Diberdayakan oleh Blogger.

Ini Ternyata Rahasia Makan Kala Lapar dan Berhenti Sebelum Kenyang

http://blog.awalbros.com/wp-content/uploads/2014/12/makan.jpg
Siapapun pasti sudah mafhum dengan hadis di atas. Bahkan tak sedikit yang hafal di luar kepala. Namun biar begitu, tak ada jaminan penghafal hadis tersebut sekaligus dapat mempraktekkan apa isinya. Termasuk saya sendiri yang pasti. So, kenapa harus makan di saat lapar? Sementara dunia medis menyarankan agar kita makan dengan penuh keteraturan. Pagi, siang, malam, meski pun perut sebenarnya tidak lapar-lapar banget.
 
Setelah mencoba merenung-renungkan keberadaan hadis tersebut bak ulama hadis beneran, saya memahami bahwa setidaknya ada dua pelajaran penting yang terkandung di dalam hadis tersebut.
 
Pertama, makan di saat perut benar-benar lapar barangkali dimaksudkan agar nafsu kita tidak neko-neko, tidak ribet dan tidak merepotkan untuk hanya soal makanan. Kita mungkin pernah mengalami situasi dimana kita benar-benar lapar. Di saat seperti itu, makan nasi dengan garam saja rasanya sudah nikmat dan lahap. Tak ada sebutir nasipun yang kita biarkan tersisa dan semuanya kita telan dengan penuh kegembiraan.
 
Beda soal kalau kita mau makan di saat perut tidak benar-benar lapar. Karena tidak benar-benar lapar, tentu selera makan kita biasa-biasa saja. Nah, dalam situasi seperti itu kita pun berpikir, "Enaknya makan pakai lauk apa ya, sayur apa ya, sambel apa ya dst..." Kita pun sibuk memikirkan menu yang enak. Biar mahal sekalipun tak masalah, yang penting selera makan jadi tergugah.
 
Kondisi seperti ini jelas berbeda dengan ketika kita mau makan di saat perut memang merasa lapar. Tak perlu berpikir macam-macam sebenarnya andaikan kita mau. Cukup ada nasi, garam dan sebungkus kerupuk saja sebetulnya sudah cukup dan kita bisa makan dengan lahap. Lapar sih. Jadi, makanlah ketika perut benar-benar lapar.
 
Kedua, kalau makan di saat perut merasa lapar bertujuan agar nafsu tidak macem-macem, berhenti sebelum kenyang justru bertujuan untuk mengekang nafsu agar terhindar dari kecenderungan melampiaskan. Berhenti sebelum kenyang sangatlah pararel dengan makan ketika lapar.
 
Bisa dirasakan apa yang terjadi dalam benak kita di saat kita makan ketika perut merasa lapar. Yang pasti adalah keinginan untuk makan banyak dan melebihi porsi biasanya to, yang semua itu ditujukan untuk menghilangkan rasa lapar. Tetapi Nabi menyarankan agar berhenti sebelum kenyang dimana hal itu bertujuan agar kita terhindar dari sikap melampiaskan.
 
Karena itulah kemudian ada puasa yang maknanya 'al-imsak', yakni kemampuan menahan disaat terbukanya peluang untuk melampiaskan. Syariatnya memang mengatakan bahwa puasa itu adalah menahan diri dari makan, minum, merokok dan melakukan hubungan suami-istri di siang hari.
 
Namun hakikatnya, puasa tak hanya berhubungan dengan soal makan, minum, rokok dan seks. Anda tidak korupsi disaat terbuka kesempatan untuk korup, itu juga puasa. Anda tidak colak-colek tubuh perempuan saat lagi berdesak-desakan di pasar padahal kesempatan itu terbuka lebar, itu juga puasa.
 
Dalam mendidik umatnya agar memiliki sikap pengendalian diri yang kuat terdahap godaan hawa nafsu, Nabi mengajarkannya mulai dari hal-hal paling kecil. Salah satunya adalah makanlah dikala lapar dan berhenti sebelum kenyang.        

Spirit Super Jlebb Di Balik Gemuruh Qurban; Sebuah Renungan Pribadi

Motong Binatang Qurban
Hari Raya Idul Adha atau Hari Raya Idul Qurban merupakan peristiwa yang memiliki akar historis begitu panjang, bahkan beberapa abad sebelum kahadiran Rasulullah Muhammad Saw. Cikal bakal dari disyariatkannya qurban ini diperantarai oleh turunnya perintah Allah SWT kepada Nabi Ibrahim melalui mimpinya, dimana Allah meminta beliau untuk menyembelih buah hati yang paling dia cintai, yakni Nabi Ismail As.
 
