SEBUAH ALAT
KRITIK TERHADAP ILMU PENGETAHUAN
Salah satu ciri khas manusia
dibanding makhluk lainnya adalah kemampuan berpikirnya. Tak hanya itu, manusia
juga memiliki potensi lain seperti perasaan, kehendak dan tindakan. Beragam
potensi inilah yang menjadikan manusia sebagai makhluk yang mampu mengolah,
mencipta serta mengupayakan terjadinya berbagai perubahan alam lingkungan
sekitarnya ke arah yang lebih baik. Berbagai perubahan yang bisa dicapai oleh manusia
semuanya diawali dari kegiatan-kegiatan seperti memperhatikan, meragukan, mempertanyakan
dan sekaligus menjawab pertanyaan-pertanyaan itu melalui serangkaian proses
berpikir dan berusaha (berkarya). Kegiatan berpikir inilah yang kemudian
melahirkan filsafat dan ilmu pengetahuan. Meski demikian, tidak semua aktivitas
berpikir dapat disebut berfilsafat, terutama bila dilihat dari tujuan berpikir
itu sendiri. Berfilsafat adalah berpikir yang bertujuan untuk memperoleh
pengetahuan, yakni pengetahuan yang menyangkut kebenaran. Sehingga dengan
berfilsafat manusia diharapkan dapat menemukan kebenaran yang pada akhirnya
mengantarkannya pada kebijaksanaan.
Keyword: filsafat,
ilmu, filsafat ilmu
A.
Pendahuluan
Saat
ini, kajian mengenai Filsafat Ilmu (Philosophy of Science) mulai
mendapatkan perhatian cukup besar dari kalangan akademisi dan kaum intelektual di
Indonesia. Salah satu buktinya adalah dengan banyaknya berbagai perguruan
tinggi yang memberikan mata kuliah Filsafat Ilmu kepada para mahasiswa.[1]
Meski di beberapa perguruan tinggi materi Filsafat Ilmu lebih banyak diajarkan
pada tingkat pendidikan pasca sarjana, namun kenyataan ini patut diapresiasi
dengan baik sebagai bagian dari dinamika ilmu pengetahuan yang terus
berkembang.
Antara
filsafat dan ilmu sesungguhnya merupakan dua elemen yang tidak dapat
dipisahkan. Dengan kata lain, setiap pembicaraan mengenai Filsafat Ilmu hal itu
akan selalu mengarah pada pembahasan yang selalu jalin berkelindan diantara
keduanya. Itulah sebabnya kenapa Filsafat Ilmu dikatakan sebagai satu rumpun kajian
yang saling membesarkan. Filsafat adalah induk ilmu di satu sisi dan ia (filsafat)
juga merupakan bagian dari ilmu itu sendiri di sisi yang lain.[2]
Sebagai
cabang dari filsafat umum, Filsafat Ilmu memberikan pemahaman bahwa setiap ilmu
pengetahuan diangkat dari adanya kebenaran ilmu yang beragam. Hal ini
memberikan petunjuk bahwa Filsafat Ilmu merupakan dasar berpikir untuk dapat
memahami lahirnya keragaman ilmu dengan segenap metode dan manfaatnya bagi
kehidupan.
Mempelajari
Filsafat Ilmu juga sama halnya dengan upaya memahami adanya keterkaitan antara
satu ilmu dengan ilmu-ilmu yang lain seperti ilmu alam hubungannya dengan
ilmu-ilmu social dan humaniora. Menurut Rizal Muntasyir (2002), dengan
mempelajari Filsafat Ilmu seorang ilmuan tidak akan terjebak pada pola berpikir
‘menara gedung’. Artinya, setiap ilmuan tidak bisa berpikir murni hanya pada
bidangnya melainkan ia harus keluar dan menyadari adanya keterkaitan dengan
konteks kehidupan social kemasyarakatan.[3]
Hal
ini sejalan dengan apa yang dinyatakan Robert Ackermann, bahwa Filsafat Ilmu
bukan suatu cabang ilmu yang bebas dari praktek ilmiah senyatanya.[4]
Atau dengan kata lain Filsafat Ilmu merupakan pemikiran reflektif terhadap
persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun
hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia.
B.
