Diberdayakan oleh Blogger.

TAWANAN

Oleh: Achmad Faqih Mahfudz

Hari-hari berlalu
Nabi-nabi berlalu
Tuhan datang dan pergi
Di padang-padang diri ini

Impian dan kenyataan
Bertempur dalam diam
Berebut kekuasaan
Alam khayal tanah jajahan

Betapa malang betapa malam
Diri terkungkung keinginan
Tak terungkap oleh kiasan
Meledak diri di lubuk diam

Dukaku lebih duka dari duka para utusan
Yunus tertawan perut ikan
Jiwa tertawan keinginan
Diri sekarat menempuh jalan
Memanggul mayat alam ciptaan

Telah cukup hari, telah cukup hari
Telah cukup nabi-nabi
Mengantar bercawan-cawan anggur ke diri ini
Mengajak mabuk bersama di taman surgawi
Sebagaimana Hafiz, Rumi, juga Sana'i
Berdansa dengan musik ilahi

Tapi surga hanyalah dukacita
Bagi ia yang jatuh cinta
Kekasihlah wajah damba
Hilang dia hilang dunia
Hilang segala-gala

PELAJARAN BERHARGA DARI SEEKOR KUCING PELIHARAAN

Ataka dan Kucingnya Lagi Tidur
Suatu waktu di hari Jum'at, bertepatan dengan hari dimana istri saya boleh pulang dari rumah sakit setelah lima hari opname akibat typus, dalam perjalanan menuju rumah sakit saya menemukan dua ekor anak kucing merayap-rayap di tengah jalan raya. Masih sangat kecil kedua anak kucing itu. Yang satu berwarna orange putih, satunya berwarna hitam abu-abu. Entah bagaimana kedua anak kucing itu bisa berada di tengah jalan. Karena khawatir dilindas kendaraan, keduanya saya pungut dan saya bawa pulang.
 
Merawat anak kucing yang masih bayi, tentu sangat sulit melakukannya. Apalagi mereka masih perlu ASIK alias Air Susu Ibunya Kucing. Karena tak mungkin mencari induknya, jadilah saya sebagai orang tua asuh bagi kucing-kucing balita itu. Setiap pagi mereka saya buatkan susu, dikasih makan pindang. Tidak lupa juga setiap pagi dan sore dilap dengan kain yang diberi dettol mengingat anak saya sering megang-megang mereka berdua.
 
Hari demi hari, kedua kucing itu makin bertambah besar. Namun sayang, kucing yang berwarna hitam abu-abu pergi entah kemana. Tinggallah kucing berwarna orange sendirian yang menjadi teman hiburan saya sekeluarga. Terutama anak saya yang begitu menyayanginya. Kucing orange itu jinaknya menggemaskan. Kalau saya jalan-jalan pagi hari dia ikut di belakang. Kalau saya lari, dia ikut lari mengejar. Kegemarannya yang lain adalah menangkap tikus di dapur.
 
Satu lagi yang membuat saya sekeluarga sangat sayang kepada itu kucing; bila dia berak atau kencing, keduanya dilakukan di kamar mandi tepat di lubang comberan. Setiap hari dia tak pernah pergi kemana-mana. Malam hari ikut tidur di kamar bersama-sama. Bila malam-malam kami bangun untuk kencing, dia pun ikut pergi ke kamar mandi dan lalu kencing. Di siang hari, kerjanya hanya tidur dan ikut duduk di samping saya, istri saya atau anak saya kalau sedang belajar mengaji. Kami memberinya kalung rantai kecil berwarna kuning sebagai tanda bahwa kami sangat terhibur olehnya.
 
Kucing itu, benar-benar menunjukkan pengabdiannya kepada keluarga saya dengan tingkah polahnya yang lucu dan menggemaskan serta ketangkasannya mengusir tikus. Maka tak heran kalau istri saya selalu membelikannya ikan pindang yang memang secara khusus diberikan untuk dia. Dan sesekali, dia pun dapat jatah minum susu sachet yang dibuat dalam mangkok kecil. Bila kebetulan saya memancing, dia pun ikut menunggui saya di pinggir sungai dan terlihat betapa girangnya dia saat mata kail saya berhasil disambar ikan. Bila yang nyangkut di kail hanyalah ikan-ikan kecil, saya memberikannya dan dia menyantapnya dengan begitu lahap.
 
Memperhatikan kucing itu, saya berpikir betapa mewahnya apa yang didapatkan kucing saya itu. Dia tidak bekerja apa-apa selain hanya mengabdi kepada tuannya dengan tingkahnya yang membuat kami terhibur melihatnya. Tapi apa yang dia peroleh? Jatah pindang setiap hari dan juga susu. Untuk mendapatkan pindang, dia tak perlu mengais-ngais di pasar. Untuk minum susu, dia tak perlu susah-susah mendapatkannya sebab kami dengan senang hati akan memberikannya sebagai balasan atas pengabdian yang dia lakukan.
 
