Diberdayakan oleh Blogger.

FILSAFAT ILMU

SEBUAH ALAT KRITIK TERHADAP ILMU PENGETAHUAN

Salah satu ciri khas manusia dibanding makhluk lainnya adalah kemampuan berpikirnya. Tak hanya itu, manusia juga memiliki potensi lain seperti perasaan, kehendak dan tindakan. Beragam potensi inilah yang menjadikan manusia sebagai makhluk yang mampu mengolah, mencipta serta mengupayakan terjadinya berbagai perubahan alam lingkungan sekitarnya ke arah yang lebih baik. Berbagai perubahan yang bisa dicapai oleh manusia semuanya diawali dari kegiatan-kegiatan seperti memperhatikan, meragukan, mempertanyakan dan sekaligus menjawab pertanyaan-pertanyaan itu melalui serangkaian proses berpikir dan berusaha (berkarya). Kegiatan berpikir inilah yang kemudian melahirkan filsafat dan ilmu pengetahuan. Meski demikian, tidak semua aktivitas berpikir dapat disebut berfilsafat, terutama bila dilihat dari tujuan berpikir itu sendiri. Berfilsafat adalah berpikir yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan, yakni pengetahuan yang menyangkut kebenaran. Sehingga dengan berfilsafat manusia diharapkan dapat menemukan kebenaran yang pada akhirnya mengantarkannya pada kebijaksanaan.
Keyword: filsafat, ilmu, filsafat ilmu
http://fc01.deviantart.net/fs70/f/2013/255/f/5/school_of_athen_by_pica_ae-d6lzo5n.jpg


A.    Pendahuluan

Saat ini, kajian mengenai Filsafat Ilmu (Philosophy of Science) mulai mendapatkan perhatian cukup besar dari kalangan akademisi dan kaum intelektual di Indonesia. Salah satu buktinya adalah dengan banyaknya berbagai perguruan tinggi yang memberikan mata kuliah Filsafat Ilmu kepada para mahasiswa.[1] Meski di beberapa perguruan tinggi materi Filsafat Ilmu lebih banyak diajarkan pada tingkat pendidikan pasca sarjana, namun kenyataan ini patut diapresiasi dengan baik sebagai bagian dari dinamika ilmu pengetahuan yang terus berkembang.
Antara filsafat dan ilmu sesungguhnya merupakan dua elemen yang tidak dapat dipisahkan. Dengan kata lain, setiap pembicaraan mengenai Filsafat Ilmu hal itu akan selalu mengarah pada pembahasan yang selalu jalin berkelindan diantara keduanya. Itulah sebabnya kenapa Filsafat Ilmu dikatakan sebagai satu rumpun kajian yang saling membesarkan. Filsafat adalah induk ilmu di satu sisi dan ia (filsafat) juga merupakan bagian dari ilmu itu sendiri di sisi yang lain.[2]
Sebagai cabang dari filsafat umum, Filsafat Ilmu memberikan pemahaman bahwa setiap ilmu pengetahuan diangkat dari adanya kebenaran ilmu yang beragam. Hal ini memberikan petunjuk bahwa Filsafat Ilmu merupakan dasar berpikir untuk dapat memahami lahirnya keragaman ilmu dengan segenap metode dan manfaatnya bagi kehidupan.
Mempelajari Filsafat Ilmu juga sama halnya dengan upaya memahami adanya keterkaitan antara satu ilmu dengan ilmu-ilmu yang lain seperti ilmu alam hubungannya dengan ilmu-ilmu social dan humaniora. Menurut Rizal Muntasyir (2002), dengan mempelajari Filsafat Ilmu seorang ilmuan tidak akan terjebak pada pola berpikir ‘menara gedung’. Artinya, setiap ilmuan tidak bisa berpikir murni hanya pada bidangnya melainkan ia harus keluar dan menyadari adanya keterkaitan dengan konteks kehidupan social kemasyarakatan.[3]
Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan Robert Ackermann, bahwa Filsafat Ilmu bukan suatu cabang ilmu yang bebas dari praktek ilmiah senyatanya.[4] Atau dengan kata lain Filsafat Ilmu merupakan pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia.

