Diberdayakan oleh Blogger.

Sudah Waktunya Puasa Lagi..!


http://www.mediabaca.com/wp-content/uploads/2012/08/memahami-pengertian-hilal.jpg
Sering kita mendengar celotehan orang-orang di sekitar, “Wah, ini sudah bulan Sya’ban. Sudah itu bulan Ramadhan lagi. Puasa lagi.” Sungguh ini celotehan yang sederhana atau bahkan biasa saja kedengarannya. Tapi pernahkah kita menyadari kalau celotehan seperti itu seakan menggambarkan rasa ketidakpercayaan kita tentang begitu cepatnya waktu berlalu. Rasanya baru kemarin kita berpuasa, tiba-tiba sekarang Ramadhan sudah kembali hadir di depan mata.

Ya, waktu memang begitu cepat berganti. Apalagi bagi kita yang bergelut dengan rutinitas pekerjaan setiap hari. Dengan rutinitas pekerjaan seperti itu, kita seringkali terperangah oleh bergantinya bulan yang begitu cepat berlalu. Dari Januari ke Februari, lalu dari Maret ke Mei dan dari Mei hingga sekarang Juni, semua berjalan seakan dalam sekilatan mata memandang.

Benar kata pepatah yang mengatakan, bahwa sesuatu yang tak bisa dikalahkan di samping Tuhan dan kematian adalah waktu itu sendiri. Siapa yang bisa menghambat laju waktu? Tak ada. Siapa yang bisa memutar waktu hingga kita bisa kembali lagi kepada nostalgia masa lalu? Tak ada. Waktu terus berjalan dan kita ‘dilibas’ di dalamnya.

Konon, Imam Ghazali pernah memberi dua pertanyaan kepada muridnya, “Muridku, apa yang paling jauh dan sekaligus paling dekat di dunia ini?” Si murid menjawab, “Yang paling dekat adalah urat leher sedang yang paling jauh adalah bintang-bintang.” Imam Ghazali tersenyum sambil mengangguk. Tapi kemudian dia berkata, “Ingat, yang paling dekat adalah kematian sebab kita mendekatinya. Sementara yang paling jauh adalah sejarah karena kita meninggalkannya.”

Jika kita renungkan, sungguh benar apa yang dikatakan sang imam. Kematian memang merupakan peristiwa yang sangat dekat kepada kita karena usia kita berjalan mendekatinya. Sebaliknya sejarah merupakan sesuatu yang jauh dari kita karena kita memang bergerak menjauhinya. Dari masalah ini, kita secara tidak langsung dituntut untuk mengoreksi tentang apa sudah kita lakukan dalam rangka mengisi waktu-waktu kita selama ini.

Kalau kita berbicara waktu, sebaiknya kita perhatikan baik-baik apa yang pernah disabdakan Rasulullah Saw. Dalam salah satu sabdanya beliau pernah berkata, bahwa keberuntungan seseorang adalah apabila hari ini dia jauh lebih baik dari hari sebelum-sebelumnya. Sebaliknya, kerugian seseorang adalah apabila hari ini dia sama saja atau bahkan lebih buruk dari sebelum-sebelumnya.

Sabda Rasulullah Saw ini secara tidak langsung memberikan motivasi kepada kita untuk tidak membiarkan waktu atau kesempatan yang kita miliki berlalu dengan sia-sia. Kita perlu berusaha memastikan, bahwa harus ada kebaikan-kebaikan yang kita perbuat dalam detik-detik waktu yang kita miliki. Waktu merupakan sesuatu yang teramat mahal dan tak bisa dihargai dengan harta benda yang kita punyai. Kita tidak bisa mengulang waktu, mengatur perputarannya sesuai selera kita dan apalagi melompatinya. Yang bisa kita lakukan adalah mengisi waktu kita hari ini, entah dengan kebaikan atau sebaliknya keburukan.

Kita tidak perlu risau jika memang belum mampu melakukan amal kebaikan yang besar demi menghargai waktu yang kita miliki. Mari kita lakukan amal baik meski menurut pandangan orang lain terbilang kecil dan sederhana. Sebab amal kebaikan yang sederhana sekalipun tetap akan mendapatkan perhatian dari Allah SWT. Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Begitulah janji Allah dalam surat Al-Zalzalah ayat 7. 

Oleh sebab itu, kita patut bersyukur karena Allah SWT memperkenankan kita untuk menjumpai kembali dengan hadirnya waktu bulan Ramadhan tahun ini. Namun kita perlu bertanya apakah bulan Ramadhan tahun ini akan kita sambut dengan penyambutan dan amalan yang sama seperti Ramadhan tahun lalu? Atau kita sudah mempunyai rencana untuk menyambut dan mengisinya dengan kegiatan-kegiatan yang melebihi dari Ramadhan-Ramadhan yang sudah pernah kita lalui?

Damainya Bangsa Di Tangan Kita

http://www.rusemoes.com/upload/galleries/200.jpg
Sebagai rakyat, tentu saja kita menginginkan agar bangsa ini selalu damai, tenteram, jauh dari permusuhan dan pertengkaran. Kita tidak ingin memiliki bangsa yang senang berkonflik, saling menyimpan dendam diantara sesama. Tidak ada sejarahnya sebuah bangsa akan maju dan jaya apabila rakyatnya saling mengobarkan permusuhan satu sama lain. Sebaliknya, sebuah bangsa justru akan maju dan jaya apabila di dalamnya tercipta rasa saling menyayangi, saling menghargai, saling menghormati serta saling membantu diantara mereka. Bangsa kita adalah bangsa yang majemuk, terdiri dari bermacam-macam suku bangsa, bahasa dan agama. Perbedaan ini merupakan satu rahmat yang diberikan Allah SWT sehingga kita bisa saling mengenal dan mengetahui bahwa Allah SWT memang Maha Kuasa menciptakan makhluk-Nya dengan beraneka ragam rupa.

Dalam surat Al-Hujurat ayat 13, Allah SWT menegaskan, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Ayat ini secara tidak langsung mengingatkan kepada kita untuk tidak terlalu mempersoalkan perbedaan suku bangsa, bahasa, agama apalagi hanya sekadar perbedaan madzhab dan politik. Mengapa demikian? Sebab sampai kapanpun manusia tidak akan pernah bisa dijadikan seragam dalam hal bermadzhab dan beragama sekalipun. “...Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.” Itulah pernyataan Allah SWT dalam QS. Al-Maidah:48.

Dengan demikian, perbedaan diantara kita sama sekali bukanlah alasan untuk saling memusuhi, saling mendendam dan saling menghina. Justru dengan perbedaan itulah kita memiliki kesempatan untuk berusaha menjadi manusia-manusia yang terbaik di dunia ini. Allah SWT tidak lebih memuliakan mereka yang ikut madzhab A atau B, pengikut partai ini atau pengikut partai itu. Sebab yang akan mendapatkan derajat kemuliaan di sisi-Nya hanyalah mereka yang benar-benar bertaqwa kepada-Nya.

Lalu bagaimana kita mengukur kadar ketaqwaan kita? Tanda ketaqwaan seseorang tidak hanya ditandai oleh seberapa rajinnya mereka shalat, puasa, membaca Al-Qur’an, shadaqah atau seberapa seringnya mereka naik haji. Shalat, puasa, membaca Al-Qur’an, shadaqah dan haji hanyalah sarana bagi kita dalam mengabdi dan mendekatkan diri kepada Allah, dan bukanlah tanda dari ketaqwaan itu sendiri.

Kata Nabi Saw, taqwa itu di dalam hati letaknya. Dan tidak seorangpun sanggup mengetahui isi hati seseorang kecuali Allah SWT dan yang bersangkutan. Meskipun taqwa terletak di dalam hati, namun bukan berarti kita tidak bisa mengetahui ciri-cirinya. Ada banyak dalil, baik dalam Al-Qur’an maupun Hadits yang menjelaskan tentang ciri-ciri orang bertaqwa. Salah satunya yang bisa disebutkan disini adalah mereka yang tidak suka membuat keonaran, permusuhan, dendam, buruk sangka dan iri hati.