Sampai di sini, saya akhirnya memahami jawaban atas pertanyaan-pertanyaan saya; kenapa ada orang yang rejekinya selalu lancar meski dia tidak bekerja (bekerja seperti pada umumnya) dan sehari-hari hidupnya hanya digunakan untuk mengabdi kepada Tuhan dan melayani masyarakat. Maha benar Allah yang berfirman dalam hadis qudsi-Nya, "Wahai dunia, mengabdilah kepada orang-orang yang mengabdi kepada-Ku."
 
Kucing atau anjing saja rejekinya ditanggung habis-habisan selama dia mengabdi pada tuannya, apalagi kita manusia yang sudah pasti rejeki kita akan ditanggung  oleh Tuhan bila kita benar-benar tulus mengabdi kepada-Nya. Mari dan semoga saya, kita semua tidak putus asa dan selalu tulus mengabdi kepada-Nya. 

Terima kasih kucingku. Kau adalah salah satu ayat-ayat Allah yang telah membuatku memahami arti sebuah pengabdian.
 
Salam meonnngggg. Semoga bermanfaat.

Kebumen, 13 Juni 2016

BERDOA UNTUK BISA MEMBELI ROKOK

Saya masih ingat dengan pernyataan Cak Kuswaidi Syafiie pada tanggal 17 April 2016 lalu. Beliau berkata bahwa harta yang paling berkah menurut kacamata tashawwuf salah satunya yang diperoleh dengan jalan tawakkal kepada Allah tanpa harus bekerja dan dipergunakan untuk mengabdi kepada-Nya. Apakah mungkin memperoleh harta tanpa harus bekerja? Sangat mungkin. Sebab bagi Allah, untuk memberikan harta kepada hamba-Nya, baik melalui perantara kerja atau tidak sama sekali, keduanya sama-sama mudah bagi-Nya. Kemudian harta berkah yang kedua adalah harta yang diperoleh dengan cara bekerja dan kemudian digunakan untuk mengabdi kepada-Nya.
 
Untuk bisa mendapatkan harta dengan cara yang pertama, tentu diperlukan kualitas tawakkal, keimanan, kesucian hati dan pengabdian yang total kepada-Nya. Seseorang bila sudah sampai pada tahap ini, maka berlakulah baginya firman Allah sebagaimana termaktud dalam hadis qudsi, "Wahai dunia, mengabdilah kamu kepada orang-orang yang sepenuhnya mengabdi kepada-Ku."
 
Terkait dengan masalah rejeki, maqam saya tentu saja masih berkutat di level kedua, yakni bekerja meski sayangnya rejeki yang diperoleh tidak sepenuhnya buat mengabdi kepada-Nya. 

Namun ada kejadian menarik hari ini yang saya alami sendiri terkait dengan betapa mudahnya bagi Allah untuk memberikan rejekinya kepada saya meski saya tak bekerja apa-apa selain hanya berdoa.
 
Sejak kemarin, saya nyaris tak punya uang sama sekali untuk membeli rokok. Bila tidak punya uang, saya pantang meminta uang kepada istri kalau untuk digunakan buat beli rokok. Bagi saya, lebih baik hutang rokok dulu daripada harus minta kepadanya. Kalau saya dapat uang, maka 60% saya berikan kepada dia, sedangkan 40%-nya buat biaya bensin, pulsa dan rokok.
 
Nah, dari kemarin anggaran buat beli rokok sudah habis. Jelas saja saya bingung hingga rokok pun saya irit-irit. Kalau biasanya saya pakai rokok filter, maka sejak menipisnya anggaran itu terpaksa saya pakai rokok kretek. Di saat seperti itu, istri saya cerita kalau dia dapat bayaran ini dan itu dari sekolah. Namun saya tetap tak mau meminta kepadanya kalau untuk beli rokok. Urusan rokok adalah urusan saya dan saya tak mau merecokinya.
 
Dalam kondisi seperti itu, apa jalan keluar yang bisa saya lakukan? 

Saya mencoba untuk tidak berhutang, tapi berdoa. Ya, berdoa sesering mungkin dari kemarin dengan doa yang benar-benar saya baca secara vulgar kepada Tuhan dengan suara pelan. Kepada-Nya saya meminta agar diberikan uang untuk membeli rokok...heheee. Geli juga saya kalau mengingat doa ini. Sebab sebagian kalangan menuding rokok itu haram dan ada juga yang bilang makruh. Lha saya kok malah berani-beraninya minta uang buat beli rokok sama Tuhan. Yowiss...bhen.
 
Apa yang terjadi kemudian....? Duh....Gusti! Terima kasih sekali karena Engkau pun akhirnya memberi saya uang buat beli rokok. 

Ceritanya, sore tadi saya datang ke panti asuhan tempat saya biasa mengajari ngaji anak-anak di sana. Seperti biasa, meski pemilik panti itu adalah seorang penguasaha kaya yang memiliki toko emas, toko pakaian, toko hp dan klontong, namun saya tak menerima gaji bulanan sepeserpun. Sudah lima tahunan saya ngajar ngaji di sana. Mungkin orang berkata saya konyol karena tak meminta gaji padahal pemilik pantinya baru bangun rumah miliaran rupiah. Yowiss...konyol ya konyol....ora urusan.
 
