Catatan ini sebenarnya sudah lama mengendap dalam benak. Sekitar
pertengahan September lalu, pasca bersuanya saya dengan satu fenomena
sosial yang tak ayal membuat saya harus rela memikirkannya.
Waktu itu, saat menunggu istri belanja di pasar, saya istirah di depan
sebuah salon. Di depannya, tiga sepeda motor terparkir. Tak ada yang
menarik sebenarnya bagi saya. Sebab dimana-mana, yang namanya salon
pasti tempatnya orang memanjakan penampilan. Bukan sedang tahlilan seperti yang dibid'ahkan oleh makhluk bercingkrang.
"Entar aku beli yang itu ya, Mbak. Berapa harganya? Dua ratus lima
puluh? Ya, nunggu transferan dulu, hehe. Cerah nggak buat wajah?"
Ini hanya secuil obrolan mereka yang saya tangkap. Entah siapa. Tapi
yang jelas perempuan muda. Saya baru yakin saat perempuan itu keluar
dari dalam salon. Masih usia SMA rupanya. Berdua dengan temannya yang
juga perempuan. Saat mereka berdua berlalu dengan motor Suzuki Satria
FU-nya, seperti ada yang mereka tinggalkan di benak saya. Wabilkhusus tentang bagaimana seseorang begitu antusiasnya mengurus penampilan.
Tak ada yang salah memang. Setiap orang mesti harus memperhatikan
dirinya sendiri. Tentang penampilannya, kesehatannya. Semuanya.
Penampilan menjadi bagian inhern yang harus diperhatikan, terutama saat
seseorang memiliki jadwal interaksi sedemikian padat dengan banyak
kalangan. Maka tidak heran, bagi mereka yang berada di dalam lingkaran
kehidupan jetset, para sosialita, artis, harus ada budget khusus untuk mengurus soal yang satu ini. Tak tanggung-tanggung, semuanya bisa mencapai angka jutaan.
Tetapi, apakah gadis muda barusan termasuk person yang sedang mendiami
lingkaran kehidupan semacam itu? Entahlah. Pastinya mereka adalah satu
dari sekian orang yang terobsesi untuk mengurus penampilannya sedemikian
rupa. Dan itu tidak salah atau wajar bagi sebagian lainnya.
Zaman terus bergulir. Ya, dan semakin akan terus bergulir. Dalam tiap
gulirannya ia selalu datang membawa gempita produk dengan prosesi
penawaran yang membuat banyak orang seakan perlu mengikutinya, wajib
mentaatinya, harus memilikinya. Termasuk produk untuk mengurus soal
penampilan tadi.
Ada dua kekuatan -menurut saya- mengapa banyak orang harus bersikap
demikian. Imaji dan janji. Produk kecantikan sedemikian piawainya
menanam imaji yang dengan kekuatan kapitalnya mereka mampu menghadirkan
sosok/figur (idola) publik untuk membantu meyakinkan sebanyak mungkin
audiens bahwa mereka bisa digugah imajinya.
Imaji yang sudah berhasil digugah merupakan kesempatan potensial untuk dijadikan sebagai lahan menebar janji (spread promise).
Tidak usah jauh-jauh. Lihat saja iklan sabun mandi. Lifeboy menjanjikan
efek kesehatan bagi pemakainya sementara Lux menjanjikan efek
kecantikan bagi pembelinya. Jika ingin mendapatkan dua manfaat itu;
apakah berarti kita harus menggunakan dua sabun berbeda untuk setiap
kali mandi? Terserah.
Ini baru sabun. Belum ke kosmetik wajah. Ada kosmetik yang menjanjikan
efek cerah, menghilangkan noda, mengubur flek, menyumbat minyak,
menggusur komedo dan sekian janji lainnya. Janji itu sedemikian
meyakinkan karena pada saat yang bersamaan kita dihadapkan pada hadirnya
sosok-sosok jernih-kinclong yang tak dapat tidak telah sempurna
menggugah imaji kita. "Aku ingin seperti dia," inilah etape pertama yang
muncul diam-diam dalam benak. Selanjutnya, "Ya, nunggu transferan
dulu." Sebuah ungkapan yang menyiratkan adanya keinginan untuk tetap
memiliki sesuatu yang kita imajikan. Walaupun itu berat.
Maka sampai disini saya dapat memahami apa kata Jacques Lacan saat dia berkultum tentang dua hasrat tubuh. Pertama, tentang
hasrat menjadi. Dari hasrat inilah seseorang terobsesi untuk menjadi
objek; objek kekaguman, objek pemujaan yang karenanya seseorang dapat
dengan rela melakukan sesuatu sebagaimana yang mereka inginkan. Lebih
tepatnya mereka imajikan.
Kedua, tentang hasrat memiliki sesuatu seperti yang dimiliki oleh
orang lain. Berimaji ingin cantik seperti Dian Sastrowardoyo yang
menjadi objek kekaguman banyak orang, maka kita akan pakai itu sabun
Lux. Menanam keinginan untuk tampil cantik cerah seperti Inneke
Koesherawati, tentu kita akan ikut pakai kosmetik Wardah. Begitulah
seterusnya sampai kita melupakan sebuah kata. Lelah.
Apakah gadis muda yang keluar dari salon tadi sedang memerankan apa kata Lacan? Wallahu A'lam.
Tapi lamat-lamat terdengar juga tabligh Jean Baudrillard dari corong sebelah yang ngupas soal
keutuhan diri. Katanya, "Saat kosmetik melapisi wajahmu, maka pada saat
yang bersamaan wajahmu jadi terhapuskan. Wajahmu tak ada, hanya
kosmetik yang tersisa. Bibirmu hilang, hanya lipstick.yang nampang. Kalau
kau bertingkah seperti mereka yang kau idolakan, maka engkaupun lenyap
bersama citra idolamu. Dan saat itulah dirimu dikuasai oleh sesuatu yang
ada di luar dirimu dan engkaupun menjadi seseorang selain dirimu.".
Kedua gadis yang baru keluar dari salon itu pun lenyap dari pandangan.
Sementara pada saat yang bersamaan istriku datang. Keringat membasahi
wajahnya. Begitu kusam dan tak enak dipandang. Ada kontroversi dalam
diri saya yang tiba-tiba berkecamuk. Haruskah saya katakan tentang kultum Lacan
dan tabligh Jean tadi? Padahal melihat wajah kusamnya yang berlepotan
keringat seperti itu, sungguh-sungguh saya kehilangan gairah. Adaowww...!!
0 komentar:
Posting Komentar