Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » Jhitasbani

Jhitasbani

Hentakan kendang makin menusuk. Menggenta-genta memecah malam. Lengking suara penyanyi qosidah itu makin sempurna membuyarkan konsentrasi Haji Saidun dari sikap khusyuknya menjelang shalat malam. Berulang kali bibirnya mengucap istighfar. Memohon ampun kepada Tuhan. Ini suara iblis. Batinnya.
            Astaghfirullah. Astaghfirullah!
         Dua kali gagal mengangkat takbir itu tiada masalah. Tapi ini sudah keenam kalinya. Bahkan sudah mau ketujuh kalinya, tak juga purna takbir itu Haji Saidun lakukan. Disambarnya lampu senter di samping sajadah. Lalu disorotkan ke jam dinding. 03:50. Waktu hampir menjelang fajar. Sebentar lagi adzan subuh dikumandangkan. Namun belum serakaatpun shalat malam yang berhasil ditunaikan.
            Tak apa. Mungkin ini ujian. Barangkali Tuhan sedang ingin mencobanya untuk bisa khusyuk di tengah geriung suara music yang makin berisik. Begitu pikir Haji Saidun. Kembali dipejamkanlah kedua matanya sambil kembali mengangkat kedua tangan.
            Allaaahu....Allaaahuuu...aakkk. Astaghfirullaaaaah...!” jerit Haji Saidun.
            Maka dimantapkanlah kembali kedua posisi kakinya dalam berdiri menghadap kiblat. Malam ini, ia ingin berusaha menunaikan shalat malam. Sudah terlalu banyak malam-malam yang terlewati begitu saja. Sebulan. Dua bulan. Oh, tidak, mungkin sudah bertahun-tahun ia tidak pernah sama sekali bangun di sepertiga malamnya yang terakhir.
            Kalau akhir-akhir ini ia berusaha menjalankan ibadah malam, tak lain karena ia ingin memenuhi tuntutan profesinya. Bukankah sejak beberapa bulan yang lalu ia mendapatkan pekerjaan baru. Sebagai juru dakwah. Mengajak mereka yang tidak ingat Tuhan agar kembali lagi pada kebenaran. Dan untuk tugas barunya itu, Haji Saidun tentu saja banyak mengucap syukur.
           Bagaimana tidak. Sejak Hengky, keponakannya yang bekerja di salah satu stasiun televisi itu datang dan menawarinya pekerjaan, maka saat itulah aktivitas Haji Saidun jadi berubah total. Ia yang dulunya bukan siapa-siapa, lantas sekarang telah menjadi sosok yang tak bisa dipandang sebelah mata. Beberapa bulan terakhir, waktunya banyak dihabiskan di depan kamera. Menyampaikan kebenaran dan kebaikan.
            “Apa ini pekerjaan yang halal?” teringat Haji Saidun saat pertamakali keponakannya itu datang dan mengajaknya ikut bekerjasama. Dibolak-baliknya kertas brosur berwarna biru muda yang disodorkan kepadanya.
            “Bukan hanya halal, paman. Tapi juga berpahala. Bahkan besar-besar lho pahalanya. Nah, ini pahala dunianya. Cukup besar kan, paman. Kalau pahala akhiratnya tentu paman sendiri yang lebih tahu.”
            “Hmm, ya...ya,” jawab Haji Saidun tersenyum puas. Terbayang sudah di benaknya kini, dengan menerima tawaran keponakannya itu, dia pasti bakal berhasil mendapatkan apa yang selama ini ia impikan. Harta. Uang. Kekayaan. Haah...gampang.
            Waktu fajar makin mendekat. Dari beberapa pengeras suara masjid dan mushalla, sayup-sayup terdengar rekaman qiro’at. Beradu lantang dengan hentakan bunyi kendang berikut lengking nyaring suara biduan. Namun sejauh itu, tak satu rakaatpun yang berhasil Haji Saidun lakukan.  
            Dengan dada penuh geram. Diputuskanlah bahwa harus ada yang dilakukan besok pagi seusai subuh. Harus. Kebetulan hari itu ia libur syuting. Sepertiga malam terakhir yang harusnya ia isi dengan ketundukan mengabdi, malah gagal berantakan gara-gara bebunyian penuh birahi.
