Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » Puasa

Puasa

“Besok lusa kita akan puasa. Apa yang kau persiapkan menyambut bulan suci itu, istriku?” tanya seorang suami kepada istrinya di suatu malam yang terang oleh cahaya rembulan.
 
https://s-media-cache-ak0.pinimg.com/originals/fc/7f/10/fc7f10be6017bf5e69d38c8eb338af2b.jpg
Mendengar pertanyaan suaminya, si istri diam sejenak. Kemudian dia tersenyum. Lalu;
 
“Pertama, aku ingin minta maaf kepadamu, suamiku,” jawab istrinya, lembut, sambil merebahkan kepalanya di dada suaminya.
 
Malam itu malam Minggu. Pasangan suami-istri yang telah lima puluh tahun mengarungi rumah tangga itu asyik berduaan di teras depan rumahnya yang kecil tak berpenerang. Mereka tampak seperti pasangan remaja yang sedang memadu kasih asmara di taman-taman kota.
 
“Mengapa begitu, istriku? Memangnya kesalahan apa yang sudah kau lakukan padaku?”
 
Istrinya kembali tersenyum. Kepalanya masih dibiarkan rebah di dada suaminya. Sementara sang suami, dengan mesranya membelai rambut istrinya yang sudah bertabur uban. Sama seperti warna rambut di kepalanya sendiri.
 
“Kau ingat kejadian tahun lalu, suamiku. Tepatnya selama bulan puasa?”
 
Kening suaminya berkerut.
 
“Kejadian yang mana, sayang?”
 
“Benarkah kau tak ingat? Coba kau ingat-ingat kembali?”
 
Si suami terdiam. Sejenak. Berusaha mengingat-ingat sesuatu.
 
“Ah, terlalu banyak kejadian yang kita alami, istriku. Ada yang menyenangkan, tak sedikit pula yang memilukan. Jadi mana mungkin aku bisa mengingatnya satu persatu. Lagi pula, aku sudah tua sekarang. Sudah jadi pelupa, atau malah sudah mulai pikun.”
 
Istrinya bangkit. Ia kemudian merapikan rambutnya sambil menatap lekat ke wajah suaminya. Bagai gayung bersambut, suaminya juga menatap wajah istrinya yang makin dipenuhi kerutan-kerutan ketuaan. Mereka saling berbagi senyum. Memperlihatkan barisan gigi mereka yang sudah sama-sama tak utuh lagi.
 
Di halaman, dua ekor kunang-kunang hinggap di selembar daun sebelum keduanya terbang mengarungi cakrawala malam.
 
“Apa benar kau sudah lupa, suamiku? Coba ingat pelan-pelan, apa yang terjadi selama bulan puasa tahun lalu?”
 
Karena tak ingin mengecewakan istrinya, si suami berusaha kembali mengingat peristiwa yang sudah terjadi setahun lalu. Begitu sukar rupanya sampai dia harus berkali-kali menggaruk kepalanya. Beberapa lembar rambut putihnya rontok dan menempel di jemarinya.
 
Si suami kemudian tersenyum. Melihat suaminya tersenyum, si istri juga ikut tersenyum.
 
“Apa kau sudah ingat, suamiku?”
 
“Ya, sepertinya aku ingat sekarang.”
 
“Kalau begitu, coba kau ceritakan yang kau ingat itu, suamiku,” pinta si istri sambil kembali merebahkan kepalanya ke dada suaminya.
 
“Setiap hari selama bulan puasa, selalu ada orang yang mengantarkan makanan enak buat buka dan sahur kita. Entah siapa mereka. Haha…kau waktu itu makan dengan begitu lahapnya. Kau tidak sadar, meski waktu imsak sudah tiba, kau masih saja menghabiskan makananmu.”
 
“Tapi kau yang memaksaku menghabiskan makanan itu.”
 
“Benar, istriku. Sayang kalau makanan itu dibuang-buang to.”
 
“Tapi kenapa kau tidak ikut menghabiskannya waktu itu?” tanya si istri penuh selidik.
 
“Karena aku sudah kenyang. Lagi pula, perutku ukurannya kan lebih kecil dibanding ukuran perutmu. Hehee..”
 
