Diberdayakan oleh Blogger.

3 EPISODE MENJELANG TIDUR

http://id.inter-pix.com/db/art/painting/impressionists/b-523051.jpg
Sebelum dia tidur, biasanya dia minta cerita tentang apa saja. Mulai dari cerita para nabi, dunia binatang hingga soal daun dan kerikil. Dus, saya harus pandai-pandai mengarang cerita yang tetap tidak saya biarkan konyol apalagi bohong meski tema yang dimintanya hanya masalah daun dan kerikil itu. Seperti semalam, dia minta diceritakan tentang kenapa ada duri pada daun nanas. Apa nggak puyeng menjawabnya!! Karena saya tak punya jawaban dan masih berusaha mendapatkannya, akhirnya saya yang balik bertanya dengan hal lain. Maka terciptalah tiga episode ini:

Episode I
"Kenapa kalau mau tidur harus berdoa?" tanya saya.
"Biar dapat pahala dan tidak diganggu setan," jawab anak saya.
"Bagus."
"Tapi harusnya kalau mau tidur itu bawa pedang-pedangan," kata dia.
"Loh, kenapa?" tanya saya.
"Biar bisa buat gelitiki ketek setannya. Lalu dia lari ketakutan. Iya, kan?"
"...:(... :)...."

Weh....setan ternyata punya ketek.

Episode II
"Yah, di laptop itu Raja Namrud katanya ada di kegelapan."
"Memang iya." jawab saya
"Kenapa?"
"Kenapa ayo?" saya balik tanya.
Dia diam sejenak. Lalu, "Soalnya di rumahnya tidak masang listrik."
Heemmmmzzz


Episode III
"Yah, setan itu makanannya apa sih?"
"Ya sama dengan kita. Kalau kita makan nasi tapi tidak berdoa, maka setan ikut makan."
"Oh, tak kira makan roti bakar."
"Roti bakar?" tanya saya agak terkejut.
"Iya, setan kan dibuat dari api, kan. Makanannya itu pasti dibakar kayak roti bakar. Nggak direbus."
 

Daftar Guru Saya Sejak Guru Ngaji, MI, MTs dan MA




Karena ini Hari Guru, saya akan coba mengingat guru-guru saya

GURU NGAJI:
a. Nyi. Duriah Jailani
b. H. Arifin
c. KH. Ihsan (alm)

GURU MI:
a. KH. As’adi (guru tauhid)
b. Pak Mahrus/H. Idris
c. Pak Tayyib/H. Hanafi
d. Pak Rukib/H. Hefni
e. Pak Darwan/H. Habibi
f. Pak Amrin/H. Amrin Rouf
g. Pak Mahlawi
h. Pak Akrimuni
i. Pak Syahri (alm)
j. Pak Anwar Rouf (alm)
k. Pak H. Hannan (alm)
l. Pak H. Mahmudi (alm)
m. Pak Muhammad I
n. P. Muhammad II
o. Pak Abdus Salam
p. Pak H. Halil
q. Pak Amin
r. Pak Huri
s. Pak Hasuk
t. Pak Shaleh
u. Pak Atnayu
v. Pak Darsono
w. Pak Hamid Sahyo

GURU MTS:
a. KH. As’adi
b. Pak Atma/K.Haeni (alm)
c. Pak H. Hefni
d. Pak H. Arifin
e. Pak H. Muslim
f. Pak Safnawi
g. Pak Atnabi
h. Pak Anwar
i. Pak Ahmad Fadlan
j. Pak Rimawi
k. Pak Mujibto
l. Pak Mahruwi
m. Pak Syafiq/H. Syafiq
n. Pak Asmuni

GURU MA:
a. KH. Zubairi Marzuqi (alm)
b. KH. Khairul Umam (alm)
c. KH. Afif Ma’ruf (alm)
d. KH. Hasani
e. KH. Ma’ruf
f. KH. Kamalil Irsyad
g. K. Munif Zubairi
h. Pak Haris
i. Pak Dardiri Zubairi
j. Pak Masdur
k. Pak Mursyidul Umam
l. Pak Fathol Bari
m. Pak Darwis Ghalib
n. Pak Syahid Munawar
o. Pak Azhari

