Diberdayakan oleh Blogger.

Setan Kepo

http://images.gofreedownload.net/cartoon-caricature-vector-1319.jpg
Ngadepin orang kepo jelas nggak enak. Tapi buat orang yang suka kepo, nggak ada masalah. Malah kebiasaan kepo begitu bisa jadi sesuatu yang sedap-sedap gimana gitu. Aslinya, kepo itu baik, faen. Kepo nggak bisa dilabeli apa pun. Apalagi label negatif. Kepo jadi kelihatan negatif karena sebagian orang ngerasa risih kalau ada yang kepo kepadanya.
 
Buat saya, nggak apa-apa juga orang mau kepo sama saya. Saya bakal ladenin bagi siapa aja yang mau ngepoin saya. Mereka mau tanya kenapa hidung saya kok pake lubang, kenapa kulit saya kok ireng sampai pada hal-hal yang pribadi sekalipun bakalan saya lawan.
 
Sampai pada batas tertentu, orang boleh aja sebel kesel sama manusia-manusia kepo. Cuma saya kok kepikiran lain ya, gimana seandainya pelaku kepo itu bukan manusia melainkan musuh abadinya manusia. Ya, setan, iblis. Saya ngebayangin seandainya Tuhan berkenan menampakkan setan dan dia kemudian datang pada saya malam-malam pas saya lagi baca buku.
 
"Apa kabar, Mas?"
 
"Baik."
 
"Lagi baca buku ya, Mas?"
 
"Iya."
 
"Boleh ikutan duduk, Mas?"
 
"Boleh aja."
 
"Boleh nanya sesuatu, Mas?"
 
Gue ngangguk aja.
 
"Mau nggak kalau mas aku goda?"
 
"Goda gimana?"
 
"Mas suka minum nggak? Aku bawa bir mahal nih. Dijamin mas bakal hepi?"
 
"Kagak mau."
 
"Walah, jadi mas nggak suka minum ya?"
 
Gue menggeleng.
 
"Kalau gitu, mas sukanya bir apa dong?"
 
"Gue nggak suka minum bir."
 
"Terus, sukanya minum apa Mas?"
 
"Kopi item?"
 
"Waduh, capek deh aku bawa-bawa bir kemari segala. Jadi bener, mas nggak mau minum bir yang aku bawa?"
 
Gue menggeleng lagi.
 
"Kalau gitu, aku aja yang minum gimana Mas?"
 
"Pe'a lu. Minum aja."
 
Yah, asyik kayaknya deh andai setan bisa nampak dan dia kepo sama kita sebelum ngejalanin aksinya menggoda kita. Bisa kita unyel-unyel dulu dia.

    
 

Jangan Korbanin Pulsa Lo Demi Cinta yang Nggak Meyakinkan

Berhubungan dengan orang yang nggak meyakinkan? Hmm....ngeselin banget. Apalagi kalau urusannya udah berkaitan dengan masalah asmara. Weee....merana kuadrat pastinya. Maka nggak ada salahnya dong, dengerin apa kata orang tua.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh14jbirUo9GKLRpBLqrH2lR3aaXhUxZI2-OqtRp7Ht7EYQbHjnCernoecIENuT0WQ6B0uSo7EC5n9SvcZedxOwdC1IR04J29MocgUzywR8JjV9DV6T4BsUQDSLOV9uMATjm-lkIyjAAzU/s1600/handphone-kartun.png

 

"Kalau mau ngejalin hubungan dengan seseorang, lo harus punya keyakinan yang kuat bahwa lo maunya emang sama orang itu. Nggak hanya itu aja. Lo juga harus minta kejelasan sama dia dan lo harus tahu bahwa dia pun punya keyakinan yang kuat untuk hidup sama lo."
 
Jadi, ungkapan cinta macam "gue cinta banget sama lo, gue sayang banget sama lo, hidup gue bakal jomplang seandainya lo ninggalin gue" itu semua nggak berarti apa-apa kalau nggak dilandasi dengan keyakinan. Keyakinan bahwa baik lo maupun dia emang benar-benar mau hidup bersama. Tapi nikah dulu tentunya.
 
Untuk itu, kalau lo belum punya gebetan dan kebetulan ngebet banget sama seseorang, maka yang pertama kudu lo lakuin adalah memastikan keyakinan diri lo masing-masing. Sebab orang yang udah kadung menjalin hubungan cinta dengan seseorang tapi mereka sama-sama nggak memiliki keyakinan pada hubungannya, akibatnya sangat nggak enak. Selain bikin hati kemrungsung juga ngabis-ngabisin pulsa doang.
 
