Hentakan
kendang makin menusuk. Menggenta-genta memecah malam. Lengking suara penyanyi qosidah
itu makin sempurna membuyarkan konsentrasi Haji Saidun dari sikap khusyuknya menjelang
shalat malam. Berulang kali bibirnya mengucap istighfar. Memohon ampun kepada Tuhan. Ini suara
iblis. Batinnya.
“Astaghfirullah. Astaghfirullah!”
Dua kali gagal mengangkat takbir itu
tiada masalah. Tapi ini sudah keenam kalinya. Bahkan sudah mau ketujuh kalinya,
tak juga purna takbir itu Haji Saidun lakukan. Disambarnya lampu senter di
samping sajadah. Lalu disorotkan ke jam dinding. 03:50. Waktu hampir menjelang
fajar. Sebentar lagi adzan subuh dikumandangkan. Namun belum serakaatpun shalat
malam yang berhasil ditunaikan.
Tak apa. Mungkin ini ujian.
Barangkali Tuhan sedang ingin mencobanya untuk bisa khusyuk di tengah geriung
suara music yang makin berisik. Begitu pikir Haji Saidun. Kembali
dipejamkanlah kedua matanya sambil kembali mengangkat
kedua tangan.
“Allaaahu....Allaaahuuu...aakkk. Astaghfirullaaaaah...!”
jerit Haji Saidun.
Maka dimantapkanlah kembali kedua
posisi kakinya dalam berdiri menghadap kiblat. Malam ini, ia ingin berusaha menunaikan
shalat malam. Sudah terlalu banyak malam-malam yang terlewati begitu saja. Sebulan.
Dua bulan. Oh, tidak, mungkin sudah bertahun-tahun ia tidak pernah sama sekali
bangun di sepertiga malamnya yang terakhir.
Kalau akhir-akhir ini ia berusaha menjalankan ibadah malam, tak lain
karena ia ingin memenuhi tuntutan profesinya. Bukankah sejak beberapa bulan
yang lalu ia mendapatkan pekerjaan baru. Sebagai juru dakwah. Mengajak
mereka yang tidak ingat Tuhan agar kembali lagi pada kebenaran. Dan untuk tugas
barunya itu, Haji Saidun tentu saja banyak mengucap syukur.
Bagaimana tidak. Sejak Hengky,
keponakannya yang bekerja di salah satu stasiun televisi itu datang dan menawarinya pekerjaan, maka saat itulah aktivitas
Haji Saidun jadi berubah total. Ia yang dulunya
bukan siapa-siapa, lantas sekarang telah menjadi sosok yang tak bisa dipandang
sebelah mata. Beberapa bulan terakhir, waktunya banyak dihabiskan di depan kamera. Menyampaikan
kebenaran dan kebaikan.
“Apa ini pekerjaan yang halal?” teringat Haji Saidun saat
pertamakali keponakannya itu datang dan mengajaknya ikut bekerjasama. Dibolak-baliknya
kertas brosur berwarna biru muda yang disodorkan kepadanya.
“Bukan hanya halal, paman. Tapi juga
berpahala. Bahkan besar-besar lho pahalanya. Nah, ini pahala dunianya.
Cukup besar kan, paman. Kalau pahala akhiratnya tentu paman sendiri yang lebih
tahu.”
“Hmm, ya...ya,” jawab Haji Saidun tersenyum
puas. Terbayang sudah di benaknya kini, dengan menerima tawaran keponakannya
itu, dia pasti bakal berhasil mendapatkan apa yang selama ini ia impikan. Harta. Uang. Kekayaan. Haah...gampang.
Waktu fajar makin mendekat. Dari
beberapa pengeras suara masjid dan mushalla, sayup-sayup terdengar rekaman qiro’at.
Beradu lantang dengan hentakan bunyi kendang berikut lengking nyaring suara biduan.
Namun sejauh itu, tak satu rakaatpun yang berhasil Haji Saidun lakukan.
Dengan dada penuh geram.
Diputuskanlah bahwa harus ada yang dilakukan besok pagi seusai subuh. Harus. Kebetulan hari itu ia libur syuting. Sepertiga malam terakhir yang harusnya ia isi dengan ketundukan
mengabdi, malah gagal berantakan gara-gara bebunyian penuh birahi.