Kurang sempurna ketaqwaan seseorang -meskipun mereka rajin shalat- selama mereka suka mengobarkan permusuhan terhadap orang lain. Kita boleh beda madzhab, beda partai maupun beda organisasi. Namun dengan alasan apapun kita tetap tidak diperkenankan menumbuhkan permusuhan dan buruk sangka yang menyebabkan hilangnya kedamaian di tengah kehidupan bangsa yang majemuk ini.

Bahkan terhadap orang yang berbeda agama sekalipun, kita tidak seharusnya berburuk sangka kepada mereka. Sebab kita tidak pernah tahu nasib hati seseorang. Siapa tahu mereka yang selama ini kita anggap kafir, justru hatinya diberi hidayah iman oleh Allah menjelang mereka wafat sehingga kematiannya khusnul khatimah. Dan tidak ada jaminan, meskipun kita telah mengaku beriman namun siapa tahu hati kita justru berubah menjadi kafir saat ajal menjelang sehingga kematian kita menjadi su’ul khatimah. Na’udzubillah.

Jadi, mari kita berusaha menjadi manusia terbaik dengan cara berpikir dan berperilaku baik. Sebab yang kita perjuangkan bukan hanya baiknya masa depan partai atau organisasi. Melainkan baiknya masa depan kita sebagai sesama warga dari sebuah bangsa yang kita cintai

Plus-Minus Kampanye

https://nugrainna.files.wordpress.com/2012/06/ninna-poster-kampanye-pemilu.jpg
Musim kampanye kembali tiba. Caleg dan parpol menggembar-gemborkan jargon yang hampir serupa. Kampanye Cerdas. Namun masalahnya, adakah kampanye -terutama kampanye parpol dan caleg- yang benar-benar cerdas dan sekaligus mencerdaskan? Silahkan masing-masing kita memberikan jawabannya.

Tapi, ada satu hal yang patut kita garisbawahi. Bahwa kampanye, selamanya akan selalu identik dengan pencitraan. Ketika salah satu parpol sedang berkampanye, kita tidak mungkin menemukan pernyataan negative dari sang jurkam berkaitan dengan parpol yang sedang dikampanyekan.

Begitu pula ketika ada seorang calon legislative (caleg) maupun calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) sedang kampanye. Jangan harap kita menemukan pernyataan yang menjelaskan apa saja kekurangan yang mereka miliki. Justru sebaliknya, yang dikampanyekan atau yang disampaikan hanyalah kelebihan dan kehebatan mereka masing-masing. Nah, inilah kurang lebih yang dimaksud dengan pencitraan itu.

Karena melulu bernilai pencitraan, maka sulit mengatakan ada kampanye parpol yang benar-benar cerdas apalagi mencerdaskan. Hukum yang berlaku dalam setiap kampanye parpol adalah, “sampaikan kebaikanmu, kehebatanmu, kelebihanmu, bukan yang lain.” Makanya wajar kalau di sepanjang jalan kita temukan gambar seorang caleg yang disertai kalimat-kalimat fantastis seperti; Jujur, Cerdas, Peduli, Dapat Dipercaya dan seterusnya.

Pertanyaannya; apakah si tokoh yang ada dalam gambar itu benar-benar jujur, cerdas, peduli dan dapat dipercaya? Wallahu A’lam. Namun yang jelas, para koruptor yang sekarang mendekam di penjara, dulu sewaktu kampanye juga sangat mungkin mengatakan hal yang sama, bahwa mereka jujur dan dapat dipercaya meskipun kenyataannya mereka tidak seperti yang dikatakan dalam kampanye.

Jika demikian kenyataannya, justru kitalah sebagai rakyat yang harus cerdas memahami arti kampanye. Kampanye adalah bagian dari proses dalam menentukan dan memilih seorang pemimpin, baik pemimpin di tingkat nasional, provinsi maupun daerah. Termasuk calon anggota DPR. Sebagai umat Islam, tentu saja kita harus berhati-hati dalam setiapkali mengikuti kampanye. Salah satu hal yang perlu dihindari dalam memasuki masa-masa kampanye adalah tradisi sogok-menyogok atau biasa dikenal dengan money politic.

Dalam masa-masa kampanye, sogok-menyogok (money politic) kerap merupakan hal yang lumrah dilakukan meskipun pemerintah sudah berulangkali memberikan peringatan yang bersifat melarang. Bukan hanya pemerintah, Rasulullah Saw sendiri melarang keras budaya sogok-menyogok sebagaimana sabdanya, “Penyogok dan orang yang disogok (keduanya tercanam) masuk neraka.” Kerasnya ancaman inilah yang membuat para ulama sepakat bahwa sogok-menyogok tergolong perbuatan haram yang wajib dihindari.

Meski begitu, ada juga orang yang berpandangan lain, “Sogokan biasanya berhubungan dengan uang. Bagaimana seandainya bukan uang, melainkan sembako dll. Apa boleh diterima?” Kalau Anda menerima pemberian itu, tentu Anda sendiri yang kelak harus mempertanggungjawabkannya. Tapi yang jelas, tidak ada kampanye yang murni cerdas dan mencerdaskan. Kitalah sebagai pemilih yang harus cerdas. Dan pemilih yang cerdas tentu akan berprinsip “tidak akan melanggar ajaran agama hanya demi hiruk-pikuknya sebuah kampanye.”

Pelajaran Penting Dari Sebatang Pohon



Kita semua pasti tahu tentang pohon. Bahkan selama ini kita juga sudah banyak merasakan kegunaant pohon. Ada pohon yang kita gunakan sebagai alat-alat rumah tangga, ada pohon yang kita fungsikan sebagai peneduh lingkungan, dan tidak sedikit pula ada pohon yang kita manfaatkan baik hanya buah maupun daun yang tumbuh dari dalamnya.
            Menurut ilmu biologi, pohon merupakan ciptaan Allah yang mampu menghasilkan zat gula serta mengubah gas beracun (karbondioksida) menjadi oksigen yang sangat dibutuhkan oleh manusia.
            Sejauh pengamatan penulis, Allah SWT menyebut kata ‘pohon’ dalam Al-Qur’an baik secara tersurat maupun tersirat sebanyak 48 kali dan tersebar di beberapa surat. Kalau kita benar-benar meyakini bahwa Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi manusia, tentu disebutkannya kata ‘pohon’ oleh Allah dalam firman-Nya itu dapat kita jadikan sebagai salah satu sumber ilmu yang harus kita yakini kebenarannya.
            Apa pelajaran penting yang terdapat pada sebatang pohon? Di samping berfungsi sebagai penghasil oksigen, pohon juga mengajarkan kita tentang artinya bersabar. Terutama bersabar dalam menjalankan sebuah usaha atau proses. Jika kita cermati, pohon termasuk makhluk Allah yang tidak tergesa-gesa saat dia tumbuh. Pohon tumbuh setahap demi setahap, seinci demi seinci namun ia selalu konsisten dan istiqamah dalam menjalankan tugasnya untuk terus tumbuh dan berproses.
            Coba lihat, berapa lama waktu yang diperlukan oleh sebatang pohon jati di hutan untuk tumbuh menjadi besar? Tidak cukup setahun atau dua tahun. Melainkan puluhan tahun. Tetapi pohon itu tabah, sabar dan tidak tergesa-gesa untuk bisa tumbuh sebesar itu.  Karenanya ia kuat dan kokoh.    
            Allah SWT berfirman dalam surat Ali Imran ayat 190 yang artinya, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.”  Dan diciptakannya pohon juga menjadi tanda-tanda kekuasaan Allah yang harus kita pikirkan hikmah dan manfaatnya.
            Jika kita termasuk orang yang berakal, tentu keberadaan setiap pohon yang merupakan ayat-ayat kauniyah Allah dapat kita jadikan sebagai bahan pelajaran yang sangat penting bagi kehidupan kita. Dan salah satu pelajaran penting yang bisa kita petik dari keberadaan sebuah pohon adalah kesabaran dan ketabahannya dalam menjalankan sebuah proses atau usahanya untuk tumbuh.
            Untuk menjadi seorang pengusaha misalnya, kita perlu bersikap sebagaimana pohon yang tidak tergesa-gesa menjalankan tugasnya. Demikian pula, untuk menjadi ahli ibadah kita juga perlu berlatih dengan sabar setahap demi setahap. Perlu diketahui, Islam senantiasa mengajarkan kita untuk bertindak dengan cermat dan tidak tergesa-gesa. Allah bahkan mencela para hamba-Nya yang suka melakukan sesuatu dengan tergesa-gesa. Mengapa? Sebab perbuatan tergesa-gesa itu menyebabkan kita ceroboh, tidak bisa berpikir jernih serta tidak mencerminkan kepribadian orang yang sabar.
Nabi Saw mengingatkan kita dalam sabdanya, “Doa seorang hamba senantiasa dikabulkan selama dia tidak memohon suatu dosa, memutus silaturahmi dan tidak tergesa-gesa.” Para sahabat bertanya, “Apa arti tergesa-gesa (dalam berdoa)?” Beliau Saw menjawab, “Orang yang berdoa tersebut mengatakan, ‘Saya telah berdoa, dan saya benar-benar telah berdoa, tetapi Allâh Azza wa Jalla tidak mengabulkan doaku.” Kemudian dia berhenti berdoa dan meninggalkannya,” (HR. Muslim). Jadi, marilah kita lakukan suatu kebaikan dengan tenang, sabar dan tidak tergesa-gesa, agar mental kepribadian kita pun pada akhirnya menjadi kuat laksana pohon. Wallahu A’lam.

