Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » Aku Rindu Jubah Abu Bakar

Aku Rindu Jubah Abu Bakar

Malampun kian larut. Ketika sunyi menebarkan lelap pada kelopak mata manusia, seorang lelaki terbangun dari tidurnya. Sebenarnya, kantuk yang hebat masih membebat di kedua matanya. Namun ia tak peduli. Direntangkanlah kedua tangannya sambil kemudian bangkit dan berjalan menuju pancuran di belakang rumahnya, tempat ia berwudhu ketika hendak melakukan shalat.

Rasa dingin karena masih ada sisa hujan seketika memantikkan rasa enggan bagi kedua tangannya untuk membuka penutup lubang pancuran itu dan lalu memercikkan bening air dingin ke wajahnya lewat tangkup kedua tangannya yang kasar dan legam.
Kalau bukan karena doa teramat penting yang ingin dipanjatkan malam itu, rasanya tak mungkin ia membiarkan tubuh kerempengnya disergap dingin yang begitu gigil. Akan lebih baik meringkuk di bawah selimut sambil mendekap tubuh istrinya yang penuh lemak. Dan ketika hendak masuk, istrinya yang gendut itu muncul di depan pintu. Seperti biasa, perempuan yang sudah lima belas tahun dinikahinya itu akan bangun malam-malam untuk suatu tugas yang tak mungkin ditunda atau diwakilkan. Kencing. Sesudah itu, seperti biasanya juga, ia akan kembali ke pembaringan. Melanjutkan suara ngoroknya yang memekakkan.
"Apa yang kau lakukan?" tanya istrinya.
"Seperti yang kau lihat. Aku baru saja mengambil wudhu."
Istrinya tersenyum dengan sedikit menyindir. "Aneh. Tidak biasanya kau bangun malam-malam hanya untuk wudhu. Memangnya ada apa?"
"Ssttt!" Lelaki itu meletakkan telunjuk kanannya di depan bibirnya yang hitam. "Jangan bilang siapa-siapa. Malam ini, aku ingin berdoa. Doa yang sangat penting. Aku berharap Tuhan akan mengabulkan. Kalau tidak, aku akan merasa sedih seumur hidupku."
"Memangnya doa apa yang akan kamu minta? Serius banget. Kedengarannya doa yang penting."
"Bukan hanya penting. Tapi bagiku, ini sangat penting."
"Jangan belagu. Katakan saja, apa doamu kalau aku boleh tahu."
Lelaki itu duduk di samping istrinya yang sudah siap melanjutkan kembali tidur malamnya. "Istriku. Tidak cukup sekadar tahu apa doa yang ingin aku panjatkan malam ini. Kalau perlu, kau pun harus ikut berdoa denganku."
"Memang apa doamu?"
"Aku ingin bermimpi bertemu Abu Bakar."
"Busyet. Doa macam apa itu. Aku kira kau mau berdoa supaya Tuhan memberi kita rizki yang banyak. Ternyata hanya minta supaya mimpi ketemu Abu Bakar. Memang siapa dia? Apa istimewanya dia buat kita. Lama-lama tingkahmu makin kelihatan gila. Berdoa saja sendiri sana. Aku masih ngantuk."
Perempuan penuh lemak itu menarik selimutnya. Membiarkan suaminya termangu-mangu sendiri di bibir kasur. Sejurus kemudian lelaki itu segera berlalu dari samping istrinya. Lalu menggelar sajadah kumal dan berbau di atas lantai. Dengan sisa-sisa ingatan pada doa shalat malam yang pernah dia pelajari beberapa tahun yang silam, lelaki itu dengan mantap mengangkat kedua tangan. Melantunkan pekik takbir di tengah malam yang dingin berbalut gerimis.
Shalat dua rakaat sudah selesai dikerjakan. Masih di atas sajadahnya yang buram warna hiasannya, lelaki itu duduk dan tertunduk. Hatinya meratap penuh pinta agar ia diperkenankan bertemu Abu Bakar walaupun hanya di dalam mimpi-mimpi tidurnya.
"Tuhan! Tak bisa lagi kutanggung kerinduanku untuk bertemu Abu Bakar walaupun hanya lewat mimpi-mimpiku semata. Aku ingin sekali melihat wajahnya, warna jenggotnya, senyumannya, deretan giginya saat dia tersenyum. Namun diantara keinginan-keinginan itu, ada satu keinginan yang paling aku idamkan. Perlihatkan kepadaku saat dia memakai baju untuk shalat yang separuhnya penuh sulaman dari daun-daun kurma."
Usai mengucapkan doa itu dalam hatinya, tiba-tiba air mata lelaki itu meleleh. Betapa hangatnya air mata itu hingga seakan-akan mampu mengganti sisa dingin akibat bekas air wudhu yang tadi dia lakukan.
Lelaki itu mengusap bekas air mata di pipinya. Dan masih dalam keadaan terduduk, ia memejamkan kedua matanya, menjalankan imajinasinya menuju sebuah tempat dimana Abu Bakar dulu berada di sana.
Dengan bekal ingatannya pada sejarah Abu Bakar yang pernah dia baca serta doa yang baru saja dipanjatkan dengan hati khusyuknya, lelaki itu semakin yakin bahwa keinginannya untuk melihat Abu Bakar meski lewat mimpi tak lama lagi akan segera terkabul.
Di luar, bunyi gerimis makin terdengar jelas. Diantara desau angin dan sedikit bunyi petir yang sesekali menyambar, lelaki itu seperti mendengar suara-suara dikejauhan. Ya, suara percakapan antara dua orang atau mungkin tiga orang. Tapi siapa yang masih bercakap-cakap di tengah malam sepi dan bergerimis seperti ini. Peronda? Tak mungkin. Tak ada yang bersedia ronda di malam-malam seperti sekarang. Pencurikah? Ah, mungkin saja. Tapi kalau benar mereka pencuri, tentu saja mereka adalah pencuri yang bodoh. Bagaimana mungkin mereka bercakap-cakap dengan suara terdengar jelas seperti itu.
Lelaki itu bangkit dan berjalan perlahan menuju ruang dapur. Suara orang yang bercakap-cakap itu sepertinya memang berasal dari belakang dapurnya yang tak terlalu besar. 
  
  

0 komentar:

Posting Komentar