Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » Jahiliyah; Periode atau Watak?

Jahiliyah; Periode atau Watak?

http://figures.boundless.com/24955/full/plate8cx.jpe
Seringkali kita mendengar -biasanya melalui mimbar khutbah atau ceramah, kata-kata seperti, “Mari bersyukur kepada Tuhan yang telah mengeluarkan kita dari alam jahiliyah menuju alam islamiyah, alam yang penuh dengan cahaya keimanan.” Dan jamaah pun tertunduk. Sebagian mengangguk-angguk.

Pernyataan seperti itu sejatinya tak banyak menjelaskan fakta apa pun yang tersimpan di balik kata-kata ‘alam jahiliyah’. Setidaknya kita bisa bertanya; apa alam jahiliyah itu dan apa alam islamiyah? kapan terjadinya situasi jahiliyah dan apakah ia seketika menghilang dengan datangnya islam?

Selama ini, kita memahami bahwa zaman jahiliyah sangatlah identik dengan masyarakat Arab pra-Islam yang doyan menyembah berhala, penjudi, pemabuk dan senang perang, terutama atas nama klan. Bahkan ia dipahami sebagai zaman kebodohan, yang barangkali pengertian tersebut diambil dari akar kata yang membentuk istilah jahiliyah itu sendiri, yaitu jahl.

Tetapi, menisbatkan kata jahiliyah pada masyarakat Arab pra-Islam dan memaknainya sebagai masyarakat yang hidup dalam kebodohan, tentu merupakan kekeliruan besar. Bila yang dimaksud kebodohan di situ adalah kebodohan dalam mengenal Allah atau bertauhid, mungkin argumen itu bisa diterima. Tapi tidak dengan lainnya.

Meski demikian, istilah tersebut tidak bisa dibatasi hanya pada keadaan masyarakat Arab Mekkah sebelum datangnya Nabi Muhammad. Sebab sebagian pendapat mengatakan bahwa zaman jahiliyah itu juga terjadi antara periode Nabi Adam sampai Nabi Nuh dan kemudian antara Nabi Isa sampai Nabi Muhammad Saw. Bila demikian, masa-masa transisi sejak wafatnya seorang nabi hingga lahirnya nabi berikutnya kemungkinan di masa-masa itu bisa juga terjadi zaman jahiliyah. 

Mengartikan istilah jahiliyah sebagai kebodohan secara tidak langsung telah menjadikan istilah tersebut berdiri sebagai lawan dari istilah ilmiyah. Kebodohan vs Pengetahuan. Dan kurang tepat apabila kita memahami kebodohan dalam istilah jahiliyah itu sebagai kebodohan sebagaimana yang kita bayangkan seperti kurang intelek, tidak kreatif dan semacamnya.

Terhadap masalah ini, para ilmuwan sebenarnya telah dengan tegas menepis adanya anggapan bahwa masyarakat Arab ketika itu adalah masyarakat yang bodoh, kurang intelek dan tidak kreatif sehingga mereka sering kita sebut sebagai masyarakat jahiliyah. Bukti betapa inteleknya masyarakat Arab waktu itu tercermin salah satunya dari tantangan yang diberikan Allah agar mereka membuat satu ayat yang serupa atau mirip dengan Al-Qur’an seandainya mereka ragu bahwa Al-Qur’an itu firman Allah, melainkan ciptaan Muhammad.

Hingga saat ini, tidak seorang pun dari pakar bahasa Arab paling super sekalipun yang mampu membuat ayat sebagaimana Al-Qur’an. Bila demikian, tantangan yang diberikan Allah kepada masyarakat Arab waktu itu bukanlah tantangan yang asal dilontarkan. Allah menantang mereka karena mereka merasa sangat pandai dalam ilmu bahasa dan sastra (kenyataannya memang demikian) meskipun kemampuan yang mereka miliki pada akhirnya tidak juga mampu menandingi keagungan bahasa atau firman Allah SWT. Bahkan hingga hari ini.

