? Padahal melihat wajah kusamnya yang berlepotan keringat seperti itu, sungguh-sungguh saya kehilangan gairah. Adaowww...!!