Diberdayakan oleh Blogger.

Substansi Kefakiran

Oleh Kuswaidi Syafiie

Hadits yang seringkali dikutip oleh para penceramah dalam berbagai pengajian mengenai kefakiran adalah bahwa kondisi pas-pasan dakam kehidupan itu akan senantiasa  menjerumuskan mereka yang mengalaminya pada jurang kelam kekafiran. "Kada al-faqru an yakuna kufran," begitulah sabda Baginda Rasulullah SAW.

Konotasi kefakiran pada hadits di atas tentu saja mengacu pada situasi keterdesakan seseorang secara ekonomi sehingga dia merasa terhimpit dan digebuk oleh kegetiran dalam kenyataan hidupnya sendiri. Dengan kadar dan frekuensi keimanan yang pas-pasan, getirnya kehidupan itu dikhawatirkan menggiring orang tersebut pada ambrolnya nilai-nilai religiusitas yang bersemayam dalam batinnya dan kemudian diganti dengan munculnya benih-benih kekafiran. Na'udzu billahi min dzalik!

Akan tetapi tentu saja kefakiran itu tidak serta-merta menjadi destruktif terhadap setiap tingkatan keimanan semua orang. Seseorang yang keimanannya telah sanggup mengantarkan pada kedudukan dan kesadaran spiritual tentang sankan paraning dumadi, mengenai asal-usul dan akhir dari segala sesuatu, termasuk juga dirinya, ia tidak akan tersentuh oleh destruksi kefakiran.

Malah yang seringkali terjadi justru sebaliknya: kefakiran itu lalu menjadi penegas terhadap kecemerlangan spiritualitasnya. Dengan kefakiran tersebut, dia justru akan dengan pasti mengalami dan merasakan kenikmatan transendental dari sebuah ayat keagungannpNya yang menyatakan: "Ya ayyuhan nas antumul fuqara ilallah/ Wahai manusia, kalian semua sungguh faqir (sangat butuh) kepada Allah," (QS. Fathir: 15).

Ketika kesadaran tentang awal dan akhir itu berkelindan secara solid dengan substansi kefakiran dalam diri seseorang, dia akan betul-betul mengenal siapa sesungguhnya dirinya. Akan menjadi begitu tampak di hadapan penglihatan batinnya bahwa dia sendiri, juga seluruh partikel yang mengapung dan bertebaran di segenap alam raya, ternyata "hanyalah" sebuah nuktah yang disebulkan oleh hadiratNya atas nama cinta dan kasih sayang yang senantiasa membahana.

Tidak boleh tidak, di saat kesadaran transendental itu membuncah, siapa pun yang telah mengalaminya akan memahami sekaligus merasakan bahwa kefakiran itu merupakan sesuatu yang akan senantiasa inheren pada sekuruh makhluk. Tidak akan pernah sejenak pun makhluk-makhluk terbebaskan dari cengkraman kefakiran, baik hal itu disadari maupun tidak.

Dalam konteks dan wacana sufisme, arti dan substansi kefakiran itu berkonotasi pada adanya dua pemaknaan. Yang pertama adalah kefakiran yang dipahami sebagai rasa butuh yang terus-menerus dan tak mengenal jeda kepada Allah SWT. Alasannya saya kira sudah jelas: seluruh makhluk tidak akan ada yang bisa eksis tanpa ditopang oleh pertolonganNya.

Sedangkan yang kedua adalah kefakiran yang dipahami dan dirasakan secara spiritual bahwa tidak tidak ada apapun yang betul-betul dimiliki oleh makhluk. Bahkan diri mereka sendiri, hidup dan mati mereka, sehat dan sakit mereka, muda dan tua mereka, jaga dan tidur mereka, dunia dan akhirat mereka: semua itu sama sekali bukanlah milik mereka, tapi milik Allah SWT semata.

Karena manusia merupakan makhluk yang paling mulia sebagaimana yang diisyaratkan oleh firmanNya, "Demi telah kumuliakan anak-cucu keturunan Adam," (QS. Al-Isra: 70), maka dimensi dan substansi kefakiran manusia menjadi lebih sempurna dan lebih mulia dibandingkan dengan kefakiran yang bersemayam pada makhluk-makhluk yang lain.

Jelas kemudian merupakan sesuatu pasti bahwa makin kuat kefakiran atau rasa butuh seseorang kepada Allah SWT, maka dia menjadi semakin mulia dan terhormat di hadapan hadiratNya. Hal itu tidak lain merupakan sebuah cerminan cemerlang dari kesadaran hakiki seseorang tentang kedudukan Allah SWT sebagai prima kausa di satu sisi, dan kedudukan dirinya sendiri sebagai efek semata dari kehendakNya pada sisi yang lain.

