Diberdayakan oleh Blogger.

Ustadz-Ustadz Yang Saya Cintai Serta Perihal Jenis Kelamin Pancasila

Hati saya sungguh gembira dan bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Setelah Ustadz Felix yang berfatwa bahwa membela nasionalisme itu tidak penting, lalu Ustadz Abu Jibril yang mengatakan semua orang yang membela Pancasila akan binasa, maka sekarang bertambahlah satu lagi sosok Ustadz yang masuk dalam daftar para ustadz yang wajib saya cintai sepenuh hati. Dialah Ustadz Shiddiq Al-Jawi yang kemarin hari berfatwa tentang haramnya menghormat pada bendera Merah Putih.
https://upload.wikimedia.org/wikipedia/en/e/e2/Garuda_Pancasila,_Coat_Arms_of_Indonesia.jpg


Anda semua tidak perlu bertanya lagi perihal kadar cinta saya pada mereka. Meminjam bahasanya Bang Haji Rhoma Irama, "Tiada ibarat sebagai ungkapan" untuk melukiskan seberapa besar dan dalamnya rasa cinta saya kepada tiga manusia itu, yang dikirim langsung oleh Tuhan untuk mengingatkan saya terutama.
 
Saya akui, mereka bertiga adalah manusia-manusia pilihan yang memiliki keberanian total untuk mengatakan kebenaran meskipun pahit akibatnya buat mereka. Dibanding mereka, keberanian saya justru tak ada apa-apanya. Ibaratnya, saya ini seekor kuman yang sedang berhadapan dengan tiga naga sakti dari negeri kahyangan. Saya tentu harus menghormat dan memuliakannya untuk bisa dilirik, apalagi bisa disapa oleh ketiganya.
Mohon maaf. Saya tidak sedang mengincar apa-apa dari mereka dengan mengatakan betapa saya teramat mencintai ketiga manusia suci itu. Setidaknya saya sudah baca istighfar, baca shalawat, baca tahlil, baca yasin dan kemudian istikharah sebelum memutuskan apakah saya harus mengutarakan cinta saya pada mereka atau tidak.
 
Saya berdoa, "Ya Tuhan. Berilah pertanda baik bila keputusan saya untuk mencintai tiga manusia mulia itu memang baik. Dan begitu pun sebaliknya." Itulah doa saya. Hasilnya.., sungguh seperti yang saya dambakan. Seekor kerbau putih datang dalam mimpi saya. Dalam lenguhannya saya seperti mendengar suara, "Bagus. Lanjutkan cintamu."
 
Sebelumnya saya merasa heran dan ragu, kenapa yang datang dalam mimpi saya malah kerbau? Bukannya unta? Bukankah unta itu lebih islami daripada kerbau? Beruntung saya teringat dengan sebuah nama; Kiai Slamet. Maka hilanglah keraguan saya seketika dan barulah saya yakin dengan mimpi saya dan kemudian saya utarakan rasa cinta saya pada ketiga ustadz itu, meski baru sebatas tulisan ini.
 
Tentu saya tak hanya mengandalkan mimpi semata untuk mengutarakan alasan saya dalam mencintai ketiganya. Jauh sebelumnya saya sudah mempelajari mereka bertiga melalui kepustakaan-kepustakaan, kamus-kamus dan beberapa informasi yang saya percayai. Dari beberapa informasi itu, saya menemukan dua alasan kenapa mereka bertiga layak saya jadikan sebagai bagian dari daftar orang-orang yang pantas saya cintai setelah kedua orangtua saya, istri dan anak.
 
Pertama, Anda harus tahu bahwa baik Ustadz Felix, Ustadz Abu Jibril dan Ustadz Shiddiq adalah sosok-sosok manusia yang memiliki rasa cinta begitu gemuruh terhadap 'islam'. Totalitas dan kemurnian cinta mereka kepada 'islam' tak bisa ditandingi oleh kemurnian apapun di dunia ini. Termasuk emas murni sekalipun.
 
Mereka bertiga sedemikian heroiknya dalam menjaga kemurnian 'islam' sehingga apa pun yang tidak benar-benar bernafaskan islam akan mereka lawan sampai titik darah penghabisan. Contoh, karena Pancasila tak mencerminkan 'islam' maka Abu Jibril dengan tangkas dan meyakinkan mengatakan bahwa siapa yang membela Pancasila maka dia akan binasa.
 