Lho, kok ada pulsa segala?
 
Ya, iyalah. Kalau nggak percaya coba aja hitung. Misalnya, pagi-pagi lo sms si dia;
 
"Say, met pagi." Udah jelas pulsa tekor 150 perak, kalau nggak 350.
 
Si doi pun balas, "Pagi juga, Say." Dia pun kelong pulsanya buat ngebales sms lo. Terus lo balas sms dia lagi.
 
"Lagi ngapain, Say?"
 
"Biasa, baru bangun tidur nih."
 
"Ohh...Say, gue minta tolong nih."
 
"Apaan tuh?"
 
"Tolong gue anterin ke counter dong. Mau beli pulsa. Pulsa gue habis nih buat sms lo."
 
Nah, kan. Ngabis-ngabisin pulsa aja kan.
 
Tapi kalao lo berhubungan dengan orang yang benar-benar meyakinkan bahwa dia emang mau serius sama lo sebagaimana juga lo serius sama dia, maka tekornya pulsa nggak berarti apa-apa dibanding harga keyakinan itu. Bahasa sms nya pun beda.
 
"Pagi, Say."
 
"Pagi juga."
 
"Lagi ngapain nih yang."
 
"Lagi ngapalin ijab kabul biar nggak kikuk pas nanti nikahin kamu."
 
"Owwhh....say. Denger itu, perasaan gue jadi tersandung." heheee...
 
"Eh, ngomong-ngomong, lo nanti pas gue nikahin minta mahar berapa ribu nih yang?"
 
"Satu juga boleh?"
 
"Boleh. Tapi gue ngasihnya seratus ribu aja ya."
 
"Lo kok?"
 
"Ya iyalah. yang sembilan ratus ribunya udah habis buat ngisiin pulsa kamu sejak dari pertama kali kita pacaran. Nih, catatannya lengkap di aku."
 
Blegugg....
 
 

Buka Saja Dong....

http://intisari-online.com//media/images/3083_memaparkan_rahasia-rahasia_kita.jpg
Kata berita, pemerintah nggak akan ngasih tahu nama-nama perusahaan yang udah membakar hutan hingga menyebabkan negeri ini mengalami darurat asap. Lho, emang kenapa? Mestinya kan dibeberkan aja biar masyarakat luas pada ngerti perusahaan milik siapa yang sudah main bakar-bakar hutan segala. Emang itu hutan warisan mbahmu, apa Dab!? Cuihh.....
 
Kalaupun benar pemerintah tidak memberitahu nama-nama perusahaan pembakar hutan dan berikut pemilik-pemiliknya yang bisa jadi mereka berasal dari kalangan pejabat, politikus, lantas apa artinya dong seruan pemerintah agar masyarakat ikut andil dalam mencegah terjadinya pembakaran hutan.
 
Biar upaya pencegahan oleh masyarakat itu efektif, harusnya orang atau pihak-pihak yang sudah nyata-nyata diketahui terlibat dalam membakar hutan kan di publikasikan. Kalau perlu dibalehokan macam gambar cabup-cawabup dan disebar di banyak tempat. Dengan begitu masyarakat kan jadi jelas kalau pembakar hutan di Jambi itu si anu, perusahaan milik si itu, yang bakar hutan di Sumatera ternyata anggota DPR yang namanya ini dan seterusnya. Jadi masyarakat punya sasaran yang pasti untuk dilawan.
 
Lah, ini malah pemerintah nggak mau buka-bukaan. Seandainya dituding melindungi jelas nggak bakalan terima. Alasan-alasan seperti "Yang penting pelakunya sudah dikenai sanksi" itu sama sekali enggak efektif bila usaha mencegah terulangnya pembakaran hutan harus melibatkan masyarakat. 

Saat ini masyarakat sudah geram dengan ulah pembakar hutan. Dan mereka butuh kepastian, perlu tahu siapa yang sudah membakar itu hutan agar di kemudian hari mereka bisa lebih mudah mengontrol seandainya pihak yang hari ini jadi tersangka pembakar hutan itu berencana mau buka lahan lagi.
 
Kalau ditutup-tutupi begini masyarakat kan jadi bingung. Lebih tepatnya khawatir. Sebab siapa tahu kelak pemerintah juga berencana untuk tidak memberitahu publik tentang siapa nama-nama menteri dalam susunan kabinet presiden mendatang.
 
