Diberdayakan oleh Blogger.

TAUBATAN NESSU-HA

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjeo6XVmyMXhDT9ZGnbnz24KHEttxawmS7eC13Qw7uts3JP_oiCrfiXguPLfAEtfEW_eYri_UVQ71PLci0-0z-I6IwnI2RWOu0xAnRQ-P70Cvpzcfu7-7CMnjOtdOxcRrBKxxmmAf9BKE2l/s1600/kartun+berdoa+untuk+dirinya+dan+kedua+orang+tuanya.jpg
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Tuhanmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: "Ya Tuhan Kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
 
Diserunya orang-orang yang beriman agar bertaubat dalam ayat di atas tentu bukan tanpa maksud. Setidaknya kita bisa bertanya, kenapa dalam ayat tersebut Tuhan hanya menyeru orang yang beriman untuk bertaubat? Bukankah yang paling pantas untuk bertaubat adalah mereka yang tidak beriman, yang sudah pasti ketidakberimanan mereka merupakan sebuah dosa dan dapat menjadi alasan yang sangat tepat untuk bertubat?
 
Menurut Imam Ghazali, hakikat taubat adalah kembali dari maksiat menuju taat, kembali dari jalan yang jauh menuju jalan yang dekat. Karena itu, taubat mencakup ilmu pengetahuan, perilaku, amal.
 
Ada dua hal kata Al-Ghazali yang menghantarkan seseorang untuk bertaubat. Pertama, mengenal dosa sebagai suatu dosa. Kesadaran ini akan menyebabkan seseorang menyadari bahwa tindakannya berbuat dosa merupakan suatu kesalahan kepada Tuhan dan karenanya dia harus meminta maaf kepada-Nya.
 
Kedua, keinginan bertaubat bukanlah keinginan yang muncul dengan sendirinya pada manusia. Sebab Tuhanlah 'pencipta' taubat dan sekaligus penggerak sebab-sebab terjadinya taubat itu sendiri yakni adanya keimanan kepada-Nya. Hemat penulis, dengan kesadaran seperti ini, maka ketika di dalam hati kita muncul keinginan untuk bertaubat, maka keinginan itu harus disadari sebagai keinginan yang tidak bersifat otonom atau murni berasal dari diri kita sebagai manusia. Tapi sebaliknya, itu semua merupakan kehendak Tuhan yang menginginkan agar kita kembali ke jalan yang benar.
 
Dengan demikian, maka akan terasa sekali di sini betapa kasih sayang Tuhan begitu luar biasa besarnya pada manusia. Dia seakan mengingatkan manusia untuk segera insaf dengan dimunculkannya keinginan bertaubat dalam diri mereka. Bila kita menyadarinya seperti itu, tentu tak akan ada perasaan sebutir debupun dalam jiwa bahwa kita jauh lebih suci dan terampuni dari orang lain karena selalu bertaubat setiap saat. Mosok rajin taubat tapi kok masih songong, kok masih nessuan sama orang lain!? Berarti taubatan nessuha dong. Bukan nasuha...nye'
 
Lalu kenapa hanya orang beriman yang diseru dalam ayat di atas?
 
Bila kita kembalikan lagi pada pendapat Al-Ghazali, mungkin kita akan mendapatkan gambarannya. Mengapa Allah menyeru orang yang beriman untuk bertaubat? Salah satu alasannya adalah karena sebab-sebab yang memunculkan keinginan bertaubat itu haruslah keimanan. Bila masih ada iman yang mantap dalam hati seseorang, maka taubat yang dilakukan orang itu akan selalu dilandasi oleh kesungguhan yang tercermin dalam sikapnya yang penuh harap (raja’) dan sekaligus takut (khauf) kepada-Nya.
 
Paduan antara kedua sifat yang melandasi taubat ini akan memberikan implikasi atau pengaruh yang luar biasa dalam jiwa. Bertaubat yang dilandasi oleh harapan yang besar untuk memperoleh ampunan-Nya akan membuat yang bersangkutan tidak putus asa untuk selalu memohon ampun kepada-Nya. Sebaliknya, taubat yang dilandasi oleh rasa takut kepada-Nya akan membentuk satu sikap pertahanan dan kewaspadaan diri agar yang bersangkutan tidak kembali lagi terjatuh pada dosa-dosa yang sama.
 
Cuma masalahnya, saat saya bertaubat (beristighfar), hati saya rasanya hambar dari dekapan rasa takut dan penuh harap semacam itu. Keadaan ini sudah pasti karena iman saya yang masih belum mantap. Duh Gusti! Astaghfirullooooh....!