B.    Pengertian Tentang Filsafat, Ilmu dan Filsafat Ilmu

Secara etimologi Filsafat Ilmu terdiri dari dua kata; Filsafat dan Ilmu. Kata filsafat disadur dari beberapa sumber kebahasaan, terutama dari bahasa Yunani, philosophia. Kata philo berarti cinta dan kata sophia berarti hikmah (kebenaran). Jadi, philosophia dapat dimaknai sebagai ‘cinta kebenaran.’[5]
Sementara Harun Hadiwijono menyebutkan bahwa filsafat berasal dari bahasa Latin yakni filosafein yang berarti mencintai kebijaksanaan-kebijaksanaan atau mencintai kebenaran.[6] Disini kebenaran dipahami sebagai nilai yang harus dijunjung tinggi oleh manusia sebagai pecinta kebenaran itu sendiri.
Sementara kata ilmu, secara etimologi, berasal dari bahasa Arab (a’lama, ya’lamu, ilmun) yang berarti pengetahuan. Ilmu dapat dibangun dari dua sumber yakni sumber empiric dan rasional. Dari kedua sumber inilah kemudian lahir ilmu-ilmu empiric inderawi dan ilmu-ilmu intelek. Dalam kajian selanjutnya, kata ilmu terbagi ke dalam dua istilah yakni ilmu sebagai knowledge dan ilmu sebagai science.[7]
Ilmu sebagai knowledge berhubungan dengan pengetahuan atau pengalaman sehari-hari. Sementara ilmu sebagai science berhubungan dengan kegiatan-kegiatan ilmiah yang dengannya pengetahuan itu dapat dipahami secara sistematik. Dengan demikian ilmu dapat bermakna sebagai ‘pengetahuan’ (knowledge) dan sekaligus sebagai ‘ilmu pengetahuan’ (science). Yang pertama mengarah pada pengalaman sehari-hari, sementara yang kedua mengarah pada pengetahuan sistematiknya.
Berangkat dari kedua pengertian kata di atas (filsafat dan ilmu), maka kemudian lahirlah dua konsep keilmuan yakni Filsafat Pengetahuan dan Filsafat Ilmu atau Filsafat Ilmu Pengetahuan. Keduanya berbeda dari segi bangunan filosofisnya. Kalau Filsafat Pengetahuan melihat hakikat pengalaman sehari-hari sebagai sumber pengetahuan. Sementara Filsafat Ilmu melihat aspek keilmuan atau aspek ilmiahnya sebagai sumber pengetahuan itu sendiri.
Sampai disini kita dapat memahami bahwa tidak setiap ‘pengetahuan’ (knowledge) dapat menjadi ‘ilmu pengetahuan’ (science). Agar pengetahuan dapat menjadi ilmu pengetahuan maka diperlukan sebuah sarana yang bernama Filsafat Ilmu. Tanpa Filsafat Ilmu sangat mungkin seseorang beranggapan bahwa ‘pengetahuan’ (knowlede) dan ‘ilmu pengetahuan’ (science) merupakan dua hal berbeda dan tidak ada kemungkinan untuk disatukan. Padahal sejatinya antara pengetahuan dan ilmu pengetahuan merupakan satu sumber ilmu pengetahuan yang tidak bisa dipisahkan. Secara tidak langsung, Filsafat Ilmu dapat dikatakan telah berjasa menghapus anggapan tentang adanya dikotomi ilmu.
Filsafat ilmu tidak membedakan sumber tumbuhnya ilmu. Tetapi ia melakukan upaya penyatuan antara sumber ilmu yang bersifat material, intelektual, dan spiritual dengan landasan diterimanya ilmu oleh ilmuan atau manusia sebagai folosof yang mencintai kebenaran dan kebijaksanaan.
Penting dicatat bahwa setiap manusia sebagai pecinta kebenaran memiliki pengalaman dari tiga keadaan berbeda yang seharusnya membuat mereka berpikir untuk mencari dan menemukan kebenaran-kebenaran dari pengalaman itu. Ada yang mempunyai pengalaman atas sesuatu yang bersifat empiric inderawi, rasio (akal) dan ada juga pengalaman empiric intuitif yang bersifat transcendental. Dari pengalaman yang beragam inilah Filsafat Ilmu kemudian memberikan prinsip-prinsip dasar mengenai bagaimana metode ilmiah dan metode penelitian yang harus dilakukan sehingga tiga pengalaman itu benar-benar menjadi sumber ilmu pengetahuan.
Selanjutnya, dari ketiga pengalaman inilah kemudian diketahui adanya tiga pengetahuan yakni pengetahuan inderawi (indra), pengetahuan rasio (intelek) dan pengetahuan intuitif (nurani/rasa). Ketiga jenis pengetahuan ini memiliki perbedaan, baik mengenai obyek, metode, urutan-urutan dan nilai universalitasnya.