Dalam kitab Sirr al-Asrar fi Kasyf al-Anwar yang digubah Imam Ahmad al-Ghazali (wafat pada 520 H), ada tiga jenjang kefakiran yang mesti ditempuh secara spiritual oleh orang-orang beriman. Pertama, faqr al-dzat. Yaitu pengakuan mengenai adanya rasa butuh terhadap kemahaesaanNya dalam memberikan pertolongan terhadap seluruh makhluk. Dalam hal ini, baik orang beriman maupun orang yang kufur akan sama-sama menyeru Allah SWT ketika mereka merasa terdesak menghadapi kondisi getir yang menggocoh mereka.

Kedua, faqr al-shifat. Yaitu kefakiran yang dirasakan dan dialami para wali. Ketika dengan karunia Allah SWT mereka terbebaskan dari berbagai belenggu dunia ini dan jebakan akhirat nanti, lalu mereka sampai pada alam tauhid yang murni, maka semua sifat yang semula dinisbatkan kepada mereka seperti tamak, syahwat, menggebu terhadap pangkat dan kekuasaan: semua itu lenyap dari diri mereka.

Mereka laksana burung yang tidak sanggup terbang karena sayapnya tergunting habis. Mareka lalu merasa sangat membutuhkan sifat-sifat kemuliaan yang dikirim dari arah hadirat Allah SWT agar bisa melesat terbang menuju "alamatNya".

Ketiga, faqr al-af'al. Yaitu kefakiran yang disandang oleh para nabi. Pada setiap mau melakukan tindakan dan mengambil keputusan, mereka senantiasa membutuhkan izin Allah SWT terlebih dahulu. Andaikan izin itu tak ada, mereka tidak akan pernah lancang untuk melakukan sesuatu atau mengambil keputusan apapun.

Sungguh, itulah kehidupan rabbani yang amat cemerlang dan menawan. Wallahu a'lamu bish-shawab.


Kuswaidi Syafiie, pengasuh Pondok Pesantren Maulana Rumi, Sewon, Bantul, Yogyakarta.

Rona Manusia

“Aku memahami seluruh nafasmu kekasih, mana yang hitam dan mana yang putih, lalu kuhitung-hitung pengkhianatan itu, tapi tak selesai juga,” (Tri Astoto Kodarie, "Hujan Meminang Badai," 1989).

Saya percaya, bahwa di setiap detik waktu yang kita punya, selalu ada kemungkinan kekecewaan yang akan kita rasakan. Sumber dan pelakunya bisa bermacam-macam. Dari mulai benda hingga manusia. Apa yang tampak kelihatan baik, tak sepenuhnya bisa dipercaya, dan apa yang tampak kelihatan buruk, tak seharusnya dicerca begitu rupa. Maka, bersikap sewajarnya namun juga kritis dan selalu waspada dapat menjadi pilihan terbaik sebelum kita terjebak pada dua masalah; kecewa dan buruk sangka.
 
Di samping dapat menjadi sumber kebaikan dan keburukan, manusia adalah segugus realitas yang juga dapat menjadi sumber kekecewaan dan sekaligus sumber buruk sangka. Dalam waktu yang bersamaan, manusia bisa tampak kelihatan baik sebelum kemudian terlihat begitu buruk. Dengan demikian, baik dan buruk, mengecewakan-membahagiakan merupakan dua potensi yang seluruhnya ‘mengumpul’ dalam diri setiap manusia.
 
Maka, tak usah kecewa ketika sesuatu yang sebelumnya terlihat baik kemudian berubah menjadi terlihat buruk. Dan tak perlu buruk sangka pada sesuatu yang terlihat jelek karena selalu ada peluang baginya untuk kembali menjadi baik. Itulah dunia. Itulah dialektika, yang dengannya kita tahu bahwa memang tak ada yang benar-benar ajeg-abadi dalam kehidupan ini.
 
Ketika saya memberikan jutaan pujian bagi seseorang karena sikapnya yang menyenangkan, maka bisa saja saya kehilangan kewaspadaan karena saya hanya melihat satu sisi dari bagian hidupnya saja. Tapi ketika saya begitu marah pada seseorang terhadap kelakuannya yang mengecewakan, itu tandanya saya masih belum mampu melihat secara total bahwa pada diri setiap orang itu memang telah melekat potensi-potensi keburukan yang bisa muncul kapan saja.
 
