Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » Hamdalah

Hamdalah

Oleh Kuswaidi Syafi'ie
http://statis.dakwatuna.com/wp-content/uploads/2014/02/kartun-muslimah-perempuan-terima-kasih.jpg
Nilai pujian seseorang terhadap sesuatu sesungguhnya berpulang kepada dirinya sendiri. Dengan pujian itu ia sebenarnya ingin menyatakan: "Saksikanlah penglihatanku yang tajam sehingga bisa dengan gamblang mengungkap keindahanmu yang mungkin tak tersentuh oleh penglihatan orang lain".

Secara verbal, setiap pujian berarti mengangkat derajat yang dipuji. Akan tetapi secara substansial adanya keluhuran dan keindahan itu menjadi terungkapkan dan tersiar oleh kejelian dia yang memuji. Yang terpuji itu senantiasa berada di sana, pada posisinya semula, tidak bertambah atau berkurang derajatnya hanya karena ada atau tidak adanya pujian. Tentu saja yang dimaksud di sini adalah pujian yang jujur dan apa adanya, bukan yang dusta dan gombal yang hanya ingin menyenangkan yang dipuji.

Ada empat macam pujian dalam diskursus keislaman. Pertama, pujian dari Allah SWT kepada diriNya sendiri. Tindakan ini dilakukan oleh hadiratNya di samping untuk memperkenalkan diri kepada orang-orang beriman, juga untuk memastikan bahwa tidak ada satu nuktah pun ketidaksempurnaan yang melekat pada dzatNya.

Keterpujian Allah SWT itu absolut. Dan pujian yang dilontarkan sendiri kepada diriNya pun absolut pula. Tidak ada seutas celah pun pada diri dan segenap tindakanNya yang dihuni oleh kekurangan. Tak ada proses penyempurnaan pada diriNya. Di dalamNya segala sesuatu telah rampung dan purna.

Maka dengan demikian, pujian Allah SWT kepada diriNya itu merupakan suatu keniscayaan. Bahkan andaikan Allah SWT tidak mencipta sebiji dzarrahpun, senandung pujian yang azali itu akan senantiasa dikumandangkan bagi diriNya di luar segala suasana, bahasa dan kenisbian seluruh makhluk.

Hanya Allah SWT semata yang sanggup memuji diriNya sendiri sebagaimana semestinya Dia dipuji. Seluruh ummat beriman, termasuk di dalamnya jejeran para nabi dan wali sekalipun, tidak ada yang memiliki kesanggupan untuk memuji Allah SWT sebagaimana yang memang seharusnya Dia dipuji. "La uhshi tsanaan 'alayk. Anta kama atsnayta 'alayk/ Tidak sanggup aku menghinggakan pujian kepadaMu oh Tuhanku. Engkau adalah sebagaimana yang Kau puji pada diriMu," ungkap makhluk paling mulia yang merupakan tuan dunia dan akhirat sekaligus, Nabi Muhammad SAW, dalam salah satu keluh-kesah spiritualnya di hadapan Allah SWT.

Kedua, pujian Allah SWT kepada hamba-hamba pilihanNya. Pujian ini sebenarnya merupakan derivasi dari substansi pujian yang pertama di atas. Orang-orang saleh dan para pecinta hakiki yang menempuh lorong-lorong keilahian dalam pemahaman empirisnya secara vertikal dan horisontal dari kalangan para nabi dan wali senantiasa menampilkan nilai-nilai dan sifat-sifat Allah SWT dalam perjalanan hidup mereka. Mereka berperan sebagai cermin bening bagi hadiratNya. Tidak lebih dan tidak kurang.

Karena itu, ketika Yang Mahasempurna memuji perangai dan perilaku mereka, secara tidak langsung Dia sesungguhnya memuji diriNya sendiri. Sebab, nilai-nilai, sifat-sifat dan tindakan-tindakan keterpujian mereka sesungguhnya tidak lain merupakan "perpanjangan tangan" dari segenap keterpujianNya. Tentang pujian terhadap nabi terkasih, Muhammad SAW, Allah SWT mengungkapkan: "Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti yang agung," (QS. Nun: 4).

Ketiga, pujian makhluk terhadap Allah SWT. Tindakan makhluk yang berupa pujian ini sebenarnya hanyalah sekedar meniru terhadap pujian yang telah terlebih dahulu diteladankanNya. Bahkan secara sufistik, seluruh kebaikan yang diamalkan oleh orang-orang beriman tak lebih dari tindakan meniru terhadap perilaku-perilakuNya semata. Sebab, Allah SWT adalah sumber primer dari seluruh kebaikan, juga guru paling empresif bagi setiap orang beriman, baik secara langsung maupun tidak.

Seluruh makhluk, baik yang berakal maupun tidak, dari mulai yang paling kecil hingga yang terbesar, yang kasat mata maupun yang gaib, yang bertebaran di segenap penjuru alam raya: semua itu senantiasa memuji Allah SWT dengan bahasa masing-masing yang tidak sepenuhnya bisa dicerna oleh kapasitas pemahaman kebanyakan manusia.

Keempat, pujian makhluk terhadap makhluk lain. Inilah yang paling nisbi di antara sekian pujian yang telah didedahkan di atas. Penglihatan mata kepala manusia menemukan rupa, warna dan bentuk. Ketidaksanggupan manusia untuk menembus ketiga dimensi itu hanya akan mengantarkannya pada penilaian lahiriah belaka, ada yang dipandangnya terpuji, ada pula yang dipandangnya bangsat. Padahal di antara keduanya bisa saja secara hakiki berkebalikan. Bukankah Abu Jahal memandang bangsat Nabi Muhammad SAW, betapapun sungguh terpuji dia?

Pujian manusia yang dilahirkan oleh keterbatasan itu sebenarnya mengandaikan adanya suatu isyarat dan perintah: dinding-dinding rupa, warna dan bentuk itu mesti dijibol dan ditrabas agar manusia sanggup menumukan hakikat segaka sesuatu. Lalu menjadi gamblang di hadapan penglihatannya yang sudah terasah bahwa setiap keindahan yang bersemayam di jagat semesta ini tak lain merupakan pantulan dari segenap keindahanNya jua. Wallahu a'lamu bish-shawab.

Kuswaidi Syafiie, pengasuh Pondok Pesantren Maulana Rumi, Sewon, Bantul, Yogyakarta. Email: kuswaidisyafiie@ymail.com. HP. 081804209760. Tulisan ini sudah dipublikasikan di Sindo Jogja. Dipublis di blog ini atas ijin penulisnya.

0 komentar:

Posting Komentar