C.    Filsafat Ilmu dalam Pandangan Para Tokoh

Menurut The Liang Gie, setiap pemikiran para filsuf mengenai ilmu merupakan Filsafat Ilmu itu sendiri.[8] Karenanya, tidak mengherankan bila ditemukan banyak definisi mengenai Filsafat Ilmu yang dikemukakan oleh mereka. Berikut beberapa definisi tentang Filsafat Ilmu menurut para tokoh filsuf dewasa ini:
1.     Lewis White Beck
Lewis White Beck mendefinisikan bahwa “Filsafat Ilmu mempertanyakan dan menilai metode-metode ilmiah serta mencoba menetapkan nilai dan pentingnya usaha ilmiah sebagai suatu keseluruhan.”[9]
Berangkat dari definisi yang dikemukakan Lewis di atas, maka dapat dipahami bahwa Filsafat Ilmu meniscayakan terjadinya kegiatan atau proses-proses ilmiah secara terus menerus.  Sehingga dengan demikian dapat dicapai suatu pemahaman yang mendalam (radikal) atas sebuah objek ilmu yang dikaji. 
2.     A. Cornelius Benjamin
Filsuf ini mendefinisikan Filsafat Ilmu sebagai “cabang pengetahuan filsafati yang merupakan telaah sistematis mengenai sifat dasar ilmu, khususnya metode-metodenya, konsep-konsepnya, serta letaknya dalam kerangka umum dari cabang-cabang pengetahuan intelektual.”[10]
Definisi yang dikemukakan Benjamin di atas secara lebih gamblang menjelaskan seperti apa ‘watak’ dari Filsafat Ilmu itu sendiri sebagai sebuah cara dalam memahami dasar-dasar dari terbangunnya ilmu pengetahuan.
3.     John Macmurray
John Macmurray mendefinisikan Filsafat Ilmu sebagai “ilmu yang bersangkutan dengan pemeriksaan kritis terhadap pandangan-pandangan umum, prasangka-prasangka alamiah yang terkandung dalam asumsi ilmu atau yang berasal dari keasyikan dengan ilmu, tetapi yang bukan sendirinya merupakan hasil-hasil penyelidikan dengan metode yang ilmu memakainya.”[11]

D.    Obyek Material dan Obyek Formal Filsafat Ilmu

Sebagaimana kajian filsafat pada umumnya, Filsafat Ilmu juga berusaha mencari dan menemukan esensi dari sebuah ilmu. Setiap ilmu pengetahuan tidak bisa dipisahkan dari kerja-kerja filsafat dan melalui filsafat inilah hakekat ilmu pengetahuan dapat diketahui.
Begitupun halnya dengan Filsafat Ilmu yang berusaha mengungkap hakekat ilmu pengetahuan. Bagi Filsafat Ilmu, keberadaan setiap ilmu pengetahuan merupakan objek material yang menjadi bahan kajian di dalamnya. Dengan mengkaji ilmu pengetahuan sebagai objek materialnya, Filsafat Ilmu dapat menjelaskan seperti apa bangunan ontologis, epistemologis dan aksiologis dari sebuah ilmu dan sekaligus membedakannya dari pengalaman biasa manusia (knowledge).[12]
Sementara objek formal Filsafat Ilmu adalah teori-teori pemikiran yang berbicara tentang kebenaran ilmiah sebuah pengetahuan. Dari kajian inilah kemudian dapat diketahui seperti apa hakekat, metodologi dan kemampuan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia. Dalam Filsafat Ilmu, kajian mendetail tentang ilmu pengetahuan menjadi awal dari kajian ilmu pengetahuan itu sendiri sehingga dengannya dapat diketahui adanya klasifikasi ilmu sebagai pengembangan dari teori-teori ilmu dengan berbagai disiplin yang beragam.   
Sampai disini dapat kita pahami bahwa tidak ada kata selesai dalam Filsafat Ilmu. Semua ilmu pengetahuan berikut teori-teori pembangunnya dapat selalu dikaji seiring dengan perkembangan zaman yang melingkupi kehidupan manusia.  

