Diberdayakan oleh Blogger.

Puasa

“Besok lusa kita akan puasa. Apa yang kau persiapkan menyambut bulan suci itu, istriku?” tanya seorang suami kepada istrinya di suatu malam yang terang oleh cahaya rembulan.
 
https://s-media-cache-ak0.pinimg.com/originals/fc/7f/10/fc7f10be6017bf5e69d38c8eb338af2b.jpg
Mendengar pertanyaan suaminya, si istri diam sejenak. Kemudian dia tersenyum. Lalu;
 
“Pertama, aku ingin minta maaf kepadamu, suamiku,” jawab istrinya, lembut, sambil merebahkan kepalanya di dada suaminya.
 
Malam itu malam Minggu. Pasangan suami-istri yang telah lima puluh tahun mengarungi rumah tangga itu asyik berduaan di teras depan rumahnya yang kecil tak berpenerang. Mereka tampak seperti pasangan remaja yang sedang memadu kasih asmara di taman-taman kota.
 
“Mengapa begitu, istriku? Memangnya kesalahan apa yang sudah kau lakukan padaku?”
 
Istrinya kembali tersenyum. Kepalanya masih dibiarkan rebah di dada suaminya. Sementara sang suami, dengan mesranya membelai rambut istrinya yang sudah bertabur uban. Sama seperti warna rambut di kepalanya sendiri.
 
“Kau ingat kejadian tahun lalu, suamiku. Tepatnya selama bulan puasa?”
 
Kening suaminya berkerut.
 
“Kejadian yang mana, sayang?”
 
“Benarkah kau tak ingat? Coba kau ingat-ingat kembali?”
 
Si suami terdiam. Sejenak. Berusaha mengingat-ingat sesuatu.
 
“Ah, terlalu banyak kejadian yang kita alami, istriku. Ada yang menyenangkan, tak sedikit pula yang memilukan. Jadi mana mungkin aku bisa mengingatnya satu persatu. Lagi pula, aku sudah tua sekarang. Sudah jadi pelupa, atau malah sudah mulai pikun.”
 
Istrinya bangkit. Ia kemudian merapikan rambutnya sambil menatap lekat ke wajah suaminya. Bagai gayung bersambut, suaminya juga menatap wajah istrinya yang makin dipenuhi kerutan-kerutan ketuaan. Mereka saling berbagi senyum. Memperlihatkan barisan gigi mereka yang sudah sama-sama tak utuh lagi.
 
Di halaman, dua ekor kunang-kunang hinggap di selembar daun sebelum keduanya terbang mengarungi cakrawala malam.
 
“Apa benar kau sudah lupa, suamiku? Coba ingat pelan-pelan, apa yang terjadi selama bulan puasa tahun lalu?”
 
Karena tak ingin mengecewakan istrinya, si suami berusaha kembali mengingat peristiwa yang sudah terjadi setahun lalu. Begitu sukar rupanya sampai dia harus berkali-kali menggaruk kepalanya. Beberapa lembar rambut putihnya rontok dan menempel di jemarinya.
 
Si suami kemudian tersenyum. Melihat suaminya tersenyum, si istri juga ikut tersenyum.
 
“Apa kau sudah ingat, suamiku?”
 
“Ya, sepertinya aku ingat sekarang.”
 
“Kalau begitu, coba kau ceritakan yang kau ingat itu, suamiku,” pinta si istri sambil kembali merebahkan kepalanya ke dada suaminya.
 
“Setiap hari selama bulan puasa, selalu ada orang yang mengantarkan makanan enak buat buka dan sahur kita. Entah siapa mereka. Haha…kau waktu itu makan dengan begitu lahapnya. Kau tidak sadar, meski waktu imsak sudah tiba, kau masih saja menghabiskan makananmu.”
 
“Tapi kau yang memaksaku menghabiskan makanan itu.”
 
“Benar, istriku. Sayang kalau makanan itu dibuang-buang to.”
 
“Tapi kenapa kau tidak ikut menghabiskannya waktu itu?” tanya si istri penuh selidik.
 
“Karena aku sudah kenyang. Lagi pula, perutku ukurannya kan lebih kecil dibanding ukuran perutmu. Hehee..”
 
