Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » FILSAFAT ILMU

FILSAFAT ILMU

SEBUAH ALAT KRITIK TERHADAP ILMU PENGETAHUAN

Salah satu ciri khas manusia dibanding makhluk lainnya adalah kemampuan berpikirnya. Tak hanya itu, manusia juga memiliki potensi lain seperti perasaan, kehendak dan tindakan. Beragam potensi inilah yang menjadikan manusia sebagai makhluk yang mampu mengolah, mencipta serta mengupayakan terjadinya berbagai perubahan alam lingkungan sekitarnya ke arah yang lebih baik. Berbagai perubahan yang bisa dicapai oleh manusia semuanya diawali dari kegiatan-kegiatan seperti memperhatikan, meragukan, mempertanyakan dan sekaligus menjawab pertanyaan-pertanyaan itu melalui serangkaian proses berpikir dan berusaha (berkarya). Kegiatan berpikir inilah yang kemudian melahirkan filsafat dan ilmu pengetahuan. Meski demikian, tidak semua aktivitas berpikir dapat disebut berfilsafat, terutama bila dilihat dari tujuan berpikir itu sendiri. Berfilsafat adalah berpikir yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan, yakni pengetahuan yang menyangkut kebenaran. Sehingga dengan berfilsafat manusia diharapkan dapat menemukan kebenaran yang pada akhirnya mengantarkannya pada kebijaksanaan.
Keyword: filsafat, ilmu, filsafat ilmu
http://fc01.deviantart.net/fs70/f/2013/255/f/5/school_of_athen_by_pica_ae-d6lzo5n.jpg


A.    Pendahuluan

Saat ini, kajian mengenai Filsafat Ilmu (Philosophy of Science) mulai mendapatkan perhatian cukup besar dari kalangan akademisi dan kaum intelektual di Indonesia. Salah satu buktinya adalah dengan banyaknya berbagai perguruan tinggi yang memberikan mata kuliah Filsafat Ilmu kepada para mahasiswa.[1] Meski di beberapa perguruan tinggi materi Filsafat Ilmu lebih banyak diajarkan pada tingkat pendidikan pasca sarjana, namun kenyataan ini patut diapresiasi dengan baik sebagai bagian dari dinamika ilmu pengetahuan yang terus berkembang.
Antara filsafat dan ilmu sesungguhnya merupakan dua elemen yang tidak dapat dipisahkan. Dengan kata lain, setiap pembicaraan mengenai Filsafat Ilmu hal itu akan selalu mengarah pada pembahasan yang selalu jalin berkelindan diantara keduanya. Itulah sebabnya kenapa Filsafat Ilmu dikatakan sebagai satu rumpun kajian yang saling membesarkan. Filsafat adalah induk ilmu di satu sisi dan ia (filsafat) juga merupakan bagian dari ilmu itu sendiri di sisi yang lain.[2]
Sebagai cabang dari filsafat umum, Filsafat Ilmu memberikan pemahaman bahwa setiap ilmu pengetahuan diangkat dari adanya kebenaran ilmu yang beragam. Hal ini memberikan petunjuk bahwa Filsafat Ilmu merupakan dasar berpikir untuk dapat memahami lahirnya keragaman ilmu dengan segenap metode dan manfaatnya bagi kehidupan.
Mempelajari Filsafat Ilmu juga sama halnya dengan upaya memahami adanya keterkaitan antara satu ilmu dengan ilmu-ilmu yang lain seperti ilmu alam hubungannya dengan ilmu-ilmu social dan humaniora. Menurut Rizal Muntasyir (2002), dengan mempelajari Filsafat Ilmu seorang ilmuan tidak akan terjebak pada pola berpikir ‘menara gedung’. Artinya, setiap ilmuan tidak bisa berpikir murni hanya pada bidangnya melainkan ia harus keluar dan menyadari adanya keterkaitan dengan konteks kehidupan social kemasyarakatan.[3]
Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan Robert Ackermann, bahwa Filsafat Ilmu bukan suatu cabang ilmu yang bebas dari praktek ilmiah senyatanya.[4] Atau dengan kata lain Filsafat Ilmu merupakan pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia.