Tong....tong...tong...durrr...durrr
Waktu subuhpun tiba. Hilang
sudah peluang meraup besarnya pahala. Kecewa dan marah menggelayuti perasaan
Haji Saidun. Bagaimanapun, waktu istijabah sudah pergi. Kesempatan untuk
mendekat kepada Tuhan malam ini tak jadi ia laksanakan. Tapi....
“Ah...masih ada waktu,” bisiknya penuh yakin.
Dengan letup kekecewaan dan kemarahan yang menggumpal, Haji Saidun
segera mendatangi istri dan dua anaknya yang masih pulas merenda mimpi. Membangunkan mereka untuk ikut sembahyang subuh bersama.
“Heh! Tak kalian dengarkan panggilan Tuhan sudah dikumandangkan. Astaghfirullah.
Bagaimana bisa kalian akan bersamaku di sorga nanti, bila malam-malam yang
terpuji seperti ini kalian lewati dengan tidur dan mimpi. Bah,
mustahil. Tuhan hanya akan bersama para hamba-Nya yang setia menjaga
detik-detik akhir waktu malamnya. Tak cukupkah aku ini sebagai panutan bagi kalian.
Bangunn! Lekas ke kulah.” Hardiknya dengan suara dibuat tinggi penuh wibawa.
Tergopoh istri dan kedua anaknya
dari atas pembaringan. Bagaimanapun keadaanya, mereka kali ini tak berani lagi
membantah dan melawan. Tentu. Itu tidak baik. Apalagi jika sampai terdengar
orang sekitar. Kurang sedap rasanya bila tokoh panutan baru seperti Haji Saidun
justru dilawan oleh anggota keluarganya sendiri.
“Tak apa-apa. Ikuti saja perintah
ayahmu. Toh, dia sudah banyak memberikan kenyamanan di rumah ini.
Setidaknya, kita sudah jauh lebih terpandang dari sebelum-sebelumnya. Iya kan.” Selalu
seperti itu yang dikatakan istri Haji Saidun kepada kedua anak-anaknya.
Berempat mereka pergi ke mushalla.
Haji Saidun tentu saja harus berjalan paling depan dengan baju gamis
putih beraroma wewangian. Lalu Mirna dan baru kemudian kedua anaknya. Harus
selalu seperti itu yang ditampakkan. Harus jelas siapa yang bertindak sebagai
pimpinan, biar semua orang tahu adanya kepada siapa mereka mesti berpanutan.
Demikian pikir Haji Saidun.
Dan seperti biasa, usai mengimami
shalat subuh, Haji Saidun memberi kultum. Wejangan kebenaran. Mengingatkan
mereka yang sudah banyak melakukan kemaksiatan kepada Tuhan agar segera kembali
pada jalan kebenaran. Beruntunglah semua pengurus mushalla sepakat menyerahkan
tugas itu pada dirinya meskipun awalnya ia merasa aneh juga. Ya, aneh. Dia yang
tak pernah mengenyam bangku kuliah dan hanya banyak mengitar dari satu
pelatihan ke pelatihan ternyata diberi amanah untuk memberi kultum. Bertindak
layaknya dosen, orang-orang berpendidikan.
“Alhamdulillah,” Haji Saidun
membatin.
“Tak salah si Hengky mengajak saya ikut pelatihan
tentang cara berwejang yang benar hingga sekarang ini saya bisa menyerukan
perintah-perintah Tuhan dengan lancar.”
Lalu, “Sodara-sodara. Semalam,
suara nyanyian penuh bisik setan mengganggu shalat malam saya,” papar Haji
Saidun sambil menatap satu persatu wajah jamaah di hadapannya.
“Ini harus dilenyapkan. Bumi Tuhan
ini harus suci dari pengaruh iblis yang telah menyebabkan terusirnya nenek moyang
kita Adam dari sorga. Ingatlah kalian semua. Siapa yang menyimpang dari ajaran
kebenaran harus segera diluruskan. Dengan cara apapun. Dan kalian semua, yang
sudah sering saya beri pencerahan soal kebenaran Tuhan, tak boleh gentar sedikitpun.”
Para jamaah tertunduk. Sebagian
malah tenggelam
oleh kantuk. Maklum, hingga dini malam tadi, mereka sibuk membantu mempersiapkan
upacara selamatan atas rencana pernikahan anak lurah mereka di kampung itu. Alunan seruling,
hentakan kendang juga lengking nyaring suara biduan yang diputar dari sebuah
tape recorder menjadi hiburan di tengah kesibukan mereka.