Menyayangi yang Di Bumi, Disayangi yang Di Langit

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhKUIon5uF0AwEUNfe0EAYWgrcuaXqlWp-v3dwX9no07NeACW5mp0_6Eoh5PwwWB6yz09n7bl1oAs_VGbABodKReV6FiWaNtgmFLjbSKiON4sxkcXLfgfaANYFoHV5S68jkKkjt6O-ecxQ/s1600/AC.+ket+A+1.jpg
Sebagai umat Islam, kita mungkin tidak asing lagi dengan bunyi hadis yang menyatakan, bahwa Nabi Muhammad diutus ke muka bumi ini untuk menyempurnakan akhlaq. Dan memang demikianlah tugas pokok Rasulullah Saw. Tetapi, meski begitu populer bunyi hadis itu dikalangan kita umat Islam, namun bukan berarti perkara yang mudah untuk menerjemahkan apa sesungguhnya yang dimaksud dengan akhlaq yang sempurna itu.

Secara umum, akhlaq memang diartikan sebagai perilaku manusia. Tetapi sasaran dari perilaku itu sendiri tidak terbatas hanya kepada manusia semata. Setiap manusia, memang harus memiliki akhlaq yang baik, yang harus ditujukan bukan hanya kepada sesamanya melainkan juga kepada makhluk-makhluk lainnya. Termasuk binatang dan tumbuh-tumbuhan. 

Terdapat banyak riwayat yang menyebutkan, bahwa Rasulullah Saw merupakan sosok yang sangat menyayangi binatang. Hal ini menjadi bukti betapa perilaku atau akhlaq yang baik itu merupakan sikap yang harus ditunjukkan kepada semua makhluk. Kita tidak diperkenankan berbuat semena-mena terhadap semua ciptaan Allah. Sebab perbuatan semena-mena itu merupakan lawan dari akhlaq yang baik.

Mengingat begitu luasnya arti mengenai akhlaq yang baik atau akhlaq yang sempurna itu, maka tidak heran kalau Islam dikatakan sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin). Kata-kata rahmat itu sendiri, menurut Ahmad Musthafa al-Maraghi, mengandung arti sebagai “suatu perasaan halus di dalam hati yang mendorong seseorang untuk menyayangi.”

Namun ironisnya, pekerjaan menyayangi selama ini hanya ditafsirkan sebagai perasaan seseorang pada orang lain, seperti perasaan laki-laki pada perempuan dan seterusnya. Padahal, sikap menyayangi yang menjadi dasar dari tumbuhnya akhlaq yang baik memiliki cakupan atau sasaran yang sangat luas. Tidak hanya menyangkut antar manusia, melainkan meliputi semua makhluk yang mendiami alam semesta.

Maka kita patut prihatin manakala kita menyaksikan orang-orang berbuat semena-mena terhadap alam, seperti melakukan pengrusakan hutan, mencemari sumber mata air, mengotori lingkungan dengan membuang sampah sembarangan, meracuni ikan-ikan di sungai dan lain sebagainya.  

Perbuatan-perbuatan semacam itu, bukan hanya merusak lingkungan alam sekitar kita. Tetapi, perbuatan yang demikian juga mencerminkan kroposnya akhlaq yang baik, menipisnya rasa kasih sayang terhadap sesama makhluk serta yang paling fatal kita telah melakukan pelanggaran terhadap apa yang dilarang Allah SWT dalam firman-Nya, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik,” (QS. Al-A’raf:56).

Tak hanya itu, ketika akhlaq kita buruk dan rasa sayang kita kepada sesama makhluk di muka bumi ini sedemikian kropos, maka turunnya kasih sayang Allah dan makhluk-makhluk-Nya di langit jadi terhambat. Sebab Nabi Saw sudah mengingatkan dalam sabdanya, “Orang yang tidak menyayangi maka tidak akan disayangi.” Dan dalam riwayat yang lain Nabi juga bersabda, “Sayangilah yang ada di bumi, maka yang ada di langit akan menyayangimu.”  Selagi masih belum terlambat, mari kita perbaiki akhlaq kita dan tumbuhkanlah rasa sayang kita kepada semua makhluk Allah yang terhampar di alam semesta. Wallahu a’lam.

Bertakbir Sekaligus Bertakabbur

Allah SWT menyatakan diri-Nya sebagai Yang Maha Besar. Kebesaran-Nya tak dapat kita bandingkan dengan apapun di seluruh jagad raya ini. Bahkan sekadar kita berpikir untuk mencari bandingan antara kebesaran Allah dengan selain Dia, sungguh kita tidak akan pernah berhasil.

Karena kebesaran Allah itu sama sekali tak tertandingi oleh apapun, maka kita menyebutnya dengan kalimat Allahu Akbar (Allah Maha Besar), dan itu kita sebut berkali-kali setiap hari dalam shalat kita, dzikir kita dan seterusnya.

Pengakuan terhadap kebesaran Allah itu akan semakin terasa frekuensinya manakala kita telah usai menjalankan ibadah puasa dan kemudian kita masuki hari satu Syawal dimana kita diperintahkan untuk bertakbir sejak malam hingga pagi harinya.

Coba kita renungkan, miliaran manusia di dunia pada malam dan hari yang sama di awal bulan syawal memekik-mekik kalimat Allahu Akbar..Allahu Akbar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Seandainya kita diperkenankan oleh-Nya untuk bisa terbang dan mampu mendengarkan seluruh pekikan takbir itu, mungkin seluruh tubuh kita akan tenggelam dalam getaran-getaran maha dahsyat yang ditimbulkan oleh pekik takbir itu.

Mengagungkan Allah lewat pernyataan kalimat Allahu Akbar, saya rasa merupakan sebentuk latihan agar kita belajar mengerdilkan diri di tengah-tengah kebiasaan membesar-besarkan, menghinakan diri diantara pusaran keinginan mengagungkan dan membangga-banggakan. Memang, manusia teramat besar keinginannya untuk dianggap “lebih” dari manusia lainnya. Lebih hebat, lebih mulia, lebih suci dan sekian embel-embel kelebihan lain yang semua itu seakan memaksa kita -tanpa kita sadari- untuk berlaku sombong dan angkuh.

