Diberdayakan oleh Blogger.

Dalam Sunyi Kusapa Munir

Foto Munir
Namamu, Munir
Munir Said Thalib Al-Kathiri

Kau lahir sebagai bukti nyata
betapa Tuhan memang tak pernah bosan dengan manusia 

Itulah sebabnya, kelak
bila ada kabar mengenai seseorang
yang nyawa kehidupannya sengaja dihilangkan
kau tak akan pernah berhenti, menuntut penuh teriak

Dengan kumis
bertengger di atas bibirmu yang tipis
(mungkin) kau terlihat sebagai lelaki manis
meski hidupmu harus berakhir dengan tragis

Tanggal 8 Desember 1965
pada sebuah kota dingin
kota Batu namanya
kau dilahirkan

Dan sungguh merupakan pilihan yang tepat
saat kedua orangtuamu memberi nama “Munir”
sebuah kata bermakna ‘yang terang’
pengusir selubung kegelapan
penerang dan pembuka segala yang ditutup-tutupi dan coba dirahasiakan

Nama itulah yang membuatmu seperti dituntun
untuk menjadi penasehat hukum,
advokat dan sekaligus pengungkap kasus-kasus pembunuhan penuh selubung

Munir! Meski dengan tubuh kurus kecil dan sederhana
namun teramat besar rasa cintamu pada keadilan sesama manusia
bila kedua matamu melihat orang-orang ditindas hak-haknya
kau sanggup menghapus kata jeda dari seluruh waktu yang kau punya
kau akan terus meradang
berdiri pada garis garda paling depan
menabik dada pada pongahnya kekuasaan

Tak peduli meski ke dadamu diarahkan
moncong senapan terkokang

Andai semua orang bisa mendengar
degup dada tipismu itu, Munir
gentanya mungkin hanya melantangkan sebuah gema
“Jangan ada kedzaliman, ketidakadilan dan penindasan bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Tahun demi tahun
kau lalui untuk menyuarakan
keadilan yang terngungun-ngungun

Pada kasus Nipah 1993 di Sampang
kau tak tinggal diam
empat orang petani yang mati ditembak
karena menolak lahannya dirampas untuk sebuah proyek waduk
bagaimana mungkin kejahatan itu akan kau biarkan
berlalu begitu saja tanpa ada kejelasan?

Bagimu, ketika Tuhan memberikan nyawa pada seseorang
maka adalah kejahatan besar bila ada pihak lain
apalagi hanya atas nama kepentingan pembangunan
berusaha merenggutnya
secara paksa
 
Kau hibahkan seluruh waktumu
untuk menguak kasus itu
dan seperti yang kita ketahui hari ini
ketika ambisi kekuasaan telah sempurna kawin
dengan aparat bermental preman
kebenaran dan ketidakbenaran
bukan soal yang diutamakan

Di tahun 1994
kau pun lantang berteriak
meradang atas Marsinah yang terkapar
oleh kekejaman yang diduga dilakukan meliter

“Oh, Marsinah
kau memang seorang buruh rendah
kau hanya coba berjuang
meminta kejelasan atas rekanmu yang dipecat sewenang-wenang,
tetapi tangan-tangan kekar yang mencekik jiwa juangmu itu
telah menyarangkan ngilu ke ulu hatiku”

Munir! Kau yang mengerti hukum
kau yang memahami bagaimana mendudukkan keadilan
di atas singgasana yang bernama kemanusiaan
benar-benar tak mau hanya duduk berpangku tangan”

Kami tahu, sepenuh hati kau membela yang lemah
segelegak darah juangmu kau marah
telunjukmu selalu mencari sasaran kepada siapa saja
yang jadi penyebab atas kematian Marsinah salah satunya

Lalu, kami pun ingat akan peristiwa
yang pernah terjadi di tahun 1995
beberapa orang di Pasuruan
ditangkap aparat keamanan
mereka yang hanya sebagai rakyat petani biasa
diduga dalang pengerahan massa
mereka dituduh otak pengrusakan
beberapa fasilitas perusahaan asing

“Tetapi tunggu, gertakmu
ketika rakyat bergerak dengan kekuatan penuh gelombang
pasti ada motif mendasar yang jadi alasan
aparat atau siapapun tak bisa menuduh semaunya
tanpa mau mengerti fakta yang sebenarnya”

Itulah sebabnya kau kembali bergerak
bukan atas suruhan berbagai pihak
melainkan atas nama kebenaran
yang memang selalu kau perjuangkan

Tetapi lihatlah, Munir
mereka rupanya terlalu takut dengan kebenaran
yang coba kau perjuangkan

Dengan berbagai macam cara
mereka mencoba menghentikan langkahmu

Teror demi teror mereka lancarkan
namun, apakah kau jadi keder jiwa?

Tidak, Munir
di depan matamu yang bulat itu, teror dan ancaman
jauh lebih kecil dibanding kebenaran

Kami tahu, ketika kau memutuskan berdiri di pihak yang benar
ancaman dan teror tak akan sanggup membuatmu gemetar

Teror-teror itu seperti peluru-peluru tajam kecil
yang di tembakkan ke dalam lautan
sedang kau, Munir
dengan lautan yang bernama kebenaran itu
telah bertekad untuk menyatu

Maka bagaimana mungkin tajamnya peluru yang kecil itu
sanggup melukai laut kebenaran perjuanganmu?

Munir, setelah melewati tahun demi tahun
yang demikian penting dan menegangkan
kau mungkin berharap agar tak ada lagi kejadian
yang menguras rasa sedih dan pedulimu atas nama tragedi kemanusiaan

Tetapi rupanya tidaklah demikian

Antara tahun 1997 hingga 1998
perjalanan bangsa ini kembali mengurai dosa-dosa barunya
Tuhanpun seperti meneteskan setitik ilham kepadamu
untuk kembali bergerak dan lantang berbicara

Kali ini, atas kasus menghilangnya 24 aktivis kita

Dimana mereka?
bagaimana mereka?
siapa yang bertanggung jawab atas hilangnya mereka?
atas alasan apa mereka dilenyapkan?
demi kepentingan siapa mereka dikorbankan?
itulah sederet pertanyaan yang selalu mengejar
batin benakmu, Munir

Pertanyaan-pertanyaan itu
seperti terus mengganggu hari-harimu
melalui Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS)
yang kau dirikan sejak 16 April 1996
kau bertekad menyingkap tabir kejahatan
yang membuat bangsa ini berkubang dalam jurang kenistaan

Masih jelas terngiang orasimu di telinga kami, Munir

“Mereka menenteng senjata
mereka menembak rakyat, tapi kemudian
bersembunyi di balik keteng kekuasaan
apakah akan kita biarkan orang-orang itu tetap gagah?
mereka harus bertanggung jawab, sampai detik manapun”

Munir, kata-katamu yang sederhana ini
menggema hingga ke seantero hati nurani
ucapanmu menebarkan kengerian
bagi mereka yang telah mengotori kedua tangannya
dengan kejahatan tak berperikemanusiaan

Tak heran kalau kemudian kau pun didaulat
bukan hanya sebagai pejuang HAM yang giat
melainkan kamera tajam bagi dunia meliter
dan sekaligus ‘anjing’ penjaga korban kultur
arogansi kekuasaan yang maha pandir
dan atas alasan itu pula
kau pun dijadikan buruan layaknya rusa di hutan belantara

Munir! Ketika semua orang berusaha mencintai bangsanya
dengan merajut mimpi-mimpi masa depannya
kau justru melakukan hal sebaliknya
kau menunjukkan kecintaanmu pada bangsa ini
dengan cara yang berbeda sama sekali

Kau seperti melangkah ke belakang
mencari hal-hal yang coba dan sengaja dilupakan
kau ungkit kasus Tanjung Priok 1984
dimana rakyat sipil terkapar
dengan tubuh penuh lubang peluru, penuh darah dan penuh memar

Dengan keyakinan dan kesungguhan yang gagah
kau juga jadi penasehat hukum atas kasus penembakan mahasiswa di Semanggi
menjadi anggota komisi penyelidikan pelanggaran HAM di Timor Timur
menjadi penggagas komisi perdamaian dan rekonsiliasi di Maluku
menjadi penasehat hukum bagi 22 pekerja PT. Maspion
menjadi penasehat hukum dan koordinator advokat HAM dalam kasus-kasus Aceh dan Papua
serta banyak kasus lain masa lalu
yang selalu menunggu petuah dan nasihatmu
agar tak buntu

Sebelumnya
kami sempat bertanya-tanya, Munir;

Untuk apakah kau lakukan semua itu, Munir?
untuk apakah kau memposisikan diri sebagai martir
yang membuat blingsatan para petinggi meliter?
untuk apakah kau mengorbankan ketenangan hari-harimu
setelah penghargaan demi penghargaan telah kau raih sebagai prestasi atas hidup
dan perjuanganmu?
penghargaan apa lagi yang kau cari dengan mengorek-orek
luka kemanusiaan yang pernah menggenangi tanah air ini, Munir?