Pengertian
Tentang Filsafat, Ilmu dan Filsafat Ilmu
Secara
etimologi Filsafat Ilmu terdiri dari dua kata; Filsafat dan Ilmu. Kata filsafat
disadur dari beberapa sumber kebahasaan, terutama dari bahasa Yunani, philosophia.
Kata philo berarti cinta dan kata sophia berarti hikmah
(kebenaran). Jadi, philosophia dapat dimaknai sebagai ‘cinta kebenaran.’[5]
Sementara
Harun Hadiwijono menyebutkan bahwa filsafat berasal dari bahasa Latin yakni filosafein
yang berarti mencintai kebijaksanaan-kebijaksanaan atau mencintai kebenaran.[6]
Disini kebenaran dipahami sebagai nilai yang harus dijunjung tinggi oleh
manusia sebagai pecinta kebenaran itu sendiri.
Sementara
kata ilmu, secara etimologi, berasal dari bahasa Arab (a’lama, ya’lamu,
ilmun) yang berarti pengetahuan. Ilmu dapat dibangun dari dua sumber yakni
sumber empiric dan rasional. Dari kedua sumber inilah kemudian lahir ilmu-ilmu
empiric inderawi dan ilmu-ilmu intelek. Dalam kajian selanjutnya, kata ilmu
terbagi ke dalam dua istilah yakni ilmu sebagai knowledge dan ilmu
sebagai science.[7]
Ilmu
sebagai knowledge berhubungan dengan pengetahuan atau pengalaman
sehari-hari. Sementara ilmu sebagai science berhubungan dengan
kegiatan-kegiatan ilmiah yang dengannya pengetahuan itu dapat dipahami secara
sistematik. Dengan demikian ilmu dapat bermakna sebagai ‘pengetahuan’ (knowledge)
dan sekaligus sebagai ‘ilmu pengetahuan’ (science). Yang pertama
mengarah pada pengalaman sehari-hari, sementara yang kedua mengarah pada
pengetahuan sistematiknya.
Berangkat
dari kedua pengertian kata di atas (filsafat dan ilmu), maka kemudian lahirlah dua
konsep keilmuan yakni Filsafat Pengetahuan dan Filsafat Ilmu atau Filsafat Ilmu
Pengetahuan. Keduanya berbeda dari segi bangunan filosofisnya. Kalau Filsafat
Pengetahuan melihat hakikat pengalaman sehari-hari sebagai sumber pengetahuan. Sementara
Filsafat Ilmu melihat aspek keilmuan atau aspek ilmiahnya sebagai sumber
pengetahuan itu sendiri.
Sampai
disini kita dapat memahami bahwa tidak setiap ‘pengetahuan’ (knowledge)
dapat menjadi ‘ilmu pengetahuan’ (science). Agar pengetahuan dapat
menjadi ilmu pengetahuan maka diperlukan sebuah sarana yang bernama Filsafat
Ilmu. Tanpa Filsafat Ilmu sangat mungkin seseorang beranggapan bahwa
‘pengetahuan’ (knowlede) dan ‘ilmu pengetahuan’ (science) merupakan
dua hal berbeda dan tidak ada kemungkinan untuk disatukan. Padahal sejatinya
antara pengetahuan dan ilmu pengetahuan merupakan satu sumber ilmu pengetahuan
yang tidak bisa dipisahkan. Secara tidak langsung, Filsafat Ilmu dapat
dikatakan telah berjasa menghapus anggapan tentang adanya dikotomi ilmu.
Filsafat
ilmu tidak membedakan sumber tumbuhnya ilmu. Tetapi ia melakukan upaya
penyatuan antara sumber ilmu yang bersifat material, intelektual, dan spiritual
dengan landasan diterimanya ilmu oleh ilmuan atau manusia sebagai folosof yang
mencintai kebenaran dan kebijaksanaan.
Penting
dicatat bahwa setiap manusia sebagai pecinta kebenaran memiliki pengalaman dari
tiga keadaan berbeda yang seharusnya membuat mereka berpikir untuk mencari dan
menemukan kebenaran-kebenaran dari pengalaman itu. Ada yang mempunyai
pengalaman atas sesuatu yang bersifat empiric inderawi, rasio (akal) dan ada
juga pengalaman empiric intuitif yang bersifat transcendental. Dari pengalaman
yang beragam inilah Filsafat Ilmu kemudian memberikan prinsip-prinsip dasar
mengenai bagaimana metode ilmiah dan metode penelitian yang harus dilakukan
sehingga tiga pengalaman itu benar-benar menjadi sumber ilmu pengetahuan.
