Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » Hahh....!! Selametan Itu (Tak) Perlu….??!!

Hahh....!! Selametan Itu (Tak) Perlu….??!!

Pagi tadi, saya mengikuti pengajian yang dibawakan oleh seorang ustadz yang entah siapa namanya, saya lupa. Dalam pengajian itu, sang ustadz menyampaikan sebuah materi tentang perlu tidaknya atau benar tidaknya seseorang mengadakan selametan untuk mohon keselamatan.
http://sirojuth-tholibin.net/wp-content/uploads/2012/09/Selametan-bangunan-putri.jpg


Melihat penampilan sang ustadz, saya bisa menebak apa tanggapan beliau tentang selametan itu. Dan sebenarnya tema yang dibawakannya itu sangatlah sensitive karena mencoba melawan suatu tradisi yang sudah lama dilakukan oleh masyarakat dimana ia menyampaikan dakwahnya.
 
Hati saya ketar-ketir menanti bagaimana kelanjutan sang ustadz dalam memberikan ceramahnya, walau sebenarnya saya sudah bisa memahami apa kesimpulan beliau pada akhirnya. Dan….benarlah dugaan saya. Dengan mantap sang ustadz berkata;
 
“Selametan itu tidak perlu. Sebab tidak ada hubungannya dengan keselamatan yang kita harapkan. Di Barat, di Timur Tengah, tidak ada orang yang mengadakan selametan tapi mereka selamat. Itulah suatu bukti bahwa selametan itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan selamat. Karenanya selametan itu tidak perlu dilakukan. Bukannya selamat yang kita dapatkan, malah bisa jadi celaka karena dapat membuat kita melakukan syirik kepada Allah.”
 
Saya senyam-senyum saja mendengar ceramah sang ustadz yang usianya barangkali terpaut sedikit lebih tua dari saya. Saya mencoba husnudzdzan pada beliau bahwa beliau berkata demikian karena barangkali beliau tidak memahami siapa audiensnya. Atau bisa saja dia sudah paham namun dia sekadar belajar menerapkan apa kata Nabi, qulilhaqqa walau kána murran.
Lalu, benarkah selametan itu salah dan karenanya tidak perlu dilakukan? Benarkah selametan itu dapat membuat seseorang jatuh kepada kemusyrikan sebagaimana yang ustadz tadi sampaikan?
 
Dalam pandangan saya, selametan itu adalah bagian dari ikhtiar seseorang dalam rangka memohon keselamatan kepada Allah. Sebagai sebuah ikhtiar, selametan itu barangkali sama dengan peristiwa dimana seorang shahabat datang kepada Nabi dan kemudian dia biarkan untanya tanpa diikat. Nabi berkata, “Kenapa tidak kau ikat untamu itu?” Si shahabat menjawab, “Saya tawakkal kepada Allah.” Dengan tersenyum Nabi menjawab, “Ikat dulu untamu. Barulah setelah itu kau tawakkal.” Artinya, ikhtiarlah dulu dan urusan hasilnya, biarlah takdir Allah yang menentukan.
 
Sebagai sebuah ikhtiar, selametan itu juga tak jauh berbeda dengan seseorang yang membiarkan api kompor di dapurnya tetap menyala di malam hari. Kemudian orang itu pergi tidur sambil berkata, “Kalau Allah tak menghendaki rumahku terbakar, maka tidak akan terjadi kebakaran meski api kubiarkan tetap menyala semalaman.”
 
Dalam kasus ini, niat tawakkal orang tersebut benar. Tetapi sayangnya  tidak dibarengi dengan ikhtiar yang sempurna. Itulah sebabnya kenapa Nabi mengatakan, “Janganlah kalian meninggalkan api dalam keadaan menyala di rumah ketika kalian hendak tidur.”  Artinya, jangan buru-buru meninggalkan ikhtiar sesuai kemampuan kita dengan semata-mata berdalih bahwa kita tawakkal kepada Allah. Sebab kita tidaklah tahu seberapa tangguhnya kadar keimanan dan ketawakkalan kita kepada-Nya.
Beda halnya dengan Abu Bakar yang ketika ditanya oleh Nabi, “Seberapa banyak harta yang akan kau sumbangkan untuk Islam, wahai Abu Bakar?” Dengan mantap ia menjawab, “Seluruhnya.” Lalu Nabi kembali bertanya, “Bagaimana dengan urusan keluargamu?” Dengan kemantapan yang sama Abu Bakar menjawab, “Urusanku dan keluargaku, biarlah kuserahkan pada Allah dan Rasul-Nya.”
 