Saya berpikir, mungkin Pancasila perlu ditentukan dulu jenis kelaminnya sebelum kita sepakat untuk memberinya cerminan 'islam'. Kalau jenis kelaminnya lelaki, dia harus dipakaikan jubah, surban dan diberi jenggot sedikit. Tapi kalau perempuan, tentu harus diberi hijab, jilbab dan cadar. Entahlah, ini hanya pikiran dangkal, bodoh dan ngawurnya saya saja. Tapi yang jelas, hanya orang-orang yang sudah diberi tahu catatan Allah mengenai rahasia seluk-beluk nasib manusia sajalah yang berani mengatakan apakah pembela Pancasila itu celaka atau tidak. Abu Jibril salah satunya. Karena itulah saya mencintai dia.
 
Kedua, setuju-tidak setuju Anda harus tahu ketiga manusia mulia itu sesungguhnya adalah orang-orang yang paling besar rasa cintanya -tidak hanya kepada 'islam', melainkan juga kepada Bangsa Indonesia. Mereka bertiga adalah orang-orang yang tingkat kedekatannya kepada Tuhan sudah tak lagi disekat oleh apa pun. Mereka begitu karib dengan Tuhan.
 
Mungkin karena kedekatannya itulah Tuhan memberikan informasi tentang apa yang salah dari negeri ini dan Tuhan sekaligus memilih mereka untuk mengingatkan bangsa ini dan kita semua. Siapa tahu kan. Siapa tahu misalnya Tuhan berkata kepada Felix, "Lix, sampaikan bahwa membela nasionalisme itu nggak ada dasarnya, tapi membela khilafah jelas pahalanya."
 
Atau siapa tahu juga Tuhan berkata pada Shiddiq, "Diq, katakan bahwa menghormat pada bendera itu haram." Dan puncaknya Tuhan pun berkata pada Abu Jibril, "Bril, peringatkan orang-orang Indonesia, siapa yang membela Pancasila, maka mereka akan binasa." Untuk Abu Jibril saya katakan puncak karena dia adalah bapaknya (moyangnya) Jibril kayaknya. Entah Jibril malaikat Jibril atau Gabriel Batistuta yang kalau dilafal Arabkan tentu bukan lagi Gabriel, melainkan Jibril.
 
Saya berbaik sangka saja pada mereka bahwa mereka mengeluarkan fatwa demikian tidak lain karena mereka begitu cinta dan sayangnya pada Indonesia. Dan rasa sayang mereka pada bangsa ini tidak muncul dari kehendak mereka sendiri, melainkan memang diperintahkan langsung oleh Tuhan sehingga fatwa-fatwa mereka bertiga tak perlu diragukan lagi kesahihannya.
 
Sampai di sini, Anda pasti sudah bisa memahami, kenapa saya begitu mencintai ketiga manusia tokcer dunia-barzakh-makhsyar-akhirat ini.
Selain itu, saya selalu memendam keinginan untuk kapan kiranya saya bisa mengundang mereka bertiga ke rumah saya yang penuh rayapan itu. Lalu mengajak mereka makan jagung bakar malam-malam, menghirup kopi hangat campur jahe bakar sambil memandang ke atas langit yang penuh bintang bertaburan.
 
Saya ingin sekali berbicara banyak dengan mereka sambil menatap wajah mereka yang begitu bercahaya yang sekaligus tergambar peta-peta surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Bila keinginan saya terkabul, saya ingin sekali mengungkapkan perasaan saya;
 
"Buka baju batik, sorban dan jubahmu, kekasih. Keluarlah sejenak dari barisan jemaahmu, yang barangkali karena teriakan gempita dan elu-elu merekalah engkau tegak berdiri bak satu-satunya orang suci. Kenakan pakaian kesederhanaan sebagaimana Abu Bakar yang mengenakan kain bersulam daun kurma usai seluruh rekeningnya ia serahkan untuk Islam semuanya. Berkunjunglah ke pelosok-pelosok kampung yang kumuh, dan bawakan kami yang kelaparan ini makanan-makanan yang ada di rumahmu sebagaimana Umar bergerilya malam-malam, memikul sendiri gandum di pundaknya demi mengetahui rakyatnya yang kelaparan. Kibarkan bendera kasih sayangmu. Terbangkan burung-burung kerendahhatianmu. Bela kami tanpa harus meremehkan hasil perjuangan yang sudah dibayar dengan niat suci, darah dan air mata oleh para orang tua kami yang karena jasanya engkau bisa terus berdzikir di negeri ini. Temukan Islam bukan sekadar pada jemaahmu yang begitu runduk di hadapanmu. Tapi juga di sini, di rumah-rumah yang barangkali penghuninya tak seagama dengan agamamu. Bila tauhidmu tegak, kekasih. Bila syahadatmu nyalang dalam pandangan, niscaya kau akan tahu bahwa mereka yang tak seiman denganmu, semuanya tercipta bukan dari tanganmu yang gemar menenteng tasbih itu, melainkan dari 'Tangan' Tuhanmu juga. Lalu bagaimana mungkin, engkau yang selalu mensucikan nama-Nya setiap saat, justru berniat memberangus mereka dengan kata jihad dan tegaknya syariat mutlak."   
 