Karena Dia Saudara Kita Juga

Amar
Amar
Namanya Amar. Entah apa nama panjangnya, saya sendiri kurang tahu. Namun satu hal yang pasti, dia termasuk salah seorang yang terbilang rajin datang ke mushalla rumah saya setiap malam untuk belajar mengaji bersama teman-temannya yang lain.
Perlu Anda tahu, si Amar ini tinggal di sebuah rumah berukuran sangat kecil yang letaknya di sebelah selatan dari rumah saya. Ada lima orang yang tinggal dalam rumah itu. Si Amar sendiri yang sekarang kelas 1 SD, dua orang kakaknya yang sudah duduk di kelas 5 dan 6 SD, seorang kakaknya yang lebih besar yang duduk di kelas 1 MTs serta juga neneknya yang saat ini sudah mengalami tanda-tanda stroke.
Saya pernah bertanya, dimana kedua orangtua Amar dan saudara-saudaranya itu berada. Namun jawaban orang-orang sungguh membuat saya tercengang. “Tidak ada yang tahu, Mas. Dulu kabarnya mereka kerja di Jakarta, ada juga yang bilang di Kalimantan. Tapi sudah lima tahunan lebih mereka tak pulang.”
Saya tak bertanya lebih banyak lagi. Namun ingatan saya tiba-tiba terlempar pada awal-awal pertemuan dan perkenalan saya dengan Amar dan juga seorang kakaknya yang bernama Rama. Waktu itu, dua orang anak ini datang mengetuk pintu rumah saya sembari mengucap salam. Pakaian mereka berdua lusuh dengan wajar kotor penuh debu. Bau tubuh mereka yang tak sedap juga meruap memenuhi hidung. Saat saya tanya ada apa, kakak Amar, Rama, menjawab singkat;
“Njaluk (minta) duit.”
Kemudian saya sodorkan uang seribuan pada mereka berdua dan mereka begitu girang menerima uang itu sembari berlalu pergi dengan berlari dan tertawa-tawa. Keesokan harinya, mereka berdua datang lagi ke rumah. Caranya masih sama seperti sebelumnya. Dia mengucap salam sambil mengetuk-ngetuk pintu rumah. Saya berpikir, entah siapa yang mengajari mereka berdua mengucap salam sebelum mengutarakan maksudnya minta belas kasihan. Dengan basa-basi saya bertanya, ada apa. Rama yang kembali menjawab;
“Njaluk makan?”
Saya lihat wajah kusut mereka. Lalu segera pergi ke dapur, mengambil piring, mengisinya dengan nasi dan lauk serta membawakannya dua gelas berisi air minum. Mereka berdua makan dengan lahapnya. Setelah selesai, mereka pergi. Masih dengan cara yang sama dengan sebelumnya; berlari sambil tertawa-tawa.
Keesokan harinya mereka berdua datang lagi. Setelah mengucap salam, mengetuk pintu dan saya pun bertanya penuh basa-basi, Rama lagi yang menjawab;
“Njaluk jajan.”
Saya berpikir sejenak sambil menatap wajah mereka berdua. Lalu saya teringat dengan jajan kepunyaan anak saya yang disimpan dalam kaleng. Saya ambil dua bungkus roti dan memberikannya pada mereka. Mereka tersenyum dan segera pergi sambil berlari.
Begitulah dari hari ke hari, Rama dan Amar seperti menjadi tamu rutin harian saya. Mungkin mereka juga punya rasa tahu diri karena tidak setiap hari mereka minta uang. Hari ini minta uang, besok minta makan, besoknya lagi minta jajan dan terkadang datang hanya untuk minta minum. Bahkan sekarang si Amar, saat hendak pergi ke sekolah, rupanya sudah berani datang sendiri kerumah, menyempatkan diri untuk mengucapkan satu kata yang barangkali efek dari kata itu baginya sangatlah menyenangkan, “Njaluk duit.”
Tetangga sebelah saya yang mengetahui bahwa hampir tiap hari Rama maupun Amar bergantian datang ke rumah pernah berucap;
“Mas, nggak usah dikasih kalau minta apa-apa. Nanti kebiasaan.”
Saya tersenyum meski dalam hati saya tak setuju dengan sarannya. Seandainya tidak terpaksa, mereka tentu memilih bermain bersama teman-temannya daripada pergi meminta-minta.
Suatu waktu, saya pernah mencermati kedua anak ini. Dari hasil pengamatan yang saya lakukan, ternyata mereka berdua tidak pernah atau jarang saya lihat meminta-minta ke rumah tetangga-tetangga saya yang lain. Saya mencoba mencari tahu alasannya. Ternyata, sebagian besar tetangga saya memiliki persepsi yang sama sebagaimana tetangga yang ngasih saya saran di atas itu. Mungkin karena alasan itu si Rama dan Amar jadi malu atau mungkin takut seandainya datang meminta-minta pada mereka sehingga mereka lebih sering mendatangi rumah saya untuk urusan “Njaluk duit, njaluk makan, njaluk jajan.” Saya berpikir, sepertinya rumah saya menjadi tempat yang paling menjanjikan bagi mereka untuk mendapatkan apa yang mereka minta.
Amar dan Ataka
Amar dan Ataka