Level keimanan dan ketawakkalan Abu Bakar kepada Allah jelas tak akan mungkin terkejar oleh siapapun di antara kita. Orang semacam beliau seakan mengacuhkan pentingnya ikhtiar berkaitan dengan urusan-urusan duniawi karena begitu jumbuh, kuat dan menyatunya keimanan dan ketawakkalan beliau kepada-Nya. Tak heran kalau Nabi pernah berkata, “Suatu malam aku menimbang imannya Abu Bakar dengan imannya umat Islam di seluruh dunia. Ternyata, imannya Abu Bakar jauh lebih berat.”
Lalu, apakah ikhtiar memohon keselamatan dengan mengadakan selametan itu salah dan tidak perlu?
 
Saya tidak ingin menyalahkan dan membenarkan tradisi itu. Tapi,  barangkali penting dilihat terlebih dahulu seperti apa tata cara pelaksanaannya. Sejauh yang saya tahu, selametan di beberapa daerah itu memiliki tata cara yang bermacam-macam. Di Madura, selametan dilakukan salah satunya dengan menyediakan sepiring nasi tumpeng, air bunga, lentera mengambang (dhamar kambhang), kue-kue serta menyisipkan uang di atas piring yang dijadikan tempat kue-kue tersebut. Kemudian orang yang mengadakan selametan mengundang seorang guru ngaji yang diminta untuk membacakan surat-surat dalam Al-Qur’an dan kemudian berdoa.
 
Nasi tumpeng itu kemudian diberikan kepada si guru ngaji, sementara kue-kue dan uangnya biasanya diberikan terutama kepada anak-anak yatim seraya yang bersangkutan berkata, “Doakan saya sekeluarga semoga selamat ya..” Kemudian air bunga itu diminum oleh semua anggota keluarga dengan membaca basmalah terlebih dahulu. Terkait dengan apa yang terjadi dengan air yang dibacakan kalimat-kalimat yang baik semisal Al-Qur’an, penelitian modern sudah menemukan hasilnya.
 
Sampai di sini, saya tidak menemukan sesuatu yang patut dipersalahkan terkait dengan selametan sebagaimana di atas. Niatnya baik, tata caranya baik, dan kepada siapa kita memohon keselamatan juga benar karena semata-mata ditujukan kepada Allah SWT.
Tradisi selametan barangkali patut dikoreksi kebenarannya apabila tata caranya sudah agak menyimpang dari aturan Islam, apalagi sasaran dari doa keselamatan yang kita harapkan tidak murni ditujukan kepada Allah. Misalnya mengadakan selametan dengan pesta pora dimana banyak makanan yang terbuang-buang (mubadzir) percuma, selametan dengan hura-hura dan sebagainya. Tradisi selametan semacam itu memang perlu dikoreksi, namun harus tetap menggunakan tata cara yang santun serta harus dicarikan penggantinya sebagai sebuah solusi alternative. Kurang arif rasanya apabila kita hanya bisa melarang sesuatu tetapi kita tidak bisa memberikan alternative lainnya. Kita mungkin perlu meneladani bagaimana para wali penyebar agama Islam di tanah Jawa melakukan upaya-upaya kreatif sebagai sebuah alternative dalam merubah tradisi Jawa yang menyimpang menjadi selaras dengan kaidah Islam.
 
Kemudian apakah selametan itu dapat menyebabkan seseorang terjatuh dalam kemusyrikan atau tidak, hal ini juga perlu penelitian yang serius dan bijaksana. Menurut saya, kemusyrikan itu tidak semata-mata terletak pada seperti apa bentuk perbuatan yang dilakukan oleh seseorang, melainkan juga harus dikembalikan pada hati si pelakunya, yakni kepada siapa dia bergantung. Karena itu, sangatlah berbahaya menghukumi seseorang sebagai orang yang musyrik apabila hanya melihat pada perbuatannya semata di samping yang benar-benar memahami apakah seseorang itu musyrik atau tidak hanyalah Allah semata. Kemusyrikan adalah urusan keimanan dari masing-masing pribadi dengan Tuhannya. Sementara kita hanya berhak mengingatkan, tanpa harus memberikan hukuman yang berlebihan.
 