Tentang peristiwa ini, Allah SWT merekamnya dalam surat Al-Shaffat ayat 102; “Maka tatkala anak itu sampai (pada usia sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
 
Banyak pendapat yang dikemukakan oleh para ulama terkait dengan apa makna dari dialog antara seorang ayah dan anak sebagaimana dilansir oleh ayat di atas. Sebagian kalangan berpendapat, bahwa dialog antara Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail itu mencerminkan kematangan ruhani dua orang hamba dimana kepatuhan dan ketaatannya kepada Tuhan tidak bisa lagi dihalang-halangi oleh pertimbangan apa pun. Termasuk pertimbangan kasih sayang seorang ayah pada puteranya.
 
Nabi Ibrahim, betapapun ia teramat menyayangi puteranya, namun secara jujur dan tegas tetap menyampaikan apa yang diperintahkan Allah untuk dilakukan terhadap Ismail. Sikap yang ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim sungguh merupakan sikap yang tidak akan pernah bisa ditiru oleh kalangan manusia manapun saat ini.
 
Begitu juga dengan Nabi Ismail. Tanpa digelayuti keraguan sedikitpun, beliau justru ‘menantang’ ayahnya untuk tidak ragu dan segera melaksanakan apa yang Allah perintahkan kepadanya. Bahkan Nabi Ismail membesarkan hati Nabi Ibrahim dengan mengatakan bahwa dia akan sabar menerima kenyataan akan perintah Allah yang sangat tidak mudah untuk diwujudkan, terutama oleh manusia dengan ketaatan dan kepatuhan yang sangat rapuh sebagaimana kita.
 
Sementara itu, para ulama sufi memandang bahwa diperintahkannya Nabi Ibrahim untuk menyembelih puteranya, selain merupakan dasar disyariatkannya ibadah qurban, peristiwa itu juga dipahami sebagai sebuah teguran Allah yang sangat keras kepada Nabi Ibrahim. Tentu ada alasan mendasar mengapa Allah SWT memberikan teguran sedemikian kerasnya kepada Nabi Ibrahim berupa perintah menyembelih (mengurbankan) puteranya. Dan alasan inilah yang penting kita renungkan pada saat Idul Qurban.
 
Melalui Al-Qur’an kita mengetahui, bahwa kelahiran Nabi Ismail merupakan sesuatu yang sangat ditunggu-tunggu oleh Nabi Ibrahim. Hingga usia beliau sudah udzur, Allah SWT tak juga memberinya seorang putera. Baru kemudian sesudah memperistri Hajar, Allah memberinya keturunan, yakni lahirnya Nabi Ismail.
 
Betapa senangnya hati Nabi Ibrahim menyambut kelahiran Ismail yang begitu lama dia nantikan. Setiap saat, perhatiannya selalu tercurah kepada Ismail. Layaknya seorang ayah, Nabi Ibrahim pun memberikan cinta dan kasih sayangnya pada buah hatinya itu. Akan tetapi, dalam kapasitasnya sebagai seorang nabi dan rasul, sesungguhnya sangatlah terlarang bagi Ibrahim untuk membagi rasa cinta dan perhatiannya kepada selain Allah.
 
Dalam diskursus sufistik dikatakan bahwa Allah SWT sangat cemburu melihat para kekasihnya menaruh perhatian ‘lebih’ kepada segala sesuatu selain diri-Nya, sebagaimana perhatian Nabi Ibrahim kepada Ismail. Karena itulah Allah menyatakan kecemburuan-Nya pada Nabi Ibrahim melalui dua peristiwa. Pertama, ketika turun perintah untuk meninggalkan Ismail dan Hajar di tanah padang yang sepi dan tandus, dan yang kedua dengan turunnya perintah qurban itu sendiri.
 
Melalui peristiwa Nabi Ibrahim tersebut kita bisa mengambil pelajaran, bahwa untuk mencapai prestasi ruhani-spiritual yang gemilang, kita mesti belajar memalingkan hati kita dari apa pun selain Allah. Termasuk binatang ternak yang karenanya harus diqurbankan, atau harta benda yang wajib dizakati. Mengabaikan perintah qurban maupun zakat bagi yang mampu, sama halnya dengan mengundang kecemburuan Allah pada kita, dimana tidak ada jaminan kita akan sanggup menerima teguran akibat kecemburuan-Nya.
 