Keinginan untuk dianggap “lebih” inilah yang seharusnya dikikis dengan penghayatan mendalam saat kita mengucap Allahu Akbar. Kita bisa menjadi sombong, besar kepala, angkuh dan menganggap diri kita “lebih segalanya” dari orang lain, itu kemungkinan besar karena kita belum menemukan taste dari pekik Allahu Akbar yang sehari-hari kita ucapkan. Makanya kita sombong.

Dan harap dicatat, bahwa kesombongan itu bukan hanya milik orang yang tidak shalat. Orang yang sehari-hari kita pandang rajin shalat sekalipun, juga bisa menjadi manusia-manusia sombong atau bahkan kesombongannya lebih hebat lagi dibanding mereka yang shalatnya lebih banyak absen-nya.

Kalau kita camkan apa yang pernah disampaikan oleh Rasulullah Saw, betapa ngerinya hati kita memahami pengaruh-pengaruh kesombongan, ketakabburan. Betapa tidak, sebesar biji dzarrah saja kita pelihara kesombongan dalam hati, maka Allah sama sekali tak memperkenankan sorga-Nya untuk kita masuki.

Tak akan masuk sorga, kata Rasulullah, orang yang di dalam hatinya terdapat sifat sombong sebesar biji dzarrah. Andai sorga kita umpamakan sebagai sebuah rumah pesta, yang di dalamnya disediakan jamuan-jamuan paling lezat dari lezatnya jamuan yang pernah dicipta manusia, maka dengan kesombongan itu kita terusir dari sana.

Kesombongan atau ketakabburan menjadikan nasib kita dihadapan Allah menjadi begitu fatal dan naifnya. Sebab dengan kesombongan itu kita seperti sedang mengkondisikan diri menjadi pihak-pihak yang terbuang dari kasih sayang-Nya, menjadi pihak yang tersingkir dari panggilan cinta-Nya, menjadi sosok-sosok yang dibiarkan berada dalam kebuntuan tak bertepi di saat orang lain justru telah sampai pada tujuan yang mereka idam-idamkan selama ini.

Karena itu, saya membayangkan, ketika sedang mengucap Allahu Akbar, maka segala atribut-atribut yang selama ini memaksa saya sombong harus saya buang dan singkirkan jauh-jauh. Harusnya saya merasa kerdil di hadapan kebesaran-Nya, harusnya saya merasa ringkih di hadapan keperkasaan-Nya, harusnya saya merasa hilang arti di hadapan kekuasaan-Nya. Allahu Akbar...Allahu Akbar.

Sayangnya, saya tak cukup cerdas untuk segera dapat mengetahui, bahwa ternyata segala ihwal yang mengantarkan saya kepada kesombongan itu bukan hanya harta, ilmu, paras, keluarga, pangkat dan status-status jabatan belaka. Tetapi ternyata, sekadar diri ini merasa “lebih takwa” dari orang lain pun sudah cukup menenggelamkan saya di dalam lumpur ketakabburan.

Para Nabi dan Rasul, selalu saja berdoa yang menyiratkan betapa mereka senantiasa mengaku dzalim di hadapan Allah. Mereka tak pernah menabik dada dengan menyebut mereka lebih baik dan benar dari umatnya, lebih shalih dari orang lain, merasa lebih pantas masuk sorga daripada orang-orang di sekitarnya. Dan perasaan inilah yang kian membuat mereka tak pernah merasa cukup untuk mengucap Allahu Akbar, tak pernah merasa puas untuk tenggelam dalam lautan ibadah kepada Allah.

Sungguh betapa canggih dan membahayakannya makhluk yang bernama “diri merasa lebih” ini. Sebab dari perasaan inilah seseorang bisa dengan mudah melakukan penistaan-penistaan yang membuat mereka justru terlihat bodoh dalam kepandaiannya , terlihat jahat ditengah ibadah yang dilakukannya.

Karena saya merasa lebih takwa, maka saya hina siapa saja yang berbeda dengan saya. Karena saya merasa lebih suci, maka saya halalkan caci. Karena saya merasa lebih tahu tentang agama, maka saya remehkan para pendosa tanpa harus saya tahu alasannya kenapa mereka berbuat dosa. Hanya karena diri merasa lebih, saya akhirnya berbuat seperti yang saya inginkan. Bukan berdasarkan apa yang Allah perintahkan.

Apa itu sombong, wahai Rasul? Sabda beliau itu kini lamat-lamat saja terdengar; ialah menolak kebenaran dan menghina (merendahkan, meremehkan) manusia. Maka akhirnya saya khawatir, jika setiap hari saya lantunkan kalimat Allahu Akbar, bukannya diri makin tunduk rendah penuh gemetar melainkan makin menjulang saja pohon yang bernama rasa takabbur. 

Jadi Bilal atau Batunya?

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi7qGfUsRUeASP6btq17TWNodk1EFcF2t_I0blOyDc1zzDsUHM3C7cCFgT6qRH4cvAVb0WDpPHmvLc68YHmbDv2oXuO_4cjJZklPJffqrxDUaaq3E9d22Mr9goCV3Gza4KQEP2pdla40n1i/s400/1Bedaween.jpg
Di tengah terik matahari, yang panasnya menampar-nampar padang pasir tandus wilayah Mekkah ketika itu, seorang tuan dan budaknya sedang berhadap-hadapan.

“Kau tahu, sebagai seorang budak apa tugasmu?” tanya si tuan berkacak pinggang.

“Tentu,” jawab si budak tanpa sedikitpun merasa gentar.

“Kalau begitu, aku perintahkan sekarang. Lepaskanlah keyakinanmu. Kembalilah pada keyakinan semula. Keyakinan nenek moyang kita semua.”  

“Maaf. Saya tak mau.”

“Kau menentang tuanmu, wahai budak?” tanya si tuan dengan suara mulai lantang penuh geram.

“Iya. Lalu apa lagi yang tuan tunggu? Lakukan kawajiban tuan terhadap budakmu yang melakukan penentangan ini.”

Laiknya seorang tuan yang merasa bebas berbuat apa saja terhadap bawahannya, maka si budak segera diikat, dan lalu ditelentangkan di atas padang pasir tanpa pakaian. Tak lama kemudian lengking suara cambukan membahana menembus langit, yang barangkali membuat sekian malaikat ikut merasa perlu untuk melaknat.

“Kau tak akan merubah pendirianmu, wahai budak?”

“Jangan harap.”

“Akan kutindih tubuhmu dengan sebuah batu yang besar itu.”

“Lakukan jika dengan itu tuan merasa yakin akan sanggup merubah pendirianku.”

Maka diangkatlah batu hitam itu menindih tubuh sang budak yang juga berkulit hitam. Saya bayangkan, empat macam siksaan datang bertubi-tubi menimpa si budak. Tubuh yang terpanggang terik matahari dan pasir yang panas, pedihnya cambuk yang merobek kulit, batu hitam besar berat yang menindih badan, dan tak menutup kemungkinan si tuan pun melemparkan caci yang menyinggung hati.

Sekian siksaan yang datang bersamaan itu, rupanya tak sedikitpun membuat si budak berubah pikiran. Penyiksaan yang sangat dahsyat dan sebenarnya si budak sendiri merasa sakit, tetap tak menjadi alasan bagi mulut si budak untuk membolehkan dirinya mengeluh, merintih, mengeluarkan raungan-raungan selain kata “Ahad...Ahad...Allahu Ahad.”   

Kelak dari sejarah, kita mengenal si budak hitam itu dengan panggilan Bilal. Bilal bin Rabah. Seorang budak, manusia berkasta rendah yang kemudian namanya menjadi begitu harum dan populer hingga kini. Sejarah heroisme keimanannya kepada Allah SWT dan kesetiaan cintanya kepada Kanjeng Nabi Muhammad Saw terekam lewat peristiwa penyiksaan hebat yang beliau alami dengan penuh ketabahan.

Biarpun sama-sama batu, saya duga batu-batu Mekkah ketika itu tak bisa kita persamakan teksturnya dengan batu-batu yang manapun. Ia ditempa terik sinar matahari selama ribuan tahun yang bukan hanya menjadikannya kuat tetapi justru jauh lebih kuat dari yang kita kira.

