Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » Rona Manusia

Rona Manusia

“Aku memahami seluruh nafasmu kekasih, mana yang hitam dan mana yang putih, lalu kuhitung-hitung pengkhianatan itu, tapi tak selesai juga,” (Tri Astoto Kodarie, "Hujan Meminang Badai," 1989).

Saya percaya, bahwa di setiap detik waktu yang kita punya, selalu ada kemungkinan kekecewaan yang akan kita rasakan. Sumber dan pelakunya bisa bermacam-macam. Dari mulai benda hingga manusia. Apa yang tampak kelihatan baik, tak sepenuhnya bisa dipercaya, dan apa yang tampak kelihatan buruk, tak seharusnya dicerca begitu rupa. Maka, bersikap sewajarnya namun juga kritis dan selalu waspada dapat menjadi pilihan terbaik sebelum kita terjebak pada dua masalah; kecewa dan buruk sangka.
 
Di samping dapat menjadi sumber kebaikan dan keburukan, manusia adalah segugus realitas yang juga dapat menjadi sumber kekecewaan dan sekaligus sumber buruk sangka. Dalam waktu yang bersamaan, manusia bisa tampak kelihatan baik sebelum kemudian terlihat begitu buruk. Dengan demikian, baik dan buruk, mengecewakan-membahagiakan merupakan dua potensi yang seluruhnya ‘mengumpul’ dalam diri setiap manusia.
 
Maka, tak usah kecewa ketika sesuatu yang sebelumnya terlihat baik kemudian berubah menjadi terlihat buruk. Dan tak perlu buruk sangka pada sesuatu yang terlihat jelek karena selalu ada peluang baginya untuk kembali menjadi baik. Itulah dunia. Itulah dialektika, yang dengannya kita tahu bahwa memang tak ada yang benar-benar ajeg-abadi dalam kehidupan ini.
 
Ketika saya memberikan jutaan pujian bagi seseorang karena sikapnya yang menyenangkan, maka bisa saja saya kehilangan kewaspadaan karena saya hanya melihat satu sisi dari bagian hidupnya saja. Tapi ketika saya begitu marah pada seseorang terhadap kelakuannya yang mengecewakan, itu tandanya saya masih belum mampu melihat secara total bahwa pada diri setiap orang itu memang telah melekat potensi-potensi keburukan yang bisa muncul kapan saja.
 
Pada setiap realitas, selalu ada pertentangan yang tak usai-usai. Termasuk dalam diri kita, setiap manusia. Dalam pertentangan itu, yang penting disoroti bukanlah apa yang dominan terlihat. Sebab yang dominan terlihat itu akan sangat mungkin dikubur oleh kenyataan-kenyataan lain sesudahnya.
 
Mungkin ada benarnya yang dikatakan Vernunft, bahwa melakukan identifikasi dengan adil merupakan cara yang tepat untuk memahami sebuah realitas, termasuk di dalamnya adalah manusia itu sendiri. Dan barangkali dengan identifikasi itulah kita dapat membuat semacam sintesis bahwa apa pun yang tampak dari setiap manusia, entah kebaikan atau keburukannya, keduanya sama-sama memiliki batasannya sendiri-sendiri.
 
Karenanya, saat manusia terlihat baik, jangan tergoda untuk mendewakannya karena kita tidak mengerti keburukan apa yang dia miliki yang akan menjadi pembatas bagi kebaikannya. Sebaliknya, saat manusia terlihat buruk, jangan terpancing untuk menistakannya sebab kita tidak tahu kebaikan apa yang dia miliki yang kelak akan menjadi pembatas bagi keburukannya.
 
Cintai yang kamu cintai, sekedarnya. Karena bisa jadi besok kau membencinya. Bencilah yang kamu benci sekedarnya juga. Siapa tahu besok kau mencintainya. Begitu kata Nabi. 

Kebumen, 15 April 2016

0 komentar:

Posting Komentar