Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » Kenangan Pada Sebuah Pohon

Kenangan Pada Sebuah Pohon

Pohon itu akhirnya tumbang juga. Setelah melewati tahun demi tahun di tepi jalan yang makin sesak oleh berbagai macam kendaraan, akhirnya ia sampai pada batas kemampuannya untuk tegak. Aku yakin, sebelumnya tak ada yang pernah benar-benar peduli pada kehadirannya di tepi jalan kota yang ramai ini. Padahal ia tumbuh di sana bukan oleh keinginannya sendiri. Ia ada di sana, lesap di kasar tanah, tumbuh dan berbuah hanya oleh kehendak Tuhan semata.
Pohon


Mungkin pohon itu selama ini telah menyaksikan bagaimana deru perubahan di sekitarnya berlangsung dengan begitu dahsyatnya. Gedung-gedung baru, besar dan tinggi, bermunculan dari hari ke hari. Menggusur gedung-gedung lama yang suram walaupun sangat mungkin di gedung-gedung yang suram itulah tersimpan memori-memori masa lalu kota ini yang tak kalah mewah untuk dikenang.
 
Dibanding beberapa rekan lainnya, mungkin pohon itu sedikit lebih beruntung karena selamat dari tebasan mesin-mesin pemotong kayu yang dengan beringas dan tanpa ampun akan memenggal pohon apa saja. Ya, pohon apa saja akan dengan mudah ditebang demi memberi ruang bagi berdirinya bangunan-bangunan baru yang konon dianggap sebagai lambang dari kemajuan sebuah zaman.
 
Sebagaimana ia tumbuh di sana tanpa kehendaknya, sekarang pohon itu juga tumbang hanya oleh kehendak Tuhan semata. Aku berpikir, mungkin pohon itu girang dengan ketumbangannya kini. Sebab ia tumbuh dan rubuh hanya oleh kehendak penciptanya. Atau mungkin saja ia sedih, karena tumbangnya justru membuat orang-orang menahan nafas geramnya di atas kendaraan mewah mereka yang hendak mereka pacu dengan keterburu-buruan yang aneh.
 
Duh! Aku tiba-tiba jadi teringat dengan Yus. R Ismail yang dengan bagusnya menulis cerpen Pohon Tumbuh Tidak Tergesa-Gesa. Ya, pohon memang tumbuh dengan tidak tergesa-gesa. Ia setia pada proses bertumbuhnya. Memang terkesan lamban, tetapi ia konsisten. Karenanya ia kuat, liat.
 
Justru manusialah yang paling sering akrab dengan ketergesa-gesaan itu. Ketergesa-gesaanlah yang membuat manusia lemah, bahkan untuk menandingi "kekuatan" sebatang pohon sekalipun. Maka kunyalakan rokokku. Kuredam ketergesaan yang sedari tadi efeknya hendak menyalak dalam dada. Kubiarkan orang-orang di ujung depan sana itu menyelesaikan tugasnya. Membawa pohon yang tumbang itu ke tempat peristirahatan terakhirnya.
 
(Catatan ini semacam oleh-oleh setelah berusaha menikmati macet akibat tumbangnya sebatang pohon di jalan Kalasan)

2 komentar:

  1. turut bersedih, mari menanam lagi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar Ke Faizi. Mari menanam lagi. Kayaknya menarik kalau pesantren2 melakukan gerakan ini

      Hapus