"Yang penting mereka orang pinter, dan sedikit botak."
 
Lalu nama kabinetnya?
 
"Kabinet Rahasia Dong."
 
Hmm....
 

Tahannuts

http://baltyra.com/wp-content/uploads/2011/07/spiritualpractice.jpg
Tahannuts

Aku seru namamu dari sebuah ruang       
yang hanya dihuni oleh semata kerinduan
Waktu seketika menjadi lorong   
masa lalu-masa depan saling melempar diam

Jangan bicara lagi perihal air mata       
sebab isaknya telah jelma ribuan tawa
Tersungging ia selalu
di bibir pecinta terus lapar oleh rindu

Atau sebaliknya           
jangan pukau pada canda tawa
Derainya tak lagi diperlukan           
olehmu, pejalan suntuk dekatnya perjumpaan

Antara isak tangis dan derai tawa       
hanya diammu sanggup mengelus wajah keduanya   

Kebumen, 2014


Hujan
Berdiri di bawah hujan           
yang terasa bukan hanya basah di badan
Gigil memagut kulit               
menggetarkan gairah langit
Anak-anak telanjang               
berlari sepenuh riang
Sorak derai tawa mereka           
mengubur dalam perih luka

Tanah-tanah gembur               
akar pohon makin menjulur
Menelusup ke kelam tanah           
menuntaskan rindu kian bergetah

Aku ingin berlindung               
tapi jika bukan padamu, aku ditikam linglung

Kebumen, 2014

Di Tepi Ladang
Berdiri di tepi ladang               
saat matahari menyusul petang
Burung-burung melintas           
mataku jadi awas

Sebelum segalanya jadi sesuatu       
dalam genggammu hanya ilmu
Oleh ‘kun’ yang terucap           
semesta lahir bertahap
Kujejak-jejak kaki di tanah           
ini rindu jadi tumpah

Sebelum kening menggali sujud       
ihwal cinta kita berpagut
Arah jadi lenyap               
di depanmu timur dan barat hanya alamat
Bila jumbuh mata pandang           
hanya padamu segala pulang

Lalu maghrib tiba               
pukau siang tak lagi teraba
Di langit tampak bulan           
di dalam hati cahyanya bertaburan

Kebumen, 2015.

Lombang
Laut biru langit biru               
pucuk cemara menara rindu
Angin utara membelai pantai           
pukat nelayan menjala derai

Jiwaku runduk                   
hatiku rindu peluk
Bila padamu segala pukau           
kulambai tangan kepada risau

Kunyanyikan lagi Olle ollang           
bertingkah dawai jerit gelombang
Pada sagala sampan yang merapat       
kucium wangi biji keringat

Bagaimana menikam rindu?           
buru
Bagaimana mengikrarkan jumpa?       
luka

Dan memburumu pada jumpa           
rindu luka saling menggoda

Kebumen, 2015.         

Segelas Kopi Untuk Istri
Mari
 

Kutambahkan sesendok gula
untuk memaniskan segala yang pahit di hatimu
Aduk dan seduhlah ia perlahan,
Sebagai cinta atau apa saja
hingga pandanganmu pun kian nyalang
untuk melihat bahwa kau-aku
selalu kental dalam rindu
Kebumen, 2015

Sajak di Basabasidotko

https://sketsadalamsunyi.files.wordpress.com/2015/03/daun-melayang.jpg

Yaasiin
di antara mulut-mulut
yang menggumamkan ayat-ayatmu
aku seperti kehilangan nama hari pada kelender
sepi mengeras
sunyi menderas
yaasiin

doa dan tilawah meluncur
bagai anak panah
mengarah padamu
terkubur tanah

o, barzakh yang terhijab
tempat rindu-ratap saling berpaut
lempar sebutir kabar padaku
yang terus menukilkan arang lelumpur
di lembar harianku
yaasiin

kuraba langit malam yang kesekian
sembari mengincar biji alif
dari lembar kitab kejadian
kemana kata mesti kuucap
dimana rasa harus kukecap
pohon kesetiaan kutanam
untuk kemudian kutumbangkan
betapa pengkhianatan yang begitu sempurna
yaasiin

pada batas segala debu
dimana yang fana dan yang abadi bertemu
aku ingin tegak berdiri
bukan lagi sebagai pohon di belantara hutan
tapi sebagai rusa
yang memilih lelap
dalam rengkuhan cakar sang Singa
yaasiin 