Karena itu, sangatlah berlebihan apabila kita menilai orang yang mengadakan selametan sebagaimana di kampung saya itu sebagai perilaku musyrik mengingat kami tetap memohon dan bergantung kepada Allah. Selametan itu hanyalah ikhtiar fisik semata yang dengannya kami belajar menggugah kekhidmatan di dalam berdoa kepada-Nya. Persoalan ikhtiar fisik berupa selametan itu perlu dilakukan atau tidak, kita kembalikan lagi kepada yang bersangkutan tanpa mereka harus dipaksa untuk meninggalkan tradisi itu. Sejauh dalam tradisi selametan itu kita tetap bergantung kepada Allah, serta tidak ada perilaku yang menyimpang dari tuntunan agama, menurut saya tidak ada salahnya selametan dilakukan. Tetapi kalau sudah menyimpang, maka disitulah diperlukan adanya koreksi dan sekaligus kita harus dibuatkan alternative lain yang tetap dapat menjamin kekhidmatan mereka dalam beribadah kepada-Nya. Dengan kata lain, jangan sekadar mampu melarang namun lemah dalam memberikan metode dan cara-cara yang lain. Sebab semua orang pasti mampu kalau sekadar melarang-melarang tetapi tidak semua orang mampu memberikan lain tawaran.
 
Selanjutnya, apabila kita menilai bahwa seseorang itu musyrik hanya berdasarkan pada cara mereka berbuat sesuatu, maka sangatlah besar peluang kita untuk terjatuh dalam buruk sangka (husnudzdzan). Kalau saya duduk bersila di depan sebatang pohon besar yang oleh orang lain dianggap keramat, apakah kemudian saya dianggap musyrik hanya karena saya berada di situ? Belum tentu, bukan. Padahal bisa jadi saya berada di situ tidak lain hanya sekadar mengagumi keagungan Allah, betapa kuasanya Dia yang telah menciptakan pohon sebegitu besarnya dan memberikan kehidupan hingga ratusan tahun lamanya. Atau saya di situ sedang membaca ayat kursi sambil berdoa kepada Allah agar jin-jin dan setan yang ada di pohon besar itu segera dijauhkan agar masyarakat di sekitarnya tidak lagi takut karena menganggapnya angker. Kalau begitu, Anda kecele, bukan? Buruk sangka, bukan?
Maka sekali lagi, kemusyrikan itu jangan hanya dinilai dari apa dan bagaimana perbuatan seseorang mengingat kemusyrikan itu adalah wilayah hati, wilayah keimanan yang tak seorang pun sanggup memahaminya selain Allah. Tabayun-lah terlebih dahulu, koreksilah terlebih dahulu, lakukan konfirmasi dan penelitian mendalam agar kesimpulan yang diambil tidak bersikap serampangan dan benar-benar mencerminkan bahwa kita ini benar-benar seorang ulama.
 
Seorang sufi di suatu hari sedang menimang-nimang batu akiknya. Lalu datanglah seseorang yang bertamu kepadanya. “Apa yang kau lakukan dengan batu itu?” tanya si tamu. Si sufi menjawab, “Batu ini sungguh memberikan berkah yang luar biasa kepadaku,” jawab si sufi sambil terus menimang-nimang batu akiknya. Si tamu kemudian berkata, “Kau musyrik, Syekh. Kau telah percaya pada batu, bukannya pada Allah. Padahal kau ini guru sufi dan memiliki banyak murid pengikut.” Dengan tersenyum, si sufi menjawab, “Kau ini yang bodoh. Coba kau lihat batu ini. Lihat…dan katakan apa yang kau lihat di dalam batu itu?” kata si sufi sambil menyerahkan batu akiknya pada si tamu. Setelah lama si tamu melihat batu akik itu, ia kemudian berkata bahwa dia tidak melihat apa pun selain warna biru batu itu. “Kau benar-benar bodoh. Padahal dengan melihatnya, aku merasakan kebesaran, kekuasaan dan keindahan Allah yang tak terhingga meski hanya lewat sebongkah batu ini. Lihat ran rasakanlah kebesaran Allah pada setiap sesuatu yang kau pandang, niscaya tauhidmu akan tegak menjulang.” Begitulah kata si sufi. Sementara si tamu hanya tertunduk dalam. Ia terkecoh karena melihat dan menilai si sufi hanya dari perbuatannya semata sebelum ia sempat mengoreksinya.
 
Jadi, renungkanlah Allah berfirman;
 
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan salam" kepadamu: "Kamu bukan seorang mukmin" (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya atas kamu, maka telitilah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan,” (QS. An-Nisa’ : 94).  
 
Kepada pak ustadz, saya akan lakukan selametan khusus buat panjenengan agar panjenengan sekeluarga selamat.

  

0 komentar:

Posting Komentar