Tak ada seorangpun yang cemburunya melebihi Allah. Bahkan karena sifat cemburu-Nya itu, Allah haramkan semua perbuatan buruk dan perbuatan jahat. Begitulah Nabi Saw menegaskan dalam sabdanya. Wallahu A’lam.

Aku Rindu Jubah Abu Bakar

Malampun kian larut. Ketika sunyi menebarkan lelap pada kelopak mata manusia, seorang lelaki terbangun dari tidurnya. Sebenarnya, kantuk yang hebat masih membebat di kedua matanya. Namun ia tak peduli. Direntangkanlah kedua tangannya sambil kemudian bangkit dan berjalan menuju pancuran di belakang rumahnya, tempat ia berwudhu ketika hendak melakukan shalat.

Rasa dingin karena masih ada sisa hujan seketika memantikkan rasa enggan bagi kedua tangannya untuk membuka penutup lubang pancuran itu dan lalu memercikkan bening air dingin ke wajahnya lewat tangkup kedua tangannya yang kasar dan legam.
Kalau bukan karena doa teramat penting yang ingin dipanjatkan malam itu, rasanya tak mungkin ia membiarkan tubuh kerempengnya disergap dingin yang begitu gigil. Akan lebih baik meringkuk di bawah selimut sambil mendekap tubuh istrinya yang penuh lemak. Dan ketika hendak masuk, istrinya yang gendut itu muncul di depan pintu. Seperti biasa, perempuan yang sudah lima belas tahun dinikahinya itu akan bangun malam-malam untuk suatu tugas yang tak mungkin ditunda atau diwakilkan. Kencing. Sesudah itu, seperti biasanya juga, ia akan kembali ke pembaringan. Melanjutkan suara ngoroknya yang memekakkan.
"Apa yang kau lakukan?" tanya istrinya.
"Seperti yang kau lihat. Aku baru saja mengambil wudhu."
Istrinya tersenyum dengan sedikit menyindir. "Aneh. Tidak biasanya kau bangun malam-malam hanya untuk wudhu. Memangnya ada apa?"
"Ssttt!" Lelaki itu meletakkan telunjuk kanannya di depan bibirnya yang hitam. "Jangan bilang siapa-siapa. Malam ini, aku ingin berdoa. Doa yang sangat penting. Aku berharap Tuhan akan mengabulkan. Kalau tidak, aku akan merasa sedih seumur hidupku."
"Memangnya doa apa yang akan kamu minta? Serius banget. Kedengarannya doa yang penting."
"Bukan hanya penting. Tapi bagiku, ini sangat penting."
"Jangan belagu. Katakan saja, apa doamu kalau aku boleh tahu."
Lelaki itu duduk di samping istrinya yang sudah siap melanjutkan kembali tidur malamnya. "Istriku. Tidak cukup sekadar tahu apa doa yang ingin aku panjatkan malam ini. Kalau perlu, kau pun harus ikut berdoa denganku."
"Memang apa doamu?"
"Aku ingin bermimpi bertemu Abu Bakar."
"Busyet. Doa macam apa itu. Aku kira kau mau berdoa supaya Tuhan memberi kita rizki yang banyak. Ternyata hanya minta supaya mimpi ketemu Abu Bakar. Memang siapa dia? Apa istimewanya dia buat kita. Lama-lama tingkahmu makin kelihatan gila. Berdoa saja sendiri sana. Aku masih ngantuk."
Perempuan penuh lemak itu menarik selimutnya. Membiarkan suaminya termangu-mangu sendiri di bibir kasur. Sejurus kemudian lelaki itu segera berlalu dari samping istrinya. Lalu menggelar sajadah kumal dan berbau di atas lantai. Dengan sisa-sisa ingatan pada doa shalat malam yang pernah dia pelajari beberapa tahun yang silam, lelaki itu dengan mantap mengangkat kedua tangan. Melantunkan pekik takbir di tengah malam yang dingin berbalut gerimis.
Shalat dua rakaat sudah selesai dikerjakan. Masih di atas sajadahnya yang buram warna hiasannya, lelaki itu duduk dan tertunduk. Hatinya meratap penuh pinta agar ia diperkenankan bertemu Abu Bakar walaupun hanya di dalam mimpi-mimpi tidurnya.
"Tuhan! Tak bisa lagi kutanggung kerinduanku untuk bertemu Abu Bakar walaupun hanya lewat mimpi-mimpiku semata. Aku ingin sekali melihat wajahnya, warna jenggotnya, senyumannya, deretan giginya saat dia tersenyum. Namun diantara keinginan-keinginan itu, ada satu keinginan yang paling aku idamkan. Perlihatkan kepadaku saat dia memakai baju untuk shalat yang separuhnya penuh sulaman dari daun-daun kurma."
Usai mengucapkan doa itu dalam hatinya, tiba-tiba air mata lelaki itu meleleh. Betapa hangatnya air mata itu hingga seakan-akan mampu mengganti sisa dingin akibat bekas air wudhu yang tadi dia lakukan.
Lelaki itu mengusap bekas air mata di pipinya. Dan masih dalam keadaan terduduk, ia memejamkan kedua matanya, menjalankan imajinasinya menuju sebuah tempat dimana Abu Bakar dulu berada di sana.
Dengan bekal ingatannya pada sejarah Abu Bakar yang pernah dia baca serta doa yang baru saja dipanjatkan dengan hati khusyuknya, lelaki itu semakin yakin bahwa keinginannya untuk melihat Abu Bakar meski lewat mimpi tak lama lagi akan segera terkabul.
Di luar, bunyi gerimis makin terdengar jelas. Diantara desau angin dan sedikit bunyi petir yang sesekali menyambar, lelaki itu seperti mendengar suara-suara dikejauhan. Ya, suara percakapan antara dua orang atau mungkin tiga orang. Tapi siapa yang masih bercakap-cakap di tengah malam sepi dan bergerimis seperti ini. Peronda? Tak mungkin. Tak ada yang bersedia ronda di malam-malam seperti sekarang. Pencurikah? Ah, mungkin saja. Tapi kalau benar mereka pencuri, tentu saja mereka adalah pencuri yang bodoh. Bagaimana mungkin mereka bercakap-cakap dengan suara terdengar jelas seperti itu.
Lelaki itu bangkit dan berjalan perlahan menuju ruang dapur. Suara orang yang bercakap-cakap itu sepertinya memang berasal dari belakang dapurnya yang tak terlalu besar. 
  
