Sesungguhnya saya
tidak cukup memiliki kesanggupan untuk memulai dan menyelesaikan tulisan
mengenai Didik Karyadik, seorang sahabat semasa kuliah asal Medan yang kemarin
saya dapatkan kabarnya telah menghadap Allah akibat penyakit kanker otak yang
menimpanya. Kabar itu saya dapatkan pertama kali dari sahabat saya, Mursyidi
Lathif (09 Agustus 2015/05:26:45), kemudian Aat Hidayat (10 Agustus
2015/02:46:55).
Saya memaksakan diri meluangkan
waktu untuk secara khusus menulis tentang dia karena dia adalah sosok yang istimewa
bagi saya. Ya, Allah! Ampunilah dosanya dan terimalah dia sebagai hamba-Mu yang
kembali kepada-Mu dengan ridha dan kebahagiaan. Amin.
Kisaran tahun 2004,
tepatnya pada saat liburan semester, saya berniat pulang ke Sumenep, Madura. Didik
kemudian datang ke pondok. Dia menyatakan keinginannya untuk ikut saya ke
Sumenep. Tentu saya sambut keinginannya dengan hati gembira. Dalam hati saya
ingin memperlihatkan bahwa orang-orang Madura tidak seperti yang pernah dia
bayangkan sebelum-sebelumnya sebagai pribadi yang kasar, keras dan kurang
ramah.
Saat sampai di
Sumenep, Didik pun memperlihatkan sikapnya kepada keluarga dan
tetangga-tetangga saya sebagai sosok yang ramah, humoris dan senang ngobrol.
Gayungpun bersambut. Keluarga dan tetangga saya benar-benar welcome dan
menunjukkan sikap mereka sebagai pribadi-pribadi yang tak kalah ramahnya dengan
Didik sehingga dia pernah minta diantar ke toko untuk membeli buku dan menulis
catatan harian di bawah pohon mangga di tengah halaman. Semoga buku hariannya
itu masih tersimpan.
Masih lekat dalam
ingatan saya, bagaimana selama seminggu Didik selalu mendapat undangan sarapan
pagi, makan siang dan makan malam, baik dari family-famili saya maupun dari
tetangga-tetangga saya yang lain. Masih lekat dalam ingatan saya bagaimana
hampir setiap malam selalu ada saja tetangga-tetangga yang datang bermain ke
rumah sekadar untuk bertukar cerita dengan Didik yang menurut mereka sangat
hangat dan menyenangkan. Masih lekat dalam ingatan saya bagaimana Didik selalu cerewet
pada ibu saya karena jarang memakai sandal yang menurutnya tidak baik bagi
kesehatan. Masih lekat dalam ingatan saya ketika suatu hari para tetangga
memiliki inisiatif untuk mengajak Didik berpelesir ke pantai bersama-sama
dengan menaiki pik-up ramai-ramai. Masih lekat dalam ingatan saya bagaimana
para family dan tetangga saya selalu datang ke rumah membawa berbagai macam
makanan untuk Didik cicipi sampai dia sering berkata, “Orang sini parah. Masak
tamu disuruh makan terus sampai kekenyangan begini.” Masih lekat dalam ingatan
saya bagaimana Didik pernah terlibat debat urusan ilmu ushul fiqh dengan
guru saya yang mengajar materi itu. Masih lekat dalam ingatan saya bagaimana
Didik menitikkan air mata ketika dia hendak pulang ke Jogja dan diantar ke
terminal oleh para tetangga hingga dua mobil (L 300 & Pick-Up) yang jauhnya
sekitar 30 kilometer dari rumah saya. Masih lekat dalam ingatan saya bahwa tak
hanya Didik yang menitikkan air mata, tetapi adik saya, ibu saya dan beberapa
tetangga saya pun ikut menitikkan air mata sambil berkata, “Kembali lagi…kembali
lagi,” sampai Didik mengurungkan niatnya menaiki bis yang hendak berangkat dan
menunggu bis berikutnya. Masih lekat pula dalam ingatan saya bahwa seringkali
ibu dan beberapa tetangga saya selalu bertanya perihal Didik. Terakhir mereka
bertanya perihal Didik pada lebaran tahun 2015 kemarin.
Didik memang telah
menaburkan rasa cintanya ketika dia ikut ke rumah saya beberapa tahun yang
lalu. Dan itu bukanlah sikap yang dibuat-buat. Sebab tak mungkin
tetangga-tetangga saya akan bersikap sedemikian cintanya juga pada Didik kalau
apa yang ditunjukkan Didik hanyalah kamuflase semata. Ya, Allah! Cintailah dia,
sayangilah dia.