E.    Penutup dan Kesimpulan

Dari uraian di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan, antara lain:
a.      Filsafat Ilmu merupakan penyelidikan tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk memperolehnya. Dengan kata lain, Filsafat Ilmu sesungguhnya merupakan pengetahuan lanjutan dari pengetahuan-pengetahuan yang sudah ada sebelumnya.
b.     Filsafat Ilmua juga merupakan bagian dari epistemology (Filsafat Pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji tentang hakekat ilmu (Pengetahuan Ilmiah).
c.      Kedudukan Filsafat Ilmu dalam pengembangan ilmu pengetahuan dapat dikelompokkan kedalam dua posisi, yakni sebagai cabang dari filsafat umum dan sebagai pendekatan dalam pengkajian dan pengembangan ilmu pengetahuan.
d.     Obyek material Filsafat Ilmu tidak lain adalah ilmu pengetahuan itu sendiri. Sedangkan obyek formalnya adalah hakekat (esensi) ilmu pengetahuan serta problem-problem pengetahuan.

F.     Daftar Pustaka

Al-Attas, Naquib, Science and Objective in Islamic Education, Jeddah:King Abdul Aziz, 1979.
Benjamin, A. Cornelius, Science Philosophy of, dalam Dagobert D. Runes, ed., Dictionary of Philosophy, Totowa:Littlefield, Adams, 1975.
Hadiwijono, Harun, Sari Filsafat Barat Jilid I, Yogyakarta:Penerbit Yayasan Kanisius, t.th.
Macmurray, John, The Boundaries of Science; A Study in the Philosophy of Psychology,(London:Faber and Faber, 1957.
Saefuddin Anshari, H. Endang, Ilmu, Filsafat dan Agama, Surabaya:Penerbit PT Bina Ilmu, 1979.
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta:Liberty, 2010.





[1] The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta:Liberty, cet. VIII, 2010), hlm. vii
[2] Filsafat Ilmu, diterbitkan oleh Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2005, hlm. 3
[3] Rizal Muntasyir, Misnan Munir, Filsafat Ilmu (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 53
[4] Robert Ackermann, The Philosophy of Science: An Introduction, 1970, hlm. 19
[5] H. Endang Saefuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama (Surabaya:Penerbit PT Bina Ilmu, 1979), hlm. 75
[6] Harun Hadiwijono, Sari Filsafat Barat Jilid I (Yogyakarta:Penerbit Yayasan Kanisius, t.th), hlm. 7
[7] Muhammad Naquib Al-Attas mengistilahkan pengetahuan sebagai al-‘ilmu, sementara ilmu pengetahuan sebagai al-‘ulum. Lihat Muhammad Naquib Al-Attas, Science and Objective in Islamic Education (Jeddah:King Abdul Aziz, 1979), hlm. 5
[8] The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu.,op.cit.,hlm. 57
[9] Lewis White Beck, Philosophic Inquiry: An Introduction to Philosophy (New York:Prentice Hill, 1952), hlm. 16
[10] A. Cornelius Benjamin, Science Philosophy of, dalam Dagobert D. Runes, ed., Dictionary of Philosophy (Totowa:Littlefield, Adams, 1975), hlm. 284
[11] John Macmurray, The Boundaries of Science; A Study in the Philosophy of Psychology (London:Faber and Faber, 1957), hlm. 26
[12] Tim Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Filsafat Ilmu (Yogyakarta:Suka Press, 2005), hlm. 12-13

Kandata

https://ecs3.tokopedia.net/newimg/product-1/2014/9/13/225016/225016_936c1958-3ac3-11e4-81ce-9bd64908a8c2.jpg
Sebentar lagi puasa. Dengannya kita belajar menggerus egoisme dalam dada. Namun sebelum itu, mari dengarkan terlebih dahulu pitutur Ryunosuke Akutagawa. Dia pernah menulis cerpen berjudul The Spider's Thread (Suatu Hari Di Surga dalam terjemahan Anton Kurnia). Dalam cerpennya itu Akutagawa bertutur tentang seorang pendosa bernama Kandata yang disiksa di neraka karena selama hidupnya melakukan banyak dosa. Bahkan di sekujur umur hidupnya, ia jejali dengan taburan kejahatan demi kejahatan. Kejahatan yang dilakukan Kandata tak tanggung-tanggung. Ia merampok, membunuh dan membakar rumah-rumah. Sebuah kejahatan yang sungguh biadab karena telah merampas dan menghancurkan harapan banyak orang.
 