Sang istri merasa lega. Lalu dia mencubit perut suaminya sampai lelaki itu berteriak sambil terkekeh-kekeh. Begitu romantisnya mereka. Di langit, rembulan makin sempurna cahayanya. Suara jengkerik yang tak jauh dari tempat mereka berdua berhenti berbunyi. Mungkin terkejut mendengar teriakan dan kekehan mulut suami-istri yang sudah sama-sama berumur.
 
Meski tak lagi muda, suami-istri itu masih selalu menyempatkan diri untuk menikmati malam-malam dengan duduk berduaan sebagaimana mereka dulu masih muda. Mungkin, bagi mereka kemesraan tak mengenal batas usia. Siapa saja bisa melakukannya. 
 
Lalu angin berdesir. Sang istri tanpa canggung memeluk tubuh suaminya yang hanya mengenakan kaos yang sudah kusam. Dia sebenarnya sudah tak mampu menahan terpaan dinginnya angin malam. Begitu juga dengan sang suami yang makin erat mendekap tubuh istrinya yang sudah tak montok lagi. Namun mereka tak mau lekas-lekas beranjak dari teras rumahnya meski angin malam semakin berhembus kencang.
 
“Tapi tunggu, istriku. Apa hubungannya kejadian itu dengan permintaan maafmu tadi?”
 
“Kau sungguh-sungguh ingin tahu, suamiku?”
 
“Tentu sayang. Ceritakanlah.”
 
“Kau mau berjanji?”
 
“Untuk apa?”
 
“Kau tidak akan marah kalau aku ceritakan semuanya?”
 
Si suami kemudian membangunkan istrinya yang masih merebahkan kepalanya di dadanya. Lalu dia pegangi kedua bahu istrinya erat-erat. 

Ditatapnya wajah istrinya itu dalam-dalam. Sama seperti puluhan tahun yang lalu saat dia mengutarakan keinginannya melamar dan menikahinya.
 
“Istriku. Sudah lima puluh tahun kita menikah. Pernahkah aku memarahimu? Jangan takut istriku. Katakan saja apa yang ingin kamu ceritakan.”
Si istri kembali tersenyum. Di bawah rembulan yang cahayanya memantul samar-samar dari halaman sempit rumah mereka, si suami melihat betapa senyum istrinya masih sangat manis dalam pandangan mata tuanya.
 
“Suamiku. Jauh sebelum aku mengenalmu, aku sebenarnya sudah pernah menjalin hubungan dengan orang lain. Dia lelaki yang sangat kaya. Aku teramat mencintainya sebagaimana dia juga mencintaiku. Tapi kemudian engkau datang di saat dia melanjutkan sekolahnya ke luar negeri sana. 

Bagi dia, aku mungkin wanita yang tidak setia meski dia memaklumi keputusanku menerimamu. Dia juga berkata kalau akan tetap menganggapku sebagai kekasihnya. Bahkan hingga saat ini. Aku sendiri tak dapat melupakan jasa dan cintanya yang begitu tulus kepadaku. Bahkan…bahkan….”
 
Suara si istri tercekat. Dia tak kuasa menahan tangisnya. Dengan lembut si suami menarik tubuh istrinya. Memeluknya erat-erat.
 
“Tak apa, istriku. Lanjutkan saja ceritamu.”
 
“Suamiku. Asal kau tahu, kalau tahun lalu kita bisa makan berkecukupan selama bulan puasa, itu semua karena dia yang mengirimkannya. Tahun ini, dia juga akan kembali menanggung semua kebutuhan kita selama bulan puasa hingga lebaran tiba. Apa kau mau menerimanya, suamiku?”   
 
Sang suami tersenyum;
 
“Istriku. Undanglah dia agar bisa berbuka puasa bersama-sama dengan kita. Di hari-hari tuanya seperti kita, aku ingin melihat dia bahagia makan bersama denganmu. Aku tak akan marah, apalagi curiga. Bulan yang suci ini terlalu berharga untuk dinodai oleh keduanya.”
 
Suami istri itu makin erat berpelukan. Mereka sama-sama tersenyum, membayangkan betapa indahnya ada tiga manusia udzur masih mau berbagi ketulusan cinta di bulan yang mulia.


Yogyakarta, 2015

Cerpen ini dipublikasikan Kedaulatan Rakyat

Afwan

Salam...! Bagaimana kabarmu sekeluarga? Semoga sehat sejahtera selalu. Di bulan puasa menjelang lebaran tahun ini, saya ingin mengucapkan permintaan maaf yang setulus-tulusnya.
 