            Tong....tong...tong...durrr...durrr
            Waktu subuhpun  tiba. Hilang sudah peluang meraup besarnya pahala. Kecewa dan marah menggelayuti perasaan Haji Saidun. Bagaimanapun, waktu istijabah sudah pergi. Kesempatan untuk mendekat kepada Tuhan malam ini tak jadi ia laksanakan. Tapi....
“Ah...masih ada waktu,” bisiknya penuh yakin.  
Dengan letup kekecewaan dan kemarahan yang menggumpal, Haji Saidun segera mendatangi istri dan dua anaknya yang masih pulas merenda mimpi. Membangunkan mereka untuk ikut sembahyang subuh bersama.
“Heh! Tak kalian dengarkan panggilan Tuhan sudah dikumandangkan. Astaghfirullah. Bagaimana bisa kalian akan bersamaku di sorga nanti, bila malam-malam yang terpuji seperti ini kalian lewati dengan tidur dan mimpi. Bah, mustahil. Tuhan hanya akan bersama para hamba-Nya yang setia menjaga detik-detik akhir waktu malamnya. Tak cukupkah aku ini sebagai panutan bagi kalian. Bangunn! Lekas ke kulah.” Hardiknya dengan suara dibuat tinggi penuh wibawa.
            Tergopoh istri dan kedua anaknya dari atas pembaringan. Bagaimanapun keadaanya, mereka kali ini tak berani lagi membantah dan melawan. Tentu. Itu tidak baik. Apalagi jika sampai terdengar orang sekitar. Kurang sedap rasanya bila tokoh panutan baru seperti Haji Saidun justru dilawan oleh anggota keluarganya sendiri.
            “Tak apa-apa. Ikuti saja perintah ayahmu. Toh, dia sudah banyak memberikan kenyamanan di rumah ini. Setidaknya, kita sudah jauh lebih terpandang dari sebelum-sebelumnya. Iya kan.” Selalu seperti itu yang dikatakan istri Haji Saidun kepada kedua anak-anaknya.
            Berempat mereka pergi ke mushalla. Haji Saidun tentu saja harus berjalan paling depan dengan baju gamis putih beraroma wewangian. Lalu Mirna dan baru kemudian kedua anaknya. Harus selalu seperti itu yang ditampakkan. Harus jelas siapa yang bertindak sebagai pimpinan, biar semua orang tahu adanya kepada siapa mereka mesti berpanutan. Demikian pikir Haji Saidun.
            Dan seperti biasa, usai mengimami shalat subuh, Haji Saidun memberi kultum. Wejangan kebenaran. Mengingatkan mereka yang sudah banyak melakukan kemaksiatan kepada Tuhan agar segera kembali pada jalan kebenaran. Beruntunglah semua pengurus mushalla sepakat menyerahkan tugas itu pada dirinya meskipun awalnya ia merasa aneh juga. Ya, aneh. Dia yang tak pernah mengenyam bangku kuliah dan hanya banyak mengitar dari satu pelatihan ke pelatihan ternyata diberi amanah untuk memberi kultum. Bertindak layaknya dosen, orang-orang berpendidikan.
“Alhamdulillah,” Haji Saidun membatin.
Tak salah si Hengky mengajak saya ikut pelatihan tentang cara berwejang yang benar hingga sekarang ini saya bisa menyerukan perintah-perintah Tuhan dengan lancar.
            Lalu, “Sodara-sodara. Semalam, suara nyanyian penuh bisik setan mengganggu shalat malam saya,” papar Haji Saidun sambil menatap satu persatu wajah jamaah di hadapannya.
            “Ini harus dilenyapkan. Bumi Tuhan ini harus suci dari pengaruh iblis yang telah menyebabkan terusirnya nenek moyang kita Adam dari sorga. Ingatlah kalian semua. Siapa yang menyimpang dari ajaran kebenaran harus segera diluruskan. Dengan cara apapun. Dan kalian semua, yang sudah sering saya beri pencerahan soal kebenaran Tuhan, tak boleh gentar sedikitpun.”
            Para jamaah tertunduk. Sebagian malah tenggelam oleh kantuk. Maklum, hingga dini malam tadi, mereka sibuk membantu mempersiapkan upacara selamatan atas rencana pernikahan anak lurah mereka di kampung itu. Alunan seruling, hentakan kendang juga lengking nyaring suara biduan yang diputar dari sebuah tape recorder menjadi hiburan di tengah kesibukan mereka.               