Kebumen, 2015

Kabar Dari Selembar Daun
Yang Gugur

sudahkah sampai kabar itu
padamu
pohon mangga di halaman rumah kita
selalu membisikkan rindu langit
pada setiap dedaunnya yang berguguran

mungkin kita harus memungut daun itu
setiap pagi
dan menjadikannya sebagai kanvas
tempat melukiskan rencana-rencana
yang tak pernah utuh

atau kita biarkan saja
daun itu di sana
mengintip langkah kita
yang terus mengitar-ngitar
dari kecemasan ke kecemasan

sebentar kemudian
angin barangkali akan datang
lalu menerbangkannya ke tempat terjauh
meninggalkan kita
kesepian, lalu menua
sambil terus berbagi terka dan tanya
‘sampai kapan kita setia merawat usia?’


Kebumen, 2015

Hamdalah

aku ingin sekali lagi
kepadamu mengucapkan terima kasih
lalu kubaca jejakmu pada diri
sebagai sungai
yang menjaga rindunya pada muara
terus berkobar

mawar setangkai
mungkin tak pernah cukup menawar senyummu
yang menggores batu-batu
hingga mengucurkan jutaan tetes madu

kujilat matahari
lepas subuh hingga maghrib labuh
panasnya yang berguguran
seakan menderaskan kata-katamu
‘wahai cintaku, wahai cintaku
darimu aku tak pernah jauh’

aku ingin sekali lagi
kepadamu mengucapkan terima kasih
sambil membenamkan sepi dan nyanyi
menanggalkan duri dan nyeri

hingga batas gelora
mendekapmu terlanjur puncak
kubaca sebaris kalimat
yang pernah kuhafal dulu
‘kekasih,
bila kata tak cukup pantas
mengurai kemurahanmu
di sekujur hidupku
maka usap bibirku
agar bisa memberimu senyum
sepenuh waktu’

Kebumen, 2015


Hujan dan Pagi
Menjelang Sarapan


pagi ini, kau harus sarapan
telah kusediakan segelas susu
yang kuperas dari mimpi malam yang genit

tak perlu membaca koran
sebab berita tak akan pernah
mengantarkanmu kemana-mana

lihat saja kaki hujan
di tubuh jendela
ia begitu gelisah
sebab lupa mengingat
jalan pulang menuju langit

katamu, tersesat itu
pahitnya sekeras batu
dan aku hanya menggangguk
meski terkadang
dari sebuah ketersesatan
kita belajar mengenang
banyak jalan

Kebumen, 2015

Ibu dan Sepotong Malam
ibu
malam sudah larut
tapi mataku
begitu sulit dijamah kantuk

kulihat jendela
tirainya terbuka
dan angin kecil pun datang
mengelusnya perlahan

dua ekor kunang-kunang
di luar sana
terbang berkejaran
entah ke mana
dan aku, ibu
terkenang kembali pada kisahmu
tentang dua binatang itu

ibu
malam sudah larut
tapi mataku
begitu sulit dijamah kantuk

kuhirup sisa kopi
kental rinduku berapi-api
berkobar dan menjalar
di antara putaran-putaran jam
yang detaknya
mendebarkan namamu
di dada

jauh darimu, ibu
adalah luka yang tak terkatakan
perihnya membangunkan badai
dan aku kini
seperti nelayan tua
yang terapung-apung
di atas gelombang air matanya sendiri

ibu
malam sudah larut
tapi mataku
begitu sulit dijamah kantuk

ketika jarak
antara engkau dan aku
mencuramkan rindu
aku pun paham, ibu
bahwa air mata paling luka
bukan hanya milik remaja
yang putus cinta
tapi milikku juga
yang memeram rindu
begitu bara

dan aku tak membutuhkan rimba hutan, ibu
jauh darimu
akan sempurna menjadikanku
binatang jalang*
yang terbuang perlahan-lahan
dari rahimmu bertabur kembang

Kebumen, 2015

*diksi milik penyair Khairil Anwar.

Patung Pahlawan

http://www.wowkeren.com/images/news/120312-karya-patung-dari-kawat-kandang-ayam-02.jpg
Sudah lama Saujan memendam keinginannya untuk bisa ikut merayakan upacara kemerdekaan di kampung kelahirannya. Sekitar dua puluh tahun lebih ia pendam keinginan itu. Setelah istrinya meninggal, anak lelaki satu-satunya yang tinggal di kota, meminta dirinya tinggal bersama.
 