Selesai ngaji bersama anak-anak dan sedikit cerita-cerita bersama mereka, kok tiba-tiba malah ada seseorang yang mendekati saya dan bersalaman dengan saya. Saya kira dia mau salaman biasa, tapi ternyata ada amplop yang terselip di tangannya. Ini untuk bapak, katanya. Saya diam sejenak dan kemudian mengucapkan terima kasih kepadanya. Saya tak sempat ngobrol banyak dengan dia sebab anak-anak riuh meminta jatah buka puasa karena adzan maghrib sudah tiba.
 
Terima kasih ya Allah. Akhirnya saya bisa membeli rokok lagi....      

Kebumen, 10 Juni 2016

ATAKA DAN DOA-DOANYA

Ataka Berdoa
Usai mengikut jalan-jalan sehat, Ataka enggan diajak pulang. Rupanya dia termakan promosi kupon berhadiah yang disediakan oleh panitia.
 
"Yah, apa Ata bisa dapat hadiah?" tanyanya penuh harap. Saya bingung menjawabnya karena kalau tidak dapat hadiah dia pasti minta hadiah pada saya meski paling banter hadiah yang diminta hanya es krim.
 
Kemudian saya berkata, "Kamu berdoa saja kepada Allah dalam hati, semoga kamu dapat hadiah." Dan betapa girangnya dia karena setelah itu dia benar-benar dapat hadiah. Baju koko lengkap dengan celana dan pecinya.
 
"Nah, benar kan. Allah senang kalau kita meminta kepada-Nya. Dia pasti akan mengabulkan," jawab saya.
 
"Berarti kalau Ata minta terus, pasti Allah kasih terus?"
 
"Tidak. Allah akan kasih pelan-pelan biar tidak cepat habis. Kadang dikasihnya sekarang, kadang besok, kadang satu tahun lagi. Kadang berapa tahun lagi." Dia diam. Entah apakah dia paham.
 
Beberapa hari berikutnya, saat ikut lomba mewarnai, saya kembali mengingatkan, "Kalau mau dapat bingkisan, jangan lupa berdoa." Saya lihat dia seperti berkomat-kamit. Saat pengumuman, dia pun dapat hadiah hiburan berupa mangkok warna hijau dengan motif daun.
 
"Yah, doanya Ata dikabulkan. Tapi hadiahnya kok mangkok ya. Padahal Ata tadi berdoanya minta piala," katanya.
 
"Allah tidak ijinkan kamu dapat piala. Allah cuma ijinkan kamu dapat mangkok. Sebabnya mangkok itu mungkin yang kamu butuhkan."
 
"Nggak kok. Ata nggak butuh mangkok."
 
"Sebentar lagi kan puasa. Kalau kamu mau beli bubur atau es buat buka puasa enaknya kan ditaruh di mangkok."
 
"O...iya. Ata lupa."
 
Dan hari tadi, listrik di rumah padam sampai menjelang isya. Ataka gusar karena rencananya sehabis maghrib dia ingin menulis surat kepada sepupunya dan juga simbah puterinya di Madura. Dia terobsesi ingin punya sahabat pena seperti halnya dalam episode Upin-Ipin kesayangannya.
 
"Duuuh....ini tukang pln-nya gimana sih. Listrik kok dimatikannya lama sekali. Apa lupa paling ya nggak dinyalain?" gerutunya.
 
"Gimana kalau berdoa semoga listriknya bisa cepat menyala," kata saya.
 
"O..iya benar," katanya sambil kembali mulutnya berkomat-kamit. Dan benar saja, kurang dari tiga menit kemudian listrik menyala. Dia girang bukan main sambil melompat-lompat. Saya tersenyum dan kemudian teringat kata-kata Cak Kuswaidi Syafi'ie tentang pentingnya mendoktrin anak dengan masalah-masalah ketuhanan sejak dini.

Kebumen, 9 Juni 2016

MASJID YANG RAMAI DAN MASJID YANG SEPI

http://ichef.bbci.co.uk/news/ws/660/amz/worldservice/live/assets/images/2015/06/26/150626125505_masjid_640x360_afp.jpg
Di sebuah desa, ada dua bangunan masjid. Namanya Masjid Baiturrahman dan Masjid Baiturrahim. Meski kedua masjid itu letaknya berdekatan, namun suasana kedua masjid tersebut sangatlah berbeda, terutama di kala masuk waktu shalat. Di Masjid Baiturrahman, suasana cenderung sepi usai adzan dikumandangkan. Para jamaahnya duduk berdzikir dengan suara pelan. Sebaliknya di Masjid Baiturrahim suasana terdengar ramai. Usai adzan, muadzdzinnya membaca pujia-pujian melalui pengeras suara, diikuti oleh jamaah yang sedang menunggu iqamah di belakangnya.
 