Barangkali permintaan maaf ini sudah sangat terlambat untuk saya utarakan. Namun bagi saya, butuh nyali dan keberanian besar untuk sekadar mengucapkan permintaan maaf atas segala kesalahan, kekhilafan dan dosa-dosa yang telah sengaja maupun tidak sengaja saya lakukan.
 
Selain itu, barangkali kurang etis juga sebuah permintaan maaf dilakukan dengan cara begini. Tanpa disampaikan langsung dan hanya dilakukan melalui perangkat maya seperti ini. Tetapi barangkali ini masih merupakan cara terbaik dilakukan untuk saat ini.
 
Tak ada maksud apapun atas datangnya surat permintaan maaf saya yang begitu terlambat ini selain atas kesadaran saya pribadi betapa memang sepantasnya saya mengucapkan permintaan maaf atas besarnya kesalahan bagi saya. Semoga dengan permintaan maaf ini beban batin saya sedikit terkurangi dan semoga pemaafanmu dibalas kebaikan berlimpah oleh-Nya.
 
Sekali lagi, saya dan keluarga mengucapkan mohon maaf lahir batin yang setulus-tulusnya.

Minggiran MJ II/1482 B Yogyakarta

Buka Puasa Itu Dilema

Barangkali hanya sekadar keisengan diri saya saja ketika tiba-tiba muncul pertanyaan di benak saya, "Kenapa Tuhan menentukan waktu berbuka puasa itu harus di waktu maghrib, waktu yang sejatinya mepet antara harus menuntaskan menu buka dan shalat maghrib yang begitu pendek itu? Kenapa Tuhan tidak mensyariatkan buka puasa di waktu isya atau paling tidak di waktu ashar?"
 
Dari berbagai pengembaraan yang saya lakukan...wesss nggaya, akhirnya saya coba rumuskan sendiri jawabannya.
 
Sungguh tidak ada yang salah, alias benar banget kalau Tuhan mensyariatkan bahwa waktu berbuka puasa itu di waktu maghrib. Menurut saya, ada beberapa hal alasannya.
 
https://thetoiletpost.files.wordpress.com/2013/06/20130622-091638.jpg
Pertama, sebagaimana yang kita pahami, bahwa puasa itu adalah menahan diri dari makan, minum, berhubungan seksual di siang hari, merokok dsb. Intinya, saat puasa, kita dilarang berhubungan dengan segala sesuatu yang bersifat duniawi, dimana hal-hal duniawi itu merupakan sesuatu yang paling dekat dan paling sering kita lakukan.
 
Kedua, ketika maghrib tiba atau ketika tiba waktu berbuka, Nabi menganjurkan (sunnah) agar kita berbuka dengan kurma atau air putih, sebuah takaran menu yang sederhana banget. Setelah itu segeralah menghadap Allah yakni shalat maghrib.
 
Maka di sinilah sesungguhnya pangkal masalahnya. Saat berbuka puasa, kita seperti ditantang apakah kita hendak mendahulukan kepentingan menghadap Allah dengan mengerjakan shalat maghrib yang waktunya singkat itu di awal waktu, atau sebaliknya, kita puaskan dulu nafsu kita dengan mendahulukan melahap segala jenis menu buka puasa sementara menghadap Allah dengan shalat maghrib kita nomorsekiankan.
 
Karena itu, tidak heran bila saya lebih banyak kurang enjoynya melakukan shalat maghrib pada saat perut sudah penuh dengan menu takjil yang menggairahkan itu.
 
Sebaliknya, kalau saya buka puasa dengan satu-dua butir kurma dan segelas air lalu kemudian shalat maghrib, pikiran saya di waktu shalat pun sama tidak enjoynya. Sebab yang terbayang adalah apa yang harus saya makan terlebih dahulu setelah shalat maghrib ini selesai saya lakukan. Jadinya, tidak jarang wirid maghrib saya di bulan puasa ini terasa lebih pendek dibanding bulan lain di luar Ramadhan.
 
Ini benar-benar tantangan orang berpuasa karena harus memilih antara menomorsatukan Tuhan atau menu buka yang tergelar di meja makan. 

