Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » Menjadi Bahagia Itu Tergantung Komitmen

Menjadi Bahagia Itu Tergantung Komitmen

Hidup itu nggak bisa ditebak. Kadang memberikan sesuatu yang membuat kita tersenyum bahagia, namun kadang juga memberi sesuatu yang bikin diri menangis penuh lara. Begitupun halnya dengan sebuah pernikahan. Ada suka dan juga ada duka di dalamnya. Keduanya menjadi ritme yang tidak boleh tidak harus dihadapi oleh siapa saja yang memutuskan menikah, berkeluarga.

Namun idealnya, setiap orang yang menikah pasti mengiginkan kebahagiaan. Ya jelas dong ya. Memang siapa juga sih yang ingin dalam pernikahannya ribut mulu, berantem mulu. Kalau hanya ingin berantem kan nggak harus menikah. Cukup bikin gara-gara sama preman pasar, jadilah!
 
Nah, mewujudkan kebahagiaan dalam sebuah keluarga itu bisa dibilang bukan pekerjaan yang mudah, meskipun pada akhirnya nggak akan sulit juga kalau kita serius mau melakukannya. Sebab yang diperlukan adalah komitmen bersama. Komitmen untuk apa? Komitmen untuk meraih kebahagiaan itu tadi.
 
Apa cukup hanya dengan sebuah komitmen? Bagaimana dengan materi? Materi penting juga sih, tapi bukan yang utama. Kalau kita berpikir bahwa kebahagiaan dalam sebuah keluarga itu sepenuhnya ditentukan oleh materi, maka kita akan kecewa. Sebab materi itu sifatnya bergantung pada siklus waktu. Hari ini kita punya uang, tapi entah besok. Selagi masih punya uang, kita bahagia. Lalu bagaimana saat uang kita berkurang atau bahkan habis. Apakah kebahagiaan itu juga akan berkurang atau bahkan ikutan habis?
 
Banyak fakta yang menunjukkan bahwa keluarga yang bergelimang materi terkadang penghuninya tidak bahagia. Cekcok tiap waktu. Namun ada juga keluarga yang sederhana, tapi kelihatan tenteram dan tenang. Kenapa Nabi Saw yang hidupnya miskin masih bisa berbahagia dengan keluarga-keluarganya hingga dari bibirnya keluarlah untaian kata yang begitu menakjubkan, "Rumah tanggaku laksana sorga bagiku (baitii jannatii)?" Kemungkinan besar karena beliau memiliki komitmen yang kuat untuk menciptakan kebahagiaan itu. Untuk itulah beliau mengingatkan bahwa "Sebaik-baik suami adalah yang berbuat baik bagi istrinya." Begitupun sebaliknya.
 
Jadi, mari kita berusaha membuat komitmen yang kuat untuk membahagiakan pasangan kita sehingga dari sana akan tercipta kehidupan keluarga yang juga bahagia. Salah satu caranya adalah dengan merawat rasa cinta. 
 
Kenapa harus cinta? Sebab, "Pernikahan yang berhasil menuntut jatuh cinta berkali-kali, namun tetap pada orang yang sama."
 
So sweet kan!?

*Catatan ini sekadar merefleksikan peristiwa pernikahan teman saya pada Kamis, 27 Februari 2014 kemarin. Semoga berbahagia kawan Najah & Cici.
 
 
 
 
 

0 komentar:

Posting Komentar