Diberdayakan oleh Blogger.

MINI CONFERENCE SINGAPURE

Waktu menunjukkan jam 5 pagi di hari Minggu 10 September 2017 itu, ketika saya tiba di Bandara Internasional Adisucipto Yogyakarta. Cuaca dingin dan rasa kantuk masih  menggelayut di pelupuk mata. Maklum, hampir semalaman saya tidak tidur karena harus menyiapkan berbagai keperluan presentasi.

Saya sadar, bahwa presentasi yang akan saya sampaikan pada hari Senin 11 September 2017 keesokan harinya adalah presentasi yang bagi saya sangat luar biasa. Ya, luar biasa. Sebab saya harus melakukan presentasi di hadapan orang-orang baru, di ruangan baru, tepatnya di sebuah negara yang juga merupakan negara baru yang saya datangi. Singapura.
 
 

Sebelumnya bagi saya, datang ke negara tetangga itu seperti sebuah mimpi saja. Singapura yang selama berpuluh-puluh tahun lalu saya hanya mendengarnya sebagai negara maju, di hari Minggu itu akan saya kunjungi. Negara yang warna benderanya (kecuali motif bintang dan bulannya) sama persis dengan bendera Indonesia itu akan menjadi negara pertama yang saya kunjungi dalam sejarah hidup saya bepergian ke luar negeri. Semoga akan ada kesempatan lain untuk bisa berkunjung ke negara-negara lain di waktu yang lain.
 
Dan tujuan utama dari kepergian saya ke negara yang bisa ditempuh hanya dalam waktu satu jam lebih dari Jakarta itu bukan untuk traveling atau shooping, melainkan untuk presentasi paper dalam acara mini conference yang diselenggarakan S.Rajaratnam School of International Studies (RSIS), yang berada di lingkungan salah satu kampus terkemuka di dunia; Nanyang Technological University.

Barangkali bukan hanya saya, keempat rekan saya seperti Imas Luul Jannah, Moh. Anwar Salafuddin, Lutfan Muntaqo dan Dahlia Hidayati Umar Hasan mungkin juga merasakan perasaan yang sama -senang dan gugup- ketika mereka tahu bahwa abstrak paper hasil penelitian yang mereka kirimkan ternyata diterima dan disetujui untuk dipresentasikan di Singapura. Kami senang karena bisa bepergian ke luar negeri dengan gratis, tapi juga gugup karena kepergian itu sebenarnya tidak benar-benar gratis. Ada ‘harga’ yang harus dibayar, yaitu kesungguhan untuk bisa mempresentasikan paper kami dengan sebaik-baiknya dan kami telah berupaya untuk itu. 

Sepanjang penerbangan dari Yogyakarta-Tangerang hingga Singapura, saya pribadi tak henti-hentinya bersyukur dengan mengikuti program call paper yang banyak ditawarkan oleh berbagai lembaga dan perguruan tinggi luar negeri lewat kerjasama mereka dengan pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. Salah satunya sebagaimana program call paper yang diselenggarakan RSIS di mana tahun ini mengangkat tema Islam, Globalisation and Activism in Southeast Asia.
 

Juga, sepanjang penerbangan itu, saya menyiapkan mental untuk bisa menjalankan kewajiban saya agar bisa mempresentasikan paper dengan sebaik-baiknya, sebagus-bagusnya, meskipun segala persiapan itu harus runtuh secara perlahan saat saya ‘ditahan’ (random chek) untuk suatu alasan yang bagi saya hingga saat ini masih menjadi misteri. Duh! Peristiwa random yang saya alami untuk pertamakalinya itu tentu saja membuat saya shock. Apalagi, itu saya alami di suatu tempat yang amat jauh dari negara saya, di mana tak satu pun orang-orang yang saya lihat bisa diajak untuk sekadar curhat mengurai rasa shock yang tak bisa hilang begitu saja meski Pak Najib Kailani, Pak Ahmad Rafiq dan Pak Sunarwoto berkali-kali berkata, “Tenang, Rus. Itu biasa, santai saja”. Ya, tenang saja. Mungkin memang seperti itulah perjalanan hidup manusia. Selalu ada masalah, rintangan, hambatan dan juga random.   
 

Dengan mengikuti program call paper semacam itu, yang utama bagi kami para mahasiswa tentu bukan sekadar bisa pergi gratis ke luar negeri. Tapi, dengan adanya program itu, kita juga bisa menyadari apa yang seharusnya kita benahi dari setiap kekurangan kita sebagai mahasiswa lewat pertukaran ide dengan berbagai pihak dalam ruang lingkup yang lebih luas. Hal ini tampak selaras dengan sambutan Bapak Noorhaidi Hasan selaku direktur pascasarjana UIN Sunan Kalijaga yang menyatakan bahwa, lewat program call paper ini beliau ingin memberikan peluang, pengalaman dan kesempatan kepada mahasiswa untuk membuka wawasan mereka seluas-luasnya lewat interaksi secara internasional melalui riset dan karya-karya intelektual. 