“Saya juga mendengar, bahwa lurah kita yang besok malam akan menikahkan puteranya
bakal mengadakan selamatan. Meskipun pahit, harus saya katakan,
janganlah kalian lakukan apa yang tidak diperintahkan oleh Tuhan dan tak pernah
dianjurkan oleh Rasul junjungan. Neraka. Neraka akibatnya. Ingatlah, itu bid’ah. Bid’ah tempatnya di neraka.”
Sebagian besar jamaah, terkantuk-kantuk. Namun itu
semua, di mata Haji Saidun, tampak saja sebagai umat yang tunduk. Maka makin berkobarlah
semangatnya. Makin lantanglah suaranya.
“Alhamdulillah. Alhamdulillah!”
Haji Saidun kembali membatin,
“Tak sia-sia aku mengikuti latihan. Besar juga gunanya aku hafalkan beberapa
ayat dan sabda pilihan.” Kedua matanya, makin nanar menatap para jamaah di depannya.
Saat kultum subuh usai, para jamaah pun lekas bubar.
Sempoyongan mereka keluar dari dalam mushalla karena keletihan. Tak jelas
benar apa yang baru saja mereka dengarkan. Tak masalah, yang penting mereka segera sampai di rumah.
Istirahat sejenak sebelum akhirnya kembali datang ke rumah Pak Lurah.
Matahari sepenggalah naik. Persis pada kumandang takbir
pertama menjelang Dhuha dilaksanakan, suara pintu ada yang mengetuk disertai
panggilan salam berulang-ulang. Haji Saidun terkesiap.
“Astaghfirullah. Manusia apa
ini? Tak mengenal waktu bertamu. Tak paham juga rupanya mereka kalau sekarang
adalah waktunya saya munajat kepada Tuhan,” gerutu Haji
Saidun.
Meski dongkol, Haji Saidun bergegas turun dari mihrab kecilnya.
Saat daun pintu dibuka, tampaklah Pak Lurah bersama dua orang di belakangnya. Haji
Saidun terkesiap melihat kedatangan mereka. Beragam pertanyaan memenuhi
kepalanya. Hatinya sedikit dipenuhi rasa was-was. Apalagi teringat dengan
ceramahnya subuh tadi.
“Waduh, Pak Lurah. Mari silahkan masuk. Maaf, saya hampir saja mau
melaksanakan sembahyang.”
“Wah, kalau begitu saya yang minta maaf Pak Ustadz. Sudah
mengganggu waktu ibadah Pak Ustadz,” balas Pak Lurah merendah.
“Oh, tidak apa-apa. Lagi pula Tuhan memerintahkan agar kita
menghormati setiap tamu yang datang. Kita ini kan harus selalu berbuat sesuai
perintah Tuhan dan utusanNya, kan. Mari-mari. Eh, pagi-pagi Pak Lurah datang
kemari, ada keperluan apa ini?” tanya Haji Saidun berusaha meredam rasa
was-wasnya.
“Begini Pak Ustadz,” seru Pak Lurah. Mendengar dirinya dipanggil seperti
itu, Haji Saidun mengangguk-angguk penuh senyum kepuasan. Kepalanya ditundukkan
dalam-dalam mendengar penuturan Pak Lurah perihal kedatangannya di pagi itu.
Selesai Pak Lurah menyampaikan maksudnya, tampak wajah Haji Saidun begitu
sumringah. “Alhamdulillah....alhamdulillah,” bisiknya dalam hati.
“Mardi, Aswad. Tolong bawa karung itu ke mari,” perintah Pak Lurah
kepada kedua orang pengiringnya itu. “Mohon Pak Ustadz terima dengan baik. Ini
sekadar sedekah saya untuk Pak Ustadz. Semoga acara saya nanti bakal lancar dan
diberkahi.”
Binar wajah Haji Saidun makin kentara, “Alhamdulillah. Terima
kasih. Sedekah memang akan mendatangkan keberkahan. Terima kasih, saya pasti
akan datang untuk mendoakan,” jawab Haji Saidun. Usai menyampaikan
keperluannya, Pak Lurah segera pamit dan Haji Saidun mengatarnya sampai pintu
pagar depan rumah.