Kebumen, 25-6-2015 (10:49)
  

Hamdalah

Oleh Kuswaidi Syafi'ie
http://statis.dakwatuna.com/wp-content/uploads/2014/02/kartun-muslimah-perempuan-terima-kasih.jpg
Nilai pujian seseorang terhadap sesuatu sesungguhnya berpulang kepada dirinya sendiri. Dengan pujian itu ia sebenarnya ingin menyatakan: "Saksikanlah penglihatanku yang tajam sehingga bisa dengan gamblang mengungkap keindahanmu yang mungkin tak tersentuh oleh penglihatan orang lain".

Secara verbal, setiap pujian berarti mengangkat derajat yang dipuji. Akan tetapi secara substansial adanya keluhuran dan keindahan itu menjadi terungkapkan dan tersiar oleh kejelian dia yang memuji. Yang terpuji itu senantiasa berada di sana, pada posisinya semula, tidak bertambah atau berkurang derajatnya hanya karena ada atau tidak adanya pujian. Tentu saja yang dimaksud di sini adalah pujian yang jujur dan apa adanya, bukan yang dusta dan gombal yang hanya ingin menyenangkan yang dipuji.

Ada empat macam pujian dalam diskursus keislaman. Pertama, pujian dari Allah SWT kepada diriNya sendiri. Tindakan ini dilakukan oleh hadiratNya di samping untuk memperkenalkan diri kepada orang-orang beriman, juga untuk memastikan bahwa tidak ada satu nuktah pun ketidaksempurnaan yang melekat pada dzatNya.

Keterpujian Allah SWT itu absolut. Dan pujian yang dilontarkan sendiri kepada diriNya pun absolut pula. Tidak ada seutas celah pun pada diri dan segenap tindakanNya yang dihuni oleh kekurangan. Tak ada proses penyempurnaan pada diriNya. Di dalamNya segala sesuatu telah rampung dan purna.

Maka dengan demikian, pujian Allah SWT kepada diriNya itu merupakan suatu keniscayaan. Bahkan andaikan Allah SWT tidak mencipta sebiji dzarrahpun, senandung pujian yang azali itu akan senantiasa dikumandangkan bagi diriNya di luar segala suasana, bahasa dan kenisbian seluruh makhluk.

Hanya Allah SWT semata yang sanggup memuji diriNya sendiri sebagaimana semestinya Dia dipuji. Seluruh ummat beriman, termasuk di dalamnya jejeran para nabi dan wali sekalipun, tidak ada yang memiliki kesanggupan untuk memuji Allah SWT sebagaimana yang memang seharusnya Dia dipuji. "La uhshi tsanaan 'alayk. Anta kama atsnayta 'alayk/ Tidak sanggup aku menghinggakan pujian kepadaMu oh Tuhanku. Engkau adalah sebagaimana yang Kau puji pada diriMu," ungkap makhluk paling mulia yang merupakan tuan dunia dan akhirat sekaligus, Nabi Muhammad SAW, dalam salah satu keluh-kesah spiritualnya di hadapan Allah SWT.

Kedua, pujian Allah SWT kepada hamba-hamba pilihanNya. Pujian ini sebenarnya merupakan derivasi dari substansi pujian yang pertama di atas. Orang-orang saleh dan para pecinta hakiki yang menempuh lorong-lorong keilahian dalam pemahaman empirisnya secara vertikal dan horisontal dari kalangan para nabi dan wali senantiasa menampilkan nilai-nilai dan sifat-sifat Allah SWT dalam perjalanan hidup mereka. Mereka berperan sebagai cermin bening bagi hadiratNya. Tidak lebih dan tidak kurang.

Karena itu, ketika Yang Mahasempurna memuji perangai dan perilaku mereka, secara tidak langsung Dia sesungguhnya memuji diriNya sendiri. Sebab, nilai-nilai, sifat-sifat dan tindakan-tindakan keterpujian mereka sesungguhnya tidak lain merupakan "perpanjangan tangan" dari segenap keterpujianNya. Tentang pujian terhadap nabi terkasih, Muhammad SAW, Allah SWT mengungkapkan: "Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti yang agung," (QS. Nun: 4).

Ketiga, pujian makhluk terhadap Allah SWT. Tindakan makhluk yang berupa pujian ini sebenarnya hanyalah sekedar meniru terhadap pujian yang telah terlebih dahulu diteladankanNya. Bahkan secara sufistik, seluruh kebaikan yang diamalkan oleh orang-orang beriman tak lebih dari tindakan meniru terhadap perilaku-perilakuNya semata. Sebab, Allah SWT adalah sumber primer dari seluruh kebaikan, juga guru paling empresif bagi setiap orang beriman, baik secara langsung maupun tidak.