Dalam hening, Munir
kami bayangkan kau menjawab tanya kami

“Aku teramat mencintai bangsa ini
bangsa yang di atas buminya aku lahir
dan di bumi yang sama ini pula
kelak aku akan dikubur

Namun kecintaanku bukanlah rasa cinta yang buta
kebanggaanku atas bangsa ini bukanlah rasa bangga yang palsu belaka

Aku berharap
masa depan bangsa ini akan lebih bermartabat
namun harapan-harapan itu harus kubangun
di atas keberanian
untuk menghargai dan menyuarakan hak-hak kemanusiaan

Bangsa macam apakah yang akan kita bangun
bila darah rakyatnya dibiarkan tumpah menggenang
roda pemerintahan seperti apakah yang akan dijalankan
bila menjadikan rakyatnya tiarap di bawah bayang-bayang moncong senapan
kepemimpinan seperti apakah yang kita impikan
bila nyawa demi nyawa harus ditumbalkan

Tidak!
aku tidak menyukai keadaan itu

Tak peduli siapapun yang ada di hadapanku
bila mereka dengan lancang mencerabut hak-hak kemanusiaan
lewat kekuatan yang sewenang-wenang
aku akan selalu menjadi runcing duri kemaru
aku akan menjadi jalan menyakitkan
bagi kaki-kaki kekuasaan yang tiran

Kau bertanya, untuk apakah aku lakukan semua ini?

Jangan bermimpi
penghargaan demi penghargaan tak akan sanggup membuatku lupa diri
saat kudeklarasikan untuk berjuang menyuarakan keadilan
seribu dentum moncong meriam tak lebih dari suara tepukan tangan”

Tetapi, Munir
dengan prinsipmu itu
kau telah menjadikan dirimu
sebagai sasaran utama yang paling diburu
tiap jengkal dari langkahmu seakan menjadi kabar buruk
bagi kekuatan dan kekuasaan yang kehilangan hasrat menjadi baik
kau diintai
kau diancam
di tengah perjuanganmu yang tak main-main

Namun kami tahu, Munir
ancaman sebesar apapun tak akan sanggup
membuatmu bertekuk lutut
dan diam-diam kami memahami arti perjuanganmu
diam-diam kami menaruh harap atas keberhasilanmu
diam-diam kami membanggakan keberadaanmu
tapi, diam-diam kami juga mengkhawatirkan keselamatanmu

Entah kenapa, Munir
tiba-tiba kami merasa takut kehilanganmu
meski tak ada jalinan persaudaraan
yang membuat rasa takut kami tak bisa disembunyikan
namun perjuanganmu atas nama keadilan dan kemanusiaan
menjadikan kita seperti satu jiwa yang rekat dalam jalinan

Hingga kemudian
kabar yang tak kami tunggu itu benar-benar datang
Selasa 7 September 2004
kaupun akhirnya dikabarkan wafat

Racun arsenik yang bersarang di dalam ususmu itu, Munir
sungguh tak bisa kami bayangkan rasa sakitnya

Kesendirianmu saat ajal menjelang
tanpa keberadaan istri dan anak-anakmu di kiri-kanan
membuat hati kami terasa sepi, dirundung kesedihan

Di atas pesawat GA-974 yang akan membawamu ke Belanda
kau pun meregang nyawa
kau meninggal dunia di ketinggian langit angkasa raya
dan itu bagi kami seakan menjadi pertanda
bahwa bukan hanya kehadiranmu, tapi kepergianmu juga
begitu tinggi nilai derajatnya

“Lihatlah, mereka sudah melakukan
muslihatnya yang begitu lama direncanakan
mereka telah menambah daftar kejahatannya
dengan membunuhku, seorang manusia biasa
bernama Munir

Mereka boleh berbangga
biarkanlah mereka berpesta penuh tawa

Tetapi
bila mereka mengira
bahwa aku adalah pohon yang berhasil ditebang
atau batu yang berhasil dihancurkan
maka kukatakan kepada kalian
kalau anggapan itu adalah benar-benar kebodohan”

Ya, kami tahu, Munir
boleh saja tubuhmu diracun
nyawamu dihilangkan
tetapi kau bukanlah pohon yang bisa ditebang
kau adalah benih yang sudah disemai di ladang-ladang kesadaran
sedang kami akan setia menyiraminya sepanjang zaman
kau bukanlah batu yang mudah dihancurkan
namun kau adalah mata air yang memberi harapan kehidupan
sedang kami akan selalu mengalirkannya ke setiap penjuru peradaban

Kelak, bila anak cucu kami bertanya perihal dirimu, Munir;
“mengapa engkau berani mengorbankan diri
demi memperjuangkan suara keadilan rakyat bangsamu?”
kami akan menjawab;
“karena engkau teramat mencintai setiap nafas kehidupan
yang harus berdenyut di atas irama keadilan dan kebenaran”

Selamat jalan, Munir
tubuhmu boleh pergi
namun semangat perjuanganmu bersama kami
abadi


Kebumen, 2014. 

3 EPISODE MENJELANG TIDUR

http://id.inter-pix.com/db/art/painting/impressionists/b-523051.jpg
Sebelum dia tidur, biasanya dia minta cerita tentang apa saja. Mulai dari cerita para nabi, dunia binatang hingga soal daun dan kerikil. Dus, saya harus pandai-pandai mengarang cerita yang tetap tidak saya biarkan konyol apalagi bohong meski tema yang dimintanya hanya masalah daun dan kerikil itu. Seperti semalam, dia minta diceritakan tentang kenapa ada duri pada daun nanas. Apa nggak puyeng menjawabnya!! Karena saya tak punya jawaban dan masih berusaha mendapatkannya, akhirnya saya yang balik bertanya dengan hal lain. Maka terciptalah tiga episode ini:

Episode I
"Kenapa kalau mau tidur harus berdoa?" tanya saya.
"Biar dapat pahala dan tidak diganggu setan," jawab anak saya.
"Bagus."
"Tapi harusnya kalau mau tidur itu bawa pedang-pedangan," kata dia.
"Loh, kenapa?" tanya saya.
"Biar bisa buat gelitiki ketek setannya. Lalu dia lari ketakutan. Iya, kan?"
"...:(... :)...."

Weh....setan ternyata punya ketek.

Episode II
"Yah, di laptop itu Raja Namrud katanya ada di kegelapan."
"Memang iya." jawab saya
"Kenapa?"
"Kenapa ayo?" saya balik tanya.
Dia diam sejenak. Lalu, "Soalnya di rumahnya tidak masang listrik."
Heemmmmzzz


Episode III
"Yah, setan itu makanannya apa sih?"
"Ya sama dengan kita. Kalau kita makan nasi tapi tidak berdoa, maka setan ikut makan."
"Oh, tak kira makan roti bakar."
"Roti bakar?" tanya saya agak terkejut.
"Iya, setan kan dibuat dari api, kan. Makanannya itu pasti dibakar kayak roti bakar. Nggak direbus."
 

Daftar Guru Saya Sejak Guru Ngaji, MI, MTs dan MA




Karena ini Hari Guru, saya akan coba mengingat guru-guru saya

GURU NGAJI:
a. Nyi. Duriah Jailani
b. H. Arifin
c. KH. Ihsan (alm)

GURU MI:
a. KH. As’adi (guru tauhid)
b. Pak Mahrus/H. Idris
c. Pak Tayyib/H. Hanafi
d. Pak Rukib/H. Hefni
e. Pak Darwan/H. Habibi
f. Pak Amrin/H. Amrin Rouf
g. Pak Mahlawi
h. Pak Akrimuni
i. Pak Syahri (alm)
j. Pak Anwar Rouf (alm)
k. Pak H. Hannan (alm)
l. Pak H. Mahmudi (alm)
m. Pak Muhammad I
n. P. Muhammad II
o. Pak Abdus Salam
p. Pak H. Halil
q. Pak Amin
r. Pak Huri
s. Pak Hasuk
t. Pak Shaleh
u. Pak Atnayu
v. Pak Darsono
w. Pak Hamid Sahyo

GURU MTS:
a. KH. As’adi
b. Pak Atma/K.Haeni (alm)
c. Pak H. Hefni
d. Pak H. Arifin
e. Pak H. Muslim
f. Pak Safnawi
g. Pak Atnabi
h. Pak Anwar
i. Pak Ahmad Fadlan
j. Pak Rimawi
k. Pak Mujibto
l. Pak Mahruwi
m. Pak Syafiq/H. Syafiq
n. Pak Asmuni

GURU MA:
a. KH. Zubairi Marzuqi (alm)
b. KH. Khairul Umam (alm)
c. KH. Afif Ma’ruf (alm)
d. KH. Hasani
e. KH. Ma’ruf
f. KH. Kamalil Irsyad
g. K. Munif Zubairi
h. Pak Haris
i. Pak Dardiri Zubairi
j. Pak Masdur
k. Pak Mursyidul Umam
l. Pak Fathol Bari
m. Pak Darwis Ghalib
n. Pak Syahid Munawar
o. Pak Azhari