HIDUP ITU TURNAMEN ABADI

https://www.pixoto.com/images-photography/news-and-events/world-events/lomba-lari-5772749444218880.jpg
Dalam suatu kesempatan mengikuti acara darling-an (tadarus keliling) yang waktu itu dilaksanakan di Asrama Garawiksa, seperti biasa, Romo Kiai Edi Mulyono memberikan kulsum alias kuliah sepertinya sepuluh menit dengan menyitir beberapa ayat dalam Al-Qur'an. Kamis malam, 11 Februari 2016 lalu, beliau membahas surat Al-Hadid ayat 21-24.
 
Tentu banyak hal yang dibahas saat itu. Tetapi sepertinya saya tertarik untuk memahami idiom perlombaan sebagaimana menjadi frasa awal pada ayat 21. Di sana Allah berfirman, "Berlomba-lombalah kamu kepada -mendapatkan- ampunan Allah yang luasnya seluas langit dan bumi...." 

Sependek pengetahuan penulis, dalam Al-Qur'an setidaknya terdapat 7 ayat yang berisi idiom lomba/perlombaan, yakni dalam surat Al-Baqarah: 148, Al-Maidah: 48, Yusuf: 17 & 25, Yasin: 66, Al-Hadid: 21 dan Al-Muthaffifin: 26. Enam di antaranya menggunakan kalimat yang berakar pada kata sabaqa, sementara satu menggunakan kalimat yang berakar pada kata tanafasa. Keduanya diterjemahkan sebagai berlomba-lomba/berlomba-lombalah dan seterusnya.
 
Apakah antara sabaqa dan tanafasa merupakan dua kata yang mengandung murádif atau sinonim? Kalau melihat dari hasil terjemahnya, sangat tampak bahwa keduanya memang seperti dua kata yang bersinonim. Namun dalam kajian hermeneutika kontemporer, terutama melalui kajian linguistik disebutkan, bahwa tidak ada sinonimitas dalam Al-Qur’an. Menganggap ada sinonimitas dalam Al-Qur’an sama saja dengan membuka peluang bagi terjadinya reduksi terhadap konsep-konsep yang terkandung dalam setiap term-term kunci dalam Al-Qur’an.
 
Tak percaya..!? Tanya saja Muhammad Syahrur. Dia salah satu pemikir controversial asal Syiria yang tidak setuju bahwa kata-kata seperti Al-Kitab, Al-Furqan dan Al-Dzikr adalah sinonim dari Al-Qur’an. Bagi Syahrur, Al-Kitab, Al-Furqan dan Al-Dzikr adalah term-term yang mengandung konsep sendiri-sendiri. Demikian halnya dengan Al-Qur’an. Tapi, selama ini kita sudah terlanjur memahami bahwa Al-Kitab itu ya maksudnya Al-Qur’an, begitu juga dengan term Al-Furqan, Al-Dzikr. Tapi sudahlah, kita kembali saja pada soal perlombaan tadi.
 
Pertama, hidup ini sesungguhnya merupakan arena tempat manusia berlomba-lomba. Dari keenam ayat di atas, setidaknya ada tiga poin penting berkaitan dengan perintah berlomba-lomba, yaitu berlomba melakukan kebaikan, berlomba memperoleh ampunan Tuhan dan berlomba menggapai surga-Nya. Menariknya, ketiganya saling berkaitan erat sebagai suatu aktivitas yang harus dilakukan manusia untuk memperoleh ridha dan pertolongan-Nya.
 
Ibnu Katsir memahami ayat beromba-lombalah dalam kebaikan pada surat Al-Maidah: 48 misalnya sebagai perintah agar manusia bersungguh-sungguh dalam melakukan ketaatan kepada Tuhan dengan mengikuti semua aturan (syariat) yang tertera dalam Al-Qur’an. Titik tekannya di sini ada pada keberadaan Al-Qur’an yang telah mengganti dan menyempurnakan syariat-syariat sebelumnya. Jadi, maksud berlomba dalam kebaikan di sini adalah kebaikan-kebaikan yang didasarkan pada semangat dan spirit moral Al-Qur’an.
 
Sementara At-Thabari menjelaskan bahwa perintah berlomba dalam kebaikan sebagaimana tertera pada surat Al-Maidah di atas akan tercermin dengan cara membiasakan diri secara konsisten melakukan perbuatan-perbuatan yang diperintahkan dalam Al-Qur’an (biidmánil ‘amali bimá fí kitábikum alladzí anzalahú ilá nabiyyikum). Gagasan At-Thabari ini, hemat saya, lebih menekankan pada metode akan terwujudnya perlombaan itu sendiri. Sementara Ibnu Katsir pada gagasan tentang dari mana konsep kebaikan itu harus diperoleh.
 