B.    Pengertian Tentang Filsafat, Ilmu dan Filsafat Ilmu

Secara etimologi Filsafat Ilmu terdiri dari dua kata; Filsafat dan Ilmu. Kata filsafat disadur dari beberapa sumber kebahasaan, terutama dari bahasa Yunani, philosophia. Kata philo berarti cinta dan kata sophia berarti hikmah (kebenaran). Jadi, philosophia dapat dimaknai sebagai ‘cinta kebenaran.’[5]
Sementara Harun Hadiwijono menyebutkan bahwa filsafat berasal dari bahasa Latin yakni filosafein yang berarti mencintai kebijaksanaan-kebijaksanaan atau mencintai kebenaran.[6] Disini kebenaran dipahami sebagai nilai yang harus dijunjung tinggi oleh manusia sebagai pecinta kebenaran itu sendiri.
Sementara kata ilmu, secara etimologi, berasal dari bahasa Arab (a’lama, ya’lamu, ilmun) yang berarti pengetahuan. Ilmu dapat dibangun dari dua sumber yakni sumber empiric dan rasional. Dari kedua sumber inilah kemudian lahir ilmu-ilmu empiric inderawi dan ilmu-ilmu intelek. Dalam kajian selanjutnya, kata ilmu terbagi ke dalam dua istilah yakni ilmu sebagai knowledge dan ilmu sebagai science.[7]
Ilmu sebagai knowledge berhubungan dengan pengetahuan atau pengalaman sehari-hari. Sementara ilmu sebagai science berhubungan dengan kegiatan-kegiatan ilmiah yang dengannya pengetahuan itu dapat dipahami secara sistematik. Dengan demikian ilmu dapat bermakna sebagai ‘pengetahuan’ (knowledge) dan sekaligus sebagai ‘ilmu pengetahuan’ (science). Yang pertama mengarah pada pengalaman sehari-hari, sementara yang kedua mengarah pada pengetahuan sistematiknya.
Berangkat dari kedua pengertian kata di atas (filsafat dan ilmu), maka kemudian lahirlah dua konsep keilmuan yakni Filsafat Pengetahuan dan Filsafat Ilmu atau Filsafat Ilmu Pengetahuan. Keduanya berbeda dari segi bangunan filosofisnya. Kalau Filsafat Pengetahuan melihat hakikat pengalaman sehari-hari sebagai sumber pengetahuan. Sementara Filsafat Ilmu melihat aspek keilmuan atau aspek ilmiahnya sebagai sumber pengetahuan itu sendiri.
Sampai disini kita dapat memahami bahwa tidak setiap ‘pengetahuan’ (knowledge) dapat menjadi ‘ilmu pengetahuan’ (science). Agar pengetahuan dapat menjadi ilmu pengetahuan maka diperlukan sebuah sarana yang bernama Filsafat Ilmu. Tanpa Filsafat Ilmu sangat mungkin seseorang beranggapan bahwa ‘pengetahuan’ (knowlede) dan ‘ilmu pengetahuan’ (science) merupakan dua hal berbeda dan tidak ada kemungkinan untuk disatukan. Padahal sejatinya antara pengetahuan dan ilmu pengetahuan merupakan satu sumber ilmu pengetahuan yang tidak bisa dipisahkan. Secara tidak langsung, Filsafat Ilmu dapat dikatakan telah berjasa menghapus anggapan tentang adanya dikotomi ilmu.
Filsafat ilmu tidak membedakan sumber tumbuhnya ilmu. Tetapi ia melakukan upaya penyatuan antara sumber ilmu yang bersifat material, intelektual, dan spiritual dengan landasan diterimanya ilmu oleh ilmuan atau manusia sebagai folosof yang mencintai kebenaran dan kebijaksanaan.
Penting dicatat bahwa setiap manusia sebagai pecinta kebenaran memiliki pengalaman dari tiga keadaan berbeda yang seharusnya membuat mereka berpikir untuk mencari dan menemukan kebenaran-kebenaran dari pengalaman itu. Ada yang mempunyai pengalaman atas sesuatu yang bersifat empiric inderawi, rasio (akal) dan ada juga pengalaman empiric intuitif yang bersifat transcendental. Dari pengalaman yang beragam inilah Filsafat Ilmu kemudian memberikan prinsip-prinsip dasar mengenai bagaimana metode ilmiah dan metode penelitian yang harus dilakukan sehingga tiga pengalaman itu benar-benar menjadi sumber ilmu pengetahuan.
Selanjutnya, dari ketiga pengalaman inilah kemudian diketahui adanya tiga pengetahuan yakni pengetahuan inderawi (indra), pengetahuan rasio (intelek) dan pengetahuan intuitif (nurani/rasa). Ketiga jenis pengetahuan ini memiliki perbedaan, baik mengenai obyek, metode, urutan-urutan dan nilai universalitasnya.