Karena Dia Saudara Kita Juga

Amar
Amar
Namanya Amar. Entah apa nama panjangnya, saya sendiri kurang tahu. Namun satu hal yang pasti, dia termasuk salah seorang yang terbilang rajin datang ke mushalla rumah saya setiap malam untuk belajar mengaji bersama teman-temannya yang lain.
Perlu Anda tahu, si Amar ini tinggal di sebuah rumah berukuran sangat kecil yang letaknya di sebelah selatan dari rumah saya. Ada lima orang yang tinggal dalam rumah itu. Si Amar sendiri yang sekarang kelas 1 SD, dua orang kakaknya yang sudah duduk di kelas 5 dan 6 SD, seorang kakaknya yang lebih besar yang duduk di kelas 1 MTs serta juga neneknya yang saat ini sudah mengalami tanda-tanda stroke.
Saya pernah bertanya, dimana kedua orangtua Amar dan saudara-saudaranya itu berada. Namun jawaban orang-orang sungguh membuat saya tercengang. “Tidak ada yang tahu, Mas. Dulu kabarnya mereka kerja di Jakarta, ada juga yang bilang di Kalimantan. Tapi sudah lima tahunan lebih mereka tak pulang.”
Saya tak bertanya lebih banyak lagi. Namun ingatan saya tiba-tiba terlempar pada awal-awal pertemuan dan perkenalan saya dengan Amar dan juga seorang kakaknya yang bernama Rama. Waktu itu, dua orang anak ini datang mengetuk pintu rumah saya sembari mengucap salam. Pakaian mereka berdua lusuh dengan wajar kotor penuh debu. Bau tubuh mereka yang tak sedap juga meruap memenuhi hidung. Saat saya tanya ada apa, kakak Amar, Rama, menjawab singkat;
“Njaluk (minta) duit.”
Kemudian saya sodorkan uang seribuan pada mereka berdua dan mereka begitu girang menerima uang itu sembari berlalu pergi dengan berlari dan tertawa-tawa. Keesokan harinya, mereka berdua datang lagi ke rumah. Caranya masih sama seperti sebelumnya. Dia mengucap salam sambil mengetuk-ngetuk pintu rumah. Saya berpikir, entah siapa yang mengajari mereka berdua mengucap salam sebelum mengutarakan maksudnya minta belas kasihan. Dengan basa-basi saya bertanya, ada apa. Rama yang kembali menjawab;
“Njaluk makan?”
Saya lihat wajah kusut mereka. Lalu segera pergi ke dapur, mengambil piring, mengisinya dengan nasi dan lauk serta membawakannya dua gelas berisi air minum. Mereka berdua makan dengan lahapnya. Setelah selesai, mereka pergi. Masih dengan cara yang sama dengan sebelumnya; berlari sambil tertawa-tawa.
Keesokan harinya mereka berdua datang lagi. Setelah mengucap salam, mengetuk pintu dan saya pun bertanya penuh basa-basi, Rama lagi yang menjawab;
“Njaluk jajan.”
Saya berpikir sejenak sambil menatap wajah mereka berdua. Lalu saya teringat dengan jajan kepunyaan anak saya yang disimpan dalam kaleng. Saya ambil dua bungkus roti dan memberikannya pada mereka. Mereka tersenyum dan segera pergi sambil berlari.
Begitulah dari hari ke hari, Rama dan Amar seperti menjadi tamu rutin harian saya. Mungkin mereka juga punya rasa tahu diri karena tidak setiap hari mereka minta uang. Hari ini minta uang, besok minta makan, besoknya lagi minta jajan dan terkadang datang hanya untuk minta minum. Bahkan sekarang si Amar, saat hendak pergi ke sekolah, rupanya sudah berani datang sendiri kerumah, menyempatkan diri untuk mengucapkan satu kata yang barangkali efek dari kata itu baginya sangatlah menyenangkan, “Njaluk duit.”
Tetangga sebelah saya yang mengetahui bahwa hampir tiap hari Rama maupun Amar bergantian datang ke rumah pernah berucap;
“Mas, nggak usah dikasih kalau minta apa-apa. Nanti kebiasaan.”
Saya tersenyum meski dalam hati saya tak setuju dengan sarannya. Seandainya tidak terpaksa, mereka tentu memilih bermain bersama teman-temannya daripada pergi meminta-minta.
Suatu waktu, saya pernah mencermati kedua anak ini. Dari hasil pengamatan yang saya lakukan, ternyata mereka berdua tidak pernah atau jarang saya lihat meminta-minta ke rumah tetangga-tetangga saya yang lain. Saya mencoba mencari tahu alasannya. Ternyata, sebagian besar tetangga saya memiliki persepsi yang sama sebagaimana tetangga yang ngasih saya saran di atas itu. Mungkin karena alasan itu si Rama dan Amar jadi malu atau mungkin takut seandainya datang meminta-minta pada mereka sehingga mereka lebih sering mendatangi rumah saya untuk urusan “Njaluk duit, njaluk makan, njaluk jajan.” Saya berpikir, sepertinya rumah saya menjadi tempat yang paling menjanjikan bagi mereka untuk mendapatkan apa yang mereka minta.
Amar dan Ataka
Amar dan Ataka

Mohon maaf, saya bukannya sombong mengatakan hal ini. Tetapi saya berpikir, bahwa saya pun pasti akan melakukan hal yang sama seandainya saya berada di pihak mereka berdua. Waktu terus berjalan. Amar dan Rama masih sering menjadi tamu harian saya meski sekarang ini Amarlah yang paling getol datang ke rumah. Agar kedatangan mereka ke rumah tidak hanya untuk urusan ‘njaluk-njaluk’, mereka berdua saya sarankan untuk datang ke mushalla, ikut mengaji bersama teman-teman lainnya.
Alhamdulillah mereka mau mengikuti saran saya. Terkadang sehabis mengaji, saat teman-temannya yang lain pada pulang, mereka berdua masih duduk saja di teras mushalla. Berbisik-bisik penuh malu sambil sesekali melirik ke arah saya atau istri saya. Saya berusaha memahami apa yang mereka pikirkan dengan bertanya;
“Sudah makan?”
Mereka menggeleng. Lalu saya ajak mereka berdua makan bersama di rumah dan kemudian sesudah itu mereka pulang. Bahkan seringkali ketika saya, simbah dan bapak datang dari kenduri, membawa bungkusan kue dan juga nasi, satu bungkus berkat komplit saya berikan untuk mereka bawa pulang. Dan tahukah Anda, bila nasi-nasi yang saya bawakan ternyata tak habis dimakan dan kemudian basi, mereka menjemurnya menjadi aking. Lalu mereka membawanya ke warung untuk dijual buat jajan. Miris, bukan?
Melihat nasib miris yang menimpa mereka, saya termotivasi untuk melatih rasa peduli anak saya. Amar yang saat ini paling sering datang ke rumah, saya minta untuk bermain bersama anak saya mengingat teman-teman lain seusianya justru lebih banyak yang menjauhinya. Dia tampak begitu senang menerima tawaran saya. Maka jadilah si Amar itu sekarang teman akrab anak saya, Ataka. Bahkan anak saya tak jarang menanyakannya serta menangis bila Amar sedang kurang move on untuk diajak bermain.
Sekarang Amar benar-benar telah menjadi sahabat dekat anak saya meskipun terkadang mereka terlihat kurang akur karena soal sepele. Maklum anak-anak. Tetapi saya bersyukur karena dia rajin mengaji dan sudah mulai bisa membaca huruf A sampai Ta setelah sebelumnya saya  merasa kerepotan karena dua hal. Pertama, dia susah mengingat huruf dan kedua saya tak bisa berlama-lama berada di dekatnya karena (maaf) dia bau. Bau karena baju yang sudah seminggu dikenakan untuk bermain, dipakai juga untuk ngaji yang mungkin saja tanpa dicuci. Barangkali karena alasan bau itu pula, ketika di mushalla, dia banyak diajuhi teman-temannya. Namanya juga anak-anak, padahal dia sudah saya kasih kaos dan baju sebelumnya, namun tetap saja yang dipakai malah baju yang mungkin menurutnya sangat nyaman dipakai.
Dan karena alasan bau itu juga saya minta agar dia datang ke mushalla lebih awal. Sekitar jam setengah enam. Sebelum ke mushalla saya perintahkan dia untuk mandi dan saya berikan sarung dan kaos untuk dipakai hanya saat mengaji. Setelah selesai mengaji, sarung dan kaos itu dilepas kembali dan ditinggal untuk kemudian saya cuci.
Bagi saya, urusan Amar saya anggap selesai. Sekarang dia rajin mengaji, bermain di rumah, makan di rumah, beli jajan ke warung bersama anak saya . Namun selepas memperhatikan Amar, kakaknya yang paling tua (Evan) ternyata juga butuh perhatian. Lulus kelas enam, dia menganggur. Sehari-hari hanya nongkrong di pinggir jalan. Melihat kenyataan itu, saya bilang pada istri;
“Evan daftarkan saja di sekolahmu,” kata saya suatu malam.
“Memang dia mau?” jawab istri saya.
“Kita panggil kesini dan kita tanya, apa dia mau seadainya melanjutkan sekolah.”
“Kalau mau?”
“Ya didaftarkan. Kau bilang saja sama kepala sekolah seperti apa kondisi keluarganya. Sekarang kan ada dana BOS. Jadi gratis kan?” kata saya.
“Memang gratis. Tapi uang gedungnya? Uang buat beli bahan seragamnya?. Lagi pula, tiap Jum’at ada olahraga. Dia harus punya uang saku lebih dari hari biasanya.”
Mendengar ucapan istri, saya hanya berucap lirih. “Uang gedung, uang buat beli bahan seragam sama uang saku tambahan setiap hari Jum’at itu biar jadi urusan kita. Semoga ini jadi amal kita.”
Istri saya diam. Besoknya sepulang mengajar, dia bilang bahwa Evan sudah didaftarkan. Bahkan dia sudah membelikan juga kain seragam lengkap untuknya. Saya tersenyum meski waktu itu mulut saya sepet karena tak merokok akibat dompet yang lagi darurat. Saya berusaha mensyukuri kabar yang dibawa istri. Alhamdulillah Evan sekarang sudah sekolah. Sesekali uang sangu hariannya selain hari Jum’at juga bisa kami penuhi.
Dalam hati saya berdoa, semoga ini jadi ladang perjuangan kami meskipun lingkupnya kecil dan sederhana. Saya berharap, baik Amar, Evan dan Rama (kakak Amar yang satu bernama Elsam justru jarang ke rumah saya) akan tumbuh menjadi anak-anak yang berhasil, sukses dan optimis meskipun sejak kecil mereka hidup dalam rumah tangga yang miris-tragis.
Sahabatku!
Setelah Anda semua membaca cerita saya di atas tentang Amar dan keluarganya, saya harap Anda mau ikut mendoakan mereka berdua sebagai bukti rasa cinta Anda pada nasib sesama. Syukur Anda tergerak untuk mewujudkan rasa cinta Anda itu dalam bentuk yang nyata  seperti baju-celana bekas anak Anda, buku atau bahkan sekeping uang agar mereka bisa ikut jajan.
Kebumen, 24 November 2014. 