Kalau Anda protes, "Masak pada orang yang dicintai berkata begitu..!?" Maka saya tegaskan disini, bahwa meskipun saya mencintai ketiga Ustadz itu, namun saya tak harus selalu membenarkan pendapat mereka, bukan. Selama mereka masih hidup menetap di wilayah kemanusiawian mereka, mereka bertiga tetap berpeluang besar untuk salah dan harus bersedia pula untuk dipersalahkan. Kecuali mereka sudah mendeklarasikan diri bahwa misalnya mereka sudah diangkat derajatnya oleh Tuhan menjadi malaikat. Tapi apa iya...!?
 
Entahlah. Saya ini fakir, bodoh, kurus-kerempeng. Jadi mohon maaf saja kalau saya menulis begini ini. Terutama kepada ketiga ustadz yang saya cintai ini. Saya mohon maaf banget pokoknya. Semoga Anda bertiga masuk surga bersama saya sekeluarga. Amin
 

Hahh....!! Selametan Itu (Tak) Perlu….??!!

Pagi tadi, saya mengikuti pengajian yang dibawakan oleh seorang ustadz yang entah siapa namanya, saya lupa. Dalam pengajian itu, sang ustadz menyampaikan sebuah materi tentang perlu tidaknya atau benar tidaknya seseorang mengadakan selametan untuk mohon keselamatan.
http://sirojuth-tholibin.net/wp-content/uploads/2012/09/Selametan-bangunan-putri.jpg


Melihat penampilan sang ustadz, saya bisa menebak apa tanggapan beliau tentang selametan itu. Dan sebenarnya tema yang dibawakannya itu sangatlah sensitive karena mencoba melawan suatu tradisi yang sudah lama dilakukan oleh masyarakat dimana ia menyampaikan dakwahnya.
 
Hati saya ketar-ketir menanti bagaimana kelanjutan sang ustadz dalam memberikan ceramahnya, walau sebenarnya saya sudah bisa memahami apa kesimpulan beliau pada akhirnya. Dan….benarlah dugaan saya. Dengan mantap sang ustadz berkata;
 
“Selametan itu tidak perlu. Sebab tidak ada hubungannya dengan keselamatan yang kita harapkan. Di Barat, di Timur Tengah, tidak ada orang yang mengadakan selametan tapi mereka selamat. Itulah suatu bukti bahwa selametan itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan selamat. Karenanya selametan itu tidak perlu dilakukan. Bukannya selamat yang kita dapatkan, malah bisa jadi celaka karena dapat membuat kita melakukan syirik kepada Allah.”
 
Saya senyam-senyum saja mendengar ceramah sang ustadz yang usianya barangkali terpaut sedikit lebih tua dari saya. Saya mencoba husnudzdzan pada beliau bahwa beliau berkata demikian karena barangkali beliau tidak memahami siapa audiensnya. Atau bisa saja dia sudah paham namun dia sekadar belajar menerapkan apa kata Nabi, qulilhaqqa walau kána murran.
Lalu, benarkah selametan itu salah dan karenanya tidak perlu dilakukan? Benarkah selametan itu dapat membuat seseorang jatuh kepada kemusyrikan sebagaimana yang ustadz tadi sampaikan?
 
Dalam pandangan saya, selametan itu adalah bagian dari ikhtiar seseorang dalam rangka memohon keselamatan kepada Allah. Sebagai sebuah ikhtiar, selametan itu barangkali sama dengan peristiwa dimana seorang shahabat datang kepada Nabi dan kemudian dia biarkan untanya tanpa diikat. Nabi berkata, “Kenapa tidak kau ikat untamu itu?” Si shahabat menjawab, “Saya tawakkal kepada Allah.” Dengan tersenyum Nabi menjawab, “Ikat dulu untamu. Barulah setelah itu kau tawakkal.” Artinya, ikhtiarlah dulu dan urusan hasilnya, biarlah takdir Allah yang menentukan.
 