Sang istri merasa lega. Lalu dia mencubit perut suaminya sampai lelaki itu berteriak sambil terkekeh-kekeh. Begitu romantisnya mereka. Di langit, rembulan makin sempurna cahayanya. Suara jengkerik yang tak jauh dari tempat mereka berdua berhenti berbunyi. Mungkin terkejut mendengar teriakan dan kekehan mulut suami-istri yang sudah sama-sama berumur.
 
Meski tak lagi muda, suami-istri itu masih selalu menyempatkan diri untuk menikmati malam-malam dengan duduk berduaan sebagaimana mereka dulu masih muda. Mungkin, bagi mereka kemesraan tak mengenal batas usia. Siapa saja bisa melakukannya. 
 
Lalu angin berdesir. Sang istri tanpa canggung memeluk tubuh suaminya yang hanya mengenakan kaos yang sudah kusam. Dia sebenarnya sudah tak mampu menahan terpaan dinginnya angin malam. Begitu juga dengan sang suami yang makin erat mendekap tubuh istrinya yang sudah tak montok lagi. Namun mereka tak mau lekas-lekas beranjak dari teras rumahnya meski angin malam semakin berhembus kencang.
 
“Tapi tunggu, istriku. Apa hubungannya kejadian itu dengan permintaan maafmu tadi?”
 
“Kau sungguh-sungguh ingin tahu, suamiku?”
 
“Tentu sayang. Ceritakanlah.”
 
“Kau mau berjanji?”
 
“Untuk apa?”
 
“Kau tidak akan marah kalau aku ceritakan semuanya?”
 
Si suami kemudian membangunkan istrinya yang masih merebahkan kepalanya di dadanya. Lalu dia pegangi kedua bahu istrinya erat-erat. 

Ditatapnya wajah istrinya itu dalam-dalam. Sama seperti puluhan tahun yang lalu saat dia mengutarakan keinginannya melamar dan menikahinya.
 
“Istriku. Sudah lima puluh tahun kita menikah. Pernahkah aku memarahimu? Jangan takut istriku. Katakan saja apa yang ingin kamu ceritakan.”
Si istri kembali tersenyum. Di bawah rembulan yang cahayanya memantul samar-samar dari halaman sempit rumah mereka, si suami melihat betapa senyum istrinya masih sangat manis dalam pandangan mata tuanya.
 
“Suamiku. Jauh sebelum aku mengenalmu, aku sebenarnya sudah pernah menjalin hubungan dengan orang lain. Dia lelaki yang sangat kaya. Aku teramat mencintainya sebagaimana dia juga mencintaiku. Tapi kemudian engkau datang di saat dia melanjutkan sekolahnya ke luar negeri sana. 

Bagi dia, aku mungkin wanita yang tidak setia meski dia memaklumi keputusanku menerimamu. Dia juga berkata kalau akan tetap menganggapku sebagai kekasihnya. Bahkan hingga saat ini. Aku sendiri tak dapat melupakan jasa dan cintanya yang begitu tulus kepadaku. Bahkan…bahkan….”
 
Suara si istri tercekat. Dia tak kuasa menahan tangisnya. Dengan lembut si suami menarik tubuh istrinya. Memeluknya erat-erat.
 
“Tak apa, istriku. Lanjutkan saja ceritamu.”
 
“Suamiku. Asal kau tahu, kalau tahun lalu kita bisa makan berkecukupan selama bulan puasa, itu semua karena dia yang mengirimkannya. Tahun ini, dia juga akan kembali menanggung semua kebutuhan kita selama bulan puasa hingga lebaran tiba. Apa kau mau menerimanya, suamiku?”   
 
Sang suami tersenyum;
 
“Istriku. Undanglah dia agar bisa berbuka puasa bersama-sama dengan kita. Di hari-hari tuanya seperti kita, aku ingin melihat dia bahagia makan bersama denganmu. Aku tak akan marah, apalagi curiga. Bulan yang suci ini terlalu berharga untuk dinodai oleh keduanya.”
 
Suami istri itu makin erat berpelukan. Mereka sama-sama tersenyum, membayangkan betapa indahnya ada tiga manusia udzur masih mau berbagi ketulusan cinta di bulan yang mulia.


Yogyakarta, 2015

Cerpen ini dipublikasikan Kedaulatan Rakyat

0 komentar:

Posting Komentar