Diberdayakan oleh Blogger.

DUA KACAMATA TAKMIR

Suatu malam, seorang takmir masjid yang setiap saat menggunakan kacamata syariah melihat kedatangan seorang wanita bercelana pendek dan berkaos oblong tipis memasuki halaman masjid dan menuju kamar mandi. Wajahnya penuh riasan kosmetik. Bibirnya merah dalam balutan lipstik. Wanita itu sedang dalam perjalanan menuju lokalisasi tempatnya bekerja. "Mas, takmir ganteng. Numpang kamar mandi ya. Kebelet pipis banget nih," pamitnya. Melihat wanita yang biasa mangkal di lokalisasi yang tak jauh dari masjid itu, si takmir buru-buru mengunci pintu kamar mandi dan menghadang wanita itu sambil berkacak pinggang. "Kurang ajar. Pergi cari kamar mandi lain. Wanita pendosa. Wanita penuh maksiat. Neraka tempatmu. Itu kamar mandi untuk orang-orang yang mau ibadah, bukan untuk orang yang mau melakukan maksiat." Wanita itu gemetar dan pergi ketakutan.

Kemudian wanita itu datang ke sebuah mushalla, yang takmirnya menggunakan kacamata iradah berbingkai akhlak. Kepada si takmir, wanita itu mengutarakan maksudnya seperti saat datang ke masjid tadi. Si takmir kemudian membuka kunci pintu kamar mandinya dan buru-buru masuk ke dalam mushalla lalu bersimpuh sambil mengangkat kedua tangannya, "Ya, Allah! Wanita itu sesungguhnya adalah ayat-ayat-Mu juga. Dia telah dikucilkan dan dilecehkan sedemikian rupa. Rasa-rasanya, pintu-pintu kebaikan telah ditutup oleh anggapan dan tuduhan-tuduhan. Kalau bukan ke hadapan pintu-Mu, pintu mana lagi yang mau menerimanya. Dan apa susahnya bagi-Mu ya Allah untuk memberinya hidayah dan memanggilnya agar segera kembali ke jalan yang Kau ridhai. Tolong, jadikan air di rumah-Mu yang dia gunakan itu sebagai obat yang membuatnya sadar kembali. " Setelah itu, si takmir keluar bersamaan dengan keluarnya wanita itu dari kamar mandi. "Terima kasih, Mas takmir," katanya dengan suara manja. Si takmir membalas dan membiarkan wanita itu pergi dengan iringan doa-doa dalam hatinya. "Semoga engkau diberi hidayah, semoga engkau diampuni."

Cerita ini dibuat sebagai simpulan dari salah satu materi diskusi Cak Kuswaidi Syafiie bersama kelompok kajian pemuda Muhammadiyah Gombong.

Kebumen, 31 Mei 2016

Indonesia Darurat Mengaji

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgmYqXyR0tw2qN3XiiyiRkDzC7AZCfXD7lQJsK5ZZdUla-SdbJQfxaKu0Q1VRSAuHLMIag9RIi_8tiJCYVxeQ9pfpTJg5gM_Ydxv_nfKjNYqn8F-ns_CJlOpfdNyl-HiYYRq_I2aPwmF5U/s1600/mengaji+3.jpg
Terdengar sangat manis ungkapan Muhaimin Iskandar mengenai gerakan Nusantara Mengaji yang diharapkan dapat membuat Bangsa Indonesia bebas dari segala persoalan yang menderanya. Sebagai sebuah ikhtiar, gerakan tersebut boleh saja kita amini meskipun dalam tataran praksisnya masalah yang dihadapi bangsa ini tak akan selesai hanya dengan dibacakan Al-Qur’an di seluruh Nusantara tercinta.
 
Kita tahu bahwa Al-Qur’an merupakan kitab suci, petunjuk dan pedoman hidup utama umat Islam di seluruh dunia, khususnya Indonesia. Karena itu, idealnya seluruh umat Islam seharusnya bisa membaca kitab sucinya sendiri dan syukur-syukur bisa memahami dan mengamalkannya dalam laku hidup sehari-hari. Namun kalau mau jujur, banyak di antara umat Islam Indonesia yang tidak bisa membaca kitab sucinya sendiri.
 