MegaProku Melibas Daendles


Jalan Daendels
Jalan Daendels

Setelah merasa yakin hujan benar-benar reda, tadi sekitar jam 14:09, saya memutuskan untuk segera pulang. Terbayang sudah bentang jalan Jogjakarta (Cabeyan) - Kebumen (Banjareja) yang kira-kira jaraknya mencapai 130-an Km.

Saya nyalakan starter MegaPro yang setia menemani saya selama kurun waktu 3 tahun ini. Namun baru mencapai 2 Km perjalanan, tepatnya ketika hendak memasuki Pintu Gerbang Alun-Alun Kabupaten Bantul, hujan seperti menunjukkan tanda-tandanya akan turun. Gerimis sebesar biji belimbing berubah menjadi butiran hujan sebesar biji kacang tanah. Setidaknya seperti itu yang saya rasakan berdasarkan suara gemeretapnya pada helm yang saya pakai.

Mau kembali lagi ke Cabeyan? Tak mungkin saya lakukan. Kepada istri saya sudah berjanji bahwa akan pulang hari ini. Maka saya hentikan motor di tepi jalan, mengeluarkan mantel hujan yang terpaksa bagian atasnya harus dipasang terbalik karena resletingnya sedang bermasalah. Saya sadar, hujan pasti akan sedikit membasahi punggung saya yang terbuka. Tapi tak masalah. Barangkali hujan tak akan berlangsung lama.
 
Saya jalankan kembali motor menerobos curah hujan yang terlihat seperti serat-serat yang berjuntaian sepanjang jalan. Kudendangkan lagu "Biarlah Bulan Bicara" sambil meniru suara penyanyinya, Broery Marantika. Setidaknya dengan begitu, saya masih bisa merangkai rasa senang dibawah terpaan hujan yang makin deras dan jauhnya jarak perjalanan yang harus saya libas.

Hingga memasuki wilayah Purworejo, hujan seperti menunjukkan tanda-tanda bahwa dia bakal tetap setia menemani perjalanan saya. Entah hingga kapan. Sampai di ujung Barat Wates, sebelum batas DIY-Jateng, saya belok kiri menuju jalur selatan untuk kemudian menapak di Jalan Daendels.

Di atas, awan makin tebal. Di ujung barat, mendung makin menggumpal. Dan hujan membuat saya menyanyikan lagu-lagu nakal. Karena kaburnya pandangan dari balik kaca helm saya yang hitam gelap, motor terpaksa saya pacu perlahan-lahan. Dan itu berarti, akan ada tambahan waktu cukup banyak untuk sampai di rumah menjumpai istri yang setia membuatkan kopi dan teriakan anak yang tingkah dan bahasanya makin konyol dari hari ke hari.

Saya tersenyum mengenang itu semua. Di atas motor ini, lembaran-lembaran peristiwa terjadi silih berganti. Bayangan keluarga, rasa dingin, gemeretap air hujan, suara motor dari knalpot kendaraan lain yang berpapasan, aksi meliuk-liuk menghindari batu dan lubang di tengah jalan, cahaya petir di langit yang menyulut rasa takut, semua berkelindan dalam diri. Entah berapa lagu dan bunyi-bunyian lainnya yang sudah meluncur dari mulut saya sejak dari Jogja. Dangdut, Pop, Marawis, Shalawat, Doa, Qira'ah, Sajak, Ceramah, semuanya menggema dari lubang mulut yang sama. Saya berpikir, perangkat audio motor saya ini sepertinya jauh lebih lengkap dan lebih canggih dari mobil apapun.

Mungkin ini terdengar gila. Tetapi saya mencoba menikmatinya. Seseorang yang menempuh perjalanan sepanjang 130 Km dengan motor, menerobos lebatnya hujan dan petir yang menyambar-nyambar, menahan dingin hanya dengan mantel tipis yang bagian atasnya dipasang terbalik, itu semua hanya dapat dilakukan dengan dua hal; nekat dan 'gila' yang keduanya harus dinikmati. Entah sebagai sebuah petualangan, pengalaman atau justru kegilaan itu sendiri.

Lalu tiba-tiba saya teringat Daendels. Jendral Hindia Belanda yang namanya disematkan pada jalan yang saya lalui ini samar-samar mengisi benak. Saya bertanya-tanya; apakah ide Daendels untuk melindungi Jawa dengan membangun banyak jalan walaupun banyak rakyat yang jadi korban ini sebenarnya merupakan idenya yang nekat atau gila?
 
Ah, tangan saya gemetar. Dingin makin menggempur. Saya mencoba untuk tak peduli pada keduanya. Bahkan mungkin pada si Daendels sendiri. Sebab akhirnya saya sampai juga di rumah. Istri membuatkan kopi dan menyediakan air hangat untuk mandi. Anak saya pun datang menyambut sambil berteriak-teriak, "Ayah pulaaaannnnnggggg...."

Saya tersenyum. Mereka berdua tersenyum. Apakah Anda juga mau ikut tersenyum?


Kebumen, 15 November 2014, 23:31 WIB.






Kenangan Pada Sebuah Pohon

Pohon itu akhirnya tumbang juga. Setelah melewati tahun demi tahun di tepi jalan yang makin sesak oleh berbagai macam kendaraan, akhirnya ia sampai pada batas kemampuannya untuk tegak. Aku yakin, sebelumnya tak ada yang pernah benar-benar peduli pada kehadirannya di tepi jalan kota yang ramai ini. Padahal ia tumbuh di sana bukan oleh keinginannya sendiri. Ia ada di sana, lesap di kasar tanah, tumbuh dan berbuah hanya oleh kehendak Tuhan semata.
Pohon


Mungkin pohon itu selama ini telah menyaksikan bagaimana deru perubahan di sekitarnya berlangsung dengan begitu dahsyatnya. Gedung-gedung baru, besar dan tinggi, bermunculan dari hari ke hari. Menggusur gedung-gedung lama yang suram walaupun sangat mungkin di gedung-gedung yang suram itulah tersimpan memori-memori masa lalu kota ini yang tak kalah mewah untuk dikenang.
 
Dibanding beberapa rekan lainnya, mungkin pohon itu sedikit lebih beruntung karena selamat dari tebasan mesin-mesin pemotong kayu yang dengan beringas dan tanpa ampun akan memenggal pohon apa saja. Ya, pohon apa saja akan dengan mudah ditebang demi memberi ruang bagi berdirinya bangunan-bangunan baru yang konon dianggap sebagai lambang dari kemajuan sebuah zaman.
 
Sebagaimana ia tumbuh di sana tanpa kehendaknya, sekarang pohon itu juga tumbang hanya oleh kehendak Tuhan semata. Aku berpikir, mungkin pohon itu girang dengan ketumbangannya kini. Sebab ia tumbuh dan rubuh hanya oleh kehendak penciptanya. Atau mungkin saja ia sedih, karena tumbangnya justru membuat orang-orang menahan nafas geramnya di atas kendaraan mewah mereka yang hendak mereka pacu dengan keterburu-buruan yang aneh.
 