Bunyi puji-pujian dari pengeras suara Masjid Baiturrahim terdengar jelas ke Masjid Baiturrahman. Bahkan puji-pujian itu masih terdengar saat shalat sudah ditegakkan di Masjid Baiturrahman. Suara puji-pujian itu dibaca sembari menunggu datangnya jamaah. Namun hal itu rupanya dianggap sebagai gangguan oleh salah seorang takmir Masjid Baiturrahman.
 
"Itu orang-orang di Masjid Baiturrahim maunya apa sih. Puji-pujiannya bikin ganggu kita di sini yang sedang shalat. Mbok nggak usah pakai pengeras suara kan bisa," kata si takmir dengan muka masam.
 
Karena merasa selalu terganggu, suatu ketika si takmir bermaksud mengadukan masalah itu. Tapi dia tidak tahu hendak mengadukan persoalan tersebut kepada siapa.
 
Suatu hari, datanglah seorang lelaki tua ke Masjid Baiturrahman menjelang shalat Dhuhur. Sembari menunggu iqamah, lelaki ini membaca puji-pujian dengan suara yang sedikit dikeraskan. Melihat hal itu, si takmir Masjid Baiturrahman makin jengkel dibuatnya. Sehabis shalat, si takmir itu pun menegur lelaki tua tersebut.
 
"Hai, Pak. Di sini kalau mau puji-pujian atau dzikiran, sebaiknya dibaca pelan-pelan saja."
 
"Loh. Memangnya kenapa?"
 
"Mengganggu. Tadi bapak kan lihat, di sebelah bapak ada jamaah yang lagi shalat sunnah. Kalau bapak puji-pujiannya dikeraskan, itu kan mengganggu kekhusyukan jamaah yang shalat sunnah itu."
 
"Oh, jadi kamu yakin jamaah yang shalat tadi tidak akan khusyuk dengan dzikir yang saya baca?"
 
"Pasti."
 
"Bagaimana kalau dia justru semakin khusyuk. Semakin ingat pada Allah."
 
"Tidak mungkin. Kalau bapak mau dzikiran dengan suara keras seperti tadi, ya sana di Masjid Baiturrahim."
 
"Baiklah kalau begitu. Saya minta maaf sebelumnya. Tapi, bolehkah saya menceritakan sesuatu kepada Anda?"
 
"Mau cerita apa?" tanya si takmir dengan ketus.
 
"Konon, ada orang datang berkunjung ke rumah alm. Mbah Hamid Pasuruan bersama beberapa orang tamu lainnya. Kepada para tamunya itu, Mbah Hamid berkata kalau shalat itu cobalah baca surat-surat Al-Qur'an yang panjang-panjang ayatnya. Kemudian seorang tamu dari Madura membatin, bagaimana kalau tidak hafal surat-suratan yang panjang itu. Setelah membatin seperti itu, Mbah Hamid kemudian menjawab, "Kalau tidak hafal, pegang Al-Qur'an." Tamu yang dari Madura itu terkejut karena Mbah Hamid dapat membaca pikirannya. Dia kemudian membatin lagi, masak shalat sambil pegang Al-Qur'an, bukankah kata fiqih itu bisa batal. Selesai membantin seperti itu, Mbah Hamid kembali menjawab, "Memegang Al-Qur'an dalam shalat bila benar-benar diniatkan untuk Allah tidak menjadikan shalatnya batal." Nah, begitulah ceritanya mas takmir," kata lelaki tua tersebut.
 
"Cerita itu apa hubungannya dengan saran saya tadi?"
 
"Begini, mas. Kalau Anda shalat dan kemudian Anda merasa terganggu dengan dzikiran yang dibaca dari masjid sebelah, berarti Anda tidak khusyuk dong. Suara dzikir kok malah membuat shalat Anda tidak khusyuk, itu bagaimana bisa? Pasti semua itu terjadi karena dasarnya Anda tidak suka pada orang dzikiran pakai pengeras suara. Jangan fokus pada pengeras suaranya, tapi fokuslah pada apa yang dibacanya. Kalau fokus pada pengeras suaranya, apalagi didasari oleh rasa tidak suka, maka dzikir pun jadi salah dalam pandangan Anda. Harusnya suara dzikir itu makin membuat Anda tambah khusyuk. Bukan sebaliknya."
 
"Nggak bisa seperti itu, Pak. Anda ini mengada-ada saja."
 
"Begini saja. Kalau seseorang benar-benar khusyuk hatinya saat shalat, jangankan suara dzikiran dari pengeras suara, suara orang nyanyi pun akan membuat shalat Anda makin khusyuk, hati Anda makin ingat kepada Allah."
 
"Ah, omong kosong. Itu tidak mungkin."