Maklum, Saujan yang sudah tua tidak ada lagi yang merawatnya. Apalagi dengan kedua kakinya yang buntung akibat perang. Sejak itulah Saujan tinggal bersama anak, menantu dan juga kedua cucunya di kota dan tak pernah lagi pulang ke kampung halamannya di desa.
 
Meski begitu, Saujan bukannya tak rindu. Pernah sebenarnya beberapa kali ia minta pada anaknya agar diantarkan pulang menjenguk kampung halamannya, terutama ketika hari kemerdekaan tiba. “Aku rindu suasana kemerdekaan di kampung.” Demikian alasan Saujan.
 
Namun, kesibukan kerja yang selalu jadi alasan anaknya membuat Saujan berusaha bersabar. Ia maklum meski sebenarnya tak puas dengan alasan itu. Dan puncak dari keinginannya itu pun terjadi lima hari sebelum hari kemerdekaan tahun ini.
 
“Mintalah cuti pada atasanmu barang tiga hari saja. Lalu antar aku pulang kampung. Bapak ingin sekali ikut upacara kemerdekaan di sana,” kata Saujan suatu sore pada anaknya sepulang kerja.
 
“Tiga hari..!?”
 
“Ya. Tiga hari. Kenapa?”
 
“Terlalu lama, Pak. Upacaranya saja tidak sampai setengah hari. Dua jam paling sudah kelar. Kalau bapak mau, besok saya bisa suruh Kang Ubay untuk ngantar bapak ke sana. Bapak bisa berangkat malam hari agar sampai di sana pagi harinya. Setelah upacara selesai, bapak bisa langsung pulang.”
 
“Tidak. Bapak ingin kau sendiri yang mengantarku. Sekalian bawa serta istri dan anak-anakmu.”
 
“Tapi, Pak. Aku sangat….”
 
“Kapan kau tak pernah sibuk, Khalid,” potong Saujan sambil memajukan kursi rodanya hingga tepat di depan anaknya yang sedang duduk santai sambil melepas lelah. Saujan memandang lekat pada wajah anaknya yang menurutnya sangat mirip dengan wajah mendiang almarhumah istrinya. Pada raut wajah anaknya itu, Saujan menemukan garis gurat kehidupan yang begitu keras dan kaku.
 
“Sudah dua puluh tahun lebih aku hidup di kota ini, Khalid. Dan selama dua puluh tahun itu, aku hanya mengikuti upacara bersama teman-teman kerjamu di kantor. Rasanya kurang mantap buat bapak. Bapak hanya minta waktumu tiga hari saja, Khalid. Hanya tiga hari,” tegas Saujan sambil merapatkan jaketnya. “Bapak juga ingin mengunjungi makam ibumu. Lalu mengunjungi beberapa teman seperjuangan dulu. Siapa tahu mereka masih hidup. Bapak rindu pada mereka semua.”
 
Khalid bergeming sambil menatap wajah bapaknya yang makin keriput. Melihat wajah bapaknya, tak terasa hatinya jadi terusik oleh keharuan mendalam hingga keharuan itu pun larut dalam tetesan air matanya yang sebentar kemudian menitik.
 
“Tapi bila kamu tidak ada waktu….”
 
“Tidak, Pak,” potong Khalid. “Maafkan, Khalid, Pak. Aku akan penuhi keinginan bapak. 
Besok kita akan ziarah pada almarhumah ibu bersama-sama,” ucap Khalid. Begitu perlahan.
 
Tepat di hari kemerdekaan, Saujan bersama anak, menantu dan cucunya sudah sampai di kampung halaman yang dua puluh tahun lebih ia tinggalkan. Mobil yang mereka tumpangi berjalan begitu perlahan karena kondisi jalan yang masih rusak di sana-sini. Dengan mengenakan stelan baju tentara, beberapa buah lencana di dada, Saujan juga menggenggam sebuah topi tentara berwarna hijau tua.
 
Terkenanglah ia akan pemilik topi itu, seorang tentara serdadu musuh yang masih muda, yang dulu berhasil ia tusuk dengan sebilah kelewang saat para serdadu itu menyerang tempat persembunyiannya bersama para pejuang lainnya. Tentara serdadu itu rupanya pura-pura mati saat Saujan hendak pergi setelah mengambil topinya yang sekarang ia pegang. Dari jarak dekat serdadu muda itu tiba-tiba menembakkan pistolnya beberapa kali hingga menghancurkan kedua kakinya.
 