Kedua, perintah agar manusia berlomba dalam kebaikan secara tidak langsung juga memberi peluang pada kita untuk memahami tentang gagasan-gagasan mengenai kebaikan itu sendiri. Kata al-khairat (jamak dari khair) pada petikan ayat yang berbunyi fastabiqu al-khairat jelas mengindikasikan betapa sesungguhnya ada banyak jenis kebaikan di dunia ini yang tersebar dimana saja serta bisa kita pelajari substansi pesan moralnya dan kemudian kita jadikan sebagai inspirasi untuk kemudian diterapkan dalam kehidupan kita sendiri.
 
Dugaan saya, mungkin inilah alasannya kenapa dalam surat Al-Maidah ayat 48 itu, sebelum Allah berfirman fastabiqu al-khairat, Dia lebih dulu menegaskan, ‘untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang,’ (lukullin ja’alna minkum syir’atan wa minhaja). Wallahu A’lam, saya hanya menduga-duga saja, bukan menafsir atau menta’wil. Namun bila dugaan saya bisa diterima, maka sesungguhnya kedua kalimat dalam satu ayat itu (likullin ja’alna….hingga… fastabiqu al-khairat) dapat dijadikan sebagai penguat terhadap gagasan akan pentingnya saling melakukan proses pembelajaran dan dialektika dengan siapa saja di dunia ini sehingga pada akhirnya akan tercipta apa yang oleh Bassam Tibbi disebut sebagai moralitas internasional, suatu parameter teoritis yang awalnya digunakan untuk mengatasi konflik peradaban antara Islam dan Barat.
 
Ketiga, luasnya gagasan-gagasan tentang kebaikan juga sebanding dengan luasnya pengampunan Tuhan sebagaimana tersirat dalam surat Al-Hadid ayat 21. Di dalam ayat tersebut Allah SWT memerintahkan agar manusia berlomba mendapatkan ampunannya (maghfiratin). Di situ Allah menggunakan frasa maghfiratin yang merupakan bentuk kalimat isim. Dalam studi Ulumul Qur’an disebutkan bahwa kaidah isim mengandung pengertian sebagai tetapnya sesuatu atau berlangsungnya sesuatu secara terus-menerus. 
 
Implikasi dari kata maghfirah yang berbentuk isim menegaskan betapa ampunan Allah akan selalu ada dan terbuka sampai kapan pun pada manusia selama mereka belum sakarat, dunia belum kiamat serta mereka tidak terjerumus dalam kemusyrikan. Maka berlomba-lombalah dalam menggapai pintu ampunan Tuhanmu, karena pintu ampunan-Nya selalu terbuka terus menerus sepanjang waktu. Sih!
   
Kebumen, 16 Februari 2016.
 

  

Aku, Kamu, Kita dan Syiah...

Coba pikirkan. Saat ke hadapan orang-orang yang bernaung di bawah bendera Sunni, Pendekar Khilafah dan Ahlul Cingkrang disodorkan kata Syiah, apa kira-kira yang terletup di benak mereka? Banyak letupan tentu, mulai dari 'mereka bukan Islam, rayap agama, musuh yang harus dibasmi' dan masih banyak lagi letupan-letupan lain yang intinya menempatkan si Syiah sebagai yang tidak baik. Demon. Dan itulah prejudice.
 
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi7qGfUsRUeASP6btq17TWNodk1EFcF2t_I0blOyDc1zzDsUHM3C7cCFgT6qRH4cvAVb0WDpPHmvLc68YHmbDv2oXuO_4cjJZklPJffqrxDUaaq3E9d22Mr9goCV3Gza4KQEP2pdla40n1i/s1600-h/1Bedaween.jpg
Gampangnya, prejudice itu adalah gambaran-gambaran kesimpulan yang sudah diambil seseorang saat melihat/menilai sesuatu jauh sebelum dia meneliti tentang sesuatu itu dengan detil. Dan seandainya diteliti dengan detil, sangat mungkin ada banyak hal yang tidak sepenuhnya sama dengan kesimpulan awal yang dia buat.
 