C.    Filsafat Ilmu dalam Pandangan Para Tokoh

Menurut The Liang Gie, setiap pemikiran para filsuf mengenai ilmu merupakan Filsafat Ilmu itu sendiri.[8] Karenanya, tidak mengherankan bila ditemukan banyak definisi mengenai Filsafat Ilmu yang dikemukakan oleh mereka. Berikut beberapa definisi tentang Filsafat Ilmu menurut para tokoh filsuf dewasa ini:
1.     Lewis White Beck
Lewis White Beck mendefinisikan bahwa “Filsafat Ilmu mempertanyakan dan menilai metode-metode ilmiah serta mencoba menetapkan nilai dan pentingnya usaha ilmiah sebagai suatu keseluruhan.”[9]
Berangkat dari definisi yang dikemukakan Lewis di atas, maka dapat dipahami bahwa Filsafat Ilmu meniscayakan terjadinya kegiatan atau proses-proses ilmiah secara terus menerus.  Sehingga dengan demikian dapat dicapai suatu pemahaman yang mendalam (radikal) atas sebuah objek ilmu yang dikaji. 
2.     A. Cornelius Benjamin
Filsuf ini mendefinisikan Filsafat Ilmu sebagai “cabang pengetahuan filsafati yang merupakan telaah sistematis mengenai sifat dasar ilmu, khususnya metode-metodenya, konsep-konsepnya, serta letaknya dalam kerangka umum dari cabang-cabang pengetahuan intelektual.”[10]
Definisi yang dikemukakan Benjamin di atas secara lebih gamblang menjelaskan seperti apa ‘watak’ dari Filsafat Ilmu itu sendiri sebagai sebuah cara dalam memahami dasar-dasar dari terbangunnya ilmu pengetahuan.
3.     John Macmurray
John Macmurray mendefinisikan Filsafat Ilmu sebagai “ilmu yang bersangkutan dengan pemeriksaan kritis terhadap pandangan-pandangan umum, prasangka-prasangka alamiah yang terkandung dalam asumsi ilmu atau yang berasal dari keasyikan dengan ilmu, tetapi yang bukan sendirinya merupakan hasil-hasil penyelidikan dengan metode yang ilmu memakainya.”[11]

D.    Obyek Material dan Obyek Formal Filsafat Ilmu

Sebagaimana kajian filsafat pada umumnya, Filsafat Ilmu juga berusaha mencari dan menemukan esensi dari sebuah ilmu. Setiap ilmu pengetahuan tidak bisa dipisahkan dari kerja-kerja filsafat dan melalui filsafat inilah hakekat ilmu pengetahuan dapat diketahui.
Begitupun halnya dengan Filsafat Ilmu yang berusaha mengungkap hakekat ilmu pengetahuan. Bagi Filsafat Ilmu, keberadaan setiap ilmu pengetahuan merupakan objek material yang menjadi bahan kajian di dalamnya. Dengan mengkaji ilmu pengetahuan sebagai objek materialnya, Filsafat Ilmu dapat menjelaskan seperti apa bangunan ontologis, epistemologis dan aksiologis dari sebuah ilmu dan sekaligus membedakannya dari pengalaman biasa manusia (knowledge).[12]
Sementara objek formal Filsafat Ilmu adalah teori-teori pemikiran yang berbicara tentang kebenaran ilmiah sebuah pengetahuan. Dari kajian inilah kemudian dapat diketahui seperti apa hakekat, metodologi dan kemampuan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia. Dalam Filsafat Ilmu, kajian mendetail tentang ilmu pengetahuan menjadi awal dari kajian ilmu pengetahuan itu sendiri sehingga dengannya dapat diketahui adanya klasifikasi ilmu sebagai pengembangan dari teori-teori ilmu dengan berbagai disiplin yang beragam.   
Sampai disini dapat kita pahami bahwa tidak ada kata selesai dalam Filsafat Ilmu. Semua ilmu pengetahuan berikut teori-teori pembangunnya dapat selalu dikaji seiring dengan perkembangan zaman yang melingkupi kehidupan manusia.  