Duh! Aku tiba-tiba jadi teringat dengan Yus. R Ismail yang dengan bagusnya menulis cerpen Pohon Tumbuh Tidak Tergesa-Gesa. Ya, pohon memang tumbuh dengan tidak tergesa-gesa. Ia setia pada proses bertumbuhnya. Memang terkesan lamban, tetapi ia konsisten. Karenanya ia kuat, liat.
 
Justru manusialah yang paling sering akrab dengan ketergesa-gesaan itu. Ketergesa-gesaanlah yang membuat manusia lemah, bahkan untuk menandingi "kekuatan" sebatang pohon sekalipun. Maka kunyalakan rokokku. Kuredam ketergesaan yang sedari tadi efeknya hendak menyalak dalam dada. Kubiarkan orang-orang di ujung depan sana itu menyelesaikan tugasnya. Membawa pohon yang tumbang itu ke tempat peristirahatan terakhirnya.
 
(Catatan ini semacam oleh-oleh setelah berusaha menikmati macet akibat tumbangnya sebatang pohon di jalan Kalasan)

Sudah Waktunya Puasa Lagi..!


http://www.mediabaca.com/wp-content/uploads/2012/08/memahami-pengertian-hilal.jpg
Sering kita mendengar celotehan orang-orang di sekitar, “Wah, ini sudah bulan Sya’ban. Sudah itu bulan Ramadhan lagi. Puasa lagi.” Sungguh ini celotehan yang sederhana atau bahkan biasa saja kedengarannya. Tapi pernahkah kita menyadari kalau celotehan seperti itu seakan menggambarkan rasa ketidakpercayaan kita tentang begitu cepatnya waktu berlalu. Rasanya baru kemarin kita berpuasa, tiba-tiba sekarang Ramadhan sudah kembali hadir di depan mata.

Ya, waktu memang begitu cepat berganti. Apalagi bagi kita yang bergelut dengan rutinitas pekerjaan setiap hari. Dengan rutinitas pekerjaan seperti itu, kita seringkali terperangah oleh bergantinya bulan yang begitu cepat berlalu. Dari Januari ke Februari, lalu dari Maret ke Mei dan dari Mei hingga sekarang Juni, semua berjalan seakan dalam sekilatan mata memandang.

Benar kata pepatah yang mengatakan, bahwa sesuatu yang tak bisa dikalahkan di samping Tuhan dan kematian adalah waktu itu sendiri. Siapa yang bisa menghambat laju waktu? Tak ada. Siapa yang bisa memutar waktu hingga kita bisa kembali lagi kepada nostalgia masa lalu? Tak ada. Waktu terus berjalan dan kita ‘dilibas’ di dalamnya.

Konon, Imam Ghazali pernah memberi dua pertanyaan kepada muridnya, “Muridku, apa yang paling jauh dan sekaligus paling dekat di dunia ini?” Si murid menjawab, “Yang paling dekat adalah urat leher sedang yang paling jauh adalah bintang-bintang.” Imam Ghazali tersenyum sambil mengangguk. Tapi kemudian dia berkata, “Ingat, yang paling dekat adalah kematian sebab kita mendekatinya. Sementara yang paling jauh adalah sejarah karena kita meninggalkannya.”

Jika kita renungkan, sungguh benar apa yang dikatakan sang imam. Kematian memang merupakan peristiwa yang sangat dekat kepada kita karena usia kita berjalan mendekatinya. Sebaliknya sejarah merupakan sesuatu yang jauh dari kita karena kita memang bergerak menjauhinya. Dari masalah ini, kita secara tidak langsung dituntut untuk mengoreksi tentang apa sudah kita lakukan dalam rangka mengisi waktu-waktu kita selama ini.

Kalau kita berbicara waktu, sebaiknya kita perhatikan baik-baik apa yang pernah disabdakan Rasulullah Saw. Dalam salah satu sabdanya beliau pernah berkata, bahwa keberuntungan seseorang adalah apabila hari ini dia jauh lebih baik dari hari sebelum-sebelumnya. Sebaliknya, kerugian seseorang adalah apabila hari ini dia sama saja atau bahkan lebih buruk dari sebelum-sebelumnya.

Sabda Rasulullah Saw ini secara tidak langsung memberikan motivasi kepada kita untuk tidak membiarkan waktu atau kesempatan yang kita miliki berlalu dengan sia-sia. Kita perlu berusaha memastikan, bahwa harus ada kebaikan-kebaikan yang kita perbuat dalam detik-detik waktu yang kita miliki. Waktu merupakan sesuatu yang teramat mahal dan tak bisa dihargai dengan harta benda yang kita punyai. Kita tidak bisa mengulang waktu, mengatur perputarannya sesuai selera kita dan apalagi melompatinya. Yang bisa kita lakukan adalah mengisi waktu kita hari ini, entah dengan kebaikan atau sebaliknya keburukan.

Kita tidak perlu risau jika memang belum mampu melakukan amal kebaikan yang besar demi menghargai waktu yang kita miliki. Mari kita lakukan amal baik meski menurut pandangan orang lain terbilang kecil dan sederhana. Sebab amal kebaikan yang sederhana sekalipun tetap akan mendapatkan perhatian dari Allah SWT. Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Begitulah janji Allah dalam surat Al-Zalzalah ayat 7. 

Oleh sebab itu, kita patut bersyukur karena Allah SWT memperkenankan kita untuk menjumpai kembali dengan hadirnya waktu bulan Ramadhan tahun ini. Namun kita perlu bertanya apakah bulan Ramadhan tahun ini akan kita sambut dengan penyambutan dan amalan yang sama seperti Ramadhan tahun lalu? Atau kita sudah mempunyai rencana untuk menyambut dan mengisinya dengan kegiatan-kegiatan yang melebihi dari Ramadhan-Ramadhan yang sudah pernah kita lalui?

Damainya Bangsa Di Tangan Kita

http://www.rusemoes.com/upload/galleries/200.jpg
Sebagai rakyat, tentu saja kita menginginkan agar bangsa ini selalu damai, tenteram, jauh dari permusuhan dan pertengkaran. Kita tidak ingin memiliki bangsa yang senang berkonflik, saling menyimpan dendam diantara sesama. Tidak ada sejarahnya sebuah bangsa akan maju dan jaya apabila rakyatnya saling mengobarkan permusuhan satu sama lain. Sebaliknya, sebuah bangsa justru akan maju dan jaya apabila di dalamnya tercipta rasa saling menyayangi, saling menghargai, saling menghormati serta saling membantu diantara mereka. Bangsa kita adalah bangsa yang majemuk, terdiri dari bermacam-macam suku bangsa, bahasa dan agama. Perbedaan ini merupakan satu rahmat yang diberikan Allah SWT sehingga kita bisa saling mengenal dan mengetahui bahwa Allah SWT memang Maha Kuasa menciptakan makhluk-Nya dengan beraneka ragam rupa.

Dalam surat Al-Hujurat ayat 13, Allah SWT menegaskan, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Ayat ini secara tidak langsung mengingatkan kepada kita untuk tidak terlalu mempersoalkan perbedaan suku bangsa, bahasa, agama apalagi hanya sekadar perbedaan madzhab dan politik. Mengapa demikian? Sebab sampai kapanpun manusia tidak akan pernah bisa dijadikan seragam dalam hal bermadzhab dan beragama sekalipun. “...Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.” Itulah pernyataan Allah SWT dalam QS. Al-Maidah:48.

Dengan demikian, perbedaan diantara kita sama sekali bukanlah alasan untuk saling memusuhi, saling mendendam dan saling menghina. Justru dengan perbedaan itulah kita memiliki kesempatan untuk berusaha menjadi manusia-manusia yang terbaik di dunia ini. Allah SWT tidak lebih memuliakan mereka yang ikut madzhab A atau B, pengikut partai ini atau pengikut partai itu. Sebab yang akan mendapatkan derajat kemuliaan di sisi-Nya hanyalah mereka yang benar-benar bertaqwa kepada-Nya.

Lalu bagaimana kita mengukur kadar ketaqwaan kita? Tanda ketaqwaan seseorang tidak hanya ditandai oleh seberapa rajinnya mereka shalat, puasa, membaca Al-Qur’an, shadaqah atau seberapa seringnya mereka naik haji. Shalat, puasa, membaca Al-Qur’an, shadaqah dan haji hanyalah sarana bagi kita dalam mengabdi dan mendekatkan diri kepada Allah, dan bukanlah tanda dari ketaqwaan itu sendiri.

Kata Nabi Saw, taqwa itu di dalam hati letaknya. Dan tidak seorangpun sanggup mengetahui isi hati seseorang kecuali Allah SWT dan yang bersangkutan. Meskipun taqwa terletak di dalam hati, namun bukan berarti kita tidak bisa mengetahui ciri-cirinya. Ada banyak dalil, baik dalam Al-Qur’an maupun Hadits yang menjelaskan tentang ciri-ciri orang bertaqwa. Salah satunya yang bisa disebutkan disini adalah mereka yang tidak suka membuat keonaran, permusuhan, dendam, buruk sangka dan iri hati.