            “Saya juga mendengar, bahwa lurah kita yang besok malam akan menikahkan puteranya bakal mengadakan selamatan. Meskipun pahit, harus saya katakan, janganlah kalian lakukan apa yang tidak diperintahkan oleh Tuhan dan tak pernah dianjurkan oleh Rasul junjungan. Neraka. Neraka akibatnya. Ingatlah, itu bid’ah. Bid’ah tempatnya di neraka.
            Sebagian besar jamaah, terkantuk-kantuk. Namun itu semua, di mata Haji Saidun, tampak saja sebagai umat yang tunduk. Maka makin berkobarlah semangatnya. Makin lantanglah suaranya.
            Alhamdulillah. Alhamdulillah!” Haji Saidun kembali membatin, “Tak sia-sia aku mengikuti latihan. Besar juga gunanya aku hafalkan beberapa ayat dan sabda pilihan.” Kedua matanya, makin nanar menatap para jamaah di depannya.
            Saat kultum subuh usai, para jamaah pun lekas bubar. Sempoyongan mereka keluar dari dalam mushalla karena keletihan. Tak jelas benar apa yang baru saja mereka dengarkan. Tak masalah, yang penting mereka segera sampai di rumah. Istirahat sejenak sebelum akhirnya kembali datang ke rumah Pak Lurah.  
Matahari sepenggalah naik. Persis pada kumandang takbir pertama menjelang Dhuha dilaksanakan, suara pintu ada yang mengetuk disertai panggilan salam berulang-ulang. Haji Saidun terkesiap.
“Astaghfirullah. Manusia apa ini? Tak mengenal waktu bertamu. Tak paham juga rupanya mereka kalau sekarang adalah waktunya saya munajat kepada Tuhan,” gerutu Haji Saidun.
Meski dongkol, Haji Saidun bergegas turun dari mihrab kecilnya. Saat daun pintu dibuka, tampaklah Pak Lurah bersama dua orang di belakangnya. Haji Saidun terkesiap melihat kedatangan mereka. Beragam pertanyaan memenuhi kepalanya. Hatinya sedikit dipenuhi rasa was-was. Apalagi teringat dengan ceramahnya subuh tadi.
“Waduh, Pak Lurah. Mari silahkan masuk. Maaf, saya hampir saja mau melaksanakan sembahyang.”
“Wah, kalau begitu saya yang minta maaf Pak Ustadz. Sudah mengganggu waktu ibadah Pak Ustadz,” balas Pak Lurah merendah.
“Oh, tidak apa-apa. Lagi pula Tuhan memerintahkan agar kita menghormati setiap tamu yang datang. Kita ini kan harus selalu berbuat sesuai perintah Tuhan dan utusanNya, kan. Mari-mari. Eh, pagi-pagi Pak Lurah datang kemari, ada keperluan apa ini?” tanya Haji Saidun berusaha meredam rasa was-wasnya.
“Begini Pak Ustadz,” seru Pak Lurah. Mendengar dirinya dipanggil seperti itu, Haji Saidun mengangguk-angguk penuh senyum kepuasan. Kepalanya ditundukkan dalam-dalam mendengar penuturan Pak Lurah perihal kedatangannya di pagi itu. Selesai Pak Lurah menyampaikan maksudnya, tampak wajah Haji Saidun begitu sumringah. “Alhamdulillah....alhamdulillah,” bisiknya dalam hati.
“Mardi, Aswad. Tolong bawa karung itu ke mari,” perintah Pak Lurah kepada kedua orang pengiringnya itu. “Mohon Pak Ustadz terima dengan baik. Ini sekadar sedekah saya untuk Pak Ustadz. Semoga acara saya nanti bakal lancar dan diberkahi.”
Binar wajah Haji Saidun makin kentara, “Alhamdulillah. Terima kasih. Sedekah memang akan mendatangkan keberkahan. Terima kasih, saya pasti akan datang untuk mendoakan,” jawab Haji Saidun. Usai menyampaikan keperluannya, Pak Lurah segera pamit dan Haji Saidun mengatarnya sampai pintu pagar depan rumah.