Anehnya, belum banyak survei dilakukan demi mengetahui berapa persen dari umat Islam Indonesia yang tidak bisa membaca Al-Qur’an apalagi hingga level fasih membaca dan memahaminya. Ini masih belum termasuk orang-orang yang mengamalkannya, yang kemungkinan besar jumlahnya jauh lebih sedikit dari mereka yang mahir membacanya.
 
Dengan demikian, di luar sifatnya sebagai sebuah ikhtiar, gerakan Nusantara Mengaji menurut hemat penulis masih sangat dilematis. Satu sisi gerakan ini diharapkan dapat mengatasi persoalan bangsa, namun di sisi lain masalah kemampuan umat Islam dalam membaca kitab sucinya sendiri seakan tak terdedah sama sekali. Kalaupun gerakan Nusantara Mengaji ini berhasil diselenggarakan, bukankah yang terlibat hanya sedikit persen saja dari jumlah keseluruhan umat Islam di Nusantara? Dan mereka yang terlibat pasti hanya orang-orang yang sudah bisa atau mahir membaca Al-Qur’an.
 
Di tahun 2009 silam, penulis pernah mengikuti tes kemampuan membaca Al-Qur’an sebagai salah satu syarat kelulusan pendidikan jenjang S1 di salah satu perguruan tinggi negeri di Yogyakarta. Ironisnya, tidak sedikit mahasiswa/i yang tidak mampu membaca Al-Qur’an meskipun mereka merupakan mahasiswa pada fakultas yang memiliki konsen besar terhadap ilmu-ilmu dasar agama Islam, dan sebagian dari mereka mengambil jurusan tafsir wa al-hadits. Fenomena ini jelas mengharukan dan sekaligus menyedihkan karena mahasiswa/i yang kuliah pada jurusan tersebut justru tidak bisa membaca materi utama yang mereka pelajari.
 
Gerakan Nusantara Mengaji jelas bukan program sepele. Apalagi ruang lingkupnya yang berskala nasional. Bagi sebagian kaum Muslimin, gerakan ini tentu saja akan disambut dengan antusiasme tinggi, terutama karena mereka merasa bakal mendapatkan apa yang oleh Gus Dur disebut sebagai ‘kompensasi psikologis’. Dan gerakan Nusantara Mengaji ini sepertinya berhasil menjanjikan kompensasi tersebut sehingga bisa disambut dengan hangat tanpa banyak kritik. 
 
Sebelum kita berharap terlalu banyak akan hasil dari gerakan Nusantara Mengaji ini, ada baiknya kita renungkan peristiwa menjelang wafatnya Nabi Muhammad Saw. Konon, menjelang wafatnya, Nabi Saw bertanya kepada Malaikat Jibril apakah malaikat penyampai wahyu tersebut masih berkenan turun ke bumi selepas kepergian Nabi menghadap Allah SWT. Jibril menjawab bahwa beliau akan turun sebanyak sepuluh kali, namun bukan dalam rangka membawa sesuatu, melainkan untuk mencabut sesuatu yang sekaligus menjadi pertanda akan makin dekatnya hari kiamat.
 
Salah satu hal yang akan dicabut adalah huruf-huruf Al-Qur’an. Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan kata-kata dicabutnya huruf Al-Qur’an. Sebagian mengatakan bahwa hal itu sebagai bahasa kiasan untuk menggambarkan keadaan dimana Al-Qur’an sudah jarang dibaca dan dipelajari. Sebagian yang lain mengatakan bahwa kelak huruf Al-Qur’an memang akan dicabut sehingga mushaf-mushaf hanya berisi halaman-halaman kosong belaka.
 
Atas dasar kisah tersebut, kita memang tidak bisa berasumsi bahwa gerakan Nusantara Mengaji dapat dimaknai sebagai upaya memperlambat ketentuan Allah akan datangnya hari kiamat. Tetapi gerakan Nusantara Mengaji justru di tengah-tengah banyaknya umat Islam yang tidak pandai mengaji menjadi semacam fenomena yang pantas membuat kita mengelus dada. Di masa-masa mendatang, barangkali penting juga menggagas gerakan Nusantara Belajar Mengaji sebelum gerakan Nusantara Mengaji, bukan?
 