"Kenapa tidak mungkin!? Mungkin saja. Bagi orang yang hatinya suci dan khusyuk, apa pun yang dilihat dan didengarnya akan menjadi sesuatu yang transenden, yang akan membawanya makin dekat dengan Allah. Kalau misalnya Anda shalat, lalu terdengar suara orang sedang menyanyi, maka katakan saja dalam hatimu, "Ya Allah, suara-suara itu bukankah dari Engkau juga sumber muasalnya?. Mulut-mulut manusia tak akan mampu memperdengarkan suara-suaranya seandainya Engkau tidak menghendaki itu terjadi. Bunyi-bunyian bisa terdengar hanya karena Engkau memperkenankan. Dan karena iradah-Mu juga, sesuatu yang tak punya mulut dan kita sangka tak bisa berbicara, justru kelak akan lantang menuturkan segala-galannya."

"Apa mungkin yang tak memiliki mulut bisa berkata?"
 
"Jangan bodoh. Tuhan telah tegaskan, "alyauma nakhtimu 'alá afwáhihim wa tukallimuná aydíhim wa tasyhadu arjuluhum bimá kánú yaksibún." Karena itu mas takmir, jangankan suara dzikiran dari pengeras suara di masjid sebelah, kalau hati Anda benar-benar khusyuk saat shalat, musik dangdut pun yang Anda dengar tetap dapat membuat Anda khusyuk. Alam semesta ini sunyi dan baru terdengar suara-suara karena iradah Allah semata. Karena itu mas takmir, mari belajar menghayati apa yang kita lihat dan kita dengarkan sebaik mungkin agar kita tidak mudah marah, mangkel dan kesal kepada sesuatu yang sayangnya sesuatu itu ternyata tidak kita pahami dengan baik-baik."
 
Si takmir terdiam seperti mencermati ucapan lelaki tua tadi. 

Sementara suara dzikir dari masjid sebelah, kini sudah tidak terdengar lagi. 
 

Kebumen, 9 Juni 2016

LELAKI FAKIR DAN USTADZ TERKENAL

http://cdn.klimg.com/dream.co.id/resources/news/2015/02/27/10824/664xauto-kisah-rasulullah-memandang-para-bangsawan-150227b.jpg
Ada seorang ustadz yang sangat popular. Hampir setiap hari wajahnya selalu muncul di televisi. Terkadang dia tampil sebagai penceramah dan di waktu berikutnya dia tampil sebagai bintang iklan suatu produk. Dari dua pekerjaannya itu, dia memperoleh bayaran yang sangat besar. Tak heran kalau rumah, kendaraan dan perabotan rumahnya serba terlihat lux dan mewah.

Suatu waktu sang ustadz mendatangi seorang lelaki fakir untuk menyerahkan santunan kepadanya. Sesampainya di rumah lelaki fakir yang biasa dikunjunginya itu, sang ustadz melihat kalau lelaki itu sedang melaksanakan shalat di teras rumahnya dengan selembar sajadah yang digelar di atas lantai tanah. Selesai shalat, sang ustadz menyerahkan santunannya dan tidak lupa dia memberikan nasihat kepada lelaki itu.
 
"Bapak. Beribadah itu memang wajib. Tapi jangan lupa juga untuk bekerja ya. Masak dari dulu-dulu saya lihat bapak belum ada perubahan. Hati-hati lo, pak. Sebab kefakiran itu dapat menjerumuskan kepada kekafiran. Begitu kata Nabi."
 
Selesai berkata demikian, si lelaki itu pun menjawab. "Aku percaya dengan apa yang dikatakan Nabi. Tapi aku akan bertanya kepadamu; apakah setiap kefakiran yang dialami seseorang dapat menjerumuskannya kepada kekafiran?"
 
"Tentu saja, Pak. Orang kalau fakir dapat dengan mudah melepas imannya. Bahkan dia rela menukar imannya dengan harga yang murah. Bahkan mereka menukar imannya hanya dengan sekardus mie instan dan sekarung beras. Sudah banyak buktinya yang begitu."
 
"Apa karena itu alasannya kau terlihat begitu sibuk bekerja. Jadi penceramah, jadi bintang iklan, jadi bintang tamu acara-acara talkshow murahan dan ikut-ikutan bertindak konyol dalam acara itu?"
 
"Saya bekerja agar saya tidak fakir sehingga saya selamat dari kekafiran."
 
"Kalau begitu, sabda Nabi yang kau ucapkan tadi hanya pantas bagi orang-orang sepertimu. Nak, telah bertahun-tahun aku melatih diri agar hatiku selalu menjadi 'tempat' bagi Allah semata. Selama bertahun-tahun aku hidup fakir seperti ini. Tetapi dalam hatiku, aku tak pernah kehilangan Allah dan tak terpikir untuk menukar-Nya dengan apa pun. Kalau kau khawatir kefakiran dapat membuat imanmu lepas, bekerjalah semau-maumu. Tetapi kalau kau yakin hatimu akan selalu terpaut kepada Allah meski dalam kondisi fakir sekalipun, kau tentu akan mensyukuri keadaan itu. Ingat, nak. Kalau seseorang sudah berhasil 'mendapatkan' Allah, hakikatnya ia mendapatkan segala-galanya, dunia dan seisinya. Sebaliknya, kalau orang hanya mendapatkan dunia dan seisinya, tapi gagal mendapatkan Allah, maka apa yang sesungguhnya dia dapatkan? Bukankah dunia dan seisinya ini hanyalah fatamorgana semata? Bila kau memberiku santunan hanya karena aku fakir dan kau khawatir aku akan jatuh pada kekafiran, maka ambil kembali santunanmu itu. Dan anggaplah itu pemberianku untukmu. Sebab saat ini, akulah yang justru mengkhawatirkanmu."