Seluruh makhluk, baik yang berakal maupun tidak, dari mulai yang paling kecil hingga yang terbesar, yang kasat mata maupun yang gaib, yang bertebaran di segenap penjuru alam raya: semua itu senantiasa memuji Allah SWT dengan bahasa masing-masing yang tidak sepenuhnya bisa dicerna oleh kapasitas pemahaman kebanyakan manusia.

Keempat, pujian makhluk terhadap makhluk lain. Inilah yang paling nisbi di antara sekian pujian yang telah didedahkan di atas. Penglihatan mata kepala manusia menemukan rupa, warna dan bentuk. Ketidaksanggupan manusia untuk menembus ketiga dimensi itu hanya akan mengantarkannya pada penilaian lahiriah belaka, ada yang dipandangnya terpuji, ada pula yang dipandangnya bangsat. Padahal di antara keduanya bisa saja secara hakiki berkebalikan. Bukankah Abu Jahal memandang bangsat Nabi Muhammad SAW, betapapun sungguh terpuji dia?

Pujian manusia yang dilahirkan oleh keterbatasan itu sebenarnya mengandaikan adanya suatu isyarat dan perintah: dinding-dinding rupa, warna dan bentuk itu mesti dijibol dan ditrabas agar manusia sanggup menumukan hakikat segaka sesuatu. Lalu menjadi gamblang di hadapan penglihatannya yang sudah terasah bahwa setiap keindahan yang bersemayam di jagat semesta ini tak lain merupakan pantulan dari segenap keindahanNya jua. Wallahu a'lamu bish-shawab.

Kuswaidi Syafiie, pengasuh Pondok Pesantren Maulana Rumi, Sewon, Bantul, Yogyakarta. Email: kuswaidisyafiie@ymail.com. HP. 081804209760. Tulisan ini sudah dipublikasikan di Sindo Jogja. Dipublis di blog ini atas ijin penulisnya.

Putus Asa

Oleh: Kuswaidi Syafi'ie

http://www.ciputranews.com/media/images/boni/galau.jpg
Putus asa yang sejatinya merupakan penyakit psikis yang seringkali menjangkiti manusia sungguh ditampik oleh agama Islam, bahkan diperintahkan untuk sesegera mungkin dienyahkan. Tentu saja bukan tanpa alasan. Karena ketika penyakit kronis kejiwaan itu menggerogoti seseorang, ia akan melenyapkan keceriaan dan menimpuk orang tersebut dengan rasa grogi, minder dan rendah diri (bukan rendah hati): suatu kondisi kejiwaan yang bukan saja tidak produktif, akan tetapi juga tidak bisa diharapkan untuk melangkah ke depan dengan kepala tegak dan penuh pengharapan.

Keputusasaan adalah bunyi lantang gendrang pengingkaran terhadap cakrawala rahmat Ilahi yang tidak bertepi. Di saat seseorang diringkus dan digocoh oleh rasa putus asa, dia sesungguhnya sedang menggembok gerbang kemungkinan untuk berkenalan dengan sifat rahman dan rahim Allah SWT, dengan kedahsyatan kasih dan sayang hadiratNya. Kekuatannya akan menjadi susut sekaligus surut. Nilai eksistensinya akan mungkret dan auranya semakin lama akan semakin pudar. Kehidupannya akan memasuki sebuah gorong-gorong nasib hasil rekaannya sendiri, begitu gelap dan begitu pengap: suatu bayang-bayang kehidupan yang suram, layu dan terkulai.

Rasa perih keputusasaan sungguh lebih menyayat dibandingkan dengan rasa sakit yang menggigit badan, lebih buruk dampaknya ketimbang luka yang digoreskan oleh mata pedang yang paling tajam sekalipun. Bahkan kepedihan menganga yang disebabkan oleh keputusasaan itu tidak saja ditanggung seseorang (na'udzu billahi min dzalik) pada episide kehidupan di dunia yang fana, ringkih dan seringkali semraut ini, namun juga akan selalu digendong pada fase kehidupan di akhirat yang tidak pernah terbayangkan ujung dan batasnya.