  

Terguling Gara-Gara Lampu Sein

https://edorusyanto.files.wordpress.com/2011/06/lampu_sen_retro.jpg
Lampu sein pada motor dan mobil memang dibuat untuk digunakan sebagai pemberi tanda bagi pengendara ketika mereka hendak berbelok. Baik ke kiri maupun ke kanan. Bisa juga (bila nyala bersamaan) sebagai tanda untuk jalan terus lurus ketika melewati perempatan.
 
Ada teori sederhana untuk menyalakan lampu ini. Tak sulit, dan tak perlu hafal rumus kalkulus segala. Asal kabel-kabelnya tidak ada yang korslet, asal lampunya tidak mati, maka Anda cukup menggeser tombol ke kiri-kanan yang sudah tersedia.
 
Tapi ada beberapa hal yang tak banyak disadari oleh pengendara terkait dengan kapan saatnya menyalakan lampu sein ini. Bila Anda tidak memperhatikan bagian ini, maka kemungkinan besar keberadaan lampu sein yang seharusnya meminimalisir kecelakaan justru menjadi pendulang kecelakaan itu sendiri.
 
Hal pertama. Ketika Anda ingin belok kiri-kanan, maka sebaiknya harus dipastikan dengan tepat, kapan Anda harus menyalakan lampu sein. Kalau saya sendiri, saya akan menyalakannya sekitar 100 meter sebelum berbelok ke arah jalan/gang yang saya tuju sambil memperhatikan keadaan di belakang melalui kedua kaca spion. Kalau di depan cukup melalui kedua mata saja..haha.
 
Hal ini penting agar nyala lampu sein yang kedap-kedip macam orang lagi kasmaran dan kelilipan itu menjadi pertanda bagi pengendara di belakang maupun di depan bahwa saya akan berbelok sehingga mereka berinisiatif untuk memperlambat laju kendaraannya. Kalau kondisi di belakang maupun di depan sangat ramai, maka saya akan pelankan kendaraan saya sambil memberikan kesempatan bagi pengendara untuk mendahului/melewati saya sebelum saya berbelok. Ini berlaku kalau beloknya harus motong atau nyebrang jalan. Tapi kalau keadaan lengang dan hanya ada satu dua pengendara yang jaraknya cukup jauh dan memungkinkan bagi saya untuk segera berbelok, maka saya arahkan kendaraan hingga ke tengah-tengah jalan dan barulah kemudian berbelok.
 
