Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » Mawar Dalam Gelas

Mawar Dalam Gelas

Mawar dalam Gelas
Kebiasaan Rico yang hingga kini tetap tak bisa kumengerti adalah kesukaannya menaruh setangkai bunga mawar dalam gelas. Pagi hari, sebelum bergegas ke tempat kerja, Rico selalu sibuk di halaman belakang rumahnya. Memilih-milih bunga mawar. Lalu memetiknya. Lalu memasukkannya ke dalam gelas di atas meja dekat jendela.

Sepetak tanah di belakang rumah Rico memang dipenuhi dengan pohon bunga mawar. Ada beberapa aneka warna mawar yang tumbuh dan dipelihara di sana. Merah, pink, putih dan ungu. Ketika mawar-mawar itu mekar, maka halaman belakang rumah Rico akan tampak seperti kebun mawar saja. Tak jarang orang akan berdecak-decak kagum saat melintas di samping halaman belakang rumahnya, dan ada juga yang sampai meminta barang setangkai dua tangkai kepadanya. Dan dengan senang hati Rico akan selalu memberikannya.

“Manusia harus sesering mungkin melihat bunga. Dan kalau perlu mereka harus memilikinya.”

Begitulah alasan Rico setiap kali aku bertanya mengapa ia dengan begitu bangga mempersilahkan orang-orang yang datang meminta bunga untuk memetik sendiri di halaman belakang rumahnya. Kebanggaan yang jujur, yang jauh dari polesan kepalsuan dan pura-pura.

Sebagai kekasihnya yang sudah menjalin hubungan sejak tiga tahun yang lalu, aku tahu betul bagaimana Rico begitu perhatian terhadap kebun bunga mawarnya. Bahkan hampir melebihi perhatiannya kepadaku. Setiap pagi selepas bangun tidur, ia menyirami bunga-bunga itu sambil mendendangkan lagu Bunga Mawar yang pernah dipopulerkan Novia Kolopaking. Awalnya, itu kuanggap sebagai kebiasaan yang aneh. Bagaimana seorang lelaki dapat menyanyikan lagu wanita dengan penghayatan yang begitu dalam. Tak kalah mendalam dari penyanyi aslinya sendiri. Tetapi keanehannya itulah yang justru membuatku sulit berpaling darinya. Semakin kuat menyukainya.

Pun juga aku tahu betul apa yang terjadi dengan Rico jika ada orang datang dan meminta setangkai mawar kepadanya. Kedua matanya tampak begitu teduh seketika, senyumnya tulus mengembang. Dan satu lagi, selalu terlihat cahaya putih keperakan yang memancar dari sekujur wajahnya yang sepintas mirip anak keturunan China.

Demikian juga ketika ia hendak berangkat kerja. Setelah menaruh mawar-mawar itu di dalam gelas, Rico akan pergi ke tempat kerja dengan gairah yang tanpa batas. Langkahnya tegap. P andangannya lurus ke depan. Lengkap dengan sungging senyum yang tak pernah padam. Bahkan di meja kerjanya, ia juga menyediakan sebuah gelas khusus yang setiap pagi selalu ia isi dengan mawar-mawar baru, yang dibawanya dari rumah.

“Ia lelaki romantis Selly. Bersyukurlah kau memiliki pasangan seperti Rico,” ujar Mila, teman kerja Rico suatu waktu. 

“Tentu. Tentu aku merasa sangat beruntung, Mila. Terima kasih.”

Kebanggaanku kepada Rico makin tak terbatas, ketika suatu waktu ia dengan jujur mengatakan sendiri kepadaku kalau diantara rekan kerja wanitanya di kantor banyak yang berusaha mencuri-curi perhatiannya. Minta dibawakan bunga mawar. Mengajaknya makan siang dan entah apalagi.

“Apa tanggapanmu?” tanyaku saat mengajaknya makan siang di hari Minggu.

“Aku hanya penuhi satu hal.”

“Apa?”

“Aku hanya mau membawakan mereka bunga. Tapi tidak dengan permintaan lainnya.”

“Kenapa kamu mau melakukan itu, Rico?” tanyaku dengan hati cemburu.

“Manusia harus sesering mungkin melihat bunga, Selly. Bahkan kalau perlu, mereka harus memilikinya. Menanamnya sendiri di rumah mereka.”

Itu alasan yang sama, yang selalu Rico kemukakan saat aku bertanya. Betapapun aku tetap tidak mengerti dengan alasan demi alasan yang ia kemukakan, tapi aku tak pernah bertanya lebih jauh. Sebab tiap selesai ia memberiku alasan seperti itu, maka memancarlah cahaya putih keperakan dari sekujur wajahnya. Begitu memukau. Membuatku hanya bisa terdiam menyaksikan parasnya yang seketika menjadi teduh dan menenteramkan.

