Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » Kandata

Kandata

https://ecs3.tokopedia.net/newimg/product-1/2014/9/13/225016/225016_936c1958-3ac3-11e4-81ce-9bd64908a8c2.jpg
Sebentar lagi puasa. Dengannya kita belajar menggerus egoisme dalam dada. Namun sebelum itu, mari dengarkan terlebih dahulu pitutur Ryunosuke Akutagawa. Dia pernah menulis cerpen berjudul The Spider's Thread (Suatu Hari Di Surga dalam terjemahan Anton Kurnia). Dalam cerpennya itu Akutagawa bertutur tentang seorang pendosa bernama Kandata yang disiksa di neraka karena selama hidupnya melakukan banyak dosa. Bahkan di sekujur umur hidupnya, ia jejali dengan taburan kejahatan demi kejahatan. Kejahatan yang dilakukan Kandata tak tanggung-tanggung. Ia merampok, membunuh dan membakar rumah-rumah. Sebuah kejahatan yang sungguh biadab karena telah merampas dan menghancurkan harapan banyak orang.
 
Meski demikian, ada satu kebajikan yang pernah dilakukan oleh Kandata yang membuat Sang Budha berniat mengangkisnya dari neraka. Semasa hidup, saat Kandata sedang berjalan-jalan di tepian hutan, kedua matanya melihat ada seekor laba-laba yang merambat di atas jaring-jaringnya. Kandata pun mengangkat kakinya dan bermaksud menginjak serta meremukkan laba-laba tadi. Tapi niat jahatnya itu ia urungkan sendiri.
 
"Ah, tidak, tidak. Sekecil inipun dia mempunyai nyawa. Alangkah memalukannya bila aku membunuhnya tanpa alasan." Demikian pikir Kandata yang kejam itu. Dan inilah satu-satunya kebaikan yang dia lakukan semasa hidup. Atas kebaikannya itulah Sang Budha berniat menolongnya. Di taman surga, Sang Budha melihat ada laba-laba yang bersarang diantara bunga-bunga terarai. Maka dengan kuasanya, Budha menjulurkan seutas jaring laba-laba ke dasar neraka tempat Kandata menjalani hukuman atas dosa-dosanya.
 
Betapa senang hati Kandata melihat seutas jaring laba-laba berayun-ayun di depannya. Tanpa pikir panjang, ia kemudian memanjat di seutas jaring laba-laba yang dijulurkan Sang Budha itu. Namun, berapakah jarak antara dasar neraka ke surga? Itulah pertanyaan yang tidak dipikirkan oleh Kandata. Ia hanya memanjat dan terus memanjat. Sebagai bekas penjahat dan perampok, memanjat seutas tali bukan masalah berarti bagi Kandata. Dengan penuh semangat ia terus memanjat. Ia merasa sudah jauh meninggalkan dasar neraka. Tapi bersamaan dengan itu denyar-denyar keletihan merambat pada tubuhnya. Saat letih ia berhenti dan kemudian memanjat lagi. Begitulah seterusnya.
 
Setelah merasa dirinya hampir mencapai surga, Kandata menengok ke bawah untuk memastikan seberapa jauh jarak antara dasar neraka dengan surga. Namun betapa terkejutnya Kandata karena di bawah sana, ternyata para pendosa lainnya juga sedang bergelantungan dan berebutan menaiki seutas jaring laba-laba yang sama. Kandata mulai gusar dan marah. Ia menganggap bahwa seutas jaring laba-laba itu tidak akan kuat kalau harus dipanjat oleh banyak orang. Karena tak ingin keinginannya untuk mencapai surga gagal, Kandata menghardik orang-orang di bawahnya.
 
"Hei, kalian para pendosa! Jaring laba-laba ini milikku. Siapa yang memberi izin kalian untuk ikut naik? Turun, turun!" hardik Kandata.
 
Tepat pada saat itu, jaring laba-laba yang sebenarnya tak menunjukkan tanda-tanda akan putus, justru tiba-tiba terputus tepat dimana tangan Kandata berpegangan. Maka terjunlah kembali Kandata dan pendosa lainnya ke dasar neraka, mencecapi kembali siksaan demi siksaan akibat dosanya yang kian berlapis. Melihat kejadian itu, Sang Budha pergi dengan hati sedih.
 
Egois. Barangkali itulah kata paling tepat untuk menggambarkan watak Kandata. Keinginannya yang terlalu tinggi untuk menggapai surga sendiri, meraih keselamatan yang hanya berorientasi pada pribadinya sendiri membuatnya merasa pantas mengancam dan mengabaikan orang lain yang justru memiliki harapan dan keinginan yang sama.
 
Cerita Ryunosuke Akutagawa yang terangkum dalam Antologi Cerpen Asia ini begitu sempurna mendedah tentang naifnya egoisme ketika ia sudah purna bersarang dalam kesadaran tiap-tiap orang. Di sini, egoisme bagai mata pisau bermata dua. Satu sisi, ia membuhulkan keyakinan begitu berlebih yang membuat seseorang terlalu percaya bahwa dia adalah segalanya sehingga dia merasa layak mendapatkan segalanya. Namun pada waktu yang bersamaan dia justru melupakan satu hal, bahwa 'segalanya' itu terlalu besar untuk hanya dinikmati oleh dirinya seorang saja. Itulah sebabnya ada ungkapan yang menyatakan bahwa kebenaran, kebaikan, kebahagiaan dan keselamatan, terlalu besar untuk dinikmati diri sendiri maupun kelompok kita sendiri.
 
Dari cerita ini, kita belajar satu hal bahwa, egoisme tidak hanya menelorkan keyakinan semu tak berbatas yang membuat seseorang terlalu yakin pada kebenarannya sendiri. Tapi di samping itu, egoisme juga sempurna membuat seseorang memandang secara picik bahwa yang selain dirinya tidaklah benar. Karena itu mereka dianggap tidak layak mendapatkan apapun. Termasuk keselamatan.
 
Sekarang, dalam realitas kehidupan kita sehari-hari, betapa banyak Kandata-Kandata baru yang bergentayangan di sekitar kita. Ada yang mengenakan baju agama, politik, organisasi-organisasi, madzhab-madzhab dan sebagainya. Mereka hadir mengibarkan bendera kebenaran di atas tafsirnya sendiri. Bagi mereka, sesuatu baru dianggap benar kalau berdasarkan tafsir yang mereka miliki. Di luar itu, tak ada kebenaran dan karenanya harus diluruskan. Tak peduli meski dengan cara-cara yang tidak benar sekalipun.
 
Ya, Tuhan! Menyaksikan para Kandata di zaman ini, yang merasa paling benar dan paling pantas menghuni surga bersama kelompoknya sendiri, saya jadi terngiang ungkapan Rumi, “Maha Besar Tuhan, Maha Benar Tuhan. Di kandungan langit, begitu banyak bulan. Kemah persembahyangan ini penuh bidadari. Hanya dari mata si buta mereka tersembunyi.”
 
Lewat cerpen ini, Akutagawa seakan ingin berkata, “Puasakan egoismemu. Bukan hanya perutmu.”

Jawa Pos, Minggu, 17 Mei 2015

0 komentar:

Posting Komentar