Kurang sempurna ketaqwaan seseorang -meskipun mereka rajin shalat- selama mereka suka mengobarkan permusuhan terhadap orang lain. Kita boleh beda madzhab, beda partai maupun beda organisasi. Namun dengan alasan apapun kita tetap tidak diperkenankan menumbuhkan permusuhan dan buruk sangka yang menyebabkan hilangnya kedamaian di tengah kehidupan bangsa yang majemuk ini.

Bahkan terhadap orang yang berbeda agama sekalipun, kita tidak seharusnya berburuk sangka kepada mereka. Sebab kita tidak pernah tahu nasib hati seseorang. Siapa tahu mereka yang selama ini kita anggap kafir, justru hatinya diberi hidayah iman oleh Allah menjelang mereka wafat sehingga kematiannya khusnul khatimah. Dan tidak ada jaminan, meskipun kita telah mengaku beriman namun siapa tahu hati kita justru berubah menjadi kafir saat ajal menjelang sehingga kematian kita menjadi su’ul khatimah. Na’udzubillah.

Jadi, mari kita berusaha menjadi manusia terbaik dengan cara berpikir dan berperilaku baik. Sebab yang kita perjuangkan bukan hanya baiknya masa depan partai atau organisasi. Melainkan baiknya masa depan kita sebagai sesama warga dari sebuah bangsa yang kita cintai

Plus-Minus Kampanye

https://nugrainna.files.wordpress.com/2012/06/ninna-poster-kampanye-pemilu.jpg
Musim kampanye kembali tiba. Caleg dan parpol menggembar-gemborkan jargon yang hampir serupa. Kampanye Cerdas. Namun masalahnya, adakah kampanye -terutama kampanye parpol dan caleg- yang benar-benar cerdas dan sekaligus mencerdaskan? Silahkan masing-masing kita memberikan jawabannya.

Tapi, ada satu hal yang patut kita garisbawahi. Bahwa kampanye, selamanya akan selalu identik dengan pencitraan. Ketika salah satu parpol sedang berkampanye, kita tidak mungkin menemukan pernyataan negative dari sang jurkam berkaitan dengan parpol yang sedang dikampanyekan.

Begitu pula ketika ada seorang calon legislative (caleg) maupun calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) sedang kampanye. Jangan harap kita menemukan pernyataan yang menjelaskan apa saja kekurangan yang mereka miliki. Justru sebaliknya, yang dikampanyekan atau yang disampaikan hanyalah kelebihan dan kehebatan mereka masing-masing. Nah, inilah kurang lebih yang dimaksud dengan pencitraan itu.

Karena melulu bernilai pencitraan, maka sulit mengatakan ada kampanye parpol yang benar-benar cerdas apalagi mencerdaskan. Hukum yang berlaku dalam setiap kampanye parpol adalah, “sampaikan kebaikanmu, kehebatanmu, kelebihanmu, bukan yang lain.” Makanya wajar kalau di sepanjang jalan kita temukan gambar seorang caleg yang disertai kalimat-kalimat fantastis seperti; Jujur, Cerdas, Peduli, Dapat Dipercaya dan seterusnya.

Pertanyaannya; apakah si tokoh yang ada dalam gambar itu benar-benar jujur, cerdas, peduli dan dapat dipercaya? Wallahu A’lam. Namun yang jelas, para koruptor yang sekarang mendekam di penjara, dulu sewaktu kampanye juga sangat mungkin mengatakan hal yang sama, bahwa mereka jujur dan dapat dipercaya meskipun kenyataannya mereka tidak seperti yang dikatakan dalam kampanye.

Jika demikian kenyataannya, justru kitalah sebagai rakyat yang harus cerdas memahami arti kampanye. Kampanye adalah bagian dari proses dalam menentukan dan memilih seorang pemimpin, baik pemimpin di tingkat nasional, provinsi maupun daerah. Termasuk calon anggota DPR. Sebagai umat Islam, tentu saja kita harus berhati-hati dalam setiapkali mengikuti kampanye. Salah satu hal yang perlu dihindari dalam memasuki masa-masa kampanye adalah tradisi sogok-menyogok atau biasa dikenal dengan money politic.

Dalam masa-masa kampanye, sogok-menyogok (money politic) kerap merupakan hal yang lumrah dilakukan meskipun pemerintah sudah berulangkali memberikan peringatan yang bersifat melarang. Bukan hanya pemerintah, Rasulullah Saw sendiri melarang keras budaya sogok-menyogok sebagaimana sabdanya, “Penyogok dan orang yang disogok (keduanya tercanam) masuk neraka.” Kerasnya ancaman inilah yang membuat para ulama sepakat bahwa sogok-menyogok tergolong perbuatan haram yang wajib dihindari.

Meski begitu, ada juga orang yang berpandangan lain, “Sogokan biasanya berhubungan dengan uang. Bagaimana seandainya bukan uang, melainkan sembako dll. Apa boleh diterima?” Kalau Anda menerima pemberian itu, tentu Anda sendiri yang kelak harus mempertanggungjawabkannya. Tapi yang jelas, tidak ada kampanye yang murni cerdas dan mencerdaskan. Kitalah sebagai pemilih yang harus cerdas. Dan pemilih yang cerdas tentu akan berprinsip “tidak akan melanggar ajaran agama hanya demi hiruk-pikuknya sebuah kampanye.”

Pelajaran Penting Dari Sebatang Pohon



Kita semua pasti tahu tentang pohon. Bahkan selama ini kita juga sudah banyak merasakan kegunaant pohon. Ada pohon yang kita gunakan sebagai alat-alat rumah tangga, ada pohon yang kita fungsikan sebagai peneduh lingkungan, dan tidak sedikit pula ada pohon yang kita manfaatkan baik hanya buah maupun daun yang tumbuh dari dalamnya.
            Menurut ilmu biologi, pohon merupakan ciptaan Allah yang mampu menghasilkan zat gula serta mengubah gas beracun (karbondioksida) menjadi oksigen yang sangat dibutuhkan oleh manusia.
            Sejauh pengamatan penulis, Allah SWT menyebut kata ‘pohon’ dalam Al-Qur’an baik secara tersurat maupun tersirat sebanyak 48 kali dan tersebar di beberapa surat. Kalau kita benar-benar meyakini bahwa Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi manusia, tentu disebutkannya kata ‘pohon’ oleh Allah dalam firman-Nya itu dapat kita jadikan sebagai salah satu sumber ilmu yang harus kita yakini kebenarannya.
            Apa pelajaran penting yang terdapat pada sebatang pohon? Di samping berfungsi sebagai penghasil oksigen, pohon juga mengajarkan kita tentang artinya bersabar. Terutama bersabar dalam menjalankan sebuah usaha atau proses. Jika kita cermati, pohon termasuk makhluk Allah yang tidak tergesa-gesa saat dia tumbuh. Pohon tumbuh setahap demi setahap, seinci demi seinci namun ia selalu konsisten dan istiqamah dalam menjalankan tugasnya untuk terus tumbuh dan berproses.
            Coba lihat, berapa lama waktu yang diperlukan oleh sebatang pohon jati di hutan untuk tumbuh menjadi besar? Tidak cukup setahun atau dua tahun. Melainkan puluhan tahun. Tetapi pohon itu tabah, sabar dan tidak tergesa-gesa untuk bisa tumbuh sebesar itu.  Karenanya ia kuat dan kokoh.    
            Allah SWT berfirman dalam surat Ali Imran ayat 190 yang artinya, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.”  Dan diciptakannya pohon juga menjadi tanda-tanda kekuasaan Allah yang harus kita pikirkan hikmah dan manfaatnya.
            Jika kita termasuk orang yang berakal, tentu keberadaan setiap pohon yang merupakan ayat-ayat kauniyah Allah dapat kita jadikan sebagai bahan pelajaran yang sangat penting bagi kehidupan kita. Dan salah satu pelajaran penting yang bisa kita petik dari keberadaan sebuah pohon adalah kesabaran dan ketabahannya dalam menjalankan sebuah proses atau usahanya untuk tumbuh.
            Untuk menjadi seorang pengusaha misalnya, kita perlu bersikap sebagaimana pohon yang tidak tergesa-gesa menjalankan tugasnya. Demikian pula, untuk menjadi ahli ibadah kita juga perlu berlatih dengan sabar setahap demi setahap. Perlu diketahui, Islam senantiasa mengajarkan kita untuk bertindak dengan cermat dan tidak tergesa-gesa. Allah bahkan mencela para hamba-Nya yang suka melakukan sesuatu dengan tergesa-gesa. Mengapa? Sebab perbuatan tergesa-gesa itu menyebabkan kita ceroboh, tidak bisa berpikir jernih serta tidak mencerminkan kepribadian orang yang sabar.
Nabi Saw mengingatkan kita dalam sabdanya, “Doa seorang hamba senantiasa dikabulkan selama dia tidak memohon suatu dosa, memutus silaturahmi dan tidak tergesa-gesa.” Para sahabat bertanya, “Apa arti tergesa-gesa (dalam berdoa)?” Beliau Saw menjawab, “Orang yang berdoa tersebut mengatakan, ‘Saya telah berdoa, dan saya benar-benar telah berdoa, tetapi Allâh Azza wa Jalla tidak mengabulkan doaku.” Kemudian dia berhenti berdoa dan meninggalkannya,” (HR. Muslim). Jadi, marilah kita lakukan suatu kebaikan dengan tenang, sabar dan tidak tergesa-gesa, agar mental kepribadian kita pun pada akhirnya menjadi kuat laksana pohon. Wallahu A’lam.