Hal kedua. Bagi pengendara yang ingin berbelok dengan memotong jalan dan menyalakan lampu seinnya terlalu dekat dengan jalan/gang yang akan dituju, jelas akan sangat berbahaya bagi para pengendara di belakangnya dan juga bagi Anda. Mereka yang di belakang mungkin mengira Anda tidak akan berbelok, eh tapi tiba-tiba Anda menyalakan lampu sein dan begitu saja motong jalan (berbelok) tanpa lihat spion atau tanpa menoleh kebelakang bagi kendaraan yang tak ada spionnya atau kendaraan yang hanya memakai spion kecil yang tak memberikan manfaat apa-apa. Apa yang terjadi kalau begitu? Kemungkinan Anda akan ditabrak. Mending kalau motor di belakang Anda pelan saja jalannya. Tapi kalau ngebut...? Anda sendiri juga ikut benjut to.
 
Seperti yang pernah saya alami. Motor di depan dengan santai melenggang. Tapi begitu sampai di gang, si pengendara tiba-tiba nyalakan lampu sein dan begitu saja belok/motong jalan. Maka....brakkkk. Tergulinglah dia tapi selamatlah saya. Untung pelan. Sialnya, itu terjadi di depan pasar dan di samping pos polisi. Saya tenang-tenang saja diajak ke kantor Pak Polisi. Surat-surat lengkap, spion lengkap. Sedang orang yang saya tabrak tadi, spionnya sebiji dan itupun kecil.
 
Maka saya berinisiatif untuk ngomong lebih dulu sama Pak Polisi, "Maaf, Pak. Mas ini nyalakan seinnya tiba-tiba saja sambil langsung motong jalan. Padahal saya persis di belakangnya dan saya lihat dia seperti mau jalan terus. Tapi begitu sampai di jalan itu dia nyalakan sein dan langsung saja berbelok. Saya jelas kaget dan tidak sempat menghindar."
 
"Baik, Mas," jawab Pak Polisi, "tapi mohon maaf, bisa kami periksa surat-suratnya?"
Saya pun keluarkan semua surat-surat kendaraan saya. Lengkap. Sementara si mas yang saya tabrak itu kelabakan. Pakai helm sih dia iya. Tapi dia tak bawa SIM. Lagi pula, kata Pak Polisi, spionnya tidak standar dan dia memang salah karena belok secara tiba-tiba tanpa memperhatikan keadaan di belakangnya.
 
Saya berpikir, mungkin bagi mas itu ribet banget kalau harus noleh-noleh ke belakang. Sementara mau lihat spion terlalu kecil dan rendah. Tambah ribet. Lah, kenapa spionnya yang besar malah dicopot kalau tak mau ribet? Haahh....tau ah. Saya akhirnya sama Pak Polisi dipersilahkan jalan terus. Nggak tahu nasib si mas-mas itu.
 
Sepanjang jalan saya berpikir bahwa menyalakan lampu sein itu nggak bisa asal. Ada teorinya juga rupanya. Alhamdulillah, cara saya menyalakan lampu sein selama ini dan ditambah dengan mengedip-ngedipkan lampu rem lewat cakram sebelum berbelok memberikan manfaat. Semoga cerita ini pun bermanfaat bagi sodara. 
 

17 Tokoh Bicara Halal

Cover Buku
Tahun 1997-an, terbit sebuah buku berjudul "17 Tokoh Bicara Halal." Sebagaimana judulnya, di dalam buku itu memang banyak dikupas tentang masalah halal-haramnya makanan yang banyak dijual di pasaran. Ada 17 tokoh yang berbicara masalah ini yang kesemuanya disajikan dalam bentuk wawancara.
 
Isi tentang halal-haramnya makanan memang tergolong sesuatu yang relatif baru di Indonesia. Ada tuntutan yang kuat dari umat Islam terhadap pemerintahan Soeharto waktu itu untuk segera memberikan perhatian terhadap status halal-haramnya makanan. Beberapa tokoh di dalam buku ini menyebut bahwa fenomena itu merupakan salah satu tanda dari tumbuhnya kesadaran keagamaan.
 
Bahkan ada sebagian yang mengkritisi apakah pemberian lebel halal pada makanan itu harus dilakukan MUI atau pemerintah langsung. MUI cukup mengontrol dan memberikan ketentuan tentang seperti apa seharusnya sebuah makanan agar bisa dikategorikan halal.
 