Tetapi soal batu itu bisa saja tidak begitu penting. Selama batu yang menindih Bilal masih berstatus sebagai benda mati materi, dan tak diberi ijin oleh Allah untuk sanggup melawan saat manusia hendak menghancurkannya, maka ia sama sekali bukan tantangan. Beda soal kalau batu itu kita letakkan sebagai simbol karakter, sikap dan kebiasaan.

Abu Bakar, sahabat Nabi yang terkasih, sanggup menggeser batu yang menindih dada Bilal dengan cara menebus budak itu dari cengkeraman tuannya. Batu sebesar apapun, dari dulu hingga kini, tetap bisa ditaklukkan dan bahkan dengan mudah dapat dihancurkan oleh tangan-tangan manusia.

Namun sikap Bilal yang tak gentar di bawah tindihan batu besar yang menghimpit tubuhnya, seakan mengisyaratkan satu hal penting. Bahwa bukan lepasnya batu dari tubuh yang menjadikan Bilal begitu gembira, melainkan kesanggupan menghalau masuknya ‘batu’ ke dalam diri, ke dalam hati, yang membuatnya jadi mulia. Batu itu untuk konteks Bilal adalah batu kemusyrikan, ketundukan dan ketaatan kepada selain Allah.

Lalu saya, kamu, mereka dan kita semua bagaimana? Setiap hari, ada begitu banyak hal buruk yang saya masukkan ke dalam diri saya, ke dalam hati saya, yang kemudian saya biarkan dan endapkan untuk menumpuk dan membatu di sana. Ada banyak kecenderungan dan kebiasaan negatif yang sehari-hari saya lakukan tanpa pernah saya sadari bahwa kebiasaan itu jika sudah membatu, mengkarakter, maka ia akan sempurna membuat saya jadi manusia batu. Manusia keras, kaku, dan dapat dengan mudah dihancurkan dan ditenggelamkan.

Saya telah menjadi batu karena korupsi, suka ngapusi, mengkhianati amanah, suka pamer aurat dan menghamba kepada nafsu syahwat, dendam, iri hati, hoby menyakiti perasaan orang lain, sombong, tidak setia kepada Allah, Rasulullah dan apalagi kepada anak-istri sendiri, merasa paling benar dan suci serta sekian unsur-unsur lainnya.

Dalam ini saja, coba Anda hitung betapa banyak unsur-unsur yang membangun “kemembatuan” diri saya ini sehingga ia menjadi kuat, kokoh, tak mudah dihancurkan. Andai saya engkau letakkan di jernihnya air sungai yang sejuk itu, maka saya tak bisa mengambang menyaksikan cakrawala keindahan Langit, Matahari, bintang-bintang dan rembulan. Tetapi yang pasti, saya akan tenggelam ke dasar lumpur gelap penuh kehinaan.

Maka kemanakah engkau wahai, Abu Bakar! Yang akan datang untuk menebus kami yang selalu membudakkan diri tidak kepada Umayyah bin Khalaf melainkan pada ‘batu-batu’ yang kami bangun setiap hari dalam diri dan hati kami. Dimanakah engkau, wahai Abu Bakar! Yang akan menggeser batu besar yang tidak ditindihkan oleh Umayyah melainkan kami sendiri yang menimpakannya setiap saat ke dalam hati kami. Kemanakah engkau, wahai Bilal! Mengapa kami tak kunjung memilih menjadi sepertimu, tetapi lebih senang menjadi benda-benda mati seperti batu yang menindih tubuhmu.

Rindu Abu Dzar

Aku harap Anda tak buru-buru menganggapku berbohong dengan judul tulisan ini. Memang aku tak pernah melakukan sungkem penuh hormat dan takdzim kepada salah satu shahabat Nabi yang cemerlang itu, sebagaimana itu kulakukan dikala lebaran kepada handai taulan. Bahkan sekadar didatangi lewat mimpi oleh beliau pun aku tak pernah.
https://pengkajianpelitahati.files.wordpress.com/2010/07/kemuliaan-sholat-dhuha.jpg


Cukup jauh jarak bagiku untuk bisa didatangi oleh Abu Dzar walau sekadar dalam mimpi. Apalagi oleh Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Dan seandainya Allah berkenan mempertemukanku dengan Abu Dzar lewat mimpi, mungkin aku akan menggigil ketakutan dan minder oleh pesona kasih sayangnya yang begitu memikat. Apalagi kalau sampai bertemu beliau, Rasulullah Muhammad Saw.

Dalam kalkulasi gaya hidup modern macam yang sekarang ini aku nikmati, jangankan Rasulullah, bahkan mungkin popularitas Abu Dzar di hatiku sudah tidak jelas lagi letaknya dimana. Lebih jelasnya ia sudah tergantikan oleh manusia-manusia masa kini yang saban hari selalu nongol di layar televisiku.

Sekian rumbai-rumbai dan eksotisme dari gemerlapnya gaya hidup serta kehebohan dunia para saleb itu telah sempurna mengambil ruang khusus dalam diriku. Maka tak usah heran jika kemudian aku tumbuh menjadi manusia yang mengidolakan mereka-mereka yang datang untuk menghibur itu.

Mohon maaf, aku bukan manusia ekstrem yang sama sekali tidak butuh hiburan. Tetapi aku juga belum cukup gila untuk membiarkan diriku terus-terusan dihibur dalam ketidakmengertianku tentang siapa dan bagaimana aku ini. Lebih tepatnya, aku butuh hiburan yang membuatku mampu mengidentifikasi tentang apa yang perlu kutertawakan dan barangkali juga apa yang perlu kutangisi di dalamnya.

Kadang, atau bahkan seringkali hidup itu penuh kelucuan-kelucuan. Namun kelucuan yang paling menggelikan adalah ketika kita menertawakan apa yang seharusnya kita tangisi, namun menangisi apa yang mestinya kita tertawakan. Sementara aku mencari satu peluang yang bisa membuatku tertawa dan sekaligus menangis dalam waktu yang bersamaan. Artinya, aku butuh satu formulasi humor yang tidak membiarkanku larut dalam tertawaan namun sekaligus mampu membuatku senang dan bahagia sekalipun harus berurai air mata.

Dan di tengah pencarian itu, aku membayangkan kalau tiba-tiba bertemu Abu Dzar.

“Hendak kemanakah engkau, wahai Abud Dzar?” tanyaku.

Masya Allah! Dia menatapku dengan penuh keheranan. Mungkin tak jelas benar dalam pandangannya, apakah aku ini manusia, setengah manusia atau malah terlihat seperti binatang yang bisa berbicara layaknya manusia. Tetapi kelembutan hatinya menjadikan beliau tetap menjawab.

“Hari ini, ada sidang pengadilan di kediaman Khalifah Umar bin Khattab,” jawabnya dengan senarai suara yang begitu lembut memikat.

Tak ada keberanian lagi sebenarnya dalam diriku untuk sekadar mengajukan agar aku diperkenankan mengikuti beliau. Tetapi beliaulah yang justru menawariku untuk ikut, “Jika saudara mau ikut, saya tak keberatan. Mari, ikutlah.”

Betapa girangnya perasaanku meski sepanjang jalan kami lebih banyak diam. Kuperhatikan betapa aura kemuliaan dan kesucian hati shahabat Nabi yang satu ini memendar-mendar, memantul-mantul meski tak sampai juga pantulan cahaya kesuciannya itu ke tubuh ini.

Dari jauh, kediaman Khalifah Umar bin Khattab sudah penuh ramai dengan orang-orang. Aku menyela diantara pengunjung dan pandanganku tertuju pada seorang pemuda yang sedang menghadap Khalifah Umar di depan sana. Raut wajah pemuda itu merah padam. Suaranya penuh amarah yang menggelegak.