“Kita langsung ke lapangan kecamatan. Teman-temanku pasti hadir juga di sana. Kau masih ingat arah ke lapangan, Khalid?” tanya Saujan.
 
“Masih, Pak.”
 
Tak ada yang berubah dengan situasi kampung itu meski sudah dua puluh tahun lebih Saujan meninggalkannya. Perubahan baru terasa ketika Saujan sudah mendekati lapangan kecamatan. Banyak bangunan-bangunan perkantoran baru yang dibangun di sana. Sekolah-sekolah yang dulunya reot juga sudah mulai diperbaiki.
 
Tapi…patung apa yang berdiri tegak di sana itu? Saujan membatin ketika kedua matanya melihat sebuah patung besar yang berdiri kukuh persis di samping pintu gerbang lapangan kecamatan yang sudah mulai ramai dengan beberapa pegawai yang hendak mengikuti upacara kemerdekaan.
 
“Berhenti disini. Bantu aku keluar dari mobil,” pinta Saujan pada Khalid saat mereka berada persis di samping patung seseorang dengan posisi tangan memberi hormat. Dari atas kursi rodanya, Saujan memperhatikan wajah patung yang berdiri tegak di depannya. Ia sepertinya tidak asing dengan wajah patung itu.
 
“Kakek kenal siapa wajah patung itu? Apa itu teman kakek dulu waktu berperang?” teriak Ridhafi dari dalam mobil. Saujan mengacuhkan pertanyaan cucunya. Pandangannya masih tak lepas dari wajah di patung itu. Tanpa Saujan sadari, seseorang yang sejak tadi memperhatikannya datang mendekat.
 
“Maaf, Pak. Sepertinya bapak ini seorang veteran dan kenal baik dengan sosok patung ini. Patung ini baru selesai dibangun dua hari yang lalu. Masih belum lengkap karena namanya belum dipasang. Rencananya, hari ini Pak Camat yang akan memulai prosesi pemasangan nama atas patung ini.”
 
Saujan menoleh pada orang yang barusan menyapanya. “Ya, aku sepertinya kenal dengan sosok patung ini.”
 
Orang itu tersenyum. “Saya sudah menduganya dari tadi. Dialah pahlawan pejuang kemerdekaan yang berasal dari daerah ini. Namanya Asmar. Dia baru meninggal sebulan yang lalu. Rencananya, sehabis upacara nanti, kami bersama para pegawai kecamatan lainnya akan melakukan tabur bunga di makamnya.”
 
Di atas kursi rodanya, Saujan menghela nafas panjang sambil memejamkan mata. Dadanya tiba-tiba berdegup kencang. Bayangan kelam dan pahit dari setiap peristiwa peperangan di masa lalu seakan tergambar kembali di pelupuk matanya.
 
“Asmar..!” Saujan dengan bibir gemetar berusaha kembali menyebut nama itu. Sebuah nama yang dulu juga pernah disebutkan oleh pemimpinnya, Komandan Alung, sesaat sebelum menghembuskan nafas di tengah-tengah hutan dengan dada hancur terkena peluru musuh. Saujan merasa sangat berdosa dan berhutang janji pada komandannya karena tidak berhasil menjalankan amanah yang dititahkan kepadanya; memburu Asmar, pengkhianat yang diketahui sering menjual informasi tentang tempat persembunyian para pejuang kepada serdadu musuh.
 
Saujan kembali memperhatikan patung di depannya. Darahnya mendidih melihat kenyataan bahwa seorang pengkhianat bangsa yang dulu pernah dia cari-cari bersama komandannya itu sekarang justru berdiri di depannya dengan menyandang gelar sebagai seorang pahlawan.
 
“Khalid. Antar aku ke makam ibumu.”
 
“Loh, bukannya bapak mau ikut upacara.”
 
“Antar aku ke makam ibumu,” bentak Saujan.
 
Khalid buru-buru memapah bapaknya ke dalam mobil dan berlalu dari tempat itu. Sepanjang jalan menuju pemakaman istrinya, Saujan berpikir betapa malangnya bangsa ini, yang tak bisa membedakan arti pengkhianat dengan pahlawan bangsanya sendiri. Sesampainya di kuburan istrinya dan sebelum sempat membaca doa, Saujan ambruk dari kursi rodanya setelah mengetahui bahwa di samping kuburan istrinya, kini terbujur sebuah kuburan baru. Kuburan Asmar.


Kebumen, Agustus 2015.