“Mirna. Dengarlah, ini pelajaran penting. Siapa yang tunduk kepada Tuhan, maka Tuhan akan mendatangkan rejekinya. Aku ikhlas mau beribadah kepadaNya tadi. Namun karena keikhlasanku itulah, Tuhan mendatangkan rejekiNya justru sebelum aku meminta kepadaNya. Bawalah rejeki Tuhan ini ke dalam,” perintah Haji Saidun. Mirna hanya mendesis girang saat kedua matanya melihat ada beras, telur, gula, roti yang semuanya berjumlah dua karung itu.
Malam hari, rumah Pak Lurah begitu ramainya. Dua orang penyanyi qosidah kenamaan yang diundang untuk mengisi acara selamatan itu pun sudah mulai datang. Termasuk Haji Saidun yang malam itu datang sendirian. Orang-orang menyambutnya dan bersalaman dengan bergantian. Meski agak berjauhan, tempat Haji Saidun lurus berhadapan dengan dua wanita berjilbab penyanyi qosidah itu.
Berkali-kali Haji Saidun menundukkan wajah saat secara tidak sengaja kedua matanya beradu pandang dengan salah satu penyanyi yang sepertinya dari tadi juga memperhatikan dirinya. Kenapa aku harus datang ke tempat ini? Tapi memenuhi undangan itu wajib hukumnya. Tapi wanita berjilbab itu.....ah. Astaghfirullah. Seru Haji Saidun berkali-kali.
“Rupanya ada sesuatu yang membuat hati Pak Ustadz gundah,” kata Pak Lurah yang duduk di sampingnya.  
“Benar Pak Lurah. Salah seorang wanita berjilbab penyanyi qosidah itu, dari tadi tampaknya memperhatikan saya terus,” jawab Haji Saidun sambil sebentar-sebentar menggerakkan ekor matanya. Lurus kepada penyanyi yang ada di depan sana.
Pak Lurah yang mendengar penuturan Haji Saidun hanya senyum-senyum, “Oh, maaf Pak Ustadz. Saya dengar dia janda. Namanya Virda. Mungkin dia mengira Pak Ustadz masih sendiri.”
“Maksud Pak Lurah, dia naksir saya?” tanya Haji Saidun sedikit antusias.
“Mungkin saja Pak Ustadz. Tapi ini hanya pendapat saya.”
Maka sibuklah Haji Saidun mengingat-ingat suatu dalil yang pernah dibacanya. Senyumnya pun tiba-tiba mengembang. Rasa canggung yang sedari tadi menggelayuti pikirannya tiba-tiba menghilang. Di tengah riuh rendahnya para undangan, berkali-kali Haji Saidun mencuri-curi pandang. Melihat pada seorang penyanyi berjilbab yang ada di depan. Benar, dia cantik. Pikir Haji Saidun. Acara demi acara pun akhirnya dimulai. Termasuk penampilan qosidah dimana kedua wanita itu unjuk kebolehannya. Sampai larut malam, Haji Saidun tak juga beranjak dari tempat duduknya. Menikmati alunan suara merdu penyanyi qosidah yang sudah menimbulkan berbagai macam pikiran dan rencana-rencana di kepalanya.
Baru jam tiga dini hari acara selesai. Haji Saidun pulang dengan berbagai macam perasaan. Sesampainya di rumah, ia segera bersuci dan lalu berdiri di dalam mihrab. Ini sepertiga malam. Harus diisi dengan munajat kepada Tuhan. Bisik Haji Saidun dalam hati.
Allaaahu..akk,” tiba-tiba bayangan Virda menghantui. Duh cantiknya dia! Allaaahuuu....aakkk. Oh, benar-benar cantik.” Kali ini tak ada ucapan istighfar yang keluar. Hanya decak kagum yang disertai kuluman senyum. Sampai adzan subuh dikumandangkan, tak satu rakaatpun yang berhasil juga Haji Saidun tunaikan. Sendirian ia bergegas pergi ke arah mushalla. Membiarkan Mirna dan kedua anaknya terus pulas dalam tidurnya. Hari ini biarlah Mirna dan kedua anaknya tak ikut jamaah subuh, pikir Haji Saidun. Sebab rencananya, sehabis shalat subuh nanti, dirinya akan mendatangi rumah Pak Lurah. Ingin bertanya perihal si Virda lebih jauh.    

0 komentar:

Posting Komentar