Sebagai sebuah ikhtiar, selametan itu juga tak jauh berbeda dengan seseorang yang membiarkan api kompor di dapurnya tetap menyala di malam hari. Kemudian orang itu pergi tidur sambil berkata, “Kalau Allah tak menghendaki rumahku terbakar, maka tidak akan terjadi kebakaran meski api kubiarkan tetap menyala semalaman.”
 
Dalam kasus ini, niat tawakkal orang tersebut benar. Tetapi sayangnya  tidak dibarengi dengan ikhtiar yang sempurna. Itulah sebabnya kenapa Nabi mengatakan, “Janganlah kalian meninggalkan api dalam keadaan menyala di rumah ketika kalian hendak tidur.”  Artinya, jangan buru-buru meninggalkan ikhtiar sesuai kemampuan kita dengan semata-mata berdalih bahwa kita tawakkal kepada Allah. Sebab kita tidaklah tahu seberapa tangguhnya kadar keimanan dan ketawakkalan kita kepada-Nya.
Beda halnya dengan Abu Bakar yang ketika ditanya oleh Nabi, “Seberapa banyak harta yang akan kau sumbangkan untuk Islam, wahai Abu Bakar?” Dengan mantap ia menjawab, “Seluruhnya.” Lalu Nabi kembali bertanya, “Bagaimana dengan urusan keluargamu?” Dengan kemantapan yang sama Abu Bakar menjawab, “Urusanku dan keluargaku, biarlah kuserahkan pada Allah dan Rasul-Nya.”
 
Level keimanan dan ketawakkalan Abu Bakar kepada Allah jelas tak akan mungkin terkejar oleh siapapun di antara kita. Orang semacam beliau seakan mengacuhkan pentingnya ikhtiar berkaitan dengan urusan-urusan duniawi karena begitu jumbuh, kuat dan menyatunya keimanan dan ketawakkalan beliau kepada-Nya. Tak heran kalau Nabi pernah berkata, “Suatu malam aku menimbang imannya Abu Bakar dengan imannya umat Islam di seluruh dunia. Ternyata, imannya Abu Bakar jauh lebih berat.”
Lalu, apakah ikhtiar memohon keselamatan dengan mengadakan selametan itu salah dan tidak perlu?
 
Saya tidak ingin menyalahkan dan membenarkan tradisi itu. Tapi,  barangkali penting dilihat terlebih dahulu seperti apa tata cara pelaksanaannya. Sejauh yang saya tahu, selametan di beberapa daerah itu memiliki tata cara yang bermacam-macam. Di Madura, selametan dilakukan salah satunya dengan menyediakan sepiring nasi tumpeng, air bunga, lentera mengambang (dhamar kambhang), kue-kue serta menyisipkan uang di atas piring yang dijadikan tempat kue-kue tersebut. Kemudian orang yang mengadakan selametan mengundang seorang guru ngaji yang diminta untuk membacakan surat-surat dalam Al-Qur’an dan kemudian berdoa.
 
Nasi tumpeng itu kemudian diberikan kepada si guru ngaji, sementara kue-kue dan uangnya biasanya diberikan terutama kepada anak-anak yatim seraya yang bersangkutan berkata, “Doakan saya sekeluarga semoga selamat ya..” Kemudian air bunga itu diminum oleh semua anggota keluarga dengan membaca basmalah terlebih dahulu. Terkait dengan apa yang terjadi dengan air yang dibacakan kalimat-kalimat yang baik semisal Al-Qur’an, penelitian modern sudah menemukan hasilnya.
 
Sampai di sini, saya tidak menemukan sesuatu yang patut dipersalahkan terkait dengan selametan sebagaimana di atas. Niatnya baik, tata caranya baik, dan kepada siapa kita memohon keselamatan juga benar karena semata-mata ditujukan kepada Allah SWT.
Tradisi selametan barangkali patut dikoreksi kebenarannya apabila tata caranya sudah agak menyimpang dari aturan Islam, apalagi sasaran dari doa keselamatan yang kita harapkan tidak murni ditujukan kepada Allah. Misalnya mengadakan selametan dengan pesta pora dimana banyak makanan yang terbuang-buang (mubadzir) percuma, selametan dengan hura-hura dan sebagainya. Tradisi selametan semacam itu memang perlu dikoreksi, namun harus tetap menggunakan tata cara yang santun serta harus dicarikan penggantinya sebagai sebuah solusi alternative. Kurang arif rasanya apabila kita hanya bisa melarang sesuatu tetapi kita tidak bisa memberikan alternative lainnya. Kita mungkin perlu meneladani bagaimana para wali penyebar agama Islam di tanah Jawa melakukan upaya-upaya kreatif sebagai sebuah alternative dalam merubah tradisi Jawa yang menyimpang menjadi selaras dengan kaidah Islam.
 