Menyayangi yang Di Bumi, Disayangi yang Di Langit

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhKUIon5uF0AwEUNfe0EAYWgrcuaXqlWp-v3dwX9no07NeACW5mp0_6Eoh5PwwWB6yz09n7bl1oAs_VGbABodKReV6FiWaNtgmFLjbSKiON4sxkcXLfgfaANYFoHV5S68jkKkjt6O-ecxQ/s1600/AC.+ket+A+1.jpg
Sebagai umat Islam, kita mungkin tidak asing lagi dengan bunyi hadis yang menyatakan, bahwa Nabi Muhammad diutus ke muka bumi ini untuk menyempurnakan akhlaq. Dan memang demikianlah tugas pokok Rasulullah Saw. Tetapi, meski begitu populer bunyi hadis itu dikalangan kita umat Islam, namun bukan berarti perkara yang mudah untuk menerjemahkan apa sesungguhnya yang dimaksud dengan akhlaq yang sempurna itu.

Secara umum, akhlaq memang diartikan sebagai perilaku manusia. Tetapi sasaran dari perilaku itu sendiri tidak terbatas hanya kepada manusia semata. Setiap manusia, memang harus memiliki akhlaq yang baik, yang harus ditujukan bukan hanya kepada sesamanya melainkan juga kepada makhluk-makhluk lainnya. Termasuk binatang dan tumbuh-tumbuhan. 

Terdapat banyak riwayat yang menyebutkan, bahwa Rasulullah Saw merupakan sosok yang sangat menyayangi binatang. Hal ini menjadi bukti betapa perilaku atau akhlaq yang baik itu merupakan sikap yang harus ditunjukkan kepada semua makhluk. Kita tidak diperkenankan berbuat semena-mena terhadap semua ciptaan Allah. Sebab perbuatan semena-mena itu merupakan lawan dari akhlaq yang baik.

Mengingat begitu luasnya arti mengenai akhlaq yang baik atau akhlaq yang sempurna itu, maka tidak heran kalau Islam dikatakan sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin). Kata-kata rahmat itu sendiri, menurut Ahmad Musthafa al-Maraghi, mengandung arti sebagai “suatu perasaan halus di dalam hati yang mendorong seseorang untuk menyayangi.”

Namun ironisnya, pekerjaan menyayangi selama ini hanya ditafsirkan sebagai perasaan seseorang pada orang lain, seperti perasaan laki-laki pada perempuan dan seterusnya. Padahal, sikap menyayangi yang menjadi dasar dari tumbuhnya akhlaq yang baik memiliki cakupan atau sasaran yang sangat luas. Tidak hanya menyangkut antar manusia, melainkan meliputi semua makhluk yang mendiami alam semesta.

Maka kita patut prihatin manakala kita menyaksikan orang-orang berbuat semena-mena terhadap alam, seperti melakukan pengrusakan hutan, mencemari sumber mata air, mengotori lingkungan dengan membuang sampah sembarangan, meracuni ikan-ikan di sungai dan lain sebagainya.  

Perbuatan-perbuatan semacam itu, bukan hanya merusak lingkungan alam sekitar kita. Tetapi, perbuatan yang demikian juga mencerminkan kroposnya akhlaq yang baik, menipisnya rasa kasih sayang terhadap sesama makhluk serta yang paling fatal kita telah melakukan pelanggaran terhadap apa yang dilarang Allah SWT dalam firman-Nya, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik,” (QS. Al-A’raf:56).

Tak hanya itu, ketika akhlaq kita buruk dan rasa sayang kita kepada sesama makhluk di muka bumi ini sedemikian kropos, maka turunnya kasih sayang Allah dan makhluk-makhluk-Nya di langit jadi terhambat. Sebab Nabi Saw sudah mengingatkan dalam sabdanya, “Orang yang tidak menyayangi maka tidak akan disayangi.” Dan dalam riwayat yang lain Nabi juga bersabda, “Sayangilah yang ada di bumi, maka yang ada di langit akan menyayangimu.”  Selagi masih belum terlambat, mari kita perbaiki akhlaq kita dan tumbuhkanlah rasa sayang kita kepada semua makhluk Allah yang terhampar di alam semesta. Wallahu a’lam.

Bertakbir Sekaligus Bertakabbur

Allah SWT menyatakan diri-Nya sebagai Yang Maha Besar. Kebesaran-Nya tak dapat kita bandingkan dengan apapun di seluruh jagad raya ini. Bahkan sekadar kita berpikir untuk mencari bandingan antara kebesaran Allah dengan selain Dia, sungguh kita tidak akan pernah berhasil.

Karena kebesaran Allah itu sama sekali tak tertandingi oleh apapun, maka kita menyebutnya dengan kalimat Allahu Akbar (Allah Maha Besar), dan itu kita sebut berkali-kali setiap hari dalam shalat kita, dzikir kita dan seterusnya.

Pengakuan terhadap kebesaran Allah itu akan semakin terasa frekuensinya manakala kita telah usai menjalankan ibadah puasa dan kemudian kita masuki hari satu Syawal dimana kita diperintahkan untuk bertakbir sejak malam hingga pagi harinya.

Coba kita renungkan, miliaran manusia di dunia pada malam dan hari yang sama di awal bulan syawal memekik-mekik kalimat Allahu Akbar..Allahu Akbar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Seandainya kita diperkenankan oleh-Nya untuk bisa terbang dan mampu mendengarkan seluruh pekikan takbir itu, mungkin seluruh tubuh kita akan tenggelam dalam getaran-getaran maha dahsyat yang ditimbulkan oleh pekik takbir itu.

Mengagungkan Allah lewat pernyataan kalimat Allahu Akbar, saya rasa merupakan sebentuk latihan agar kita belajar mengerdilkan diri di tengah-tengah kebiasaan membesar-besarkan, menghinakan diri diantara pusaran keinginan mengagungkan dan membangga-banggakan. Memang, manusia teramat besar keinginannya untuk dianggap “lebih” dari manusia lainnya. Lebih hebat, lebih mulia, lebih suci dan sekian embel-embel kelebihan lain yang semua itu seakan memaksa kita -tanpa kita sadari- untuk berlaku sombong dan angkuh.

Keinginan untuk dianggap “lebih” inilah yang seharusnya dikikis dengan penghayatan mendalam saat kita mengucap Allahu Akbar. Kita bisa menjadi sombong, besar kepala, angkuh dan menganggap diri kita “lebih segalanya” dari orang lain, itu kemungkinan besar karena kita belum menemukan taste dari pekik Allahu Akbar yang sehari-hari kita ucapkan. Makanya kita sombong.

Dan harap dicatat, bahwa kesombongan itu bukan hanya milik orang yang tidak shalat. Orang yang sehari-hari kita pandang rajin shalat sekalipun, juga bisa menjadi manusia-manusia sombong atau bahkan kesombongannya lebih hebat lagi dibanding mereka yang shalatnya lebih banyak absen-nya.

Kalau kita camkan apa yang pernah disampaikan oleh Rasulullah Saw, betapa ngerinya hati kita memahami pengaruh-pengaruh kesombongan, ketakabburan. Betapa tidak, sebesar biji dzarrah saja kita pelihara kesombongan dalam hati, maka Allah sama sekali tak memperkenankan sorga-Nya untuk kita masuki.

Tak akan masuk sorga, kata Rasulullah, orang yang di dalam hatinya terdapat sifat sombong sebesar biji dzarrah. Andai sorga kita umpamakan sebagai sebuah rumah pesta, yang di dalamnya disediakan jamuan-jamuan paling lezat dari lezatnya jamuan yang pernah dicipta manusia, maka dengan kesombongan itu kita terusir dari sana.

Kesombongan atau ketakabburan menjadikan nasib kita dihadapan Allah menjadi begitu fatal dan naifnya. Sebab dengan kesombongan itu kita seperti sedang mengkondisikan diri menjadi pihak-pihak yang terbuang dari kasih sayang-Nya, menjadi pihak yang tersingkir dari panggilan cinta-Nya, menjadi sosok-sosok yang dibiarkan berada dalam kebuntuan tak bertepi di saat orang lain justru telah sampai pada tujuan yang mereka idam-idamkan selama ini.

Karena itu, saya membayangkan, ketika sedang mengucap Allahu Akbar, maka segala atribut-atribut yang selama ini memaksa saya sombong harus saya buang dan singkirkan jauh-jauh. Harusnya saya merasa kerdil di hadapan kebesaran-Nya, harusnya saya merasa ringkih di hadapan keperkasaan-Nya, harusnya saya merasa hilang arti di hadapan kekuasaan-Nya. Allahu Akbar...Allahu Akbar.