Kebumen, 8 Juni 2016

TUKANG TAMBAL BAN DAN MASJIDNYA

http://api.ning.com/files/UUHZoZFGT4ibPySXvcFwcUDnDu3dFddu8n0dbLd42F*6rcvjXbGwHiWfSAM4UXz-eDGv6goHTtVxsYLUMrNftsk3Z0cje2bR/268782_02193726062015_tukang_tambal_ban.jpg
Sebut saja namanya Moko. Sehari-hari pekerjaannya adalah sebagai tukang tambal ban. Dengan selembar terpal bekas, Moko mendirikan tenda untuk dijadikan sebagai bengkel sederhana di tepi jalan. Suatu waktu di hari Jum'at, Moko sambil terkantuk-kantuk mendengar sang khatib berkata dari atas mimbar bahwa umat Islam itu hatinya harus selalu condong ke masjid.
 
"Hanya mereka yang hatinya selalu condong ke masjid yang akan mendapatkan lindungan Rasulullah besok di hari kiamat."
 
Moko tersentak mendengar ucapan sang khatib. Sebab selama ini dia merasa kalau hatinya justru selalu teringat akan bengkelnya tempat dia mencari nafkah. Didorong antara keinginan mendapatkan lindungan Nabi dan kekhawatiran dirinya karena selama ini hatinya justru selalu teringat pada bengkelnya tempatnya bekerja, Moko memberanikan diri bertanya pada si khatib setelah shalat Jum'at selesai.
 
"Ustad. Saya ini harus bagaimana? Saya ingin mendapatkan perlindungan Nabi besok di hari kiamat. Tapi satu sisi setiap hari saya justru selalu ingat akan nasib bengkel saya. Apa yang harus saya lakukan, ustad?"
 
Si khatib muda yang berjenggot lebat dan ada tanda hitam di jidatnya itu dengan tegas menjawab, "Masjid lebih utama dari bengkel. Sebisa mungkin waktu Anda harus lebih banyak di masjid untuk berdzikir daripada di bengkel yang hanya ngurusi ban bocor. Atur saja waktunya, yang penting habiskan hari-hari Anda di masjid untuk berdzikir kepada Allah."
 
Moko semakin bingung. Ingin sekali dia menjadi orang yang hatinya selalu terpaut ke masjid, menghabiskan waktunya di masjid untuk dzikir. Tapi bagaimana dengan bengkelnya? Bukankah dari sanalah dia mendapatkan penghasilan? Atau jangan-jangan kalau dia lebih banyak menghabiskan waktunya di masjid rejekinya malah semakin bertambah. Ah.
 
Moko berjalan dengan langkah lesu menuju bengkelnya. 

Namun dia sangat terkejut sesampainya di bengkel, karena di sana sudah menunggu orang yang sangat istimewa yang mau memakai jasanya. Orang itu tak lain adalah Kiai Qosim. Kiai Qosim adalah guru ngajinya Moko yang masih kelihatan enerjik meski usianya sudah terbilang udzur. Serta merta Moko meraih tangan gurunya itu dan menciumnya dengan penuh takdzim.
 
"Ko, itu ontelku bannya yang depan bocor. Tolong kamu tambal ya."
 
"Iya, Pak Kiai."
 
Setelah ngobrol panjang lebar sambil tangannya cekatan membuka ban ontel Kiai Qosim, Moko kemudian teringat dengan masalahnya tadi sehabis shalat Jum'at. Moko pun berpikir untuk menanyakannya kepada guru ngajinya yang sangat sabar, santun dan murah senyum itu.
 
"Pak Kiai. Saya tadi di masjid mendengar khatib berkata bahwa orang yang akan mendapatkan lindungan Nabi besok di mahsyar salah satunya adalah orang yang hatinya selalu condong ke masjid. Saya sebenarnya ingin juga mendapatkan lindungan itu. Tapi sayangnya hati saya setiap hari malah selalu ingat bengkel ini. Mohon sarannya apa yang harus saya lakukan Pak Kiai."
 
Sambil membetulkan peci hitamnya, Kiai Qosim dengan bibir tersenyum menjawab pertanyaan salah satu murid ngajinya itu.
 