“Mirna. Dengarlah, ini pelajaran penting. Siapa yang tunduk kepada
Tuhan, maka Tuhan akan mendatangkan rejekinya. Aku ikhlas mau beribadah
kepadaNya tadi. Namun karena keikhlasanku itulah, Tuhan mendatangkan rejekiNya
justru sebelum aku meminta kepadaNya. Bawalah rejeki Tuhan ini ke dalam,”
perintah Haji Saidun. Mirna hanya mendesis girang saat kedua matanya melihat
ada beras, telur, gula, roti yang semuanya berjumlah dua karung itu.
Malam hari, rumah Pak Lurah begitu ramainya. Dua orang penyanyi qosidah
kenamaan yang diundang untuk mengisi acara selamatan itu pun sudah mulai
datang. Termasuk Haji Saidun yang malam itu datang sendirian. Orang-orang
menyambutnya dan bersalaman dengan bergantian. Meski agak berjauhan, tempat
Haji Saidun lurus berhadapan dengan dua wanita berjilbab penyanyi qosidah itu.
Berkali-kali Haji Saidun menundukkan wajah saat secara tidak
sengaja kedua matanya beradu pandang dengan salah satu penyanyi yang sepertinya
dari tadi juga memperhatikan dirinya. Kenapa aku harus datang ke tempat ini? Tapi memenuhi
undangan itu wajib hukumnya. Tapi wanita berjilbab itu.....ah. Astaghfirullah.
Seru Haji Saidun berkali-kali.
“Rupanya ada sesuatu yang membuat hati Pak Ustadz gundah,” kata Pak
Lurah yang duduk di sampingnya.
“Benar Pak Lurah. Salah seorang wanita berjilbab penyanyi qosidah
itu, dari tadi
tampaknya memperhatikan saya terus,” jawab Haji Saidun sambil sebentar-sebentar
menggerakkan ekor matanya. Lurus kepada penyanyi yang ada di depan sana.
Pak Lurah yang mendengar penuturan Haji Saidun hanya senyum-senyum,
“Oh, maaf Pak Ustadz. Saya dengar dia janda. Namanya Virda. Mungkin dia mengira
Pak Ustadz masih sendiri.”
“Maksud Pak Lurah, dia naksir saya?” tanya Haji Saidun sedikit
antusias.
“Mungkin saja Pak Ustadz. Tapi ini hanya pendapat saya.”
Maka sibuklah Haji Saidun mengingat-ingat suatu dalil yang pernah
dibacanya. Senyumnya pun tiba-tiba mengembang. Rasa canggung yang sedari tadi
menggelayuti pikirannya tiba-tiba menghilang. Di tengah riuh rendahnya para
undangan, berkali-kali Haji Saidun mencuri-curi pandang. Melihat pada seorang
penyanyi berjilbab yang ada di depan. Benar, dia cantik. Pikir Haji Saidun.
Acara demi acara pun akhirnya dimulai. Termasuk penampilan qosidah dimana
kedua wanita itu unjuk kebolehannya. Sampai larut malam, Haji Saidun tak
juga beranjak dari tempat duduknya. Menikmati alunan suara merdu penyanyi qosidah yang sudah menimbulkan berbagai macam pikiran dan rencana-rencana di
kepalanya.
Baru jam tiga dini hari acara selesai. Haji Saidun pulang dengan
berbagai macam perasaan. Sesampainya di rumah, ia segera bersuci dan lalu
berdiri di dalam mihrab. Ini sepertiga malam. Harus diisi dengan munajat kepada
Tuhan. Bisik Haji Saidun dalam hati.
“Allaaahu..akk,” tiba-tiba
bayangan Virda menghantui. “Duh cantiknya dia! Allaaahuuu....aakkk.
Oh, benar-benar cantik.” Kali ini tak ada ucapan istighfar yang
keluar. Hanya decak kagum yang disertai kuluman senyum. Sampai adzan subuh
dikumandangkan, tak satu rakaatpun yang berhasil juga Haji Saidun tunaikan. Sendirian ia bergegas pergi ke arah mushalla.
Membiarkan Mirna dan kedua anaknya terus pulas dalam tidurnya. Hari ini biarlah
Mirna dan kedua anaknya tak ikut jamaah subuh, pikir Haji Saidun. Sebab rencananya,
sehabis shalat subuh nanti, dirinya akan mendatangi rumah Pak Lurah. Ingin bertanya perihal si Virda
lebih jauh.