Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » Makna Puasa dalam Puisi Rumi

Makna Puasa dalam Puisi Rumi



Substansi Puasa dalam Puisi Rumi

Judul Buku    : Pesona Pantai Keabadian
Penulis            : Kuswaidi Syafi’ie
Penerbit         : Mitra Pustaka, Yogyakarta
Cetakan          : Pertama, Juni 2015
Halaman        : v-177 hlm
ISBN               : 9-786028-480765
Peresensi       : Salman Rusydie Anwar*

Menurut pengertiannya yang umum, makna puasa adalah al-imsák, yakni menahan diri dari makan, minum dan melakukan hubungan suami-istri di siang hari sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Dalam konteks ini, makna puasa masih berorientasi pada segala ihwal yang ‘berbau’ materi duniawi.
 
Namun sesungguhnya teramat sepele apabila seseorang hanya mencukupkan diri memahami makna puasa dalam perspektif yang demikian. Sebab hakikatnya ada pemaknaan lain mengenai puasa yang lebih sublim dan filosofis, yang dengannya seseorang diharapkan mampu untuk benar-benar meraih manfaat dari puasa, yakni ketakwaan itu sendiri.
 
Dibanding ibadah lainnya, ibadah puasa merupakan sebujur ritual yang paling rahasia. Berbeda dengan ibadah shalat, zakat dan haji yang merupakan ritual yang dengan sendirinya selalu ‘terpublikasikan’ karena banyak bersinggungan dengan orang-orang sekitar.
Sementara puasa sepenuhnya merupakan ibadah yang meniscayakan ‘perjumpaan aku-Engkau’ yang tidak mungkin terendus oleh siapa pun kecuali kalau perjumpaan sakral itu memang sengaja dipamerkan, (hlm. 56).
 
Buku yang ditulis oleh Kuswaidi Syafi’ie ini mengupas perihal makna puasa melalui sudut pandang yang tidak biasa. Di dalamnya, Kuswaidi menjlentrehkan pemahaman puasa melalui kacamata sufistik yang digali dari bait-bait puisinya Jalaluddin Rumi, seorang sufi-penyair paling tersohor kelahiran Afganistan.
 
Berkaitan dengan puasa, Rumi dalam puisinya berkata, “Kosongkan perutmu! Merataplah seperti sebuah kecapi dan sampaikan keinginanmu kepada Tuhan. Kosongkan perutmu dan bicaralah tentang misteri-misteri bagai ilalang” (hlm. 52).
 
Idiom perut sebagaimana dalam puisi di atas tidak hanya merujuk kepada bagian tertentu dari tubuh manusia yang berfungsi menampung dan mencerna serta mengolah asupan gizi sehingga menghasilkan energy atau tenaga, yang bisa digunakan untuk mengerjakan berbagai ihwal pekerjaan.
 
Namun perut bisa merupakan sebuah symbol yang bisa bermakna sebagai kehendak untuk menerima segala sesuatu selain-Nya. Dengan demikian, berpuasa adalah sebentuk usaha menahan diri dari segala sesuatu yang memalingkan hati kita kepada Allah. Di hadapan orang yang benar-benar berpuasa, Allah SWT benar-benar diposisikan sebagai Al-Shamad, yakni satu-satunya tempat bergantung. Sementara kepada selain diri-Nya, kita dengan tegas berpuasa (menahan, menolak).
 
Mengosongkan diri (puasa) dari beragam godaan dan hal-hal yang tidak hakiki dan semata-mata mengutamakan hadirat-Nya adalah modal utama untuk menjadikan kondisi ruhani dan spiritualitas kita semakin jernih. Sebaliknya, membiarkan diri kita diperangkap oleh nafsu syahwat dan berbagai hal lainnya yang nisbi akan membuat ruhani kita sedemikian keruhnya. Sama halnya dengan kecapi yang tidak akan pernah mampu mengeluarkan suaranya yang jernih manakala ia tidak dibiarkan kosong dari apa pun.
 
Manakala puasa tidak sekadar dipahami sebagai upaya menahan diri dari makan dan minum, tapi secara sublim dihayati sebagai kesanggupan menolak keberpihakan diri kepada selain Allah, maka di situlah potret kemuliaan (ketakwaan) akan terlihat dengan jelas. Dan potret kemuliaan itu tidak lain adalah aktualisasi konkret dari nilai-nilai keyakinan, amal shaleh dan cinta yang menyala-nyala pada hadirat-Nya semata, (hlm 35).
 
Hal menarik lainnya dari puisi Rumi terkait puasa adalah ungkapannya seperti, kosongkan perutmu, dan bicaralah tentang misteri-misteri bagai ilalang. Bagi Rumi, ketika seseorang mampu berpuasa dari segala sesuatu selain Allah serta mampu menahan diri untuk tidak bergantung kepada selain-Nya, maka di saat itulah orang tersebut akan memiliki kualitas ketauhidan yang lurus.
 
Pelaku puasa yang seperti ini, keimanan dan ketauhidan mereka tidak bercabang, tidak terkotori oleh apa pun melainkan runcing hanya menuju Allah semata. Orang-orang seperti inilah yang akan fasih mengetahui rahasia-rahasia keilahian serta rahasia dari segala ibadah yang dilakukannya.
 
Puisi Rumi di dalam buku ini menawarkan pemahaman yang begitu luas mengenai puasa. Dengan menggunakan metafor-metafor yang mudah, siapa pun dapat dengan leluasa memahami apa yang diinginkan Rumi dalam memberikan pemahaman puasa pada kita. Di akhir bait puisinya ia bertutur, ketika perut kecapi telah terisi, ia tidak dapat bersuara, dengan nada rendah ataupun tinggi.
 
Itulah sebabnya mengapa dalam hadis qudsi Allah menganggap betap pentingnya puasa. Semua amal ibadah anak Adam untuk mereka sendiri, kecuali puasa. Puasa itu ‘untuk-Ku’ dan aku sendiri yang akan memberikan balasan bagi pelakunya.” Wallahu A’lam.

Sumenep, 12-07-2015 (01:49)

1 komentar: