Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » Lebaran di Awal Puasa

Lebaran di Awal Puasa

Sebenarnya hakikat lebaran sudah terkandung sejak awal kita berpuasa. Dan sebagaimana diyakini khalayak umum, bahwa lebaran selalu dipahami sebagai ajang silaturrahim serta kesempatan untuk saling meminta maaf dan sekaligus saling memaafkan. Dalam Islam, sikap saling memaafkan dipandang sebagai salah satu sikap terpuji, bahkan Allah SWT mengkatagorikannya sebagai salah satu sikap yang disukai oleh-Nya (QS. 5:13).
http://imm.ftumj.ac.id/wp-content/uploads/2014/03/011.jpg


Dalam konteks pertobatan misalnya disebutkan sebuah ketentuan, bahwa Allah SWT tidak akan memaafkan dosa hamba-Nya yang telah melakukan kesalahan kepada orang lain selama dia tidak memintaa maaf terlebih dahulu kepada orang tersebut.
 
Hal ini mengindikasikan betapa meminta maaf kepada sesama, baik atas kesalahan yang disengaja maupun tidak disengaja merupakan penentu bagi diperolehnya pengampunan Allah atas kita. Namun demikian, memberikan maaf terhadap orang yang meminta maaf juga dinilai sebagai perbuatan mulia mengingat memaafkan adalah cara terbaik demi tegaknya silaturrahim yang merupakan hal tak terpisahkan dari peristiwa lebaran.
 
Ibnu Husain As-Sulami (937-1021 M), seorang ulama sufi kelahiran Khurasan, Iran, pernah mengisahkan peristiwa menggetarkan berkaitan dengan pemaafan terhadap seorang pembunuh di masa Khalifah Umar bin Khattab ra.
 
Konon ada laki-laki datang mengadukan seorang pemuda akibat kasus pembunuhan. Setelah Umar bertanya kebenarannya, si pemuda itu membenarkan bahwa dia memang telah membunuh ayah laki-laki yang melaporkan dirinya itu. Berdasarkan hukum yang berlaku, maka si pemuda harus dibunuh (qishash).
 
Namun sebelum qishash dilaksanakan, si pemuda meminta tempo tiga hari kepada Umar demi memenuhi amanah yang telah dia terima sebelumnya. Umar pun menerima permintaan pemuda tersebut dengan syarat dia harus mengajukan orang lain sebagai jaminan. Konsekuensinya, bila si pemuda tidak datang pada saat akan qishash, maka orang yang menjadi jaminan itulah yang harus diqishash.
 
Dengan acak si pemuda itu akhirnya menunjuk Abu Dzar. Shahabat Nabi Saw yang mulia itu tidak menolak dijadikan jaminan meskipun harus menanggung resiko dibunuh manakala si pemuda itu ingkar janji.
 
Ketika hari pelaksanaan qishash tiba, si pemuda itu datang seraya berkata bahwa dia tidak mungkin ingkar janji atas hukuman yang akan ditimpakan kepada dirinya. Dia beralasan bahwa dirinya tidak ingin masyarakat menilai betapa tidak ada yang bisa dipercaya lagi dalam Islam.
Mendengar perkataan pemuda itu, Abu Dzar pun memberikan komentar bahwa dia tidak keberatan saat pemuda itu menunjuknya sebagai jaminan karena dia tidak ingin masyarakat menilai betapa tidak ada lagi kasih sayang dalam Islam.
 
Mendengar pernyataan kedua orang ini, lelaki yang melaporkan pemuda itu akhirnya mencabut semua tuntutannya kepada Umar. Dia melakukan itu dengan alasan karena dia tidak ingin masyarakat menilai betapa tidak ada lagi rasa memaafkan di dalam Islam.
 
Peristiwa di atas mengajarkan tiga hal penting, yakni tentang perlunya memenuhi janji dan menunaikan amanah, bersikap ramah dan kasih sayang serta saling memaafkan kepada sesama. Dan ibadah puasa sejatinya adalah fase mewujudkan ketiganya.
 
Inti dari ajaran puasa tidak hanya berorientasi pada kemampuan menahan dari makan dan minum. Akan tetapi pelaku puasa (sháim) juga harus mampu menahan diri untuk tidak berkhianat, tidak berbohong, tidak bersikap kasar, tidak sombong dan selalu bersikap pemaaf kepada siapa saja.
Apabila puasa dipahami seperti itu, maka kita tidak perlu menunggu lebaran untuk meminta maaf dan memaafkan serta tidak perlu menunggu Ramadhan untuk bersikap ramah, santun dan peduli kepada sesama. Sebab hakikat puasa bisa diwujudkan kapan saja dan dimana saja. Wallahu A’lam.

Selamat Hari Raya Idul Fitri. Mohon Maaf Lahir Batin.

Sumenep, 12-07-2015 (01:25)        

0 komentar:

Posting Komentar