Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » Inokashira

Inokashira

http://indonesian.cri.cn/mmsource/images/2013/04/16/bsakura9.jpg
Aku masih menggenggam erat selembar kertas berwarna pink yang berisi tulisannya. Cukup singkat memang meski di balik guratan huruf yang ia tulis kecil-kecil itu tersimpan sebuah kesungguhan yang begitu nyala. Senyala rona bunga Sakura yang sekarang terhampar begitu indah di depan mata.
Kupastikan, sudah kelima kali aku mengunjungi taman ini bersamanya (ya, aku bahkan sudah mencatatnya dalam sebuah buku diary pemberiannya lengkap dengan ungkapan-ungkapan yang kutulis sebagai pendar-pendar perasaanku kala itu). Bagiku, taman ini bukan hanya tempat menghindarkan pikiran dari kutukan rasa suntuk. Tapi, taman ini seakan menjadi awal mula bagiku untuk mengenal lebih jauh bahwa ternyata ada orang lain yang menaruh perasaannya terhadapku.
Di depanku, beberapa pasang remaja terlihat asyik mendayung perahu. Mungkin mereka tak peduli, bahwa Dewi Benzaiten yang berada dalam kuil tak jauh dari tempat mereka bermesraan sedang menatap mereka dengan tatapan mata penuh cemburu.
Angin berhembus perlahan-lahan. Membuat tangkai pohon bunga Sakura bergoyang-goyang lamban. Sebagian dari bunga-bunga itu berguguran dengan gerak yang lambat dan sedikit meliuk sebelum akhirnya air danau menyambutnya dengan ricik yang tenang sejuk. Kubaca kembali secarik kertas berwarna pink itu.
“Hen, kapan kau kembali?” tanyaku dalam hati.
Pertanyaan demi pertanyaan yang akhir-akhir ini terus mengental dalam perasaanku makin mendedah lembar-lembar memory yang pernah terjadi antara aku dan Hen. Aku tahu, diantara kami berdua memang ada jembatan panjang yang menguarkan baris demi baris perbedaan. Hen berasal dari Indonesia, sedang aku kelahiran Kichijoji asli. Di Inokashiralah kami berdua bertemu. Entahlah, aku rasa tidak mudah untuk menyimpulkan apakah pertemuanku dengannya merupakan suatu kebetulan belaka atau memang ada kekuatan lain yang mendorongku dan Hen saling bertegur sapa kala itu.
Semula, aku merasa aneh mendengar namanya; Hendi Tadashi. Seperti nama orang-orang di negaraku Jepang. Dan aku sendiri tak menyangka akan bisa bergaul begitu akrab dengan orang asing yang pertamakali kutemui. Dan itulah waktu. Selalu menyimpan rahasia-rahasia tak terduga bagi siapa saja yang berada dalam pusarannya. Saat kami menyusuri tepian Danau Inokashira, kulihat Hen begitu takjub melihat rimbunnya bunga Sakura, yang bergoyang perlahan diterpa angin. Ia kemudian mengeluarkan kamera dari dalam ranselnya dan mengabadikan pemandangan yang ia lihat itu beberapa kali.
“Ini sangat indah,” serunya sambil terus tersenyum.
“Ya. Aku sependapat denganmu,” kataku.
“Sayang. Bunga ini tak bisa tumbuh dengan baik di negaraku.”
“Karena itulah kamu harus sering-sering datang kemari.”
Hen menatapku. Masih dengan senyum khasnya. “Ya, aku rasa begitu,” katanya kemudian. Setelah merasa cukup puas menikmati semua keindahan yang dimiliki Inokashira, kami akhirnya memutuskan untuk pulang. Hen akan kembali ke asramanya sementara aku akan cepat-cepat pulang sebelum matahari benar-benar tenggelam.
***
“Ayah. Aku mohon ayah jujur. Ayah tidak sedang bercanda, kan? Jawab ayah?” isakku. Ibu hanya diam mematung sambil 
memegangi kedua pundakku.
“Tidak, Miy. Ayah tidak bercanda. Itu memang tulisan eyang buyutmu. Ayah pastikan tulisan eyang buyutmu di buku itu benar adanya. Maaf, Miy. Semalam, ayah juga sudah berbincang banyak dengan Hen lewat telephon tanpa sepengetahuanmu. Dan ayah yakin kalau dia...” jawab ayah.
“Tapi kenapa baru sekarang ayah memberitahukan ini padaku?”
“Awalnya ayah juga tidak tahu. Bagaimana hal ini bisa terjadi. Ini tampaknya memang kebetulan. Tapi itulah yang terjadi, dan ayah merasa sekaranglah waktunya kamu mengetahui yang sebenarnya.”