Sama seperti ketika orang mendengar kata Syiah tadi. Yang muncul pertama kali di benak mereka adalah, mereka bukan Islam, harus ditumpas, harus dibenci sampai ke akar-akarnya dan seterusnya. Prejudice awal yang dibangun bahwa Syiah bukan Islam tentu menegaskan satu kenyataan bahwa yang bersangkutan memandang Syiah hanya dari sisi ideologisnya semata. Wajar saja begitu. Apalagi sikap alergi akan Syiah sudah dibangun mulai dari kegiatan-kegiatan intelektual beserta produk-produknya. Termasuk dalam wacana hukum Islam.
 
Contoh.  Saat Abdul Wahhab Khalaf dalam 'Ilmu Ushúli al-Fiqhi menguraikan tentang rukun ijma', beliau mengajukan untuk semata mempertimbangkan para mujtahid Haramain, Iraq, Hijaz, Alul Bait dan Ahlussunnah. Lalu menutupnya dengan kalimat Dúna Mujtahidi al-Syí'ah. Efeknya sungguh luar biasa. Karena kitab tersebut dipelajari secara suntuk di pesantren, tak ayal para kalangan pesantren yang nota bene Ahlussunnah seperti merasa terteror saat kata Syiah disebutkan.
 
Bolehlah Syiah dipandang demikian dari kacamata ideologisnya. Tapi Syiah apakah hanya memiliki sisi ideologi untuk diteliti? Tentu tidak. Syiah itu sebuah organisme yang hidup. Kita bisa mempelajari banyak aspek dari mereka seperti bagaimana cara mereka sekarang berpolitik, cara mereka berekonomi,  cara mereka belajar dan sebagainya. Dan untuk yang saya sebutkan terakhir ini saya sungguh kagum pada Syiah. Konon, salah satu kebijakan dalam dunia pendidikan yang diterapkan di Iran adalah melarang para pelajar mengutip buku apabila pengarangnya sudah mati. Alasan mereka simpel. Kalau ada kesalahan, kita tidak bisa melakukan konfirmasi.
 
Sepintas kebijakan itu terdengar konyol. Kalau tak boleh mengutip buku karena pengarangnya sudah mati, berarti di sana banyak sekali buku-buku terbuang percuma. Bagus tuh seandainya pergi kesana untuk jadi tukang rongsok kertas. Tapi selain terkesan konyol, saya justru melihat bahwa di balik kebijakan itu mungkin ada semacam harapan agar para pelajar di sana tidak terlalu bergantung pada pemikiran tokoh-tokoh sebelumnya yang sudah mati sehingga mereka tergerak untuk mencipta penemuan dan pemikiran yang baru. Selain itu, disarankannya untuk hanya menggunakan referensi buku yang penulisnya masih hidup mungkin agar dengan demikian para pelajar dapat selalu bertukar pikiran, saling melakukan koreksi, saling bertukar wacana dengan si pengarang sehingga buku itu dapat selalu menemukan pengkayaan demi pengkayaan pemahaman yang bisa terjadi akibat terciptanya suasana dialogis yang terus menerus. Itu sih dugaan saya. 
 
Intinya, ada banyak sisi dari Syiah yang bisa kita pelajari selain hanya memandangnya dari aspek ideologi mereka. Dan tidak menutup kemungkinan dengan mempelajari sisi-sisi Syiah lainnya, kita justru bisa mendapatkan ilmu, pengalaman dan inspirasi positif dari mereka yang bakal berguna untuk kita. Dan itu bisa terjadi kalau kita tidak menyimpulkan tentang Syiah hanya berdasarkan prejudice belaka. Siapa tahu kan..!?
 
Kesadaran-kesadaran seperti ini saya rasa penting kita miliki. Setidaknya dengan begitu hati kita tidak hanya terisi oleh semata-mata kebencian demi kebencian. Saya terkesan ketika istri mendiang Gus Dur ditanya oleh Andy dalam acara Kick Andy; "Lebih senang mana, menjadi istri Gus Dur sebagai presiden, sebagai ulama, sebagai kiai atau apa?"
 
"Mau Gus Dur presiden, ulama, kiai atau orang biasa, saya selalu senang menjadi istrinya Gus Dur."
 
Dari jawaban itu mungkinkah kita bisa membuat analog yang hampir sama? Setidaknya kita bisa berkata misalnya, "Mau ada Syiah, Khawarij, Mu'tazilah, Sunni, saya akan selalu senang bila kita bisa hidup tenang berdampingan, saling mempelajari dan memahami untuk menguatkan dunia kemanusiaan."
 
Terus, kalau saya berbicara begini kamu akan menyebut saya sebagai Syiah? Ya, monggo. Tak tahlilan sik, nyong.
 
Kebumen, 13 Februari 2016