“Atas nama keadilan, wahai Khalifah,” kata pemuda itu lantang, “Saya minta agar pemuda itu diberi hukuman yang setimpal. Dia telah membunuh ayah saya dengan kedua tangannya sendiri.”

Sang Khalifah kemudian menatap seorang pemuda lain yang ada di sampingnya. “Benarkah, bahwa engkau yang membunuh ayah dia? Siapa saksinya?” tanya Umar dengan suara penuh wibawa.

“Benar, wahai Amirul Mukminin,” jawab si pemuda itu dengan tenang, “Tak ada saksi dari kalangan manusia yang bisa mengetahui bahwa saya telah membunuh. Tetapi Allah tahu apa yang sudah saya lakukan.”

Umar bin Khattab diam sejenak. Lalu kemudian, “Kalau begitu, atas nama keadilan,” seru Umar dengan lantang, “Saya memutuskan agar pemuda ini harus dihukum mati demi menebus dosa-dosanya.”

Kusaksikan semua yang hadir mendesah, menunduk dalam renyuh. Suasana hari itu menjadi peristiwa yang menggetarkan perasaanku. Sebab aku akan menyaksikan bagaimana seseorang harus menerima hukuman sesuai kesalahan yang diperbuatanya. Tak lebih, tak kurang. Aku melirik ke arah Abu Dzar. Dia tampak tercenung. Entah apa yang dipikirkan.

“Sebelum hukuman dilaksanakan, adakah permintaan terakhirmu wahai pemuda?” tanya Umar.

“Wahai Amirul Mukminin. Saya mempunyai satu urusan dengan seorang anak yatim piatu. Maka ijinkan saya untuk menyampaikan amanat saya kepadanya,” jawab pemuda itu.

“Permohonanmu ditolak. Sebab secara hukum itu tidak boleh. Kecuali kamu mempunyai jaminan yang akan menggantikan hukumanmu jika kamu ternyata berbohong,” tegas Umar.

Pemuda terpidana mati itu menatap sekeliling. Ia seperti mencari-cari seseorang yang dianggapnya sangat tepat untuk menggantikannya sebagai jaminan. Setiap orang yang ditatapnya berusaha membuang muka, menghindar. Mungkin mereka khawatir akan jadi yang terpilih. Memang siapa yang sudi, dan mungkin hanya orang bodoh yang mau menggantikan hukuman mati orang lain. Lagi pula tak ada jaminan kalau pemuda terpidana mati itu berkata jujur.

Innalillah! Pemuda terpidana mati itu menatap ke arahku. Tatapannya begitu tajam menusuk kalbu. Aku tidak tahu, apa yang membuatnya memandangku seperti itu. Apakah aku yang akan....

“Ini dia, wahai Khalifah. Orang yang saya tunjuk sebagai pengganti dan jaminan saya,” katanya.

Uedannn! Tidak...tidak. Ini tak boleh terjadi, pekikku dalam hati. Keputusan pemuda terpidana mati itu sungguh di luar yang aku duga, sebab yang dia tunjuk ternyata bukan aku. Tapi Abu Dzar.

“Kurang ajar. Djianncuk. Dasar pemuda berhati iblis,” umpatku. Kenapa harus Abu Dzar yang dia tunjuk. Benar-benar pemuda bangsat. Sudah membunuh orang dan sekarang malah menyodorkan Abu Dzar, shahabat Nabi yang penolong kaum papa itu ke tiang pancung.

“Pemuda iblis. Sini kowe. Tak tonyo raimu,” pekikku dengan penuh amarah yang tak tertahan. “Andai kowe memilih aku, mungkin itu lebih pantas. Abu Dzar lebih berharga dari seribu orang macam aku. Dia harusnya mati dengan cara lebih mulia. Bukan nggantikan kowe, dajjal berbulu iblis!”

Tetapi suaraku hanya menggema di kesunyian pikiran dan hatiku sendiri. Aku lihat pemuda itu berjalan bersama Abu Dzar mendekati Umar. “Wahai, Abu Dzar. Dia telah memilihmu jadi pengganti,” kata Umar saat keduanya tiba di depan beliau.

“Ya, Amirul Mukminin. Dia telah menunjukku. Itu artinya dia percaya kalau akulah yang dia anggap pantas untuk menjadi penjamin dan menggantikannya menerima hukuman mati jika dia berbohong. Maka itulah keputusannya. Dan aku tak bisa menolak,” jawab Abu Dzar menyanggupi.

Umar bin Khattab menarik nafas mendengar kesanggupan Abu Dzar. Mungkin beliau sendiri memiliki perasaan yang sama sepertiku. Mungkin. Tetapi hukum tetaplah hukum. Ia harus ditegakkan tanpa terkecuali. Setelah menemukan pengganti dan penjaminnya, pemuda terpidana mati itu pun pergi meninggalkan sidang. Sementara pemuda yang menuntut keadilan itu aku lihat dia sedang mendekati Abu Dzar. Masih dengan raut muka dipenuhi kemarahan, dia berkata.

“Aku tak mau tahu,” katanya, “Pemuda tadi itu mau datang atau tidak. Andai dia tak datang dan berbohong maka engkaulah yang akan jadi penggantinya.”

Abu Dzar tetap diam dengan sikapnya yang tenang. Maka pada hari dimana ekskusi mati akan dilaksanakan, banyak orang merasa cemas. Tak sedikit juga yang menangis. Kalau pemuda tadi ternyata berbohong dan tidak datang, maka mereka harus merelakan Abu Dzar, orang yang sangat mereka sayangi itu mati mengenaskan. Aku tak bisa menahan luapan emosi dan air mata melihat hidup Abu Dzar harus berakhir seperti ini. Diam-diam muncul satu niat dalam hatiku. “Kalau Abu Dzar mati, akulah yang akan membunuh pemuda si penuntut dan terpidana itu sekaligus.”

Lonceng tanda dilaksanakannya ekskusi mati berdentang nyaring. Semua orang yang hadir di tempat itu diam dalam pusaran keheningan dan keharuan. Kulihat Abu Dzar pun digiring menuju tempat ekskusi. Begitu tenang dia melangkah. Namun sebuah suara dari kejauhan datang memanggil.

“Tunggu...tunggu!” semua mata memandang ke arah datangnya suara. Dan seakan tak percaya, bahwa yang mereka lihat tidak lain adalah pemuda terpidana mati itu. Dia berlari kencang di bawah terik matahari dan langsung menuju tempat ekskusi. Nafasnya tersengal-sengal. Katanya kemudian:

“Maaf, kalau saya telah membuat kalian merasa cemas. Sekarang bukan dia, tapi sayalah yang harus dihukum mati. Sekarang saya siap,” katanya sambil mendekati Abu Dzar dan melepas ikatannya.

“Mungkin diantara kalian mengira saya akan mengingkari janji. Meskipun saya bisa melakukannya, tapi itu tidak saya lakukan. Saya tidak ingin orang-orang berkata bahwa tidak ada lagi orang Islam yang bisa dipercaya.”

Sungguh kata-kata pemuda itu bagai mantera sihir yang membuatku dan yang lainnya terperangah. Sekian perasaan haru berkecamuk. Mencipta pikiran-pikiran lain dalam diri kami. Diantara ketakjuban dan keterperangahan kami semua, kulihat pemuda yang menuntut keadilan itu ikut naik ke atas panggung ekskusi. Mau apa lagi dia? Tanyaku. Pemuda itu pun menatap Umar, Abu Dzar, si terpidana mati dan orang-orang di sekelilingnya. Kami semua makin penasaran. Menanti-nanti apa yang akan dia lakukan.

“Wahai, Abu Dzar,” tanya si penuntut itu kemudian, “Harus saya akui, kalau pemuda terpidana mati ini memiliki sifat jujur. Tapi apakah engkau sudah kenal siapa dia sebelumnya?” 

“Tidak,” jawab Abu Dzar.

“Mengapa engkau bersedia menjadi penggantinya? Bukankah itu sangat membahayakan nyawamu sendiri?”