Aku segera pergi meninggalkan ayah dan ibu untuk mengambil tas di dalam kamar. Dan tanpa bicara sepatah katapun dengan mereka, aku langsung pergi kedepan ntuk memanggil taksi. Tak kuhiraukan suara ayah dan ibu yang memanggilku dari belakang. Di dalam taksi, aku masih tak kuasa menahan isak tangis sambil menggengam buku itu erat-erat. Ini benar-benar buku kutukan. Pikirku. Taksi membawaku ke asrama Hen. Setelah mengusap kedua mataku dengan tisue aku segera mencari laki-laki itu.
“Anda Nona Miyako?” tanya seorang pemuda di depan pintu asrama. Aku mengangguk.
“Kebetulan sekali. Maaf, hari ini saya berencana akan pergi ke rumah Anda untuk mengantarkan surat ini,” kata pemuda itu sambil menyodorkan sebuah amplop kecil dengan hiasan bunga Sakura yang sepertinya hasil lukisan tangan.
“Dari Hen?” tanyaku. Pemuda itu mengangguk. “Kemana dia?” tanyaku lagi.
“Mendadak semalam dia dipanggil untuk pulang ke Indonesia.”
“Pulang? Kenapa dia tidak mengabariku?”
“Maaf, dia bukannya tidak mau mengabari Anda Nona Miyako. Tapi katanya telephon Anda justru tidak aktif.”
Aku buru-buru mengambil telephon genggamku. Ya, Tuhan. Ada sepuluh panggilan masuk dari Hen di sana. Rupanya buku itu benar-benar telah menjadikan kutukan buatku. Semalam aku memang sengaja men-silent handphoneku gara-gara aku tak mau terganggu saat membaca buku itu. 
“Kenapa dia pulang lebih cepat?” tanyaku.
“Maaf, Nona. Keluarganya ada yang meninggal.”
“Anda yakin?”
“Hen sendiri yang bicara pada kami, Nona. Semalam, sepertinya dia mendapatkan sebuah interlokal. Katanya dari Indonesia. Wajahnya memang terlihat sedih setelah menerima telephon itu.”
“Oh...tidak...tidak,” kataku sambil mohon diri.
***
Aku menarik nafas dalam-dalam. Dan tanpa terasa, butir-butir air mataku kembali berjatuhan. Kubaca lagi secarik kertas surat yang diberikan Hen diantara lembaran-lembaran buku terkutuk itu. Sejuk angin taman Inokashira membelai wajahku yang mungkin terlihat kusut dan pucat.
“Hen, aku menunggumu,” aku kembali membatin diantara lalu lalang orang dan celoteh riang anak-anak. Aku ingin menjawab pertanyaannya. Namun aku ingin Hen juga tahu soal buku terkutuk ini, melihat sendiri dengan mata kepalanya, biarpun dia sudah mendengar dari ayah kalau nama Tadashi di belakang namanya itu adalah nama eyang buyutku yang dulu pernah ikut menjajah negaranya.
Aku kembali mengusap air mataku. Sulit bagiku untuk mempercayai, kalau Hendi Tadashi, laki-laki yang dengannya aku mulai belajar mengenal cinta, tidak lain adalah bagian dari keluarga besarku sendiri. saudaraku sendiri. Dia lahir dari rahim seorang wanita yang harus pasrah menerima dorongan hasrat keperkasaan eyangku sebagai seorang tentara yang pernah menjajah negaranya. Hasrat yang meluap-luap di tengah gemuruhnya perang, di tengah kerinduan membara kepada keluarga yang ditinggalkan. Aku tiba-tiba ingat dengan apa yang pernah kubaca dari sebuah buku, bahwa perang memang selalu menuntut keberanian, ketangguhan, jiwa patriot. Namun ia juga menuntut pemenuhan atas hasrat-hasrat primitif terpendam yang dimiliki oleh setiap manusia. Entah untuk tujuan apa eyang buyutku menulis siapa wanita yang telah dia paksa menjadi pelabuhan darurat atas hasratnya. Dan kenapa wanita itu justru mengabadikan nama lelaki yang barangkali saat itu amat dibencinya? Wanita memang terlalu berat melupakan kenangan-kenangannya.
Angin berhembus perlahan. Beberapa bunga Sakura tanpak berguguran. Kulihat lagi secarik kertas surat yang ditulis Hen.
“Kupikir, aku bisa menikmati bunga Sakura bukan karena warnanya yang indah itu. Namun itu karena aku telah menikmatinya bersama kelembutanmu, kehadiranmu. Aku telah mengetahui segalanya. Cukup pahit kurasa. Tapi, suatu saat nanti rasa cinta inilah yang barangkali akan mampu menetralkannya.”  
Jogjakarta, 2013.

0 komentar:

Posting Komentar