Bagi saya dan empat rekan saya lainnya sesama mahasiswa, kesempatan mengikuti mini conference ke Singapura tahun ini adalah pengalaman yang cukup berharga. Terlebih ketika Bapak Noorhaidi Hasan, Bapak Najib Kailani, Bapak Sunarwoto, Bapak Ahmad Rafiq, Ibu Nina Mariani Noor, Ibu Eti Rohaeti dan Ibu Kenya Budiani yang notabene banyak mengenyam pengalaman mengikuti kegiatan seperti itu, turut pula menemani dan membimbing kami.
 

Di samping itu, bagi saya, mengikuti program mini conference seperti itu tidak sekadar meniscayakan diperolehnya pengalaman berdiskusi dalam kancah internasional lewat paper yang dipresentasikan. Namun yang tidak kalah penting adalah, kita juga dapat saling memahami bagaimana tradisi dan budaya masyarakat di setiap negara yang kita kunjungi serta turut merasakan atmosfer kehidupan mereka. Kenyataan ini tentu saja memberikan nilai pengalaman lebih bagi kita dan membuat kita bisa mempelajari banyak hal tentang apa yang baik di negara lain yang bisa kita ikuti, di mana yang demikian tidak kita temui di negara sendiri.
 
Seperti halnya negara Singapura. Harus saya akui bahwa negara ini dihuni oleh orang-orang yang menjadikan kedisiplinan sebagai sikap hidup yang penting. Sebagai contoh, bila kita menyusuri jalanan Singapura yang ramai itu, kita seperti sedang menyusuri jalanan perkampungan yang sunyi. Deru mobil yang berseleweran tak ubahnya desir angin yang menelusup di antara ranting-ranting dan dedaunan. Itu terjadi karena para pengendara tak perlu membunyikan klakson untuk sekadar mendahului atau pindah jalur dan mereka tak perlu merasa khawatir disenggol atau ditabrak mobil lain. Di Singapura, kedisiplinan tidak hanya ada di kampus dan tempat-tempat kerja, tapi juga di jalan-jalan raya.
 
“Coba kamu perhatikan, di Singapura ini, betapa jarangnya kita mendengar suara klakson mobil meskipun jalanan ramai seperti ini, kan?” bisik Pak Sunarwoto di samping saya. Dan saya pun terpengaruh ucapan beliau sehingga sepanjang perjalanan menyusuri bagian-bagian Singapura, saya lebih banyak terdiam di dalam mobil, memperhatikan kalau-kalau ada suara klakson mobil. Ini memang terdengar cukup aneh.
 
Malam hari, usai siangnya mengikuti mini conference, kami rombongan dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini kami diberi kesempatan untuk menikmati makan malam di kawasan Chinatown Food Street. Kawasan ini hampir dapat dikatakan sebagai kawasan yang tidak pernah sepi. Tumpukan kursi selalu dipenuhi oleh para turis yang ingin menikmati makan malam mereka di daerah yang banyak dipenuhi dengan ornamen-ornamen China.

Selesai menikmati acara makan malam di Chinatown Food Street, kami bergegas menuju pusat keramaian lain di Singapura. Kali ini kami menuju Merlion Park, sebuah tempat di mana ikon Singapura berada. Di tempat ini, peserta mini conference dapat menikmati beberapa pemandangan seperti Esplanade, bangunan yang merupakan pusat seni paling aktif di dunia, Singapura River dan Marina Bay Sands yang sedang mempertontonkan atraksi cahayanya. Menjelang tengah malam, kami mengakhiri perjalanan di Mustafa Center Singapure untuk keperluan membeli oleh-oleh yang akan dibawa pulang pada Selasa keesokan harinya.
 



Sampai acara selesai dan kami harus kembali bertolak ke tanah air, peristiwa random chek itu kembali saya alami. Saya tertahan kembali untuk diperiksa beberapa saat di pintu masuk Bandara Changi. Cek sidik jari berkali-kali. Cek paspor berkali-kali, dan wajah saya ditatap petugas berkali-kali. Dalam hati saya hanya bisa membatin, “Ya, Tuhan! Ini akibat salah saya atau ada yang salah dengan wajah saya.” Tapi ya...biarlah, saya tak ingin memikirkannya lagi. Saya sudah capek, ngantuk. Wayyyyy....uzzzz!




Singapure - Jakarta, 15 September 2017