Pada setiap realitas, selalu ada pertentangan yang tak usai-usai. Termasuk dalam diri kita, setiap manusia. Dalam pertentangan itu, yang penting disoroti bukanlah apa yang dominan terlihat. Sebab yang dominan terlihat itu akan sangat mungkin dikubur oleh kenyataan-kenyataan lain sesudahnya.
 
Mungkin ada benarnya yang dikatakan Vernunft, bahwa melakukan identifikasi dengan adil merupakan cara yang tepat untuk memahami sebuah realitas, termasuk di dalamnya adalah manusia itu sendiri. Dan barangkali dengan identifikasi itulah kita dapat membuat semacam sintesis bahwa apa pun yang tampak dari setiap manusia, entah kebaikan atau keburukannya, keduanya sama-sama memiliki batasannya sendiri-sendiri.
 
Karenanya, saat manusia terlihat baik, jangan tergoda untuk mendewakannya karena kita tidak mengerti keburukan apa yang dia miliki yang akan menjadi pembatas bagi kebaikannya. Sebaliknya, saat manusia terlihat buruk, jangan terpancing untuk menistakannya sebab kita tidak tahu kebaikan apa yang dia miliki yang kelak akan menjadi pembatas bagi keburukannya.
 
Cintai yang kamu cintai, sekedarnya. Karena bisa jadi besok kau membencinya. Bencilah yang kamu benci sekedarnya juga. Siapa tahu besok kau mencintainya. Begitu kata Nabi. 

Kebumen, 15 April 2016

Cerita Bersama Anak (Bagian 1)

Ataka dan Najwa
Hampir semua buku cerita sudah saya bacakan untuk Aunillah.  Belum lagi cerita-cerita dadakan yang saya karang sendiri dengan tema-tema yang beragam. Mulai dari tema pohon, hewan, kendaraan, pesawat dan sebagainya. Cerita dadakan biasanya saya sampaikan kalau sebelumnya tidak sempat menyiapkan cerita baru untuknya.
 
Dan seperti biasa, tadi malam selepas Isya kami, Ataka, Najwa dan istri saya duduk-duduk di teras. Aunillah menyebut kegiatan itu sebagai kegiatan bersantai-santai sambil makan bersama. Setelah acara makan malam selesai, dia pun kembali meminta saya bercerita. Sayangnya saya tak memiliki persiapan bahan cerita.
 
Sebagai alternatifnya, saya ambil Al-Qur'an terjemahan dan mulai membaca ta'awwudz, basmalah hingga hamdalah. Saya bacakan terjemahnya dan saya rangkai-rangkai dengan cerita-cerita yang memungkinkan untuk dia pahami. Saat sampai pada bahasan tentang hamdalah, saya jelaskan kepada anak saya bahwa kita harus selalu banyak berterima kasih kepada Allah.
 
"Kenapa?" tanyanya sambil menikmati camilannya.
 
"Karena Allah-lah yang memberi kita banyak rizki. Salah satunya camilan yang kamu makan itu," jawab saya.
 
Sejenak saya lihat dia terdiam. Lalu kemudian meluncurlah dari mulutnya;
 
"Ohh, maksudnya begini ya. Misalnya ini Ata lagi makan camilan yaa. Nah, terus yang ngasih camilannya itu sebenarnya Allah? Cuma lewat bakul (penjual)?"
 
"Betul."
 
"Berarti kalau besok Ata dibelikan baju tentara sama tante Esti, itu yang ngasih juga Allah, cuma lewat Tante?" tanyanya lagi.
 
"Iya. Memang begitu?"
 
"Terus, sama bakulnya, sama Tante Esti, apa juga bilang terima kasih?"
 
"Ya, harus."
 
"Laa, kenapa harus berterima kasih. Kan yang ngasih Allah?"
 
"Soalnya tante Esti dan bakulnya itu sudah bantuin menyampaikan kiriman Allah sama Ata."
 
"Oohh."
 
"Menurut Ata, berterima kasih kepada Allah itu bagaimana caranya?"
 
"Ya, baca alhamdulillahi rabbil alamin. Terus shalat, terus ngaji, berdoa sama bantuin memadamkan api kalau ada orang yang rumahnya kebakaran."
 
Saya terdiam sebentar mendengar jawaban-jawabannya. Dalam hati saya berdoa, "Ya, Allah, jadikanlah dia anak yang shalih dan selalu memahami, menyadari dan mengetahui kehadiran-Mu dalam setiap peristiwa hidupnya kelak. Amin." 

Kebumen, 4 April 2016.