Selanjutnya,
dari ketiga pengalaman inilah kemudian diketahui adanya tiga pengetahuan yakni
pengetahuan inderawi (indra), pengetahuan rasio (intelek) dan pengetahuan
intuitif (nurani/rasa). Ketiga jenis pengetahuan ini memiliki perbedaan, baik
mengenai obyek, metode, urutan-urutan dan nilai universalitasnya.
C.
Filsafat
Ilmu dalam Pandangan Para Tokoh
Menurut
The Liang Gie, setiap pemikiran para filsuf mengenai ilmu merupakan Filsafat
Ilmu itu sendiri.[8] Karenanya,
tidak mengherankan bila ditemukan banyak definisi mengenai Filsafat Ilmu yang
dikemukakan oleh mereka. Berikut beberapa definisi tentang Filsafat Ilmu
menurut para tokoh filsuf dewasa ini:
1.
Lewis White
Beck
Lewis
White Beck mendefinisikan bahwa “Filsafat Ilmu mempertanyakan dan menilai
metode-metode ilmiah serta mencoba menetapkan nilai dan pentingnya usaha ilmiah
sebagai suatu keseluruhan.”[9]
Berangkat
dari definisi yang dikemukakan Lewis di atas, maka dapat dipahami bahwa
Filsafat Ilmu meniscayakan terjadinya kegiatan atau proses-proses ilmiah secara
terus menerus. Sehingga dengan demikian
dapat dicapai suatu pemahaman yang mendalam (radikal) atas sebuah objek ilmu
yang dikaji.
2.
A. Cornelius
Benjamin
Filsuf
ini mendefinisikan Filsafat Ilmu sebagai “cabang pengetahuan filsafati yang
merupakan telaah sistematis mengenai sifat dasar ilmu, khususnya
metode-metodenya, konsep-konsepnya, serta letaknya dalam kerangka umum dari
cabang-cabang pengetahuan intelektual.”[10]
Definisi
yang dikemukakan Benjamin di atas secara lebih gamblang menjelaskan seperti apa
‘watak’ dari Filsafat Ilmu itu sendiri sebagai sebuah cara dalam memahami
dasar-dasar dari terbangunnya ilmu pengetahuan.
3.
John Macmurray
John
Macmurray mendefinisikan Filsafat Ilmu sebagai “ilmu yang bersangkutan
dengan pemeriksaan kritis terhadap pandangan-pandangan umum, prasangka-prasangka
alamiah yang terkandung dalam asumsi ilmu atau yang berasal dari keasyikan
dengan ilmu, tetapi yang bukan sendirinya merupakan hasil-hasil penyelidikan
dengan metode yang ilmu memakainya.”[11]
D.
Obyek
Material dan Obyek Formal Filsafat Ilmu
Sebagaimana
kajian filsafat pada umumnya, Filsafat Ilmu juga berusaha mencari dan menemukan
esensi dari sebuah ilmu. Setiap ilmu pengetahuan tidak bisa dipisahkan dari
kerja-kerja filsafat dan melalui filsafat inilah hakekat ilmu pengetahuan dapat
diketahui.
Begitupun
halnya dengan Filsafat Ilmu yang berusaha mengungkap hakekat ilmu pengetahuan.
Bagi Filsafat Ilmu, keberadaan setiap ilmu pengetahuan merupakan objek material
yang menjadi bahan kajian di dalamnya. Dengan mengkaji ilmu pengetahuan sebagai
objek materialnya, Filsafat Ilmu dapat menjelaskan seperti apa bangunan
ontologis, epistemologis dan aksiologis dari sebuah ilmu dan sekaligus
membedakannya dari pengalaman biasa manusia (knowledge).[12]
Sementara
objek formal Filsafat Ilmu adalah teori-teori pemikiran yang berbicara tentang
kebenaran ilmiah sebuah pengetahuan. Dari kajian inilah kemudian dapat
diketahui seperti apa hakekat, metodologi dan kemampuan ilmu pengetahuan bagi
kehidupan manusia. Dalam Filsafat Ilmu, kajian mendetail tentang ilmu
pengetahuan menjadi awal dari kajian ilmu pengetahuan itu sendiri sehingga
dengannya dapat diketahui adanya klasifikasi ilmu sebagai pengembangan dari
teori-teori ilmu dengan berbagai disiplin yang beragam.
