Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » Karena Dia Saudara Kita Juga

Karena Dia Saudara Kita Juga

Amar
Amar
Namanya Amar. Entah apa nama panjangnya, saya sendiri kurang tahu. Namun satu hal yang pasti, dia termasuk salah seorang yang terbilang rajin datang ke mushalla rumah saya setiap malam untuk belajar mengaji bersama teman-temannya yang lain.
Perlu Anda tahu, si Amar ini tinggal di sebuah rumah berukuran sangat kecil yang letaknya di sebelah selatan dari rumah saya. Ada lima orang yang tinggal dalam rumah itu. Si Amar sendiri yang sekarang kelas 1 SD, dua orang kakaknya yang sudah duduk di kelas 5 dan 6 SD, seorang kakaknya yang lebih besar yang duduk di kelas 1 MTs serta juga neneknya yang saat ini sudah mengalami tanda-tanda stroke.
Saya pernah bertanya, dimana kedua orangtua Amar dan saudara-saudaranya itu berada. Namun jawaban orang-orang sungguh membuat saya tercengang. “Tidak ada yang tahu, Mas. Dulu kabarnya mereka kerja di Jakarta, ada juga yang bilang di Kalimantan. Tapi sudah lima tahunan lebih mereka tak pulang.”
Saya tak bertanya lebih banyak lagi. Namun ingatan saya tiba-tiba terlempar pada awal-awal pertemuan dan perkenalan saya dengan Amar dan juga seorang kakaknya yang bernama Rama. Waktu itu, dua orang anak ini datang mengetuk pintu rumah saya sembari mengucap salam. Pakaian mereka berdua lusuh dengan wajar kotor penuh debu. Bau tubuh mereka yang tak sedap juga meruap memenuhi hidung. Saat saya tanya ada apa, kakak Amar, Rama, menjawab singkat;
“Njaluk (minta) duit.”
Kemudian saya sodorkan uang seribuan pada mereka berdua dan mereka begitu girang menerima uang itu sembari berlalu pergi dengan berlari dan tertawa-tawa. Keesokan harinya, mereka berdua datang lagi ke rumah. Caranya masih sama seperti sebelumnya. Dia mengucap salam sambil mengetuk-ngetuk pintu rumah. Saya berpikir, entah siapa yang mengajari mereka berdua mengucap salam sebelum mengutarakan maksudnya minta belas kasihan. Dengan basa-basi saya bertanya, ada apa. Rama yang kembali menjawab;
“Njaluk makan?”
Saya lihat wajah kusut mereka. Lalu segera pergi ke dapur, mengambil piring, mengisinya dengan nasi dan lauk serta membawakannya dua gelas berisi air minum. Mereka berdua makan dengan lahapnya. Setelah selesai, mereka pergi. Masih dengan cara yang sama dengan sebelumnya; berlari sambil tertawa-tawa.
Keesokan harinya mereka berdua datang lagi. Setelah mengucap salam, mengetuk pintu dan saya pun bertanya penuh basa-basi, Rama lagi yang menjawab;
“Njaluk jajan.”
Saya berpikir sejenak sambil menatap wajah mereka berdua. Lalu saya teringat dengan jajan kepunyaan anak saya yang disimpan dalam kaleng. Saya ambil dua bungkus roti dan memberikannya pada mereka. Mereka tersenyum dan segera pergi sambil berlari.
Begitulah dari hari ke hari, Rama dan Amar seperti menjadi tamu rutin harian saya. Mungkin mereka juga punya rasa tahu diri karena tidak setiap hari mereka minta uang. Hari ini minta uang, besok minta makan, besoknya lagi minta jajan dan terkadang datang hanya untuk minta minum. Bahkan sekarang si Amar, saat hendak pergi ke sekolah, rupanya sudah berani datang sendiri kerumah, menyempatkan diri untuk mengucapkan satu kata yang barangkali efek dari kata itu baginya sangatlah menyenangkan, “Njaluk duit.”
Tetangga sebelah saya yang mengetahui bahwa hampir tiap hari Rama maupun Amar bergantian datang ke rumah pernah berucap;
“Mas, nggak usah dikasih kalau minta apa-apa. Nanti kebiasaan.”
Saya tersenyum meski dalam hati saya tak setuju dengan sarannya. Seandainya tidak terpaksa, mereka tentu memilih bermain bersama teman-temannya daripada pergi meminta-minta.
Suatu waktu, saya pernah mencermati kedua anak ini. Dari hasil pengamatan yang saya lakukan, ternyata mereka berdua tidak pernah atau jarang saya lihat meminta-minta ke rumah tetangga-tetangga saya yang lain. Saya mencoba mencari tahu alasannya. Ternyata, sebagian besar tetangga saya memiliki persepsi yang sama sebagaimana tetangga yang ngasih saya saran di atas itu. Mungkin karena alasan itu si Rama dan Amar jadi malu atau mungkin takut seandainya datang meminta-minta pada mereka sehingga mereka lebih sering mendatangi rumah saya untuk urusan “Njaluk duit, njaluk makan, njaluk jajan.” Saya berpikir, sepertinya rumah saya menjadi tempat yang paling menjanjikan bagi mereka untuk mendapatkan apa yang mereka minta.
Amar dan Ataka
Amar dan Ataka