“Tapi mawar adalah bunga yang paling tidak kusukai. Mengapa kau lebih memilih bunga itu?”

Rico tersenyum. Dengan perlahan ia meraih tanganku. “Justru aku ingin bertanya, kenapa kamu tidak suka bunga mawar?”

“Tangkainya penuh duri. Aromanya kurang memikat hati.”

“Sudah kuduga. Pasti itu alasanmu. Dan itu sebabnya aku tak pernah memberimu bunga mawar kesukaanku. Bukan aku tak ingin memperlakukanmu dengan romantis sebagaimana pasangan yang lain. Justru aku akan berbuat begitu kalau engkau sudah tahu mengapa aku lebih suka mawar daripada bunga yang lain.”

Aku menarik nafas dalam-dalam. Menekan rasa kesal yang hampir tak bisa kutahan. Namun anehnya rasa kesal itu begitu saja sirna saat kulihat Rico tersenyum dengan pancaran cahaya putih keperakan di wajahnya.    

Suatu senja. Sehabis pulang dari bekerja, aku segera pergi menyambangi rumah Rico yang hanya berjarak tiga ratus meter dari rumahku. Seharian tadi, entah mengapa, aku selalu saja teringat kepadanya. Sebuah ingatan yang tak wajar. Sebab tiap kali mengingatnya, aku seperti didera kegelisahan. Lebih tepatnya ketakutan.

Semilir angin senja membelai-belai wajahku yang tegang. Dan lima puluh meter menjelang tiba di rumahnya, semerbak mawar tercium begitu nyata. Menusuk-nusuk hidung bangirku. Menimbulkan debaran-debaran yang makin tak menentu dalam jantungku. Kupercepat langkah hingga sesampainya aku di depan rumah Rico, aku melihat sekumpulan manusia berdiri dalam antrean. Sepuluh. Dua puluh. Oh tidak. Hampir seratusan orang lebih berdiri dalam sebuah barisan yang teratur. Laki-laki dan perempuan. Tua, muda hingga anak-anak berbaris jadi satu.

“Apa yang terjadi? Apa yang kalian semua lakukan di sini?” tanyaku. Dengan rasa penasaran tentu.

Seorang perempuan paruh baya. Dengan bayi kecil dalam gendongannya, menoleh ke arahku. Ia adalah orang terakhir dalam panjangnya sebuah antrean di rumah Rico senja itu.

“Kami semua ingin bunga.”

“Bunga..!?”

Perempuan itu mengangguk.

“Untuk apa?”

“Kami ingin menikmati keindahan warna yang sesungguhnya.”

Aku tidak percaya dengan jawaban misterius yang diucapkan perempuan itu. Jawaban yang sama misteriusnya dengan alasan-alasan yang dikemukakan Rico setiap kali kutanyakan apa yang membuatnya merasa begitu bergembira ketika ada orang datang meminta bunga mawar kepadanya. Aku tidak mengerti bagaimana orang-orang ini bisa terpengaruh kata-kata Rico. Aku segera beranjak. Melewati deretan orang-orang dan segera pergi menuju halaman belakang rumahnya.

Ia hanya menoleh sebentar ke arahku. Dengan senyum senang. Dan seperti biasa, pancaran cahaya putih keperakan yang memancar dari parasnya makin terang saja di bawah redup matahari senja. Dengan cekatan, kedua tangan Rico mencabuti satu persatu benih-benih pohon mawar yang tersebar di sana-sini. Lalu menyerahkannya kepada orang-orang yang berdiri antre, yang dari kedua mata mereka memancar tatapan penuh takjub kala melihat wajah Rico di depannya.

“Wajahnya begitu sempurna,” kudengar bisik mereka.

“Ia seperti wajah bunga,” bisik yang lain sambil menunggu tiba giliran.

“Ya. Jauh dari pura-pura. Atau mungkin ia bukan lagi manusia.”

Aku hanya terdiam mendengar bisik orang-orang itu. Apa yang sebenarnya terjadi pada diri Rico? Bagaimana bunga mawar itu menarik perhatiannya begitu rupa? Menimbulkan keajaiban-keajaiban yang terus terang saja sulit kupercaya? Pertanyaan demi pertanyaan itu selalu saja menguntitku. Menuntut jawaban lunas yang barangkali dapat membebaskan rasa penasaranku dengan tuntas.