Mengapa gagasan Nusantara Belajar Mengaji -hemat penulis- jauh lebih penting dari pada gerakan Nusantara Mengaji? Ada beberapa alasan, antara lain:
 
Pertama, terkait dengan Al-Qur’an, umat Islam Indonesia tampaknya akan semakin kehilangan lahirnya generasi-generasi “Utrujah”. Sebagian mungkin paham apa arti “Utrujah”. Istilah ini lahir dari lisan (hadis) yang mulia Nabi Muhammad Saw ketika beliau memberikan gambaran bahwa umat Islam yang membaca Al-Qur’an layaknya dia seperti buah Utrujah; buah yang memiliki keharuman memikat dengan cita rasa nikmat berlumur lezat.
 
Terkait hadis ini tak seorang pun yang berani menyangkal keshahihannya. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Imam Muslim dan tak ketinggalan juga Imam Tirmidzi dalam Sunan al-Tirmidzi pada bagian Kitab Fadha’il al-Qur’an.
 
Masalahnya, bagaimana mungkin umat Islam akan membaca Al-Qur’an, kitab sucinya sendiri dan petunjuk Tuhannya, yang memungkinkan mereka terhimpun dalam generasi Utrujah tadi kalau mereka memang tidak bisa membacanya dengan fasih? Kita bisa mengukur kepada diri sendiri. Tatkala kita tidak lancar atau justru tidak bisa membaca Al-Qur’ang misalnya, maka yang terjadi selanjutnya adalah rasa malas membaca, jenuh dan bosan. Hal ini sangat masuk akal, sebab untuk apa membaca sesuatu yang kita sendiri tidak bisa atau tidak lancar membacanya. Buang-buang waktu. Begitulah keputusannya.
 
Lalu, yang lancar dan fasih membaca Al-Qur’an apakah ada jaminan mereka akan istiqamah membacanya, minimal satu juz dalam satu hari? Ya, tidak ada jaminan juga. Cuma kalau ini masalahnya sudah lain, karena sudah berhubungan dengan kesadaran, kecintaan dan mungkin juga hidayah. Gerakan Nusantara Mengaji barangkali lebih tepat untuk masalah ini, yakni untuk ‘menghardik’ kesadaran mereka yang sudah fasih mengaji tapi malah jarang mengaji.  
 

Kedua, gerakan Nusantara Mengaji pada dasarnya bukan gerakan baru di nusantara ini. Pesantren-pesantren di nusantara yang masih peduli dan perhatian terhadap kemampuan santrinya dalam membaca Al-Qur’an dengan benar, tak pernah sepi dari kegiatan tadarusan setiap saat. 
Lalu kenapa saya sebut ‘pesantren yang masih peduli dan perhatian’ yang memungkinkan munculnya tudingan bahwa dengan demikian ada pesantren yang tidak peduli dan tidak perhatian?.
 
Eitt… jangan salah sangka dulu. Meski lulusan pesantren sekalipun, tidak sedikit di antara mereka yang tidak lancar membaca Al-Qur’an. Saya punya banyak teman lulusan pesantren dan banyak di antara mereka yang tidak lancar baca Al-Qur’annya. Kalau mau, NU, Muhammadiyah, atau Kemenag sekalipun boleh melakukan survei ke pondok-pondok pesantren demi mengetahui adanya fakta bahwa santri sekalipun tak ada jaminan baca Al-Qur’annya fasih. Karena tidak fasih, akhirnya mereka jarang membaca Al-Qur’an selepas lulus dari pesantren. Satu lagi generasi Utrujah gugur selepas mereka lulus dari tempat yang seharusnya banyak menyemai lahirnya generasi tersebut.
 
