Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » HIDUP ITU TURNAMEN ABADI

HIDUP ITU TURNAMEN ABADI

https://www.pixoto.com/images-photography/news-and-events/world-events/lomba-lari-5772749444218880.jpg
Dalam suatu kesempatan mengikuti acara darling-an (tadarus keliling) yang waktu itu dilaksanakan di Asrama Garawiksa, seperti biasa, Romo Kiai Edi Mulyono memberikan kulsum alias kuliah sepertinya sepuluh menit dengan menyitir beberapa ayat dalam Al-Qur'an. Kamis malam, 11 Februari 2016 lalu, beliau membahas surat Al-Hadid ayat 21-24.
 
Tentu banyak hal yang dibahas saat itu. Tetapi sepertinya saya tertarik untuk memahami idiom perlombaan sebagaimana menjadi frasa awal pada ayat 21. Di sana Allah berfirman, "Berlomba-lombalah kamu kepada -mendapatkan- ampunan Allah yang luasnya seluas langit dan bumi...." 

Sependek pengetahuan penulis, dalam Al-Qur'an setidaknya terdapat 7 ayat yang berisi idiom lomba/perlombaan, yakni dalam surat Al-Baqarah: 148, Al-Maidah: 48, Yusuf: 17 & 25, Yasin: 66, Al-Hadid: 21 dan Al-Muthaffifin: 26. Enam di antaranya menggunakan kalimat yang berakar pada kata sabaqa, sementara satu menggunakan kalimat yang berakar pada kata tanafasa. Keduanya diterjemahkan sebagai berlomba-lomba/berlomba-lombalah dan seterusnya.
 
Apakah antara sabaqa dan tanafasa merupakan dua kata yang mengandung murádif atau sinonim? Kalau melihat dari hasil terjemahnya, sangat tampak bahwa keduanya memang seperti dua kata yang bersinonim. Namun dalam kajian hermeneutika kontemporer, terutama melalui kajian linguistik disebutkan, bahwa tidak ada sinonimitas dalam Al-Qur’an. Menganggap ada sinonimitas dalam Al-Qur’an sama saja dengan membuka peluang bagi terjadinya reduksi terhadap konsep-konsep yang terkandung dalam setiap term-term kunci dalam Al-Qur’an.
 
Tak percaya..!? Tanya saja Muhammad Syahrur. Dia salah satu pemikir controversial asal Syiria yang tidak setuju bahwa kata-kata seperti Al-Kitab, Al-Furqan dan Al-Dzikr adalah sinonim dari Al-Qur’an. Bagi Syahrur, Al-Kitab, Al-Furqan dan Al-Dzikr adalah term-term yang mengandung konsep sendiri-sendiri. Demikian halnya dengan Al-Qur’an. Tapi, selama ini kita sudah terlanjur memahami bahwa Al-Kitab itu ya maksudnya Al-Qur’an, begitu juga dengan term Al-Furqan, Al-Dzikr. Tapi sudahlah, kita kembali saja pada soal perlombaan tadi.
 
Pertama, hidup ini sesungguhnya merupakan arena tempat manusia berlomba-lomba. Dari keenam ayat di atas, setidaknya ada tiga poin penting berkaitan dengan perintah berlomba-lomba, yaitu berlomba melakukan kebaikan, berlomba memperoleh ampunan Tuhan dan berlomba menggapai surga-Nya. Menariknya, ketiganya saling berkaitan erat sebagai suatu aktivitas yang harus dilakukan manusia untuk memperoleh ridha dan pertolongan-Nya.
 
Ibnu Katsir memahami ayat beromba-lombalah dalam kebaikan pada surat Al-Maidah: 48 misalnya sebagai perintah agar manusia bersungguh-sungguh dalam melakukan ketaatan kepada Tuhan dengan mengikuti semua aturan (syariat) yang tertera dalam Al-Qur’an. Titik tekannya di sini ada pada keberadaan Al-Qur’an yang telah mengganti dan menyempurnakan syariat-syariat sebelumnya. Jadi, maksud berlomba dalam kebaikan di sini adalah kebaikan-kebaikan yang didasarkan pada semangat dan spirit moral Al-Qur’an.
 
Sementara At-Thabari menjelaskan bahwa perintah berlomba dalam kebaikan sebagaimana tertera pada surat Al-Maidah di atas akan tercermin dengan cara membiasakan diri secara konsisten melakukan perbuatan-perbuatan yang diperintahkan dalam Al-Qur’an (biidmánil ‘amali bimá fí kitábikum alladzí anzalahú ilá nabiyyikum). Gagasan At-Thabari ini, hemat saya, lebih menekankan pada metode akan terwujudnya perlombaan itu sendiri. Sementara Ibnu Katsir pada gagasan tentang dari mana konsep kebaikan itu harus diperoleh.
 
Kedua, perintah agar manusia berlomba dalam kebaikan secara tidak langsung juga memberi peluang pada kita untuk memahami tentang gagasan-gagasan mengenai kebaikan itu sendiri. Kata al-khairat (jamak dari khair) pada petikan ayat yang berbunyi fastabiqu al-khairat jelas mengindikasikan betapa sesungguhnya ada banyak jenis kebaikan di dunia ini yang tersebar dimana saja serta bisa kita pelajari substansi pesan moralnya dan kemudian kita jadikan sebagai inspirasi untuk kemudian diterapkan dalam kehidupan kita sendiri.
 
Dugaan saya, mungkin inilah alasannya kenapa dalam surat Al-Maidah ayat 48 itu, sebelum Allah berfirman fastabiqu al-khairat, Dia lebih dulu menegaskan, ‘untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang,’ (lukullin ja’alna minkum syir’atan wa minhaja). Wallahu A’lam, saya hanya menduga-duga saja, bukan menafsir atau menta’wil. Namun bila dugaan saya bisa diterima, maka sesungguhnya kedua kalimat dalam satu ayat itu (likullin ja’alna….hingga… fastabiqu al-khairat) dapat dijadikan sebagai penguat terhadap gagasan akan pentingnya saling melakukan proses pembelajaran dan dialektika dengan siapa saja di dunia ini sehingga pada akhirnya akan tercipta apa yang oleh Bassam Tibbi disebut sebagai moralitas internasional, suatu parameter teoritis yang awalnya digunakan untuk mengatasi konflik peradaban antara Islam dan Barat.
 
Ketiga, luasnya gagasan-gagasan tentang kebaikan juga sebanding dengan luasnya pengampunan Tuhan sebagaimana tersirat dalam surat Al-Hadid ayat 21. Di dalam ayat tersebut Allah SWT memerintahkan agar manusia berlomba mendapatkan ampunannya (maghfiratin). Di situ Allah menggunakan frasa maghfiratin yang merupakan bentuk kalimat isim. Dalam studi Ulumul Qur’an disebutkan bahwa kaidah isim mengandung pengertian sebagai tetapnya sesuatu atau berlangsungnya sesuatu secara terus-menerus. 
 
Implikasi dari kata maghfirah yang berbentuk isim menegaskan betapa ampunan Allah akan selalu ada dan terbuka sampai kapan pun pada manusia selama mereka belum sakarat, dunia belum kiamat serta mereka tidak terjerumus dalam kemusyrikan. Maka berlomba-lombalah dalam menggapai pintu ampunan Tuhanmu, karena pintu ampunan-Nya selalu terbuka terus menerus sepanjang waktu. Sih!
   
Kebumen, 16 Februari 2016.
 

  

0 komentar:

Posting Komentar