Mohon maaf, saya bukannya sombong mengatakan hal ini. Tetapi saya berpikir, bahwa saya pun pasti akan melakukan hal yang sama seandainya saya berada di pihak mereka berdua. Waktu terus berjalan. Amar dan Rama masih sering menjadi tamu harian saya meski sekarang ini Amarlah yang paling getol datang ke rumah. Agar kedatangan mereka ke rumah tidak hanya untuk urusan ‘njaluk-njaluk’, mereka berdua saya sarankan untuk datang ke mushalla, ikut mengaji bersama teman-teman lainnya.
Alhamdulillah mereka mau mengikuti saran saya. Terkadang sehabis mengaji, saat teman-temannya yang lain pada pulang, mereka berdua masih duduk saja di teras mushalla. Berbisik-bisik penuh malu sambil sesekali melirik ke arah saya atau istri saya. Saya berusaha memahami apa yang mereka pikirkan dengan bertanya;
“Sudah makan?”
Mereka menggeleng. Lalu saya ajak mereka berdua makan bersama di rumah dan kemudian sesudah itu mereka pulang. Bahkan seringkali ketika saya, simbah dan bapak datang dari kenduri, membawa bungkusan kue dan juga nasi, satu bungkus berkat komplit saya berikan untuk mereka bawa pulang. Dan tahukah Anda, bila nasi-nasi yang saya bawakan ternyata tak habis dimakan dan kemudian basi, mereka menjemurnya menjadi aking. Lalu mereka membawanya ke warung untuk dijual buat jajan. Miris, bukan?
Melihat nasib miris yang menimpa mereka, saya termotivasi untuk melatih rasa peduli anak saya. Amar yang saat ini paling sering datang ke rumah, saya minta untuk bermain bersama anak saya mengingat teman-teman lain seusianya justru lebih banyak yang menjauhinya. Dia tampak begitu senang menerima tawaran saya. Maka jadilah si Amar itu sekarang teman akrab anak saya, Ataka. Bahkan anak saya tak jarang menanyakannya serta menangis bila Amar sedang kurang move on untuk diajak bermain.
Sekarang Amar benar-benar telah menjadi sahabat dekat anak saya meskipun terkadang mereka terlihat kurang akur karena soal sepele. Maklum anak-anak. Tetapi saya bersyukur karena dia rajin mengaji dan sudah mulai bisa membaca huruf A sampai Ta setelah sebelumnya saya  merasa kerepotan karena dua hal. Pertama, dia susah mengingat huruf dan kedua saya tak bisa berlama-lama berada di dekatnya karena (maaf) dia bau. Bau karena baju yang sudah seminggu dikenakan untuk bermain, dipakai juga untuk ngaji yang mungkin saja tanpa dicuci. Barangkali karena alasan bau itu pula, ketika di mushalla, dia banyak diajuhi teman-temannya. Namanya juga anak-anak, padahal dia sudah saya kasih kaos dan baju sebelumnya, namun tetap saja yang dipakai malah baju yang mungkin menurutnya sangat nyaman dipakai.