Kemudian apakah selametan itu dapat menyebabkan seseorang terjatuh dalam kemusyrikan atau tidak, hal ini juga perlu penelitian yang serius dan bijaksana. Menurut saya, kemusyrikan itu tidak semata-mata terletak pada seperti apa bentuk perbuatan yang dilakukan oleh seseorang, melainkan juga harus dikembalikan pada hati si pelakunya, yakni kepada siapa dia bergantung. Karena itu, sangatlah berbahaya menghukumi seseorang sebagai orang yang musyrik apabila hanya melihat pada perbuatannya semata di samping yang benar-benar memahami apakah seseorang itu musyrik atau tidak hanyalah Allah semata. Kemusyrikan adalah urusan keimanan dari masing-masing pribadi dengan Tuhannya. Sementara kita hanya berhak mengingatkan, tanpa harus memberikan hukuman yang berlebihan.
 
Karena itu, sangatlah berlebihan apabila kita menilai orang yang mengadakan selametan sebagaimana di kampung saya itu sebagai perilaku musyrik mengingat kami tetap memohon dan bergantung kepada Allah. Selametan itu hanyalah ikhtiar fisik semata yang dengannya kami belajar menggugah kekhidmatan di dalam berdoa kepada-Nya. Persoalan ikhtiar fisik berupa selametan itu perlu dilakukan atau tidak, kita kembalikan lagi kepada yang bersangkutan tanpa mereka harus dipaksa untuk meninggalkan tradisi itu. Sejauh dalam tradisi selametan itu kita tetap bergantung kepada Allah, serta tidak ada perilaku yang menyimpang dari tuntunan agama, menurut saya tidak ada salahnya selametan dilakukan. Tetapi kalau sudah menyimpang, maka disitulah diperlukan adanya koreksi dan sekaligus kita harus dibuatkan alternative lain yang tetap dapat menjamin kekhidmatan mereka dalam beribadah kepada-Nya. Dengan kata lain, jangan sekadar mampu melarang namun lemah dalam memberikan metode dan cara-cara yang lain. Sebab semua orang pasti mampu kalau sekadar melarang-melarang tetapi tidak semua orang mampu memberikan lain tawaran.
 
Selanjutnya, apabila kita menilai bahwa seseorang itu musyrik hanya berdasarkan pada cara mereka berbuat sesuatu, maka sangatlah besar peluang kita untuk terjatuh dalam buruk sangka (husnudzdzan). Kalau saya duduk bersila di depan sebatang pohon besar yang oleh orang lain dianggap keramat, apakah kemudian saya dianggap musyrik hanya karena saya berada di situ? Belum tentu, bukan. Padahal bisa jadi saya berada di situ tidak lain hanya sekadar mengagumi keagungan Allah, betapa kuasanya Dia yang telah menciptakan pohon sebegitu besarnya dan memberikan kehidupan hingga ratusan tahun lamanya. Atau saya di situ sedang membaca ayat kursi sambil berdoa kepada Allah agar jin-jin dan setan yang ada di pohon besar itu segera dijauhkan agar masyarakat di sekitarnya tidak lagi takut karena menganggapnya angker. Kalau begitu, Anda kecele, bukan? Buruk sangka, bukan?
Maka sekali lagi, kemusyrikan itu jangan hanya dinilai dari apa dan bagaimana perbuatan seseorang mengingat kemusyrikan itu adalah wilayah hati, wilayah keimanan yang tak seorang pun sanggup memahaminya selain Allah. Tabayun-lah terlebih dahulu, koreksilah terlebih dahulu, lakukan konfirmasi dan penelitian mendalam agar kesimpulan yang diambil tidak bersikap serampangan dan benar-benar mencerminkan bahwa kita ini benar-benar seorang ulama.
 