Terlepas dari beragam wacana di dalamnya, ada satu pertanyaan yang diajukan pewawancara yang masih relevan untuk saat ini;
 
Bagaimana hukumnya makanan yang diproduksi oleh pabrik yang mengeksploitasi buruh?
 
Pertanyaan ini sangat bertalian dengan ulasan Cak Nun dalam pengantarnya. Seorang faqih disuguhi segelas air putih, tulis Cak Nun. Kalau memakai prosedur ilmiah, ia akan melakukan audit kimiawi untuk memastikan bahwa air putih itu halal. Kalau tak mungkin bawa laboratorium kemana-mana, mungkin ia berani menanggung kehalalan air itu berdasarkan common sense mengenai air putih serta berdasarkan firasat atau pengetahuan batin bahwa air di gelas itu tak unsur tak halalnya.
 
Namun sesungguhnya masih ada kewajiban kefiqihan lain yang mestinya sang faqih jalankan. Yakni suatu penyelidikan tartil mengenai posisi struktural dan sistemik dari asal usul air di gelas itu. Gampangnya, air itu curian atau tidak. Uang yang dipakai untuk membeli (mengemas, ed) air itu mengandung proses yang menyengsarakan orang atau tidak; dan itu sangat menentukan kadar dan kualitas kehalalan air tersebut (hlm.6).

Filosofi "Jha' Butéran Mon Ngakan" Di Madura.

Pada sepiring nasi yang kita berdoa sebelum memakannya, kita tidak tahu Tuhan meletakkan berkah-Nya pada butir-butir nasi yang mana. Beruntung kalau berkah Tuhan pada makanan itu diletakkan pada semua nasi di atas piring itu. Tapi bagaimana kalau hanya pada sebagian  butiran saja? Karena itu, sebisa mungkin habiskan makanan yang kita makan. Jangan ada yang tersisa. Rasul menganjurkan untuk menjilati jari-jari kita sebelum membersihkannya usai kita makan (HR. Bukhari, no 5035).
http://baitulmaqdis.com/wp/wp-content/uploads/2014/09/sisa-nasi-di-piring-mubazir.jpg


Saya memahami anjuran itu karena dua alasan. Pertama, mungkin agar kita terhindar dari kebiasaan membuang-buang rizki (mubadzir) yang telah Tuhan berikan kepada kita walaupun jumlahnya hanya sebutir nasi (sedikit). Ini penting, sebab kita tidak akan pernah mampu menciptakan sebutir padi/sebutir nasi dan hanya Dia saja yang sempurna mampu menciptakannya.
 
Kedua, barangkali anjuran itu juga terkait dengan berkah tadi. Kita tidak tahu, jangan-jangan Tuhan meletakkan berkahnya pada sebutir nasi yang kita sisakan di atas piring untuk kemudian terbuang percuma di tempat cucian peralatan dapur. Kalau demikian, berarti berkah yang Tuhan letakkan di sebutir nasi itu gagal masuk ke tubuh kita. Padahal kita sudah berdoa, "Ya Allah, berkahilah apa yang telah engkau rizkikan pada kami, dan selamatkan kami dari siksa neraka."
 
Tentu makin miris persoalannya kalau kita terbiasa menyisakan banyak nasi atau tidak menghabiskan nasi yang kita makan dan lalu membuangnya. Kenapa sampai tersisa banyak nasi di atas piring? Barangkali, selain karena kita tidak berpikir bahwa kemungkinan ada berkah Tuhan pada butiran-butiran nasi yang tersisa itu, faktor lainnya bisa saja karena kita sudah kekenyangan atau mengambil nasinya di awal terlalu kebanyakan. "Makanlah dikala lapar dan berhenti sebelum kenyang." Begitu perintah Nabi yang mengajarkan kita untuk tahu menakar, tahu batasan, tahu ukuran.
 
Dulu, para orangtua di Madura selalu mewanti-wanti anaknya dikala makan, "Senga', mon ngakan jha' butéran." Perhatikan! Kalau makan jangan sampai ada sebutir nasi yang terbuang berceceran. Begitu kira-kira terjemahannya. Barangkali, secara tidak langsung para orangtua kita itu juga memahami bahwa siapa tahu Tuhan meletakkan berkahnya pada butiran nasi yang tersisa atau berceceran itu.
 
So, ayo habiskan sarapan pagi kita.