Dan karena alasan bau itu juga saya minta agar dia datang ke mushalla lebih awal. Sekitar jam setengah enam. Sebelum ke mushalla saya perintahkan dia untuk mandi dan saya berikan sarung dan kaos untuk dipakai hanya saat mengaji. Setelah selesai mengaji, sarung dan kaos itu dilepas kembali dan ditinggal untuk kemudian saya cuci.
Bagi saya, urusan Amar saya anggap selesai. Sekarang dia rajin mengaji, bermain di rumah, makan di rumah, beli jajan ke warung bersama anak saya . Namun selepas memperhatikan Amar, kakaknya yang paling tua (Evan) ternyata juga butuh perhatian. Lulus kelas enam, dia menganggur. Sehari-hari hanya nongkrong di pinggir jalan. Melihat kenyataan itu, saya bilang pada istri;
“Evan daftarkan saja di sekolahmu,” kata saya suatu malam.
“Memang dia mau?” jawab istri saya.
“Kita panggil kesini dan kita tanya, apa dia mau seadainya melanjutkan sekolah.”
“Kalau mau?”
“Ya didaftarkan. Kau bilang saja sama kepala sekolah seperti apa kondisi keluarganya. Sekarang kan ada dana BOS. Jadi gratis kan?” kata saya.
“Memang gratis. Tapi uang gedungnya? Uang buat beli bahan seragamnya?. Lagi pula, tiap Jum’at ada olahraga. Dia harus punya uang saku lebih dari hari biasanya.”
Mendengar ucapan istri, saya hanya berucap lirih. “Uang gedung, uang buat beli bahan seragam sama uang saku tambahan setiap hari Jum’at itu biar jadi urusan kita. Semoga ini jadi amal kita.”
Istri saya diam. Besoknya sepulang mengajar, dia bilang bahwa Evan sudah didaftarkan. Bahkan dia sudah membelikan juga kain seragam lengkap untuknya. Saya tersenyum meski waktu itu mulut saya sepet karena tak merokok akibat dompet yang lagi darurat. Saya berusaha mensyukuri kabar yang dibawa istri. Alhamdulillah Evan sekarang sudah sekolah. Sesekali uang sangu hariannya selain hari Jum’at juga bisa kami penuhi.
Dalam hati saya berdoa, semoga ini jadi ladang perjuangan kami meskipun lingkupnya kecil dan sederhana. Saya berharap, baik Amar, Evan dan Rama (kakak Amar yang satu bernama Elsam justru jarang ke rumah saya) akan tumbuh menjadi anak-anak yang berhasil, sukses dan optimis meskipun sejak kecil mereka hidup dalam rumah tangga yang miris-tragis.
Sahabatku!
Setelah Anda semua membaca cerita saya di atas tentang Amar dan keluarganya, saya harap Anda mau ikut mendoakan mereka berdua sebagai bukti rasa cinta Anda pada nasib sesama. Syukur Anda tergerak untuk mewujudkan rasa cinta Anda itu dalam bentuk yang nyata  seperti baju-celana bekas anak Anda, buku atau bahkan sekeping uang agar mereka bisa ikut jajan.
Kebumen, 24 November 2014. 