"Ko, Nabi Muhammad memang bersabda seperti itu. Tapi kamu tidak harus meninggalkan bengkelmu ini. Setidaknya, setiap masuk waktu shalat, usahakan kamu tinggalkan bengkelmu kalau memang tidak ada orang yang mau nembel dan pergi ke masjid untuk berjamaah. Itu juga termasuk orang yang hatinya condong ke masjid."
 
"Tapi Pak Kiai, tadi saya bertanya pada khatibnya katanya masjid lebih utama dari bengkel. Sebisa mungkin waktu saya harus banyak dihabiskan di masjid untuk dzikir daripada di bengkel yang cuma ngurusi ban bocor."
 
"Begini, Moko. Nabi juga pernah bersabda bahwa seluruh permukaan bumi ini tak lain adalah masjid yang bisa digunakan untuk mengingat Allah SWT. Artinya, dimana saja kamu berada, termasuk di bengkel ini, kalau hatimu senantiasa ingat kepada Allah, maka hakikatnya bengkelmu ini juga masjid. Masjid berbentuk bengkel...heheee."
 
"Apa bisa seperti itu, Kiai?"
 
"Bisa saja. Masjid itu jangan hanya dipahami dari bentuknya saja. Orang yang berada di dalam bangunan masjid, tapi kalau hatinya tidak juga ingat kepada Allah, maka masjid itu tidak ada pengaruhnya apa-apa. Malah lebih bagus orang yang berada di bengkel tapi hatinya selalu ingat kepada-Nya. Yaa...tentu makin bagus kalau orang datang ke masjid dan di sana makin ingat kepada Allah. Tapi banyak juga orang datang ke masjid tapi hatinya malah kemana-mana. Tidak ke Allah SWT."
 
"Lalu apa yang harus saya lakukan, Kiai?"
 
"Ya, jaga bengkelmu. Kalau masuk waktu shalat ya sembahyang dulu. Kalau ada pelanggan, ajak ngobrol yang baik-baik biar menjadi silaturrahmi. Kalau lagi sepi, berdzikirlah kepada-Nya. Syukur bisa tetap ngaji. Kalau kamu bisa melakukan itu, bengkelmu ini hakikatnya adalah masjid."
 
Moko mengangguk-angguk.
 
"Satu lagi, Moko. Kalau seseorang hatinya selalu ingat kepada Allah dimana saja ia berada atau dimana saja ia bekerja, maka tempat itu laksana masjid baginya. Di tempat itulah hatinya rukuk dan sujud kepada-Nya. Kalau hatinya sudah seperti itu, tidak mungkin dia akan berbuat curang di mana saja dia bekerja."

Kini moko semakin terlihat girang mendengar pitutur guru ngajinya itu.


Kebumen, 8 Juni 2016  
   

NENEK, CUCU DAN SARAPAN PAGINYA


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiFumq6Xt0kG9IYbNZtYbpXvABdXdj49zVOCHHzf-sjggm1MH2HEaJCn-2ztr0Htyo3mfg0t9qWqHQB2m6JcsWp_ndIshtvOm6zYIGwD29_Y5kb3eh3c69VFkKax5zElJHaDUwgpLZN1hj1/s320/cucu-dan-nenek.gif

Tersebutlah seorang nenek sedang menikmati sarapan paginya berupa nasi oyek bersama seorang cucunya. Nenek itu terlihat nikmat sekali mengunyah sarapannya. Dan setiap kali nasi oyek itu ditelan, sehabis itu pula dari mulutnya meluncur ucapan Subhaanallaah, Alhamdulillaah, Allaahu Akbar.
 
Melihat kebiasaan neneknya yang setiap kali sarapan pagi selalu mengucapkan kata-kata itu, cucunya kemudian bertanya;
 
"Kenapa nenek selalu mengucapkan kata-kata dzikir itu sehabis menelan makanan? Apa ada manfaatnya?"
 
Dengan bibir tersenyum, si nenek kemudian mengelus kepala cucunya sambil berkata;
 
"Nak. Meskipun yang kita makan ini nasi oyek dan mungkin bagimu terasa tidak enak, tapi ini juga nikmat Tuhan, kan. Kau harus ingat, ketika nikmat Tuhan yang kita rasakan ini kita sambungkan lagi dengan Dia, maka nikmat itu menjadi bisa dipertanggungjawabkan. Yang nenek lakukan, itu salah satu cara nenek, agar nikmat yang telah Tuhan berikan menjadi nikmat yang benar-benar berharga di hadapan-Nya."

Kebumen, 5 Juni 2016

Malaikat dan Lelaki Penebang Pohon

Konon, ada seorang suami kaya raya yang meninggal dunia. Namun harta kekayaan yang dia miliki diperoleh dengan cara-cara yang tidak benar menurut kacamata agama Islam. Dia mengkorupsi, menipu dan memalsukan apa saja demi mengeruk kekayaan. Saat kematiannya, Tuhan menimpakan hukuman dengan cara ditumbuhkannya kebencian yang amat parah di hati anak-anaknya sehingga mereka semua merasa jijik dan tak sudi mendoakannya.
 