***
 
Setahun berlalu, kujalani kehidupanku yang baru. Bersama Rico yang sudah resmi menjadi suamiku. Selain aku bisa terus bersama, tak ada perubahan lain yang terjadi pada dirinya. Rico yang sekarang sudah jadi suamiku masih saja sebagaimana Rico di tahun-tahun yang lalu. Lelaki yang di waktu pagi akan langsung pergi ke halaman belakang rumahnya, yang dengan khusyuk menyirami bunga mawar kesukaannya, memetiknya dan lalu menaruhnya di dalam sebuah gelas di atas meja dekat jendela.

Seiring waktu berjalan, aku pun jadi terusik keadaan. Rasa penasaran yang sudah lama berjibaku dengan kekesalanku memunculkan ketegangan-ketegangan yang terus mengganggu. Maka pecahlah pertengkaran itu di sebuah pagi yang masih beku. Saat Rico buru-buru bangun untuk pergi ke halaman belakang, tanpa bisa kutahan, meluncurlah sergahan-sergahan penuh kemarahan.

“Rico. Kau suami tergila yang lebih mementingkan bunga daripada istrinya,” hardikku dengan sengit.

“Hei, jaga mulutmu. Lebih baik kau perhatikan apa yang aku lakukan,” jawab Rico tak kalah sengitnya.

“Bangsat. Sudah kuhabiskan tiga tahun lamanya sejak kita pacaran dulu untuk mencari tahu penyebab kegilaanmu itu. Tapi sampai sekarang aku sudah jadi istrimu, kau tak kunjung waras-waras juga.”

“Diaaammm,” teriakan Rico begitu menggema. Hampir memecahkan gendang telinga. Seiring dengan itu, kulihat keteduhan dan ketenangan wajahnya perlahan sirna. Ketegapan dan kegagahannya seperti menyusut. Pagi itu, Rico terlihat limbung. Dengan kedua tangan memegang dada, ia ambruk seketika. Aku panik. Dan buru-buru melompat. Tak tahu apa yang harus kulakukan, aku menghambur ke halaman depan. Berteriak-terik minta pertolongan.

“Apa yang terjadi? Kenapa dengan Rico?” satu persatu tetangga sekitar berdatangan. Merubung tubuh Rico yang sudah diangkat ke pembaringan.

“Cepat panggil ambulan,” teriak yang lain.

Raungan bunyi sirine dari kejauhan tak juga menghalau kegelisahanku. Bahkan saat tubuh Rico dimasukkan ke dalam mobil, tangisku tak kunjung bisa ditahan. Ada penyesalan. Tetapi itu tak akan cukup membantu memulihkan keadaan. Sampai di rumah sakit, saat dokter memintaku menunggu di ruang tunggu, beberapa tetangga mencoba menghiburku. Sebagian mereka bertanya, apa yang sebenarnya terjadi diantara kami berdua. Dengan suara terbata, aku mulai bercerita.

“Mari ikut denganku. Kurasa sekaranglah waktunya kuceritakan semuanya kepadamu,” terdengar suara Hendi, lelaki yang sering menjadi teman ngobrol Rico malam-malam. Aku hanya mengangguk, mengikuti Hendi ke ujung koridor rumah sakit ini.

“Rico adalah sahabatku sejak kecil,” kata Hendi memulai ceritanya. “Sejak lulus kuliah, entah mengapa, ia begitu menyukai bunga-bunga. Mawar khususnya. Aku pernah bertanya tentang hobi barunya itu. Dia bilang, kalau bunga mawar adalah lambang keteguhan. Ia mungkin dicaci karena batangnya penuh duri. Namun cacian itu tak pernah menyurutkan nyalinya untuk memberi keindahan warna pada bunganya. Sama seperti Rico. Semenjak dia diterima bekerja di kantornya, ia kerap dicaci karena sering memprotes atasannya dan juga rekan-rekannya yang ketahuan sering berbuat curang. Tapi ia teguh. Ia bertahan. Tak mau terlibat berbuat curang dan memilih bekerja dengan penuh kejujuran. Sama dengan jujurnya warna mawar. Indah, menenangkan, namun tidak boleh dipermainkan kalau tidak ingin tertusuk durinya yang tajam. Satu hal lagi. Kalau dia meninggal karena komplikasi penyakit jantung yang sudah lama dideritanya, dia minta kepadaku agar kau menanami kuburannya dengan bunga mawar. Bunga yang sebenarnya. Ia menolak menerima karangan bunga. Sebab menurut dia, karangan bunga itu hanya kebohongan, mudah gugur, rapuh dan tidak teguh.”

Dari ujung koridor, seorang dokter berpakaian putih datang mendekat. Saat dari bibirnya terlontar kata “Maaf, nyawa suami Nyonya tak dapat ditolong,” maka seketika itu pula dunia menghilang dari pandangan.   

0 komentar:

Posting Komentar