MegaProku Melibas Daendles


Jalan Daendels
Jalan Daendels

Setelah merasa yakin hujan benar-benar reda, tadi sekitar jam 14:09, saya memutuskan untuk segera pulang. Terbayang sudah bentang jalan Jogjakarta (Cabeyan) - Kebumen (Banjareja) yang kira-kira jaraknya mencapai 130-an Km.

Saya nyalakan starter MegaPro yang setia menemani saya selama kurun waktu 3 tahun ini. Namun baru mencapai 2 Km perjalanan, tepatnya ketika hendak memasuki Pintu Gerbang Alun-Alun Kabupaten Bantul, hujan seperti menunjukkan tanda-tandanya akan turun. Gerimis sebesar biji belimbing berubah menjadi butiran hujan sebesar biji kacang tanah. Setidaknya seperti itu yang saya rasakan berdasarkan suara gemeretapnya pada helm yang saya pakai.

Mau kembali lagi ke Cabeyan? Tak mungkin saya lakukan. Kepada istri saya sudah berjanji bahwa akan pulang hari ini. Maka saya hentikan motor di tepi jalan, mengeluarkan mantel hujan yang terpaksa bagian atasnya harus dipasang terbalik karena resletingnya sedang bermasalah. Saya sadar, hujan pasti akan sedikit membasahi punggung saya yang terbuka. Tapi tak masalah. Barangkali hujan tak akan berlangsung lama.
 
Saya jalankan kembali motor menerobos curah hujan yang terlihat seperti serat-serat yang berjuntaian sepanjang jalan. Kudendangkan lagu "Biarlah Bulan Bicara" sambil meniru suara penyanyinya, Broery Marantika. Setidaknya dengan begitu, saya masih bisa merangkai rasa senang dibawah terpaan hujan yang makin deras dan jauhnya jarak perjalanan yang harus saya libas.

Hingga memasuki wilayah Purworejo, hujan seperti menunjukkan tanda-tanda bahwa dia bakal tetap setia menemani perjalanan saya. Entah hingga kapan. Sampai di ujung Barat Wates, sebelum batas DIY-Jateng, saya belok kiri menuju jalur selatan untuk kemudian menapak di Jalan Daendels.

Di atas, awan makin tebal. Di ujung barat, mendung makin menggumpal. Dan hujan membuat saya menyanyikan lagu-lagu nakal. Karena kaburnya pandangan dari balik kaca helm saya yang hitam gelap, motor terpaksa saya pacu perlahan-lahan. Dan itu berarti, akan ada tambahan waktu cukup banyak untuk sampai di rumah menjumpai istri yang setia membuatkan kopi dan teriakan anak yang tingkah dan bahasanya makin konyol dari hari ke hari.

Saya tersenyum mengenang itu semua. Di atas motor ini, lembaran-lembaran peristiwa terjadi silih berganti. Bayangan keluarga, rasa dingin, gemeretap air hujan, suara motor dari knalpot kendaraan lain yang berpapasan, aksi meliuk-liuk menghindari batu dan lubang di tengah jalan, cahaya petir di langit yang menyulut rasa takut, semua berkelindan dalam diri. Entah berapa lagu dan bunyi-bunyian lainnya yang sudah meluncur dari mulut saya sejak dari Jogja. Dangdut, Pop, Marawis, Shalawat, Doa, Qira'ah, Sajak, Ceramah, semuanya menggema dari lubang mulut yang sama. Saya berpikir, perangkat audio motor saya ini sepertinya jauh lebih lengkap dan lebih canggih dari mobil apapun.

Mungkin ini terdengar gila. Tetapi saya mencoba menikmatinya. Seseorang yang menempuh perjalanan sepanjang 130 Km dengan motor, menerobos lebatnya hujan dan petir yang menyambar-nyambar, menahan dingin hanya dengan mantel tipis yang bagian atasnya dipasang terbalik, itu semua hanya dapat dilakukan dengan dua hal; nekat dan 'gila' yang keduanya harus dinikmati. Entah sebagai sebuah petualangan, pengalaman atau justru kegilaan itu sendiri.