Sampai
disini dapat kita pahami bahwa tidak ada kata selesai dalam Filsafat Ilmu.
Semua ilmu pengetahuan berikut teori-teori pembangunnya dapat selalu dikaji
seiring dengan perkembangan zaman yang melingkupi kehidupan manusia.
E.
Penutup
dan Kesimpulan
Dari
uraian di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan, antara lain:
a.
Filsafat Ilmu
merupakan penyelidikan tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk
memperolehnya. Dengan kata lain, Filsafat Ilmu sesungguhnya merupakan
pengetahuan lanjutan dari pengetahuan-pengetahuan yang sudah ada sebelumnya.
b.
Filsafat Ilmua
juga merupakan bagian dari epistemology (Filsafat Pengetahuan) yang secara
spesifik mengkaji tentang hakekat ilmu (Pengetahuan Ilmiah).
c.
Kedudukan
Filsafat Ilmu dalam pengembangan ilmu pengetahuan dapat dikelompokkan kedalam
dua posisi, yakni sebagai cabang dari filsafat umum dan sebagai pendekatan
dalam pengkajian dan pengembangan ilmu pengetahuan.
d.
Obyek material
Filsafat Ilmu tidak lain adalah ilmu pengetahuan itu sendiri. Sedangkan obyek
formalnya adalah hakekat (esensi) ilmu pengetahuan serta problem-problem
pengetahuan.
F.
Daftar
Pustaka
Al-Attas,
Naquib, Science and Objective in Islamic Education, Jeddah:King Abdul
Aziz, 1979.
Benjamin, A.
Cornelius, Science Philosophy of, dalam Dagobert D. Runes, ed., Dictionary
of Philosophy, Totowa:Littlefield, Adams, 1975.
Hadiwijono,
Harun, Sari Filsafat Barat Jilid I, Yogyakarta:Penerbit Yayasan
Kanisius, t.th.
Macmurray, John,
The Boundaries of Science; A Study in the Philosophy of Psychology,(London:Faber
and Faber, 1957.
Saefuddin
Anshari, H. Endang, Ilmu, Filsafat dan Agama, Surabaya:Penerbit PT Bina
Ilmu, 1979.
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta:Liberty,
2010.
[1] The Liang Gie,
Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta:Liberty, cet. VIII, 2010), hlm. vii
[2] Filsafat
Ilmu, diterbitkan oleh Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2005,
hlm. 3
[3] Rizal
Muntasyir, Misnan Munir, Filsafat Ilmu (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,
2002), hlm. 53
[4] Robert
Ackermann, The Philosophy of Science: An Introduction, 1970, hlm. 19
[5] H. Endang
Saefuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama (Surabaya:Penerbit PT Bina
Ilmu, 1979), hlm. 75
[6] Harun
Hadiwijono, Sari Filsafat Barat Jilid I (Yogyakarta:Penerbit Yayasan
Kanisius, t.th), hlm. 7
[7] Muhammad
Naquib Al-Attas mengistilahkan pengetahuan sebagai al-‘ilmu, sementara
ilmu pengetahuan sebagai al-‘ulum. Lihat Muhammad Naquib Al-Attas, Science
and Objective in Islamic Education (Jeddah:King Abdul Aziz, 1979), hlm. 5
[8] The Liang Gie,
Pengantar Filsafat Ilmu.,op.cit.,hlm. 57
[9] Lewis White
Beck, Philosophic Inquiry: An Introduction to Philosophy (New
York:Prentice Hill, 1952), hlm. 16
[10] A. Cornelius
Benjamin, Science Philosophy of, dalam Dagobert D. Runes, ed., Dictionary
of Philosophy (Totowa:Littlefield, Adams, 1975), hlm. 284
[11] John
Macmurray, The Boundaries of Science; A Study in the Philosophy of
Psychology (London:Faber and Faber, 1957), hlm. 26
[12] Tim Pokja
Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Filsafat Ilmu (Yogyakarta:Suka
Press, 2005), hlm. 12-13
Label:
KUTULIS