Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » Aku, Kamu, Kita dan Syiah...

Aku, Kamu, Kita dan Syiah...

Coba pikirkan. Saat ke hadapan orang-orang yang bernaung di bawah bendera Sunni, Pendekar Khilafah dan Ahlul Cingkrang disodorkan kata Syiah, apa kira-kira yang terletup di benak mereka? Banyak letupan tentu, mulai dari 'mereka bukan Islam, rayap agama, musuh yang harus dibasmi' dan masih banyak lagi letupan-letupan lain yang intinya menempatkan si Syiah sebagai yang tidak baik. Demon. Dan itulah prejudice.
 
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi7qGfUsRUeASP6btq17TWNodk1EFcF2t_I0blOyDc1zzDsUHM3C7cCFgT6qRH4cvAVb0WDpPHmvLc68YHmbDv2oXuO_4cjJZklPJffqrxDUaaq3E9d22Mr9goCV3Gza4KQEP2pdla40n1i/s1600-h/1Bedaween.jpg
Gampangnya, prejudice itu adalah gambaran-gambaran kesimpulan yang sudah diambil seseorang saat melihat/menilai sesuatu jauh sebelum dia meneliti tentang sesuatu itu dengan detil. Dan seandainya diteliti dengan detil, sangat mungkin ada banyak hal yang tidak sepenuhnya sama dengan kesimpulan awal yang dia buat.
 
Sama seperti ketika orang mendengar kata Syiah tadi. Yang muncul pertama kali di benak mereka adalah, mereka bukan Islam, harus ditumpas, harus dibenci sampai ke akar-akarnya dan seterusnya. Prejudice awal yang dibangun bahwa Syiah bukan Islam tentu menegaskan satu kenyataan bahwa yang bersangkutan memandang Syiah hanya dari sisi ideologisnya semata. Wajar saja begitu. Apalagi sikap alergi akan Syiah sudah dibangun mulai dari kegiatan-kegiatan intelektual beserta produk-produknya. Termasuk dalam wacana hukum Islam.
 
Contoh.  Saat Abdul Wahhab Khalaf dalam 'Ilmu Ushúli al-Fiqhi menguraikan tentang rukun ijma', beliau mengajukan untuk semata mempertimbangkan para mujtahid Haramain, Iraq, Hijaz, Alul Bait dan Ahlussunnah. Lalu menutupnya dengan kalimat Dúna Mujtahidi al-Syí'ah. Efeknya sungguh luar biasa. Karena kitab tersebut dipelajari secara suntuk di pesantren, tak ayal para kalangan pesantren yang nota bene Ahlussunnah seperti merasa terteror saat kata Syiah disebutkan.
 
Bolehlah Syiah dipandang demikian dari kacamata ideologisnya. Tapi Syiah apakah hanya memiliki sisi ideologi untuk diteliti? Tentu tidak. Syiah itu sebuah organisme yang hidup. Kita bisa mempelajari banyak aspek dari mereka seperti bagaimana cara mereka sekarang berpolitik, cara mereka berekonomi,  cara mereka belajar dan sebagainya. Dan untuk yang saya sebutkan terakhir ini saya sungguh kagum pada Syiah. Konon, salah satu kebijakan dalam dunia pendidikan yang diterapkan di Iran adalah melarang para pelajar mengutip buku apabila pengarangnya sudah mati. Alasan mereka simpel. Kalau ada kesalahan, kita tidak bisa melakukan konfirmasi.
 
Sepintas kebijakan itu terdengar konyol. Kalau tak boleh mengutip buku karena pengarangnya sudah mati, berarti di sana banyak sekali buku-buku terbuang percuma. Bagus tuh seandainya pergi kesana untuk jadi tukang rongsok kertas. Tapi selain terkesan konyol, saya justru melihat bahwa di balik kebijakan itu mungkin ada semacam harapan agar para pelajar di sana tidak terlalu bergantung pada pemikiran tokoh-tokoh sebelumnya yang sudah mati sehingga mereka tergerak untuk mencipta penemuan dan pemikiran yang baru. Selain itu, disarankannya untuk hanya menggunakan referensi buku yang penulisnya masih hidup mungkin agar dengan demikian para pelajar dapat selalu bertukar pikiran, saling melakukan koreksi, saling bertukar wacana dengan si pengarang sehingga buku itu dapat selalu menemukan pengkayaan demi pengkayaan pemahaman yang bisa terjadi akibat terciptanya suasana dialogis yang terus menerus. Itu sih dugaan saya. 
 
Intinya, ada banyak sisi dari Syiah yang bisa kita pelajari selain hanya memandangnya dari aspek ideologi mereka. Dan tidak menutup kemungkinan dengan mempelajari sisi-sisi Syiah lainnya, kita justru bisa mendapatkan ilmu, pengalaman dan inspirasi positif dari mereka yang bakal berguna untuk kita. Dan itu bisa terjadi kalau kita tidak menyimpulkan tentang Syiah hanya berdasarkan prejudice belaka. Siapa tahu kan..!?
 
Kesadaran-kesadaran seperti ini saya rasa penting kita miliki. Setidaknya dengan begitu hati kita tidak hanya terisi oleh semata-mata kebencian demi kebencian. Saya terkesan ketika istri mendiang Gus Dur ditanya oleh Andy dalam acara Kick Andy; "Lebih senang mana, menjadi istri Gus Dur sebagai presiden, sebagai ulama, sebagai kiai atau apa?"
 
"Mau Gus Dur presiden, ulama, kiai atau orang biasa, saya selalu senang menjadi istrinya Gus Dur."
 
Dari jawaban itu mungkinkah kita bisa membuat analog yang hampir sama? Setidaknya kita bisa berkata misalnya, "Mau ada Syiah, Khawarij, Mu'tazilah, Sunni, saya akan selalu senang bila kita bisa hidup tenang berdampingan, saling mempelajari dan memahami untuk menguatkan dunia kemanusiaan."
 
Terus, kalau saya berbicara begini kamu akan menyebut saya sebagai Syiah? Ya, monggo. Tak tahlilan sik, nyong.
 
Kebumen, 13 Februari 2016   

0 komentar:

Posting Komentar