Kemudian bagaimana dengan lulusan Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah, baik swasta atau negeri? Mengutip pernyataan KH. Hadidul Fahmi (Banyumas) yang mengatakan bahwa di Indonesia, lulusan MTs dan MA atau MTsN atau MAN, hanya 25% yang bisa membaca Al-Qur’an dengan fasih. Sementara 75% lainnya ada dua kemungkinan; bisa membaca tapi tidak fasih atau bahkan tidak bisa membaca sama sekali.
 
Barangkali kemudian ada yang berkomentar; “Tak bisa membaca Al-Qur’an tidak apa-apa, yang penting kelakuannya Qur’ani. Daripada fasih membaca Al-Qur’an tapi kelakuannya bejat, hayo pilih mana?”
 
Perbandingan seperti ini seakan-akan terlihat benar meskipun mengandung reduksi yang sangat fatal. Sebab dengan demikian, kita akan dengan mudah menyimpulkan bahwa tidak bisa membaca Al-Qur’an tidak apa-apa yang penting kelakuannya tidak bejat. Itu artinya, kita tidak perlu lagi belajar membaca Al-Qur’an, dan cukup baca buku-buku terjemah dan ulasan mengenai ayat-ayat Qur’an saja kalau begitu. Lalu, anjuran Nabi untuk belajar dan mengajar membaca Al-Qur’an, ujaran beliau tentang keutamaan membaca Al-Qur’an yang demikian banyak dalam hadis-hadisnya bahkan perintah Allah sendiri agar kita membaca Al-Qur’an sebagaimana salah satunya dalam surat Al-Muzammil itu mau dikemanakan? Diabaikan? Dilupakan? Dihapus?.
 
Melihat fakta-fakta sebagaimana saya uraikan di atas, saya jadi bertanya-tanya; Gerakan Nusantara Mengaji ini proyek atau apa? Sangat disayangkan kalau ini proyek karena gerakannya terlihat tanggung. Justru akan jauh lebih hebat menurut saya kalau proyek ini dinamai Gerakan Nusantara Belajar Mengaji dulu, baru kemudian Nusantara Mengaji.
 
Saya membayangkan, dengan menggagas gerakan Nusantara Belajar Mengaji, setidaknya banyak hal yang bisa dilakukan dan bahkan bisa melebihi sibuknya menyiapkan gerakan Nusantara Mengaji. Mungkin mushalla, langgar atau masjid-masjid yang semula sepi akan menjadi ramai dengan adanya orang-orang yang belajar mengaji. Sekolah-sekolah yang berasaskan Islam barangkali akan memasukkan kegiatan belajar mengaji sebagai materi tambahan eskul sehingga murid-muridnya yang notabene beragama Islam tidak hanya diajari main drum band. Para kiai di pesantren-pesantren lebih memiliki banyak waktu untuk duduk khusyuk menyimak santrinya yang belajar membaca Al-Qur’an ketimbang runtang-runtung diseret-seret para politisi. Ah….khayalan saya sungguh terlalu.
 
Syukur-syukur umat Islam yang kaya raya di nusantara ini kemudian bersatu dan menjadi founding untuk memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan umat Islam yang sedang mengajar atau belajar mengaji. Apakah penting? Penting. Tahun 2015 lalu, di Panti Asuhan Amanah tempat saya mengajar mengaji anak-anak yatim dan dhuafa, diselenggarakan kegiatan belajar mengaji bagi para orang tua. Waktu itu ada sekitar 30-an orang yang ikut dengan usia rata-rata berkisar 50-an. Mereka datang dengan menenteng buku Iqro’ dan antusias belajar huruf-huruf Qur’an mulai dari A, Ba, Ta dan seterusnya. Saya senang melihat mereka yang dari tidak bisa mengaji sama sekali kemudian menjadi bisa mengaji. Setelah lulus, mereka diberi hadiah Al-Qur’an yang ada terjemahnya. Al-Qur’an itu dibeli dananya dari mana? Patungan sesama guru ngaji, bro. Itu dia kenapa saya katakan umat Islam yang kaya se-Nusantara harus bersatu dan menjadi donatur untuk acara beginian. Masak kita kalah sama saudara yang dari Kristiani?
 