Meski demikian, ada satu kebajikan yang pernah dilakukan oleh Kandata yang membuat Sang Budha berniat mengangkisnya dari neraka. Semasa hidup, saat Kandata sedang berjalan-jalan di tepian hutan, kedua matanya melihat ada seekor laba-laba yang merambat di atas jaring-jaringnya. Kandata pun mengangkat kakinya dan bermaksud menginjak serta meremukkan laba-laba tadi. Tapi niat jahatnya itu ia urungkan sendiri.
 
"Ah, tidak, tidak. Sekecil inipun dia mempunyai nyawa. Alangkah memalukannya bila aku membunuhnya tanpa alasan." Demikian pikir Kandata yang kejam itu. Dan inilah satu-satunya kebaikan yang dia lakukan semasa hidup. Atas kebaikannya itulah Sang Budha berniat menolongnya. Di taman surga, Sang Budha melihat ada laba-laba yang bersarang diantara bunga-bunga terarai. Maka dengan kuasanya, Budha menjulurkan seutas jaring laba-laba ke dasar neraka tempat Kandata menjalani hukuman atas dosa-dosanya.
 
Betapa senang hati Kandata melihat seutas jaring laba-laba berayun-ayun di depannya. Tanpa pikir panjang, ia kemudian memanjat di seutas jaring laba-laba yang dijulurkan Sang Budha itu. Namun, berapakah jarak antara dasar neraka ke surga? Itulah pertanyaan yang tidak dipikirkan oleh Kandata. Ia hanya memanjat dan terus memanjat. Sebagai bekas penjahat dan perampok, memanjat seutas tali bukan masalah berarti bagi Kandata. Dengan penuh semangat ia terus memanjat. Ia merasa sudah jauh meninggalkan dasar neraka. Tapi bersamaan dengan itu denyar-denyar keletihan merambat pada tubuhnya. Saat letih ia berhenti dan kemudian memanjat lagi. Begitulah seterusnya.
 
Setelah merasa dirinya hampir mencapai surga, Kandata menengok ke bawah untuk memastikan seberapa jauh jarak antara dasar neraka dengan surga. Namun betapa terkejutnya Kandata karena di bawah sana, ternyata para pendosa lainnya juga sedang bergelantungan dan berebutan menaiki seutas jaring laba-laba yang sama. Kandata mulai gusar dan marah. Ia menganggap bahwa seutas jaring laba-laba itu tidak akan kuat kalau harus dipanjat oleh banyak orang. Karena tak ingin keinginannya untuk mencapai surga gagal, Kandata menghardik orang-orang di bawahnya.
 
"Hei, kalian para pendosa! Jaring laba-laba ini milikku. Siapa yang memberi izin kalian untuk ikut naik? Turun, turun!" hardik Kandata.
 
Tepat pada saat itu, jaring laba-laba yang sebenarnya tak menunjukkan tanda-tanda akan putus, justru tiba-tiba terputus tepat dimana tangan Kandata berpegangan. Maka terjunlah kembali Kandata dan pendosa lainnya ke dasar neraka, mencecapi kembali siksaan demi siksaan akibat dosanya yang kian berlapis. Melihat kejadian itu, Sang Budha pergi dengan hati sedih.
 
Egois. Barangkali itulah kata paling tepat untuk menggambarkan watak Kandata. Keinginannya yang terlalu tinggi untuk menggapai surga sendiri, meraih keselamatan yang hanya berorientasi pada pribadinya sendiri membuatnya merasa pantas mengancam dan mengabaikan orang lain yang justru memiliki harapan dan keinginan yang sama.
 
Cerita Ryunosuke Akutagawa yang terangkum dalam Antologi Cerpen Asia ini begitu sempurna mendedah tentang naifnya egoisme ketika ia sudah purna bersarang dalam kesadaran tiap-tiap orang. Di sini, egoisme bagai mata pisau bermata dua. Satu sisi, ia membuhulkan keyakinan begitu berlebih yang membuat seseorang terlalu percaya bahwa dia adalah segalanya sehingga dia merasa layak mendapatkan segalanya. Namun pada waktu yang bersamaan dia justru melupakan satu hal, bahwa 'segalanya' itu terlalu besar untuk hanya dinikmati oleh dirinya seorang saja. Itulah sebabnya ada ungkapan yang menyatakan bahwa kebenaran, kebaikan, kebahagiaan dan keselamatan, terlalu besar untuk dinikmati diri sendiri maupun kelompok kita sendiri.
 