E.    Penutup dan Kesimpulan

Dari uraian di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan, antara lain:
a.      Filsafat Ilmu merupakan penyelidikan tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk memperolehnya. Dengan kata lain, Filsafat Ilmu sesungguhnya merupakan pengetahuan lanjutan dari pengetahuan-pengetahuan yang sudah ada sebelumnya.
b.     Filsafat Ilmua juga merupakan bagian dari epistemology (Filsafat Pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji tentang hakekat ilmu (Pengetahuan Ilmiah).
c.      Kedudukan Filsafat Ilmu dalam pengembangan ilmu pengetahuan dapat dikelompokkan kedalam dua posisi, yakni sebagai cabang dari filsafat umum dan sebagai pendekatan dalam pengkajian dan pengembangan ilmu pengetahuan.
d.     Obyek material Filsafat Ilmu tidak lain adalah ilmu pengetahuan itu sendiri. Sedangkan obyek formalnya adalah hakekat (esensi) ilmu pengetahuan serta problem-problem pengetahuan.

F.     Daftar Pustaka

Al-Attas, Naquib, Science and Objective in Islamic Education, Jeddah:King Abdul Aziz, 1979.
Benjamin, A. Cornelius, Science Philosophy of, dalam Dagobert D. Runes, ed., Dictionary of Philosophy, Totowa:Littlefield, Adams, 1975.
Hadiwijono, Harun, Sari Filsafat Barat Jilid I, Yogyakarta:Penerbit Yayasan Kanisius, t.th.
Macmurray, John, The Boundaries of Science; A Study in the Philosophy of Psychology,(London:Faber and Faber, 1957.
Saefuddin Anshari, H. Endang, Ilmu, Filsafat dan Agama, Surabaya:Penerbit PT Bina Ilmu, 1979.
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta:Liberty, 2010.





[1] The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta:Liberty, cet. VIII, 2010), hlm. vii
[2] Filsafat Ilmu, diterbitkan oleh Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2005, hlm. 3
[3] Rizal Muntasyir, Misnan Munir, Filsafat Ilmu (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 53
[4] Robert Ackermann, The Philosophy of Science: An Introduction, 1970, hlm. 19
[5] H. Endang Saefuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama (Surabaya:Penerbit PT Bina Ilmu, 1979), hlm. 75
[6] Harun Hadiwijono, Sari Filsafat Barat Jilid I (Yogyakarta:Penerbit Yayasan Kanisius, t.th), hlm. 7
[7] Muhammad Naquib Al-Attas mengistilahkan pengetahuan sebagai al-‘ilmu, sementara ilmu pengetahuan sebagai al-‘ulum. Lihat Muhammad Naquib Al-Attas, Science and Objective in Islamic Education (Jeddah:King Abdul Aziz, 1979), hlm. 5
[8] The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu.,op.cit.,hlm. 57
[9] Lewis White Beck, Philosophic Inquiry: An Introduction to Philosophy (New York:Prentice Hill, 1952), hlm. 16
[10] A. Cornelius Benjamin, Science Philosophy of, dalam Dagobert D. Runes, ed., Dictionary of Philosophy (Totowa:Littlefield, Adams, 1975), hlm. 284
[11] John Macmurray, The Boundaries of Science; A Study in the Philosophy of Psychology (London:Faber and Faber, 1957), hlm. 26
[12] Tim Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Filsafat Ilmu (Yogyakarta:Suka Press, 2005), hlm. 12-13

0 komentar:

Posting Komentar