Kulihat Abu Dzar menatap wajah pemuda si penuntut itu. “Aku memang tidak kenal siapa dia. Hanya saja aku tak bisa menolak saat dia menunjukku. Aku tidak ingin orang-orang berkata, bahwa dalam Islam itu sudah tidak ada lagi keharuan, kepedulian dan kasih sayang. Itulah sebabnya aku bersedia menerima permintaannya.”

Pemuda si penuntut itu diam sejenak. Lalu

“Kalau begitu, wahai Khalifah,” kata si penuntut, “Aku cabut semua tuntutanku kepadamu. Aku maafkan pemuda yang sudah membunuh ayahku ini.”

“Mengapa kau lakukan itu?” tanya Khalifah Umar.

“Aku tak ingin orang-orang berkata bahwa dalam Islam itu sudah tidak ada lagi rasa maaf dan belas kasihan.”

Seketika pecahlah tangisku. Entahlah, kenapa juga aku menangis. Aku bergegas hendak merangkul Abu Dzar. Tetapi ada satu kekuatan yang menahanku. Bahkan kekuatan itu seakan membantingku keras-keras ke atas tanah hingga membuatku sadar bahwa aku tak lagi bersama bayangan Abu Dzar, Khalifah Umar dan dua pemuda itu. Kini aku kembali pada kenyataan yang ada di negeriku sendiri, sebuah negeri dimana kepercayaan, kejujuran, kepedulian, keharuan dan kasih sayang kerap masih menjadi bayangan yang menyedihkan.

Ya Shahibu Baitinya Cak Nun

http://www.barnskolan.se/bilder/cbook2.jpg
Ya Rasulallah! Meski dengan perantara alunan music sederhana ini, aku mencoba belajar merangkum kembali cintaku kepadamu.

Selain hanya secuil rasa percaya diri yang rapuh, sebenarnya tak ada kesucian dalam diriku, yang membuatku merasa pantas mengutarakan rasa cinta ini kepadamu.

Prestasi keseharianku adalah dosa dan dosa.

Puncak kematangan ilmuku adalah kebodohan yang begitu perih, yang membuat langkahku tak sungguh-sungguh mendekat pada cintamu. Begitu tinggi jenjang pendidikan yang aku tempuh, namun semuanya semakin menguakkan betapa tebal ketidakmengertianku tentang diriku sendiri.

Ya Rasulallah! Engkaulah imam para nabi, yang menegakkan tidak hanya agama, melainkan juga cinta. Tuhan menanamkan keistimewaan pada wajahmu, sehingga engkau lebih terang dari purnama.

Tuhan meminjamkan kelembutannya pada jiwamu, sehingga engkau tak pernah menanam dendam pada siapa pun saja, termasuk mereka yang memusuhimu.

Ya Rasulallah! Gemetar hatiku menanti hari perhitungan-Nya, yang tak sebutir debupun dari kesalahanku yang tak akan luput dari pertanyaan-Nya. Sementara sebagai umatmu, aku berada pada barisan terakhir yang mencintaimu. Aku senantiasa menjadi masbuk dari tegaknya shaf-shaf kebenaran yang engkau jalankan.

Apakah engkau bersedia menawar nasibku kelak, wahai Nabi? Ketika Tuhan memutuskan untuk melemparku ke dalam gejolak api neraka?

Aku tak memiliki apa-apa, yang dapat kubanggakan sebagai umatmu dan hamba-Nya. Maka di tengah makin nyinyirnya hidup yang kujalani ini, wahai Rasul, ijinkan aku mengutarakan rasa cintaku ini kepadamu. Meski aku sendiri tahu, betapa akan selalu samar suaraku di pendengaranmu walau berkali-kali kuteriakkan namamu.

Hari demi hari.

Pendapa Pesantren Hasyim Asy’arie Yogyakarta, 2012.

Problem Seleksi Buku Penerbit Mayor-Indie

Pabrik
Tulisan Edi AH Iyubenu tentang Dilema Kreativitas dan Bisnis Penerbit Mayor dan Indie (5/10/2014). memang menarik dicermati meski tulisan tersebut berangkat dari satu dua kasus semata.

Dalam arus dunia perbukuan saat ini, memang sulit mengelak dari kenyataan adanya dikotomi penerbit mayor dan penerbit indie. Itu semua adalah keniscayaan dan sekaligus akibat dari berlangsungnya kompetisi industri perbukuan yang begitu panjang. Sebagaimana ada perusahaan besar dan kecil, maka seperti itu pula dalam dunia publishing.

Oleh Edi, penerbit mayor dicirikan salah satunya sebagai penerbit yang menerapkan seleksi ketat atas semua naskah, memiliki jaringan, memiliki kemampuan kapital yang karenanya dapat menanggung semua beban biaya produksi serta membayar royalty bagi penulisnya.

Tapi sebaliknya bagi penerbit indie. Penerbit ini selain dinilai kurang memiliki banyak jaringan, tidak memiliki kekuatan capital memadai sehingga modal produksi dibebankan kepada penulis juga kurang menerapkan seleksi yang ketat atas semua naskah yang mereka terima untuk diterbitkan (paragraf 5 dan15).

Terkait dengan soal ketatnya seleksi atas setiap naskah pada penerbit mayor -hal ini dalam pandangan Edi kurang berlaku bagi penerbit indie- saya jadi bertanya-tanya; seperti apa prosedur penyeleksian naskah yang baik oleh penerbit mayor? Pertimbangan apa yang digunakan dalam proses seleksi naskah sebelum diekskusi untuk diterbitkan? Faktor apa yang diperhatikan dalam proses seleksi itu; tema naskah, penulisan naskah, keotentikan isi naskah yang menjamin tidak adanya pelanggaran kode etik dalam dunia tulis menulis, atau bagaimana?

Memang benar, penerbit mayor memiliki kegagahan kapital yang tak mungkin mampu dilawan oleh penerbit indie. Dengan kekuatan kapitalnya, luasnya jaringan dan pengalaman publishing­-nya yang hebat, penerbit mayor mampu bermain dan berpeluang eksis di arena pasar perbukuan. 

Lalu, apakah kita akan mengatakan bahwa setiap naskah yang diterbitkan penerbit mayor merupakan naskah yang baik karena melalui seleksi yang sangat ketat? Apakah kita akan mengatakan bahwa semua buku yang diterbitkan penerbit mayor lahir dari tangan penulis yang sudah memiliki pengalaman dan telah menjalani proses panjang dan berdarah-darah?

Ehm, tunggu dulu. Bila tidak ada kepastian mengenai faktor apa saja yang diperhatikan penerbit mayor dalam menyeleksi semua naskah yang masuk, maka kita tidak bisa mengatakan bahwa penerbit indie tidak memiliki sistem seleksi yang ketat sebagaimana penerbit mayor. Sebab bisa jadi kebijakan yang digunakan penerbit mayor dan indie dalam proses seleksi itu sangatlah berbeda.

Kita bisa buat contoh begini. Ada sebuah buku yang diterbitkan oleh penerbit indie. Dilihat dari tema, penyajian dan keotentikan isinya, buku tersebut sudah sempurna berdasarkan kode etik kepenulisan. Pada saat yang bersamaan, ada sebuah buku yang diterbitkan penerbit mayor. Dari segi tema dan penyajian, buku ini memenuhi standar. Tapi tidak dengan keotentikan sumber informasi yang dijadikan rujukan oleh penulisnya. Katakanlah ada unsur pelanggaran kode etik di dalamnya yang tak terseleksi dengan baik karena terlalu tergesa mengejar momentum terbit yang dinilai akan sangat menguntungkan. Kejadian seperti ini sangat mungkin terjadi, bukan?

Dari contoh tersebut, lalu penerbit mana sebenarnya yang paling berhasil menerapkan seleksi yang baik atas naskah yang diterbitkan itu? Indie atau mayorkah? Memang ini sangatlah idealis karena tidak hanya berbicara soal hukum industri yang meniscayakan untung rugi, namun juga berbicara soal kualitas naskah dari aspek penyeleksiannya. Tetapi hal itu setidaknya menyadarkan kita bahwa tidak semua penerbit indie bersikap kurang selektif atas naskah sebagaimana tidak semua produk buku indie bernilai rendah. Edi sendiri mengakui ini.