Eeee….jangan bilang guru ngaji itu harus mau berkorban ilmu juga hartanya lho. Ini persoalan umat, jadi harus ditanggung bersama. Lagi pula, anak saya masih butuh susu dan saya tak menerima biaya buat beli susu itu di tempat saya mengajar mengaji. Tertarik..!? Mari hidupkan dilingkungan Anda semangat Nusantara Belajar Mengaji.  

Kebumen, 09 Mei 2016

MAALIKI YAUMIDDIN DAN NASIB AYAM-AYAM SAYA

Kalimat yang sudah pasti kita baca sebanyak 17 kali sehari-semalam dalam shalat itu sudah populer dengan terjemahannya sebagai "Yang Menguasai Hari Pembalasan". Dan hari pembalasan itu (yaum al-hisab) bagi sebagian orang dipahami sebagai 'yang nanti', bukan yang sekarang. Entah yang dimaksud 'yang nanti' itu menyangkut peristiwa di barzakh, mahsyar, surga-neraka dan seterusnya.
https://pixabay.com/static/uploads/photo/2013/07/13/12/08/rooster-159254_960_720.png

Lalu, apakah seseorang yang melakukan kebaikan atau keburukan itu harus menunggu 'nanti' untuk mendapatkan balasannya? Al-Biqa'i mengatakan, tidaklah demikian. Sebab, balasan itu sejatinya sudah diberikan sesaat setelah kebaikan atau keburukan itu dikerjakan. Hanya saja ada balasan yang ditampakkan sehingga bisa dirasakan oleh pelakunya, dan ada juga yang tidak ditampakkan sehingga tidak dirasa.
 
Nabi Saw bersabda, "Apabila seseorang melakukan dosa, maka diteteskan ke dalam hatinya satu titik hitam." Nah, satu titik hitam ini adalah wujud balasan itu yang barangkali merupakan balasan tersamar sehingga banyak orang tak sadar dan tak merasakannya. Dengan demikian, tidak ada istilah penundaan balasan yang akan diberikan Tuhan kepada pelaku kebaikan atau keburukan. Sekali berbuat baik, di saat itulah Tuhan membalas. Begitu juga sebaliknya.
 
Andai pembalasan Tuhan itu semuanya ditampakkan langsung sehingga bisa dirasakan wujudnya, mana ada orang berbuat dosa. Sekali sedekah seribu rupiah, lalu sedetik kemudian seratus ribu nongol dari lubang hidung. Sekali ngerasani keburukan orang lain, eh....tiba-tiba bibir keseleo dan kram.
 
Bahwa balasan itu tak pernah ditunda, baik cepat atau pun lambat, saya telah benar-benar mengalaminya. Dan kasusnya berkenaan dengan jamaah ayam-ayam saya.
 
Ceritanya, saya punya beberapa ekor ayam. Di antaranya enam ayam jago yang sudah besar-besar dengan bulu-bulu yang memukau serta empat ayam betina dengan kualitas super. Sedang beberapa ayam lainnya hanyalah sebatas ayam-ayam supporter. Mereka semua sehat-sehat dan siap memberikan banyak manfaat. Di saat yang bersamaan, ada juga tetangga saya yang memiliki banyak ayam. Hanya saja, ayam-ayam mereka mati mendadak. Si pemilik itu pun bercerita pada saya akan ayam-ayamnya yang mati mendadak itu.
 
"Kalau ayam-ayam saya, tak pernah sekalipun terkena penyakit. Apalagi mati mendadak," ucap saya mengomentari. Dan inilah pangkal masalahnya. Sungguh ucapan saya itu tak mencerminkan ketawadhu'an yang seharusnya, melainkan sejenis kesombongan yang mengundang binasa. Terbukti, keesokan harinya ayam jago dan betina yang saya eman-eman itu pun pada terkapar tanpa nyawa, mengalami kematian mendadak yang tak terduga.
 
Ya, Tuhan. Balasanmu memang tak pernah mengalami delay. Semoga saja mati satu netas seribu.

Kebumen, 6 Mei 2016