Seorang sufi di suatu hari sedang menimang-nimang batu akiknya. Lalu datanglah seseorang yang bertamu kepadanya. “Apa yang kau lakukan dengan batu itu?” tanya si tamu. Si sufi menjawab, “Batu ini sungguh memberikan berkah yang luar biasa kepadaku,” jawab si sufi sambil terus menimang-nimang batu akiknya. Si tamu kemudian berkata, “Kau musyrik, Syekh. Kau telah percaya pada batu, bukannya pada Allah. Padahal kau ini guru sufi dan memiliki banyak murid pengikut.” Dengan tersenyum, si sufi menjawab, “Kau ini yang bodoh. Coba kau lihat batu ini. Lihat…dan katakan apa yang kau lihat di dalam batu itu?” kata si sufi sambil menyerahkan batu akiknya pada si tamu. Setelah lama si tamu melihat batu akik itu, ia kemudian berkata bahwa dia tidak melihat apa pun selain warna biru batu itu. “Kau benar-benar bodoh. Padahal dengan melihatnya, aku merasakan kebesaran, kekuasaan dan keindahan Allah yang tak terhingga meski hanya lewat sebongkah batu ini. Lihat ran rasakanlah kebesaran Allah pada setiap sesuatu yang kau pandang, niscaya tauhidmu akan tegak menjulang.” Begitulah kata si sufi. Sementara si tamu hanya tertunduk dalam. Ia terkecoh karena melihat dan menilai si sufi hanya dari perbuatannya semata sebelum ia sempat mengoreksinya.
 
Jadi, renungkanlah Allah berfirman;
 
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan salam" kepadamu: "Kamu bukan seorang mukmin" (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya atas kamu, maka telitilah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan,” (QS. An-Nisa’ : 94).  
 
Kepada pak ustadz, saya akan lakukan selametan khusus buat panjenengan agar panjenengan sekeluarga selamat.

  

Didik Karyadik; Pegawai Pemda yang Hatinya Bertabur Cinta

Sesungguhnya saya tidak cukup memiliki kesanggupan untuk memulai dan menyelesaikan tulisan mengenai Didik Karyadik, seorang sahabat semasa kuliah asal Medan yang kemarin saya dapatkan kabarnya telah menghadap Allah akibat penyakit kanker otak yang menimpanya. Kabar itu saya dapatkan pertama kali dari sahabat saya, Mursyidi Lathif (09 Agustus 2015/05:26:45), kemudian Aat Hidayat (10 Agustus 2015/02:46:55).
Didik Karyadik


Saya memaksakan diri meluangkan waktu untuk secara khusus menulis tentang dia karena dia adalah sosok yang istimewa bagi saya. Ya, Allah! Ampunilah dosanya dan terimalah dia sebagai hamba-Mu yang kembali kepada-Mu dengan ridha dan kebahagiaan. Amin.

Kisaran tahun 2004, tepatnya pada saat liburan semester, saya berniat pulang ke Sumenep, Madura. Didik kemudian datang ke pondok. Dia menyatakan keinginannya untuk ikut saya ke Sumenep. Tentu saya sambut keinginannya dengan hati gembira. Dalam hati saya ingin memperlihatkan bahwa orang-orang Madura tidak seperti yang pernah dia bayangkan sebelum-sebelumnya sebagai pribadi yang kasar, keras dan kurang ramah.

Saat sampai di Sumenep, Didik pun memperlihatkan sikapnya kepada keluarga dan tetangga-tetangga saya sebagai sosok yang ramah, humoris dan senang ngobrol. Gayungpun bersambut. Keluarga dan tetangga saya benar-benar welcome dan menunjukkan sikap mereka sebagai pribadi-pribadi yang tak kalah ramahnya dengan Didik sehingga dia pernah minta diantar ke toko untuk membeli buku dan menulis catatan harian di bawah pohon mangga di tengah halaman. Semoga buku hariannya itu masih tersimpan.