Dari cerita ini, kita belajar satu hal bahwa, egoisme tidak hanya menelorkan keyakinan semu tak berbatas yang membuat seseorang terlalu yakin pada kebenarannya sendiri. Tapi di samping itu, egoisme juga sempurna membuat seseorang memandang secara picik bahwa yang selain dirinya tidaklah benar. Karena itu mereka dianggap tidak layak mendapatkan apapun. Termasuk keselamatan.
 
Sekarang, dalam realitas kehidupan kita sehari-hari, betapa banyak Kandata-Kandata baru yang bergentayangan di sekitar kita. Ada yang mengenakan baju agama, politik, organisasi-organisasi, madzhab-madzhab dan sebagainya. Mereka hadir mengibarkan bendera kebenaran di atas tafsirnya sendiri. Bagi mereka, sesuatu baru dianggap benar kalau berdasarkan tafsir yang mereka miliki. Di luar itu, tak ada kebenaran dan karenanya harus diluruskan. Tak peduli meski dengan cara-cara yang tidak benar sekalipun.
 
Ya, Tuhan! Menyaksikan para Kandata di zaman ini, yang merasa paling benar dan paling pantas menghuni surga bersama kelompoknya sendiri, saya jadi terngiang ungkapan Rumi, “Maha Besar Tuhan, Maha Benar Tuhan. Di kandungan langit, begitu banyak bulan. Kemah persembahyangan ini penuh bidadari. Hanya dari mata si buta mereka tersembunyi.”
 
Lewat cerpen ini, Akutagawa seakan ingin berkata, “Puasakan egoismemu. Bukan hanya perutmu.”

Jawa Pos, Minggu, 17 Mei 2015

Lagi, Duo Srigala dan Capitalisme Bermata Juling

Problem Eksistensialisme Dalam Kasus Susu-atunya Pamela Savitri

Dua Srigala
Saya sebenarnya takut disebut latah. Kesannya seperti orang yang tak punya pendirian, tak punya prinsip sehingga dengan mudah diombang-ambingkan arus bak nahkoda mabuk karena kebanyakan minum air laut campur solar. Tapi untuk masalah yang satu ini, saya tak bisa menahan diri untuk tidak ikutan latah. Apalagi sabab-musababnya cukup ‘menantang’ untuk membuat saya ikutan latah.

Dalam hati saya berkata, “Tidak apa-apa deh saya ikut-ikutan latah, apalagi dalam membicarakan susu-atu yang satu ini, heheee….”

Seperti yang Antum semua ketahui, beberapa waktu lalu, dunia maya di seluruh nusantara, yang semua masyarakatnya percaya kepada Tuhan, tiba-tiba heboh karena kasus beredarnya foto toples sekwildanya alias sekitar wilayah dadanya Pamela Savitri. Bahkan sebenarnya sampai sekarang kasus beliaunya masih tetap hangat karena menyangkut susu-atu tentang beliau yang emang ‘hangat’ banget untuk dilihat, apakalagi didekati dan lalu…..ah, lanjutin sendiri deh, saya sudah kehabisan kata buat ngelanjutinnya.

Bagi peselancar dunia maya, tampaknya mustahil tidak kenal nama Pamela. Personel Duo Srigala ini berhasil membetot ribuan pasang mata saat media mengorbitkannya sebagai penyanyi dengan ciri khas goyang driblenya yang seandainya dilihat oleh orang yang iman sama imronnya lemah, pastilah dia bakalan susah tidur. Kalaupun bisa tidur, pastilah dia berharap bisa bermimpi menyusuri ‘puncak’ susu-atunya si dia. Aih…susu-atu lagi, Dab!

Kira-kira kalau ada pertanyaan mengenai apa yang fantastis dan heboh dari Pam selain goyang driblenya? Semua orang tampaknya akan sepakat dengan satu jawaban. Itunya itu lho….nampol banget. Apalagi dianya juga kreatif memanfaatkan itunya itu. Haaa…itunya itu apaan sih. Ya, kira-kira itulah jawabannya. Tanpa kita sadari, Pam benar-benar ‘paham’ bagaimana seharusnya dia mengasah kreatifitasnya demi menancapkan eksistensi dirinya dalam dunia hiburan yang penuh persaingan mematikan bak kompetisi para gladiator. Hasilnya memang tokcer. Dengan goyang driblenya dia benar-benar berhasil menggapai impiannya menjadi seorang selebritis nasional.