Sebelum bulan puasa
kemarin, Allah SWT mempertemukan saya dengannya. Dan saya benar-benar tidak
menyangka bahwa itulah pertemuan terakhir saya dengan Didik. Banyak hal yang kami
ceritakan saat itu. Di antara sekian banyak cerita yang dia omongkan, ada satu
cerita Didik yang membuat saya geleng-geleng kepala. Di tempat dia bekerja
(Didik adalah pegawai Pemda dan juga dosen), Didik seringkali menerima amplop
berisi uang dari bendahara kantornya.
“Saya tidak tahu pasti
status uang itu. Tapi saya sudah bertekad bahwa saya tidak akan menerima uang
di luar uang gaji saya. Tapi sikap saya ternyata membuat teman-teman kerja saya
merasa tidak senang. Saya tak peduli. Saat mereka memberikan uang ceperan lagi,
saya terima uang itu. Saya kumpulkan dan kemudian saya kembalikan lagi ke
bendahara tanpa serupiahpun yang saya ambil.”
Kurang lebih demikian
yang Didik sampaikan pada saya malam itu sambil kami mengelilingi jalanan Jogja.
Saya benar-benar takjub dengan sikap sahabat saya yang termasuk salah satu
lulusan terbaik di UIN Sunan Kalijaga itu. Ini sikap yang langka tentu. Dan barangkali
hanya sedikit orang yang berani mengambil keputusan heroic sebagaimana telah
dilakukan oleh Didik itu.
Oh, Didik! Jauh di
dalam lubuk hati, saya meyakini bahwa engkau kembali menghadap Allah dengan
membawa kemenangan setelah engkau berhasil mengalahkan besarnya godaan materi
yang justru membuat pegawai lain sepertimu banyak yang terlena dan gelap mata dan
kemudian lungkrah derajatnya. Engkau telah mengajarkan satu hal berarti buat
saya dan teman-temanmu yang lain bahwa jangan pernah coba-coba mengambil
sesuatu yang tidak jelas apakah sesuatu itu memang pantas kita terima atau
tidak. Engkau benar-benar belajar mematuhi apa kata Nabimu, da’ má yaríbuk
ilá má lá yaríbuk. Jadi, pantaslah engkau memilih menjadi mahasiswa jurusan
tafsir hadis semasa kuliah dulu.
Dalam keyakinanku
yang lain, engkaupun adalah pribadi yang tangguh yang memiliki kesabaran teruji
waktu. Masih aku ingat bagaimana engkau selalu tak lepas dari alat hirup pereda
sesak nafas yang kau hirup ketika asmamu kambuh dulu. Di tengah gempuran asma
yang tak putus-putus, yang katamu sudah diderita sejak masih sekolah dulu,
engkau masih begitu tekun menyelesaikan S1-S3-mu dengan predikat lulusan
terbaik pula. Hanya orang-orang yang sabar, yang masih mampu menorehkan
prestasi di tengah ringkihnya tubuh akibat penyakit sebagaimana yang kau derita
itu.
Didik! Saat tulisan
ini aku publikasikan, engkau memang sudah tak mungkin lagi turut membacanya. Tapi
biarlah tulisan ini menjadi sarana bagi saya, bagi teman yang lain untuk
membaca lagi jejak-jejakmu yang barangkali hanya sedikit orang yang tahu. Semoga
anak-anakmu kelak pun menemukan tulisan ini, membaca tulisan ini hingga ia
mengerti bahwa mereka beruntung memiliki seorang ayah yang hebat sepertimu. Selamat
jalan, Didik Karyadik. Aku mencintaimu.
Lahulfatihah!
Cabeyan,
10-8-2015/14:44
Subhanallahhh...sy tringat slalu dg kbaiksn beliau ktika sy brsama dia di kampus maupun d t4 singgahan sy..di masjid. Smoga Allah slalu mrindukan org seperti beliau...
BalasHapusAlhamdulillah menemukanmu juga temannnnn
HapusSalman azizi (ahmad aziz)
BalasHapusSaya mewakili dari santri dari bpk al-ustadz didik karyadik mengucapkan ribuan terima kasih kepada sahabat-sahabat al-marhum yang telah menuliskan sedikit kata untuk beliau serta doa yang tercurah dari sahabat guru saya,semoga doa bpk-bpk selalu menyertai guru saya tercinta...
BalasHapusamiiiin