Lalu tiba-tiba saya teringat Daendels. Jendral Hindia Belanda yang namanya disematkan pada jalan yang saya lalui ini samar-samar mengisi benak. Saya bertanya-tanya; apakah ide Daendels untuk melindungi Jawa dengan membangun banyak jalan walaupun banyak rakyat yang jadi korban ini sebenarnya merupakan idenya yang nekat atau gila?
 
Ah, tangan saya gemetar. Dingin makin menggempur. Saya mencoba untuk tak peduli pada keduanya. Bahkan mungkin pada si Daendels sendiri. Sebab akhirnya saya sampai juga di rumah. Istri membuatkan kopi dan menyediakan air hangat untuk mandi. Anak saya pun datang menyambut sambil berteriak-teriak, "Ayah pulaaaannnnnggggg...."

Saya tersenyum. Mereka berdua tersenyum. Apakah Anda juga mau ikut tersenyum?


Kebumen, 15 November 2014, 23:31 WIB.






Kenangan Pada Sebuah Pohon

Pohon itu akhirnya tumbang juga. Setelah melewati tahun demi tahun di tepi jalan yang makin sesak oleh berbagai macam kendaraan, akhirnya ia sampai pada batas kemampuannya untuk tegak. Aku yakin, sebelumnya tak ada yang pernah benar-benar peduli pada kehadirannya di tepi jalan kota yang ramai ini. Padahal ia tumbuh di sana bukan oleh keinginannya sendiri. Ia ada di sana, lesap di kasar tanah, tumbuh dan berbuah hanya oleh kehendak Tuhan semata.
Pohon


Mungkin pohon itu selama ini telah menyaksikan bagaimana deru perubahan di sekitarnya berlangsung dengan begitu dahsyatnya. Gedung-gedung baru, besar dan tinggi, bermunculan dari hari ke hari. Menggusur gedung-gedung lama yang suram walaupun sangat mungkin di gedung-gedung yang suram itulah tersimpan memori-memori masa lalu kota ini yang tak kalah mewah untuk dikenang.
 
Dibanding beberapa rekan lainnya, mungkin pohon itu sedikit lebih beruntung karena selamat dari tebasan mesin-mesin pemotong kayu yang dengan beringas dan tanpa ampun akan memenggal pohon apa saja. Ya, pohon apa saja akan dengan mudah ditebang demi memberi ruang bagi berdirinya bangunan-bangunan baru yang konon dianggap sebagai lambang dari kemajuan sebuah zaman.
 
Sebagaimana ia tumbuh di sana tanpa kehendaknya, sekarang pohon itu juga tumbang hanya oleh kehendak Tuhan semata. Aku berpikir, mungkin pohon itu girang dengan ketumbangannya kini. Sebab ia tumbuh dan rubuh hanya oleh kehendak penciptanya. Atau mungkin saja ia sedih, karena tumbangnya justru membuat orang-orang menahan nafas geramnya di atas kendaraan mewah mereka yang hendak mereka pacu dengan keterburu-buruan yang aneh.
 
Duh! Aku tiba-tiba jadi teringat dengan Yus. R Ismail yang dengan bagusnya menulis cerpen Pohon Tumbuh Tidak Tergesa-Gesa. Ya, pohon memang tumbuh dengan tidak tergesa-gesa. Ia setia pada proses bertumbuhnya. Memang terkesan lamban, tetapi ia konsisten. Karenanya ia kuat, liat.
 
Justru manusialah yang paling sering akrab dengan ketergesa-gesaan itu. Ketergesa-gesaanlah yang membuat manusia lemah, bahkan untuk menandingi "kekuatan" sebatang pohon sekalipun. Maka kunyalakan rokokku. Kuredam ketergesaan yang sedari tadi efeknya hendak menyalak dalam dada. Kubiarkan orang-orang di ujung depan sana itu menyelesaikan tugasnya. Membawa pohon yang tumbang itu ke tempat peristirahatan terakhirnya.
 
(Catatan ini semacam oleh-oleh setelah berusaha menikmati macet akibat tumbangnya sebatang pohon di jalan Kalasan)