Namun sepertinya, bagi dia, mengandalkan goyangan saja tidaklah cukup untuk mempertahankan raihan esksitensinya di dunia hiburan. Apalagi banyak artis senior yang juga tak kalah ngetop goyangan mereka, mulai dari goyang ngebor, goyang ngecor, goyang gergaji, goyang pacul, goyang sendok, goyang nyendok pacul sampai goyang kodok kesurupan. Melihat para seniornya itu, jelas Pam harus berpikir matang untuk bisa tetap menjaga dan mempertahankan eksistensinya agar dia tidak terjebak dalam kutukan kata-katanya Chairil Anwar, sekali berarti, sudah itu mati. Paling tidak media harus tetap menjadikannya sebagai objek berita. Berita tentang apa saja boleh, yang penting eksistensi tetap terjaga sebagai seorang seleb.

Lalu apa yang harus dilakukan Pam untuk itu? Yang jelas saya tak tahu pasti. Tapi kasus susu-atunya Pam jelas mendongkrak rating dan popularitasnya saat ini. Dulu ada juga kan anak band yang penjualan albumnya meroket tinggi bagai rudal scud-nya Irak setelah kasus tunggang-tungngannya sesama artis terbongkar. Entah beredarnya foto toples itu disengaja atau tidak, namun sulit untuk menepis lahirnya dugaan bahwa itu bisa saja bagian dari sebuah sensasi. Apalagi dunia selebritis sepertinya memang menganut satu paham tentang pentingnya sensasi itu sendiri. Lantas apakah dengan susu-atunya itu Pam sedang membangun sensasi demi mengukuhkan eksistensinya di dunia hiburan? Lah, tanya aja sendiri ke dia, Bro.

Yang jelas sensasi itu perlu dalam dunia keselebritisan agar masih ada orang yang tertarik melihat dan mengikuti beritanya. Bukankah selebritis tanpa berita, terutama berita yang heboh, itu nggak asyik kan. Yang tidak heboh pun harus dibuat heboh biar tivi tidak sepi. Apalagi artis yang sudah tidak banyak dipakai oleh produser dan tak lagi menarik minat para sponsor. Kepentingan mereka terhadap kehebohan jelas sangat tinggi, cin.  

Kalaupun kasus beredarnya foto susu-atunya si Pam itu memang disengaja sebagai sebuah sensasi demi mengukuhkan eksistensi dirinya, maka hal itu wajar-wajar saja dia lakukan meskipun akan muncul banyak tudingan, cacian dan pendapat-pendapat miring karenanya. Seorang ustadz mungkin akan berkata, “Jamaaaaah. Itu haram. Tak boleh karena mengumbar aurat. Agama mengecam keras tindakan yang begituan.” Menkominfopun pasti tak kalah ngerinya menanggapi hal itu sebagai sebuah tindakan pornoaksi yang efeknya bisa berbuntut ke ranah hukum.

Semua sah-sah saja memberikan komentarnya. Tapi ingat, untuk mempertahankan sebuah eksistensi, apalagi yang dibangun dengan banting tulang peras keringat tambah peras ‘susu’, itu tidaklah mudah lho. Bahkan pertimbangan rasio, moral, hukum apalagi pertimbangan agama dan ajaran kebenaran tidaklah ngefek. Begitu kata Blackham ketika berbicara soal eksistensialisme. Menurutnya, eksistensialisme adalah cara manusia berpikir tentang bagaimana dia dianggap ada dan diterima, sekalipun untuk itu dia harus berani menolak terhadap usaha rasionalisasi pemikiran tentang kebenaran, terutama bila semua itu dapat membuat yang bersangkutan tidak bisa eksis.

Coba tanya si Pam, apakah dia mau public menganggapnya sebagai seorang artis? awabannya pasti iya. Karena itu, dia harus berpikir untuk menjadikan dirinya ‘ada’, eksis dan diterima. Namanya juga dunia hiburan, yang semakin hari semakin ketat persaingannya, jelas dia harus tampil beda dengan yang lain. Dia tidak akan peduli bahkan pasti akan menolak seandainya ada seorang ustadz yang menyarankan, “Mbok itunya nggak usah diikut-ikutkan goyang drible. Bisa-bisa hancur nih moral umat.” Weee…..pasti dipelengosin nih ustadz. Kenapa? Karena sarannya itu jelas-jelas mengancam keinginannya untuk eksis. Apalagi susu-atunya itu justru mendukung dia sehingga bisa mencicipi ketenarannya seperti sekarang ini.