Sayangnya, saya tak cukup cerdas untuk segera dapat mengetahui, bahwa ternyata segala ihwal yang mengantarkan saya kepada kesombongan itu bukan hanya harta, ilmu, paras, keluarga, pangkat dan status-status jabatan belaka. Tetapi ternyata, sekadar diri ini merasa “lebih takwa” dari orang lain pun sudah cukup menenggelamkan saya di dalam lumpur ketakabburan.

Para Nabi dan Rasul, selalu saja berdoa yang menyiratkan betapa mereka senantiasa mengaku dzalim di hadapan Allah. Mereka tak pernah menabik dada dengan menyebut mereka lebih baik dan benar dari umatnya, lebih shalih dari orang lain, merasa lebih pantas masuk sorga daripada orang-orang di sekitarnya. Dan perasaan inilah yang kian membuat mereka tak pernah merasa cukup untuk mengucap Allahu Akbar, tak pernah merasa puas untuk tenggelam dalam lautan ibadah kepada Allah.

Sungguh betapa canggih dan membahayakannya makhluk yang bernama “diri merasa lebih” ini. Sebab dari perasaan inilah seseorang bisa dengan mudah melakukan penistaan-penistaan yang membuat mereka justru terlihat bodoh dalam kepandaiannya , terlihat jahat ditengah ibadah yang dilakukannya.

Karena saya merasa lebih takwa, maka saya hina siapa saja yang berbeda dengan saya. Karena saya merasa lebih suci, maka saya halalkan caci. Karena saya merasa lebih tahu tentang agama, maka saya remehkan para pendosa tanpa harus saya tahu alasannya kenapa mereka berbuat dosa. Hanya karena diri merasa lebih, saya akhirnya berbuat seperti yang saya inginkan. Bukan berdasarkan apa yang Allah perintahkan.

Apa itu sombong, wahai Rasul? Sabda beliau itu kini lamat-lamat saja terdengar; ialah menolak kebenaran dan menghina (merendahkan, meremehkan) manusia. Maka akhirnya saya khawatir, jika setiap hari saya lantunkan kalimat Allahu Akbar, bukannya diri makin tunduk rendah penuh gemetar melainkan makin menjulang saja pohon yang bernama rasa takabbur. 

Jadi Bilal atau Batunya?

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi7qGfUsRUeASP6btq17TWNodk1EFcF2t_I0blOyDc1zzDsUHM3C7cCFgT6qRH4cvAVb0WDpPHmvLc68YHmbDv2oXuO_4cjJZklPJffqrxDUaaq3E9d22Mr9goCV3Gza4KQEP2pdla40n1i/s400/1Bedaween.jpg
Di tengah terik matahari, yang panasnya menampar-nampar padang pasir tandus wilayah Mekkah ketika itu, seorang tuan dan budaknya sedang berhadap-hadapan.

“Kau tahu, sebagai seorang budak apa tugasmu?” tanya si tuan berkacak pinggang.

“Tentu,” jawab si budak tanpa sedikitpun merasa gentar.

“Kalau begitu, aku perintahkan sekarang. Lepaskanlah keyakinanmu. Kembalilah pada keyakinan semula. Keyakinan nenek moyang kita semua.”  

“Maaf. Saya tak mau.”

“Kau menentang tuanmu, wahai budak?” tanya si tuan dengan suara mulai lantang penuh geram.

“Iya. Lalu apa lagi yang tuan tunggu? Lakukan kawajiban tuan terhadap budakmu yang melakukan penentangan ini.”

Laiknya seorang tuan yang merasa bebas berbuat apa saja terhadap bawahannya, maka si budak segera diikat, dan lalu ditelentangkan di atas padang pasir tanpa pakaian. Tak lama kemudian lengking suara cambukan membahana menembus langit, yang barangkali membuat sekian malaikat ikut merasa perlu untuk melaknat.

“Kau tak akan merubah pendirianmu, wahai budak?”

“Jangan harap.”

“Akan kutindih tubuhmu dengan sebuah batu yang besar itu.”

“Lakukan jika dengan itu tuan merasa yakin akan sanggup merubah pendirianku.”

Maka diangkatlah batu hitam itu menindih tubuh sang budak yang juga berkulit hitam. Saya bayangkan, empat macam siksaan datang bertubi-tubi menimpa si budak. Tubuh yang terpanggang terik matahari dan pasir yang panas, pedihnya cambuk yang merobek kulit, batu hitam besar berat yang menindih badan, dan tak menutup kemungkinan si tuan pun melemparkan caci yang menyinggung hati.

Sekian siksaan yang datang bersamaan itu, rupanya tak sedikitpun membuat si budak berubah pikiran. Penyiksaan yang sangat dahsyat dan sebenarnya si budak sendiri merasa sakit, tetap tak menjadi alasan bagi mulut si budak untuk membolehkan dirinya mengeluh, merintih, mengeluarkan raungan-raungan selain kata “Ahad...Ahad...Allahu Ahad.”   

Kelak dari sejarah, kita mengenal si budak hitam itu dengan panggilan Bilal. Bilal bin Rabah. Seorang budak, manusia berkasta rendah yang kemudian namanya menjadi begitu harum dan populer hingga kini. Sejarah heroisme keimanannya kepada Allah SWT dan kesetiaan cintanya kepada Kanjeng Nabi Muhammad Saw terekam lewat peristiwa penyiksaan hebat yang beliau alami dengan penuh ketabahan.

Biarpun sama-sama batu, saya duga batu-batu Mekkah ketika itu tak bisa kita persamakan teksturnya dengan batu-batu yang manapun. Ia ditempa terik sinar matahari selama ribuan tahun yang bukan hanya menjadikannya kuat tetapi justru jauh lebih kuat dari yang kita kira.

Tetapi soal batu itu bisa saja tidak begitu penting. Selama batu yang menindih Bilal masih berstatus sebagai benda mati materi, dan tak diberi ijin oleh Allah untuk sanggup melawan saat manusia hendak menghancurkannya, maka ia sama sekali bukan tantangan. Beda soal kalau batu itu kita letakkan sebagai simbol karakter, sikap dan kebiasaan.

Abu Bakar, sahabat Nabi yang terkasih, sanggup menggeser batu yang menindih dada Bilal dengan cara menebus budak itu dari cengkeraman tuannya. Batu sebesar apapun, dari dulu hingga kini, tetap bisa ditaklukkan dan bahkan dengan mudah dapat dihancurkan oleh tangan-tangan manusia.

Namun sikap Bilal yang tak gentar di bawah tindihan batu besar yang menghimpit tubuhnya, seakan mengisyaratkan satu hal penting. Bahwa bukan lepasnya batu dari tubuh yang menjadikan Bilal begitu gembira, melainkan kesanggupan menghalau masuknya ‘batu’ ke dalam diri, ke dalam hati, yang membuatnya jadi mulia. Batu itu untuk konteks Bilal adalah batu kemusyrikan, ketundukan dan ketaatan kepada selain Allah.

Lalu saya, kamu, mereka dan kita semua bagaimana? Setiap hari, ada begitu banyak hal buruk yang saya masukkan ke dalam diri saya, ke dalam hati saya, yang kemudian saya biarkan dan endapkan untuk menumpuk dan membatu di sana. Ada banyak kecenderungan dan kebiasaan negatif yang sehari-hari saya lakukan tanpa pernah saya sadari bahwa kebiasaan itu jika sudah membatu, mengkarakter, maka ia akan sempurna membuat saya jadi manusia batu. Manusia keras, kaku, dan dapat dengan mudah dihancurkan dan ditenggelamkan.

Saya telah menjadi batu karena korupsi, suka ngapusi, mengkhianati amanah, suka pamer aurat dan menghamba kepada nafsu syahwat, dendam, iri hati, hoby menyakiti perasaan orang lain, sombong, tidak setia kepada Allah, Rasulullah dan apalagi kepada anak-istri sendiri, merasa paling benar dan suci serta sekian unsur-unsur lainnya.

Dalam ini saja, coba Anda hitung betapa banyak unsur-unsur yang membangun “kemembatuan” diri saya ini sehingga ia menjadi kuat, kokoh, tak mudah dihancurkan. Andai saya engkau letakkan di jernihnya air sungai yang sejuk itu, maka saya tak bisa mengambang menyaksikan cakrawala keindahan Langit, Matahari, bintang-bintang dan rembulan. Tetapi yang pasti, saya akan tenggelam ke dasar lumpur gelap penuh kehinaan.

Maka kemanakah engkau wahai, Abu Bakar! Yang akan datang untuk menebus kami yang selalu membudakkan diri tidak kepada Umayyah bin Khalaf melainkan pada ‘batu-batu’ yang kami bangun setiap hari dalam diri dan hati kami. Dimanakah engkau, wahai Abu Bakar! Yang akan menggeser batu besar yang tidak ditindihkan oleh Umayyah melainkan kami sendiri yang menimpakannya setiap saat ke dalam hati kami. Kemanakah engkau, wahai Bilal! Mengapa kami tak kunjung memilih menjadi sepertimu, tetapi lebih senang menjadi benda-benda mati seperti batu yang menindih tubuhmu.