Untuk itu, anak-anaknya yang mewarisi kekayaan ayahnya yang berlimpah itu kemudian membuat pengumuman bahwa siapa saja yang mau mendoakan almarhum ayahnya dan menjaga kuburannya selama empat puluh malam, maka dia akan diberi imbalan sebanyak Rp. 40 juta. Kabar ini pun sampai pada seorang penebang kayu freelance (heheee). Wah, ini peluang bagus nih. Demikian si penebang kayu itu membatin. Tanpa pikir panjang, si penebang kayu pun mendaftar. Karena tak ada pendaftar lain, jadilah lamaran si penebang kayu itu diterima dan mulailah malam-malam dia menjaga kuburan lelaki kaya tersebut. Tak ketinggalan dia membawa parang yang biasa digunakan untuk menebang kayu.
 
Malam pertama hingga malam kelima, semua berjalan biasa-biasa saja. Si penebang kayu berdoa agar lelaki itu diampuni dosa-dosa dan kesalahannya, dibebaskan dari siksa kubur betapa pun dia telah melakukan korupsi dan sebagainya. Usai berdoa, si penebang kayu itu pun tidur di sebelah kuburan tanpa rasa takut sedikitpun
 
Memasuki malam ketujuh, usai penebang kayu itu berdoa, datanglah seorang lelaki bertubuh tinggi mendekatinya.
 
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya lelaki itu.
 
"Aku menjaga kuburan si Fulan sambil mendoakannya," jawab si penebang kayu.
 
"Berapa lama kau akan melakukan pekerjaan ini?"
 
"Sampai empat puluh malam. Lumayan. Aku akan mendapatkan empat puluh juta hanya dengan menjaga kuburan ini dan mendoakan orang yang dikuburnya."
 
"Kau tahu, seperti apa orang yang dikubur itu?"
 
"Dia orang yang sangat kaya. Tapi denger-denger kekayaannya itu dia dapatkan dari korupsi, menipu dan sebagainya."
 
"Lalu, apa doamu untuknya."
 
"Ya, biasa. Saya mendoakan agar Tuhan mengampuninya. Meringankan hisab atasnya."
 
"Kau yakin usahamu akan meringankan apa yang harus mayit itu pertanggung jawabkan?"
 
"Moga-moga seperti itu."
 
"Kalau begitu, ketahuilah bahwa aku adalah malaikat yang diutus Allah untuk menanyaimu beberapa hal. Kau siap menjawab pertanyaanku?"
 
Si penebang kayu itu terperanjat. Keringat dingin mulai merembes dari jidatnya. Dengan bibir gemetar dia menjawab, "A....aku siap jawab."
 
"Baiklah. Aku tahu kau ini seorang penebang kayu panggilan. Dalam menebang kayu, kau gunakan parang itu, " kata malaikat sambil menunjuk ke sebilah parang di dekat si penebang itu. "Untuk itu aku ingin bertanya; dari mana kau dapatkan parang itu? gagangnya yang terbuat dari kayu, kayunya kau peroleh dari mana, dengan cara apa? Terus, tambang yang kau gunakan untuk menarik batang kayu yang hendak kau tumbangkan itu kau peroleh dari mana dan dengan cara apa pula kau mendapatkan semuanya itu? Bila parang dan gagangnya, serta topi yang biasa kau gunakan saat menebang, juga kaos, celana, ikat pinggang serta sepatu botmu itu kau dapatkan dengan cara membeli, lalu uang yang kau gunakan itu kamu dapatkan darimana. Dan terakhir, uang yang kau terima sebagai ongkos saat menebang kayu kau gunakan untuk apa? Demi mengabdi kepada Allah atau habis sia-sia? Ingat semua itu sebelum kau menjawabnya."
 
Lelaki penebang pohon itu makin gemetar. Tubuhnya sudah basah-lepos dengan keringat. Lelaki itu kemudian mengangkat parangnya dan memperhatikan benda tersebut dalam-dalam.
 
"Ya, Allah! Kalau urusan parang ini saja sedemikian rumit pertanggung jawabannya, apa lagi dengan mayat yang selalu kudoakan ini, yang hartanya melimpah karena korupsi, yang pendapatannya luar biasa karena manipulasi. Aduhh.....ampun. Ampun malaikat. Aku pulang saja. Tidak dapat empat puluh juta tak apa-apa daripada urusannya nanti berbelit-belit begini."
 
Seketika malaikat menghilang dan lelaki penebang pohon itu lari pulang meninggalkan parangnya.
 
Ya, Tuhan! Bagaimana dengan diriku. Apa yang kumiliki, apa yang kudapatkan selama ini, tak sepenuhnya suci. Tolong jangan adili aku dengan sifat-Mu yang Maha Mengadili karena rasa-rasanya aku tak bakal mampu mempertanggungjawabkan segala yang aku punya. Tapi adili aku dengan sifat Kasih-Sayang-Mu, Kelembutan-Mu dan ke-Maha Pengampunan-Mu.      

Kebumen, 2 Juni 2016