Tampaknya ada benarnya juga apa yang dikatakan Kierkegaarrd bahwa setiap pribadi membawa ‘kepenuhan’ eksistensi manusiawinya. Dan kepenuhan eksistensi ini terwujud pada keputusan bebas tiap-tiap manusia. Di dalam keputusan bebas itulah manusia menentukan dirinya sendiri, dia yang memutuskan kemana ia harus melangkah, dia yang berhak menentukan seperti apa dia harus bertindak untuk eksis. Ya, seperti Pam tentunya. Dia yang berhak menentukan sendiri secara bebas dengan cara dan melalui apa untuk bisa eksis.

Hufft….ngemeng apa to saya dari tadi. Sik, tak minum susu dulu! Glekk.….nyammm.

Lanjut ya. Kalaupun cara berpikir Pam sama seperti yang saya uraikan di atas, lantas sampai seberapa lama dia bisa bertahan. Bukankah sejatinya tidak ada yang abadi di dunia ini? Alamak….sok bijaknya saya ini. Tapi benar kan? Sekeras apapun usaha Pam dan selebritis lainnya mempertahankan eksistensi mereka dengan cara-cara yang terkadang bisa membuat kita mupeng seharian, toh itu semua tidak akan bertahan lama. Selama kekuatan capital yang membekinginya masih menaruh cinta dan membutuhkan mereka, ya selama itulah eksistensi mereka tetap terjaga. Bila sudah tak dicintai dan tak lagi dibutuhkan, ya singkirkan aja.

Coba renungkan, susu-atunya Pam emang apa bedanya dengan susu-atunya simbok-simbok tetangga kita yang seringkali mereka hanya kutangan saja sambil kipas-kipas di teras rumah. Nggak ada bedanya kan, meski kelihatannya susu-atu mereka sama-sama zupernya dengan si Pam. Tapi kenapa punya simbok-simbok tidak tenar, tidak masuk tipi. Jelas karena punya simbok tidak ‘dicintai’ oleh capital. Jangankan dicintai, dilirik saja eneg. Beda dengan punggawa Duo Srigala ini yang begitu dicinta sama kapitalisme yang berwujud dunia hiburan itu.

Biar mudah memahaminya, dengarkan Rumi bersyair:

Suatu saat gandum harganya senilai dengan emas. Namun pada saat lain harganya senilai dengan kotoran. Meskipun nilainya berbeda, sesungguhnya bentuk gandum itu tetaplah sama. Nilai dan harga gandum disebabkan karena adanya rasa cinta terhadapnya….

Kita bisa membuat analogi seperti ini:

Sepasang susu itu bisa bernilai jutaan bahkan miliaran. Tapi pada saat yang sama ada sepasang susu yang nilai harganya bisa hanya puluhan ribu saja. Meski nilai dan harga sepasang susu itu berbeda, namun sepasang susu ya tetap sepasang susu. Tinggi rendah nilai dan harganya disebabkan karena ada yang ‘mencintai’ dan membutuhkannya.

Sekarang jawab, siapa yang paling besar rasa butuh dan ‘cinta’nya terhadap susu-atunya si Pam? Bukan kamu, Dab. Tapi ya capital itu tadi. Kalau dipikir-pikir, makhluk yang bernama capital itu jeli juga ya. Dia tahu banget dan bisa membedakan dengan tepat ‘susu’ siapa yang bisa ‘diperah’ dan ‘dihisap’.

Salut deh buatmu, Pam. Kapan-kapan boleh dong diajak minum susu bareng.



Kebumen, 2015.

Sajak Untuk Ibu

Ibu, tumpahkan semua kesusahanmu kepadaku
http://fc00.deviantart.net/fs15/f/2007/015/0/3/ibu_____by_msjeje.jpg
namun aku berusaha untuk tidak menumpahkan
sedikitipun
kesusahanku kepadamu

bila sejatinya aku lahir dari kesusahanmu
maka kuusahakan agar semata kabar bahagia
yang akan kulahirkan kepadamu

aku berdoa untukmu
dan berdoalah juga untukku, Ibu

ketika doa kita saling berpadu
bagiku
setiap hari adalah harimu, ibu

Gambarku

Bangunan Pertama Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy'arie
Bangunan Pertama Pesantren Hasyim Asy'arie
Museum Semarang
Skets Museum Semarang
Sudut Perkampungan China
Sudut Perkampungan China
Menara Jam Gadang
Menara Jam Gadang
Aula Asy-Syarqawi
Aula Asy-Syarqawi
Memperbaharui Perahu
Memperbaiki Perahu