Masih lekat dalam ingatan saya, bagaimana selama seminggu Didik selalu mendapat undangan sarapan pagi, makan siang dan makan malam, baik dari family-famili saya maupun dari tetangga-tetangga saya yang lain. Masih lekat dalam ingatan saya bagaimana hampir setiap malam selalu ada saja tetangga-tetangga yang datang bermain ke rumah sekadar untuk bertukar cerita dengan Didik yang menurut mereka sangat hangat dan menyenangkan. Masih lekat dalam ingatan saya bagaimana Didik selalu cerewet pada ibu saya karena jarang memakai sandal yang menurutnya tidak baik bagi kesehatan. Masih lekat dalam ingatan saya ketika suatu hari para tetangga memiliki inisiatif untuk mengajak Didik berpelesir ke pantai bersama-sama dengan menaiki pik-up ramai-ramai. Masih lekat dalam ingatan saya bagaimana para family dan tetangga saya selalu datang ke rumah membawa berbagai macam makanan untuk Didik cicipi sampai dia sering berkata, “Orang sini parah. Masak tamu disuruh makan terus sampai kekenyangan begini.” Masih lekat dalam ingatan saya bagaimana Didik pernah terlibat debat urusan ilmu ushul fiqh dengan guru saya yang mengajar materi itu. Masih lekat dalam ingatan saya bagaimana Didik menitikkan air mata ketika dia hendak pulang ke Jogja dan diantar ke terminal oleh para tetangga hingga dua mobil (L 300 & Pick-Up) yang jauhnya sekitar 30 kilometer dari rumah saya. Masih lekat dalam ingatan saya bahwa tak hanya Didik yang menitikkan air mata, tetapi adik saya, ibu saya dan beberapa tetangga saya pun ikut menitikkan air mata sambil berkata, “Kembali lagi…kembali lagi,” sampai Didik mengurungkan niatnya menaiki bis yang hendak berangkat dan menunggu bis berikutnya. Masih lekat pula dalam ingatan saya bahwa seringkali ibu dan beberapa tetangga saya selalu bertanya perihal Didik. Terakhir mereka bertanya perihal Didik pada lebaran tahun 2015 kemarin.

Didik Karyadik dan Keluarga Tercintanya
Didik memang telah menaburkan rasa cintanya ketika dia ikut ke rumah saya beberapa tahun yang lalu. Dan itu bukanlah sikap yang dibuat-buat. Sebab tak mungkin tetangga-tetangga saya akan bersikap sedemikian cintanya juga pada Didik kalau apa yang ditunjukkan Didik hanyalah kamuflase semata. Ya, Allah! Cintailah dia, sayangilah dia.   

Sebelum bulan puasa kemarin, Allah SWT mempertemukan saya dengannya. Dan saya benar-benar tidak menyangka bahwa itulah pertemuan terakhir saya dengan Didik. Banyak hal yang kami ceritakan saat itu. Di antara sekian banyak cerita yang dia omongkan, ada satu cerita Didik yang membuat saya geleng-geleng kepala. Di tempat dia bekerja (Didik adalah pegawai Pemda dan juga dosen), Didik seringkali menerima amplop berisi uang dari bendahara kantornya.

“Saya tidak tahu pasti status uang itu. Tapi saya sudah bertekad bahwa saya tidak akan menerima uang di luar uang gaji saya. Tapi sikap saya ternyata membuat teman-teman kerja saya merasa tidak senang. Saya tak peduli. Saat mereka memberikan uang ceperan lagi, saya terima uang itu. Saya kumpulkan dan kemudian saya kembalikan lagi ke bendahara tanpa serupiahpun yang saya ambil.”  

Kurang lebih demikian yang Didik sampaikan pada saya malam itu sambil kami mengelilingi jalanan Jogja. Saya benar-benar takjub dengan sikap sahabat saya yang termasuk salah satu lulusan terbaik di UIN Sunan Kalijaga itu. Ini sikap yang langka tentu. Dan barangkali hanya sedikit orang yang berani mengambil keputusan heroic sebagaimana telah dilakukan oleh Didik itu.

Oh, Didik! Jauh di dalam lubuk hati, saya meyakini bahwa engkau kembali menghadap Allah dengan membawa kemenangan setelah engkau berhasil mengalahkan besarnya godaan materi yang justru membuat pegawai lain sepertimu banyak yang terlena dan gelap mata dan kemudian lungkrah derajatnya. Engkau telah mengajarkan satu hal berarti buat saya dan teman-temanmu yang lain bahwa jangan pernah coba-coba mengambil sesuatu yang tidak jelas apakah sesuatu itu memang pantas kita terima atau tidak. Engkau benar-benar belajar mematuhi apa kata Nabimu, da’ má yaríbuk ilá má lá yaríbuk. Jadi, pantaslah engkau memilih menjadi mahasiswa jurusan tafsir hadis semasa kuliah dulu.
Didik Karyadik dan Istri


Dalam keyakinanku yang lain, engkaupun adalah pribadi yang tangguh yang memiliki kesabaran teruji waktu. Masih aku ingat bagaimana engkau selalu tak lepas dari alat hirup pereda sesak nafas yang kau hirup ketika asmamu kambuh dulu. Di tengah gempuran asma yang tak putus-putus, yang katamu sudah diderita sejak masih sekolah dulu, engkau masih begitu tekun menyelesaikan S1-S3-mu dengan predikat lulusan terbaik pula. Hanya orang-orang yang sabar, yang masih mampu menorehkan prestasi di tengah ringkihnya tubuh akibat penyakit sebagaimana yang kau derita itu.

