Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » Lacan dan Baudrillard Bertabligh di Kebumen

Lacan dan Baudrillard Bertabligh di Kebumen

Catatan ini sebenarnya sudah lama mengendap dalam benak. Sekitar pertengahan September lalu, pasca bersuanya saya dengan satu fenomena sosial yang tak ayal membuat saya harus rela memikirkannya.

Waktu itu, saat menunggu istri belanja di pasar, saya istirah di depan sebuah salon. Di depannya, tiga sepeda motor terparkir. Tak ada yang menarik sebenarnya bagi saya. Sebab dimana-mana, yang namanya salon pasti tempatnya orang memanjakan penampilan. Bukan sedang tahlilan seperti yang dibid'ahkan oleh makhluk bercingkrang.

"Entar aku beli yang itu ya, Mbak. Berapa harganya? Dua ratus lima puluh? Ya, nunggu transferan dulu, hehe. Cerah nggak buat wajah?"

Ini hanya secuil obrolan mereka yang saya tangkap. Entah siapa. Tapi yang jelas perempuan muda. Saya baru yakin saat perempuan itu keluar dari dalam salon. Masih usia SMA rupanya. Berdua dengan temannya yang juga perempuan. Saat mereka berdua berlalu dengan motor Suzuki Satria FU-nya, seperti ada yang mereka tinggalkan di benak saya. Wabilkhusus tentang bagaimana seseorang begitu antusiasnya mengurus penampilan.


Tak ada yang salah memang. Setiap orang mesti harus memperhatikan dirinya sendiri. Tentang penampilannya, kesehatannya. Semuanya. Penampilan menjadi bagian inhern yang harus diperhatikan, terutama saat seseorang memiliki jadwal interaksi sedemikian padat dengan banyak kalangan. Maka tidak heran, bagi mereka yang berada di dalam lingkaran kehidupan jetset, para sosialita, artis, harus ada budget khusus untuk mengurus soal yang satu ini. Tak tanggung-tanggung, semuanya bisa mencapai angka jutaan.

Tetapi, apakah gadis muda barusan termasuk person yang sedang mendiami lingkaran kehidupan semacam itu? Entahlah. Pastinya mereka adalah satu dari sekian orang yang terobsesi untuk mengurus penampilannya sedemikian rupa. Dan itu tidak salah atau wajar bagi sebagian lainnya.

Zaman terus bergulir. Ya, dan semakin akan terus bergulir. Dalam tiap gulirannya ia selalu datang membawa gempita produk dengan prosesi penawaran yang membuat banyak orang seakan perlu mengikutinya, wajib mentaatinya, harus memilikinya. Termasuk produk untuk mengurus soal penampilan tadi.

Ada dua kekuatan -menurut saya- mengapa banyak orang harus bersikap demikian. Imaji dan janji. Produk kecantikan sedemikian piawainya menanam imaji yang dengan kekuatan kapitalnya mereka mampu menghadirkan sosok/figur (idola) publik untuk membantu meyakinkan sebanyak mungkin audiens bahwa mereka bisa digugah imajinya.

Imaji yang sudah berhasil digugah merupakan kesempatan potensial untuk dijadikan sebagai lahan menebar janji (spread promise). Tidak usah jauh-jauh. Lihat saja iklan sabun mandi. Lifeboy menjanjikan efek kesehatan bagi pemakainya sementara Lux menjanjikan efek kecantikan bagi pembelinya. Jika ingin mendapatkan dua manfaat itu; apakah berarti kita harus menggunakan dua sabun berbeda untuk setiap kali mandi? Terserah.

 Ini baru sabun. Belum ke kosmetik wajah. Ada kosmetik yang menjanjikan efek cerah, menghilangkan noda, mengubur flek, menyumbat minyak, menggusur komedo dan sekian janji lainnya. Janji itu sedemikian meyakinkan karena pada saat yang bersamaan kita dihadapkan pada hadirnya sosok-sosok jernih-kinclong yang tak dapat tidak telah sempurna menggugah imaji kita. "Aku ingin seperti dia," inilah etape pertama yang muncul diam-diam dalam benak. Selanjutnya, "Ya, nunggu transferan dulu." Sebuah ungkapan yang menyiratkan adanya keinginan untuk tetap memiliki sesuatu yang kita imajikan. Walaupun itu berat.

 Maka sampai disini saya dapat memahami apa kata Jacques Lacan saat dia berkultum tentang dua hasrat tubuh. Pertama, tentang hasrat menjadi. Dari hasrat inilah seseorang terobsesi untuk menjadi objek; objek kekaguman, objek pemujaan yang karenanya seseorang dapat dengan rela melakukan sesuatu sebagaimana yang mereka inginkan. Lebih tepatnya mereka imajikan.
 
Kedua, tentang hasrat memiliki sesuatu seperti yang dimiliki oleh orang lain. Berimaji ingin cantik seperti Dian Sastrowardoyo yang menjadi objek kekaguman banyak orang, maka kita akan pakai itu sabun Lux. Menanam keinginan untuk tampil cantik cerah seperti Inneke Koesherawati, tentu kita akan ikut pakai kosmetik Wardah. Begitulah seterusnya sampai kita melupakan sebuah kata. Lelah.

Apakah gadis muda yang keluar dari salon tadi sedang memerankan apa kata Lacan? Wallahu A'lam.

Tapi lamat-lamat terdengar juga tabligh Jean Baudrillard dari corong sebelah yang ngupas soal keutuhan diri. Katanya, "Saat kosmetik melapisi wajahmu, maka pada saat yang bersamaan wajahmu jadi terhapuskan. Wajahmu tak ada, hanya kosmetik yang tersisa. Bibirmu hilang, hanya lipstick.yang nampang. Kalau kau bertingkah seperti mereka yang kau idolakan, maka engkaupun lenyap bersama citra idolamu. Dan saat itulah dirimu dikuasai oleh sesuatu yang ada di luar dirimu dan engkaupun menjadi seseorang selain dirimu.".

Kedua gadis yang baru keluar dari salon itu pun lenyap dari pandangan. Sementara pada saat yang bersamaan istriku datang. Keringat membasahi wajahnya. Begitu kusam dan tak enak dipandang. Ada kontroversi dalam diri saya yang tiba-tiba berkecamuk. Haruskah saya katakan tentang kultum Lacan dan tabligh Jean tadi? Padahal melihat wajah kusamnya yang berlepotan keringat seperti itu, sungguh-sungguh saya kehilangan gairah. Adaowww...!!

0 komentar:

Posting Komentar