Mohon maaf, saya bukannya sombong mengatakan hal ini. Tetapi saya berpikir, bahwa saya pun pasti akan melakukan hal yang sama seandainya saya berada di pihak mereka berdua. Waktu terus berjalan. Amar dan Rama masih sering menjadi tamu harian saya meski sekarang ini Amarlah yang paling getol datang ke rumah. Agar kedatangan mereka ke rumah tidak hanya untuk urusan ‘njaluk-njaluk’, mereka berdua saya sarankan untuk datang ke mushalla, ikut mengaji bersama teman-teman lainnya.
Alhamdulillah mereka mau mengikuti saran saya. Terkadang sehabis mengaji, saat teman-temannya yang lain pada pulang, mereka berdua masih duduk saja di teras mushalla. Berbisik-bisik penuh malu sambil sesekali melirik ke arah saya atau istri saya. Saya berusaha memahami apa yang mereka pikirkan dengan bertanya;
“Sudah makan?”
Mereka menggeleng. Lalu saya ajak mereka berdua makan bersama di rumah dan kemudian sesudah itu mereka pulang. Bahkan seringkali ketika saya, simbah dan bapak datang dari kenduri, membawa bungkusan kue dan juga nasi, satu bungkus berkat komplit saya berikan untuk mereka bawa pulang. Dan tahukah Anda, bila nasi-nasi yang saya bawakan ternyata tak habis dimakan dan kemudian basi, mereka menjemurnya menjadi aking. Lalu mereka membawanya ke warung untuk dijual buat jajan. Miris, bukan?
Melihat nasib miris yang menimpa mereka, saya termotivasi untuk melatih rasa peduli anak saya. Amar yang saat ini paling sering datang ke rumah, saya minta untuk bermain bersama anak saya mengingat teman-teman lain seusianya justru lebih banyak yang menjauhinya. Dia tampak begitu senang menerima tawaran saya. Maka jadilah si Amar itu sekarang teman akrab anak saya, Ataka. Bahkan anak saya tak jarang menanyakannya serta menangis bila Amar sedang kurang move on untuk diajak bermain.
Sekarang Amar benar-benar telah menjadi sahabat dekat anak saya meskipun terkadang mereka terlihat kurang akur karena soal sepele. Maklum anak-anak. Tetapi saya bersyukur karena dia rajin mengaji dan sudah mulai bisa membaca huruf A sampai Ta setelah sebelumnya saya  merasa kerepotan karena dua hal. Pertama, dia susah mengingat huruf dan kedua saya tak bisa berlama-lama berada di dekatnya karena (maaf) dia bau. Bau karena baju yang sudah seminggu dikenakan untuk bermain, dipakai juga untuk ngaji yang mungkin saja tanpa dicuci. Barangkali karena alasan bau itu pula, ketika di mushalla, dia banyak diajuhi teman-temannya. Namanya juga anak-anak, padahal dia sudah saya kasih kaos dan baju sebelumnya, namun tetap saja yang dipakai malah baju yang mungkin menurutnya sangat nyaman dipakai.
Dan karena alasan bau itu juga saya minta agar dia datang ke mushalla lebih awal. Sekitar jam setengah enam. Sebelum ke mushalla saya perintahkan dia untuk mandi dan saya berikan sarung dan kaos untuk dipakai hanya saat mengaji. Setelah selesai mengaji, sarung dan kaos itu dilepas kembali dan ditinggal untuk kemudian saya cuci.
Bagi saya, urusan Amar saya anggap selesai. Sekarang dia rajin mengaji, bermain di rumah, makan di rumah, beli jajan ke warung bersama anak saya . Namun selepas memperhatikan Amar, kakaknya yang paling tua (Evan) ternyata juga butuh perhatian. Lulus kelas enam, dia menganggur. Sehari-hari hanya nongkrong di pinggir jalan. Melihat kenyataan itu, saya bilang pada istri;
“Evan daftarkan saja di sekolahmu,” kata saya suatu malam.
“Memang dia mau?” jawab istri saya.
“Kita panggil kesini dan kita tanya, apa dia mau seadainya melanjutkan sekolah.”
“Kalau mau?”
“Ya didaftarkan. Kau bilang saja sama kepala sekolah seperti apa kondisi keluarganya. Sekarang kan ada dana BOS. Jadi gratis kan?” kata saya.
“Memang gratis. Tapi uang gedungnya? Uang buat beli bahan seragamnya?. Lagi pula, tiap Jum’at ada olahraga. Dia harus punya uang saku lebih dari hari biasanya.”
Mendengar ucapan istri, saya hanya berucap lirih. “Uang gedung, uang buat beli bahan seragam sama uang saku tambahan setiap hari Jum’at itu biar jadi urusan kita. Semoga ini jadi amal kita.”
Istri saya diam. Besoknya sepulang mengajar, dia bilang bahwa Evan sudah didaftarkan. Bahkan dia sudah membelikan juga kain seragam lengkap untuknya. Saya tersenyum meski waktu itu mulut saya sepet karena tak merokok akibat dompet yang lagi darurat. Saya berusaha mensyukuri kabar yang dibawa istri. Alhamdulillah Evan sekarang sudah sekolah. Sesekali uang sangu hariannya selain hari Jum’at juga bisa kami penuhi.
Dalam hati saya berdoa, semoga ini jadi ladang perjuangan kami meskipun lingkupnya kecil dan sederhana. Saya berharap, baik Amar, Evan dan Rama (kakak Amar yang satu bernama Elsam justru jarang ke rumah saya) akan tumbuh menjadi anak-anak yang berhasil, sukses dan optimis meskipun sejak kecil mereka hidup dalam rumah tangga yang miris-tragis.
Sahabatku!
Setelah Anda semua membaca cerita saya di atas tentang Amar dan keluarganya, saya harap Anda mau ikut mendoakan mereka berdua sebagai bukti rasa cinta Anda pada nasib sesama. Syukur Anda tergerak untuk mewujudkan rasa cinta Anda itu dalam bentuk yang nyata  seperti baju-celana bekas anak Anda, buku atau bahkan sekeping uang agar mereka bisa ikut jajan.
Kebumen, 24 November 2014. 

0 komentar:

Posting Komentar