Didik! Saat tulisan ini aku publikasikan, engkau memang sudah tak mungkin lagi turut membacanya. Tapi biarlah tulisan ini menjadi sarana bagi saya, bagi teman yang lain untuk membaca lagi jejak-jejakmu yang barangkali hanya sedikit orang yang tahu. Semoga anak-anakmu kelak pun menemukan tulisan ini, membaca tulisan ini hingga ia mengerti bahwa mereka beruntung memiliki seorang ayah yang hebat sepertimu. Selamat jalan, Didik Karyadik. Aku mencintaimu.

Lahulfatihah!   

Cabeyan, 10-8-2015/14:44

Manfaat Makan Sayur Kelor

Mungkin sudah banyak yang mengenal atau paling tidak mendengar tentang daun kelor. Di kampung halaman saya, Madura, tepatnya di Desa Candi Kecamatan Dungkek Kabupaten Sumenep, daun kelor merupakan sayuran favorit yang tidak boleh ketinggalan saat makan.
https://sowolo.files.wordpress.com/2013/02/manfaatdaunkelor.jpg

Di sana, daun kelor dikenal dengan nama Marongghi, mirip sekali dengan nama latinnya, Moringa Oleifera atau Moringaceae. Atau jangan-jangan nama latin kelor itu berasal dari Madura ya....capa tau.

Tapi, saat saya hijrah ke Jawa Tengah, tepatnya di Desa Banjareja Kuwarasan Kebumen, saya mulai jarang menikmati sayur daun kelor. Bukan karena pohonnya tidak ada, melainkan karena masyarakat tidak banyak mengenal bahwa daun kelor ternyata bisa dijadikan sebagai sayuran. Selama ini mereka hanya tahu bahwa daun kelor itu adalah makanan favorit kambing dan daunnya hanya digunakan sebagai alat untuk membersihkan kuku orang yang sedang meninggal ketika mereka dimandikan. Hiiii....!

Karena sudah begitu kangennya saya dengan sayur daun itu, akhirnya suatu waktu saya masak sendiri daun kelor dengan bumbu yang sangat sederhana. Bawang merah, bawah putih, kencur, garam, sedikit penyedap dan gula. Bumbu itu diuleg dan kemudian di rebus bersama daun kelornya, terutama yang masih muda. Sedaaapp...memang. Tak kalah dari daun bayam dan katu.

Daun kelor tak hanya enak dimakan, tapi juga menyehatkan karena berbagai kandungan yang dimilikinya. Bahkan pohon kelor juga berguna untuk menjaga kondisi tanah dan sumber mata air. Silahkan baca  Manfaat Daun Kelor  dan segeralah menanam pohon kelor dan nikmati daunnya sebagai sayuran pelengkap menu makan harian Anda.

Ada Aki Raksasa di Mekkah

Sebut saja namanya Marhamo. Ia Madura tulen. Usianya lima puluh tahun lebih. Seumur-umur belum pernah bepergian ke luar Madura kecuali pada saat naik haji.
Gian Lugi
Add caption

 
Saat sampai di tanah suci, Marhamo dibuat takjub oleh keadaan yang terjadi di seantero lingkungan Masjidil Haram. Bukan pada keadaan masjidnya, ornamen-ornamennya, melainkan pada situasi Mekkah yang menurutnya selalu terlihat terang.
 
"Addoo...kok begiiini Mekkah ya, Ji!" serunya pada salah seorang temannya yang bernama Kaji.
 
"Begini kenapa, Cak?" tanya Kaji.
 
"Luu...tak liat kamu ini. Mekkah ini, tak siang tak malam, teraaanng terus. Kayak siang terus."
 
"Ya, kan banyak lampunya, Cak."
 
Ketika mereka berdua sampai di pelataran Masjidil Haram, si Marhamo kembali berseru dengan lantangnya.
 
"Ji...ji. Pantesan sajja Mekkah ini terang terus. Akinya itu loh. Besaaar sekali. Lihat...lihat," kata Marhamo sambil menunjuk ke arah Ka'bah.

(kisah ini penulis terima dari Bapak Edi Mulyono dengan beberapa revisi)