Ketika genangan keputusasaan itu merendam kehidupan seseorang, dia akan memiliki mental yang tidak jauh watak dan nuansanya dari mental rumpun binatang. Ditebuslah kesumpekan dirinya dengan cara melampiaskan nafsu kemaruk terhadap nikmatnya makanan, minuman, perkawinan, tempat tinggal dan segala kesenangan artifisial yang sia-sia dan hampa makna.

Lantaran itulah kemudian Allah SWT dengan tegas menarik garis korelatif antara keputusasaan dengan kekufuran sebagai dua entitas yang secara substansial sama-sama berarti penolakan terhadap keutuhan karunia, cinta dan kasih-sayang hadiratNya. "Janganlah kalian berputusasa dari rahmat Allah," firmanNya dalam al-Quran surat Yusuf ayat 87. "Sesungguhnya tidaklah putus asa dari rahmat Allah kecuali kaum yang kufur."

Betapa sangat besar dosa yang mesti ditanggung seseorang akibat keputusasaan itu sebagaimana besarnya dosa kekufuran. Dosa yang dimaksud di sini tidak saja dalam konteks teologis belaka, akan tetapi juga dalam konteks progresifitas sistem kosmologis, baik yang berlangsung secara personal maupun horisontal. Dalam hal ini, keputusasaan itu ibarat penyakit udhun pada jasad seseorang yang membuat sistem dan metabolisme tubuhnya jadi terganggu.

Dalam konteks kehidupan sosial secara mondial, betapa keputusasaan seringkali menyergap perjalanan hidup banyak orang. Banyak sebenarnya yang bisa dikerjakan oleh mereka untuk menciptakan iklim kehidupan yang sehat, untuk menaikkan frekuensi dan taraf ekonomi umat, untuk memancangkan dan menegakkan keadilan, untuk senantiasa menggelar permadani toleransi dan kedamaian, untuk selalu mengangkat harkat dan martabat nilai-nilai kemanusiaan dan lain sebagainya.

Akan tetapi sungguh seringkali kita menyaksikan dengan gamblang betapa mereka yang memililiki kapasitas untuk melakukan hal-hal berarti seperti itu ternyata hanya diam saja. Intelektualitas, skill, keberanian untuk melakukan inovasi, kejujuran dalam bertindak, antisipasi untuk masa depan yang lebih cemerlang dan kemampuan untuk melahirkan generasi mendatang yang lebih mempunyai integritas: semua itu kerapkali jumud dan bahkan membeku di ketiak-ketiak waktu. Berbagai alasan mereka sampaikan untuk melegitimasi sikap pasif itu. Namun hal tersebut sejatinya tak lain merupakan realisasi dari keputusasaan.

"Putus asa adalah denting lonceng kematian dalam kehidupan, gemuruh nista sekaligus nestapa setelah kematian," tulis Syaikh Mushthafa al-Ghalayani dalam kitab 'Izhatun Nasyiin. "Karena itu," sambung beliau dengan nada tegas dan penuh pengharapan, "sembelihlah leher keputusasaan itu dan kuatkanlah keteguhanmu, maka dengan bimbingan dan perkenan hadiratNya engkau akan menjadi bagian dari barisan orang-orang yang beruntung."

Kuswaidi Syafiie, pengasuh Pondok Pesantren Maulana Rumi, Sewon, Bantul, Yogyakarta. kuswaidisyafiie@ymail.com. HP. 081804209760. Tulisan ini sudah dipublikasikan di Sindo Jogja.

Kenapa Orang Kok Meninggal

http://cdn.berdikarionline.com/2012/05/Kuburan-karikatur-367x290.jpg

Selalu ada pernyataan dan 'penemuan' mencengangkan dari masing-masing anak kecil bila kita telaten memperhatikannya. Mereka memiliki persepsi sendiri terhadap apa yang mereka lihat. Entah itu merupakan hal yang nyata atau gaib sekalipun. Seperti yang terjadi pada percakapan saya dengan anak saya sore tadi.
"Yah, kenapa orang kok meninggal?" tanya Aunil sore tadi di atas motor.
"Soalnya dia sudah tidak bernyawa," jawab saya.
"Bukan. Soalnya orang yang meninggal itu mau dipindah ke surga. Dia harus tidur dulu di kuburan biar tidak capek nanti di surga."
Cegukkk.....

Selasa, 9 Juni 2015 (17:24)