Sementara itu, tanggapan Abdul Waid atas tulisan Edi AH Iyubenu (12/10/2014) yang mengatakan bahwa banyaknya naskah berkualitas yang ditolak penerbit mayor karena tidak sesuai dengan selera pasar hingga menyebabkan para penulisnya melirik penerbit indie juga merupakan statemen yang terlalu gegabah  (paragraf 8).

Buktinya, tidak sedikit buku berkualitas yang hingga saat ini masih diterbitkan penerbit mayor. Dan sebaliknya, tidak banyak juga buku berkualitas yang diterbitkan penerbit indie. Tergantung penerbit apa yang dijadikan acuan oleh saudara. Ada beberapa pertanyaan mendasar yang harus direnungkan baik-baik oleh saudara Abdul Waid; seperti apa buku berkualitas itu? Alat ukur apa yang digunakan untuk menilai sebuah buku hingga disebut berkualitas atau tidak? Siapa yang berhak menentukan bahwa sebuah buku dinilai berkualitas; penulisnya, penerbitnya, atau masyarakat pembacanya?

Dunia publishing memang dunia industri. Untung rugilah yang berbicara disana. Namun menafikan idealisme, intelektualisme dan kode etik jurnalisme dalam menerbitkan sebuah buku, tak peduli penerbit mayor atau indie, tentu sangatlah disayangkan. Karena itu, sejauh kita bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dengan proporsional maka pembicaraan mengenai dikotomi penerbit mayor-indie menjadi hal yang tak lagi penting. Rakh!

Sastra dan Dunia Anak

Anak-Anak
Hari itu, Yasnaya Polyana -sebuah kota kecil yang terletak di selatan kota Moskow Rusia- tampak ramai oleh anak-anak. Mereka bermain di sebuah rumah yang di dalamnya berdiam seorang sastrawan besar Rusia; Leo Toltoy. Yang menarik adalah bahwa anak-anak itu bukan berasal dari keluarga para sastrawan, bangsawan, apalagi orang kaya. Akan tetapi mereka berasal keluarga para budak.

Mungkin sulit dipercaya, sastrawan kelas dunia sekaliber Leo Tolstoy bersedia secara jumawa menjadikan rumahnya yang rimbun dan teduh itu sebagai sarana yang memberikan keleluasaan kepada anak-anak budak untuk belajar dan bermain menikmati dunianya sendiri. Dunia yang penuh keceriaan. Tetapi fakta dan realitas sejarah tentang itu tak bisa dibantah.

Leo Tolstoy menempati rumahnya di Yasnaya Polyana sejak tahun 1856 hingga 1910. Dan pada tahun 1859 ia mendirikan sekolah yang secara khusus didedikasikan kepada anak-anak budak. Sekolah itu berdiri tepat dua tahun sebelum Pemerintahan Tsar Aleksandr II secara resmi menghapus sistem perbudakan (Krespotnoye Rusia) di Rusia pada tahun 1861.

Ini sungguh luar biasa. Atas inisiatifnya memberdayakan anak-anak kaum budak, Leo Tolstoy telah menggetarkan kesadaran Tsar Aleksandr untuk menghapus segala macam bentuk deskriminasi atas nama apapun. Kebijakannya menjadi langkah awal yang mengantarkan rakyat Rusia memperoleh kesempatan yang sama untuk berdaya.

Sementara bagi Leo Tolstoy, nama besar yang disandangnya tidak menjadi penghalang untuk menerjemahkan ide-ide dan naluri kesastrawanannya dalam merangkul, memberdayakan dan membela siapa saja. Termasuk anak-anak dari kalangan budak dan kaum papa.

Mungkin tidak banyak yang menyadari, bahwa Tolstoy yang lahir dari keluarga bangsawan kaya itu adalah sosok humanis yang sangat dekat dengan anak-anak. Tolstoy tidak hanya mahir menganalisa kehidupan konflik batin tokoh-tokoh ciptaannya. Di balik keseriusannya mencipta karya-karya yang monomental, Tolstoy ternyata juga menghikmati kesederhanaan dan keluguan dunia anak-anak.

Hal ini bisa dimaklumi mengingat karya pertama Tolstoy yang kemudian mengantarkannya berkubang dalam dunia kesusastraan sangatlah dekat dengan dunia anak. Dalam Detstvo (Masa Kecil) misalnya, Tolstoy berbicara tentang perasaan cinta kepada Tuhan dan orang-orang terdekat berdasarkan sudut pandang seorang anak. Dan ini merupakan karya pertama Tolstoy yang sekaligus mengantarkannya menjadi sastrawan besar dunia.

Ada satu prinsip yang menjadi motif utama Tolstoy sampai harus menjadikan rumahnya sebagai sekolah bagi anak-anak budak waktu itu. Menurutnya, setiap orang memiliki kebebasan berimanjinasi dan berekspresi. Dua hal ini merupakan hak setiap manusia, termasuk anak-anak.

Bahkan Tolstoy dengan tegas menentang institusi sekolah yang dalam keadaan tertentu sering melakukan pembelengguan terhadap keleluasaan anak untuk membangun imajinasi mereka dan berekspresi. Bagi sastrawan beraliran realisme dan master “dialektika jiwa” ini anak-anak harus bebas mengekspresikan masa kanak-kanaknya sesuai dengan dunia dan jiwa mereka.

Setiap ada kesempatan bertemu dengan anak-anak didiknya, Tolstoy sering melakukan dialog bersama mereka. Hal ini mungkin benar-benar berada di luar dugaan kita. Sebab barangkali selama ini kita mempersepsikan sosok Tolstoy sebagai tokoh yang hampir tak memiliki waktu bercengkerama dengan anak-anak.

Dalam sebuah pesan yang disampaikan Tolstoy atas pertanyaan anak didiknya mengenai nilai moral, ia pernah berkata, “Kita semua tahu bahwa kita menjalani hidup bukan sebagaimana seharusnya, tetapi bagaimana agar bisa hidup. Karena itu haruslah selalu diingat, bahwa hidup kita bisa dan harus lebih baik. Dengan mengingat hal itu, kita tidak boleh lalu menyalahkan kehidupan orang lain dan kehidupan sendiri tanpa memperbaikinya. Tapi kita harus berusaha setiap hari dan setiap saat untuk sedikit lebih baik dan terus memperbaiki diri. Inilah yang paling penting dan paling menyenangkan dalam hidup ini.”

Tak hanya itu. Untuk memperteguh prinsip pembelaannya terhadap anak-anak, Tolstoy menyisihkan waktunya untuk menorehkan karya-karya sastra yang secara khusus diperuntukkan untuk anak-anak. Sekitar tahun 70-an di abad XIX ia membuat beberapa karangan seperti Azbuka, Novaya Azbuka. Bahkan karyanya yang berjudul Pervaya Russkaya Kniga dlya Cteniya dan Vtoraya Russkaya Kniga dlya Cteniya ia tulis ditengah upayanya menyelesaikan salah satu karya besarnya “Anna Karenina.”

Demikian besar perhatian Tolstoy terhadap masa depan anak-anak sampai ia mengungkapkan sebuah pesan khusus kepada saudaranya A.A Tolstoy, “Setelah menulis Azbuka tersebut, saya baru bisa mati dengan tenang.”

Sungguh beruntung anak-anak Rusia yang mengetahui kepedulian sastrawan besar mereka. Kita juga berharap meski tak habis pikir, karena tidak banyak dijumpai sastrawan terkemuka negeri ini yang mencoba memberikan pengayoman, pembelaan dan penyadaran terhadap anak-anak lewat buah karya mereka. Sehingga kelak kita tak perlu terhenyak lagi oleh kejadian yang membuat suram masa depan anak-anak negeri ini seperti kasus JIS dan kasus-kasus anak lainnya. Semoga.