Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » Bertakbir Sekaligus Bertakabbur

Bertakbir Sekaligus Bertakabbur

Allah SWT menyatakan diri-Nya sebagai Yang Maha Besar. Kebesaran-Nya tak dapat kita bandingkan dengan apapun di seluruh jagad raya ini. Bahkan sekadar kita berpikir untuk mencari bandingan antara kebesaran Allah dengan selain Dia, sungguh kita tidak akan pernah berhasil.

Karena kebesaran Allah itu sama sekali tak tertandingi oleh apapun, maka kita menyebutnya dengan kalimat Allahu Akbar (Allah Maha Besar), dan itu kita sebut berkali-kali setiap hari dalam shalat kita, dzikir kita dan seterusnya.

Pengakuan terhadap kebesaran Allah itu akan semakin terasa frekuensinya manakala kita telah usai menjalankan ibadah puasa dan kemudian kita masuki hari satu Syawal dimana kita diperintahkan untuk bertakbir sejak malam hingga pagi harinya.

Coba kita renungkan, miliaran manusia di dunia pada malam dan hari yang sama di awal bulan syawal memekik-mekik kalimat Allahu Akbar..Allahu Akbar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Seandainya kita diperkenankan oleh-Nya untuk bisa terbang dan mampu mendengarkan seluruh pekikan takbir itu, mungkin seluruh tubuh kita akan tenggelam dalam getaran-getaran maha dahsyat yang ditimbulkan oleh pekik takbir itu.

Mengagungkan Allah lewat pernyataan kalimat Allahu Akbar, saya rasa merupakan sebentuk latihan agar kita belajar mengerdilkan diri di tengah-tengah kebiasaan membesar-besarkan, menghinakan diri diantara pusaran keinginan mengagungkan dan membangga-banggakan. Memang, manusia teramat besar keinginannya untuk dianggap “lebih” dari manusia lainnya. Lebih hebat, lebih mulia, lebih suci dan sekian embel-embel kelebihan lain yang semua itu seakan memaksa kita -tanpa kita sadari- untuk berlaku sombong dan angkuh.

Keinginan untuk dianggap “lebih” inilah yang seharusnya dikikis dengan penghayatan mendalam saat kita mengucap Allahu Akbar. Kita bisa menjadi sombong, besar kepala, angkuh dan menganggap diri kita “lebih segalanya” dari orang lain, itu kemungkinan besar karena kita belum menemukan taste dari pekik Allahu Akbar yang sehari-hari kita ucapkan. Makanya kita sombong.

Dan harap dicatat, bahwa kesombongan itu bukan hanya milik orang yang tidak shalat. Orang yang sehari-hari kita pandang rajin shalat sekalipun, juga bisa menjadi manusia-manusia sombong atau bahkan kesombongannya lebih hebat lagi dibanding mereka yang shalatnya lebih banyak absen-nya.

Kalau kita camkan apa yang pernah disampaikan oleh Rasulullah Saw, betapa ngerinya hati kita memahami pengaruh-pengaruh kesombongan, ketakabburan. Betapa tidak, sebesar biji dzarrah saja kita pelihara kesombongan dalam hati, maka Allah sama sekali tak memperkenankan sorga-Nya untuk kita masuki.

Tak akan masuk sorga, kata Rasulullah, orang yang di dalam hatinya terdapat sifat sombong sebesar biji dzarrah. Andai sorga kita umpamakan sebagai sebuah rumah pesta, yang di dalamnya disediakan jamuan-jamuan paling lezat dari lezatnya jamuan yang pernah dicipta manusia, maka dengan kesombongan itu kita terusir dari sana.

Kesombongan atau ketakabburan menjadikan nasib kita dihadapan Allah menjadi begitu fatal dan naifnya. Sebab dengan kesombongan itu kita seperti sedang mengkondisikan diri menjadi pihak-pihak yang terbuang dari kasih sayang-Nya, menjadi pihak yang tersingkir dari panggilan cinta-Nya, menjadi sosok-sosok yang dibiarkan berada dalam kebuntuan tak bertepi di saat orang lain justru telah sampai pada tujuan yang mereka idam-idamkan selama ini.

Karena itu, saya membayangkan, ketika sedang mengucap Allahu Akbar, maka segala atribut-atribut yang selama ini memaksa saya sombong harus saya buang dan singkirkan jauh-jauh. Harusnya saya merasa kerdil di hadapan kebesaran-Nya, harusnya saya merasa ringkih di hadapan keperkasaan-Nya, harusnya saya merasa hilang arti di hadapan kekuasaan-Nya. Allahu Akbar...Allahu Akbar.

Sayangnya, saya tak cukup cerdas untuk segera dapat mengetahui, bahwa ternyata segala ihwal yang mengantarkan saya kepada kesombongan itu bukan hanya harta, ilmu, paras, keluarga, pangkat dan status-status jabatan belaka. Tetapi ternyata, sekadar diri ini merasa “lebih takwa” dari orang lain pun sudah cukup menenggelamkan saya di dalam lumpur ketakabburan.

Para Nabi dan Rasul, selalu saja berdoa yang menyiratkan betapa mereka senantiasa mengaku dzalim di hadapan Allah. Mereka tak pernah menabik dada dengan menyebut mereka lebih baik dan benar dari umatnya, lebih shalih dari orang lain, merasa lebih pantas masuk sorga daripada orang-orang di sekitarnya. Dan perasaan inilah yang kian membuat mereka tak pernah merasa cukup untuk mengucap Allahu Akbar, tak pernah merasa puas untuk tenggelam dalam lautan ibadah kepada Allah.

Sungguh betapa canggih dan membahayakannya makhluk yang bernama “diri merasa lebih” ini. Sebab dari perasaan inilah seseorang bisa dengan mudah melakukan penistaan-penistaan yang membuat mereka justru terlihat bodoh dalam kepandaiannya , terlihat jahat ditengah ibadah yang dilakukannya.

Karena saya merasa lebih takwa, maka saya hina siapa saja yang berbeda dengan saya. Karena saya merasa lebih suci, maka saya halalkan caci. Karena saya merasa lebih tahu tentang agama, maka saya remehkan para pendosa tanpa harus saya tahu alasannya kenapa mereka berbuat dosa. Hanya karena diri merasa lebih, saya akhirnya berbuat seperti yang saya inginkan. Bukan berdasarkan apa yang Allah perintahkan.

Apa itu sombong, wahai Rasul? Sabda beliau itu kini lamat-lamat saja terdengar; ialah menolak kebenaran dan menghina (merendahkan, meremehkan) manusia. Maka akhirnya saya khawatir, jika setiap hari saya lantunkan kalimat Allahu Akbar, bukannya diri makin tunduk rendah penuh gemetar melainkan makin menjulang saja pohon yang bernama rasa takabbur. 

0 komentar:

Posting Komentar