Sejarah mencatat bahwa masyarakat Arab ketika itu begitu piawai membuat syair, di samping berdagang. Bahkan setiap tahun selalu ada festival yang mereka sebut sebagai Festival Okadz, sejenis pekan raya atau pasar malam yang di dalamnya tidak hanya berlangsung transaksi jual beli semata. Dalam festival itu, semua penyair datang. Mereka mengadu karya sastra dan membacakannya di depan publik. Syair terbaik akan dipilih dan kemudian digantung di sisi Ka’bah.

Lalu, bagaimana kita memahami istilah jahiliyah? Apakah istilah itu berhubungan dengan tempo, zaman atau ia sesungguhnya merupakan watak, karakter dari sebuah kepribadian manusia dan akan selalu ada sepanjang sejarah hidup manusia?

Dalam Al-Qur’an, terdapat beberapa ayat yang secara tegas menyebut kata-kata jahiliyah. Pertama, dalam surat Al-Ahzab ayat 33, Allah berfirman agar para wanita (istri-istri Nabi) tidak berhias sebagaimana wanita-wanita jahiliyah. Setelah larangan itu kemudian Allah mengikutinya dengan perintah shalat. Dalam konteks ayat tersebut, Allah mempertentangkan tingkah laku wanita jahiliyah yang suka berhias dengan shalat, zakat, mentaati Allah dan Rasul-Nya.

Bila demikian ayat itu berkata, menurut hemat saya, jahiliyah itu bukan lagi soal tempo, waktu atau zaman tertentu. Ia bisa muncul dimana saja, kapan saja sebagai sebuah watak, karakter. Ayat tersebut hanya merespon kebiasaan masyarakat di zaman Arab pra-Islam, dan kebiasaan itu tidak otomatis terkubur hanya dengan datangnya Islam.

Masalahnya kemudian adalah, ayat di atas seringkali disitir oleh sebagian kalangan yang begitu getol menyuarakan pentingnya berbusana ‘sesuai’ syariat Islam dan membenturkannya dengan kebiasaan wanita jahiliyah dalam berhias tanpa mempertimbangkan informasi sejarah tentang bagaimana sebenarnya wanita Arab pra-Islam dulu berbusana sehingga disifati sebagai wanita-wanita jahiliyah. Akibatnya, muncul gerakan-gerakan yang lancang menuding bahwa cara berkerudung khas wanita Indonesia tempo dulu sebagaimana berkerudungnya ibu Shinta Nuriyah misalnya, sebagai kerudung yang tidak Islami, berkerudungnya Hughes sebagai kerudungnya ala jahiliyah karena ada benjolan mirip punuk unta sebagaimana sebuah hadis Nabi berkata demikian. Dan sebagai gantinya, dimunculkanlah busana yang menurut mereka ‘Islami’ dalam bentuk hijab, kerudung lebar plus cadar.

Salahkah pakaian seperti itu? Tentu saja tidak salah. Yang salah barangkali adalah ketika tidak ada upaya untuk mengkaji lebih dalam tentang kebiasaan wanita Arab tempo dulu dalam berhias sebagaimana disinggung oleh ayat ‘jangan berhias dan berperilaku seperti orang-orang jahiliyah dahulu.’ Akibatnya kemudian tidak ada criteria yang jelas, yang bisa dipaparkan tentang berhiasnya wanita jahiliyah itu seperti apa, tingkah mereka seperti apa dan seterusnya. Karena tidak ada criteria yang jelas, maka siapa pun bisa dengan seenaknya memberikan statemen membabi buta.

“Pokoknya pakaian wanita yang selain hijab, tidak berjilbab, tidak bercadar, tidak memanjangkan baju hingga menutup kedua kakinya adalah gaya pakaiannya wanita jahiliyah, minimal bertingkap seperti wanita jahiliyah.” Yang begini ini kan parah. Apalagi bagi muslimah di Papua yang setiap hari bisa keluar-masuk hutan, gunung demi mencari sagu. Atau bagi muslimah pedesaan yang biasa ikut menanam padi di sawah. Mosok cadaran, hijaban, dengan baju lebar yang menutup kedua kaki?   

Uraian Fuad Hashem tentang kebiasaan dan perilaku wanita Arab pra-Islam barangkali dapat dijadikan sebagai salah satu rujukan untuk memahami kebiasaan mereka sehingga Islam kemudian melarang istri-istri Nabi mengikutinya. Konon, para wanita Arab pra-Islam dinilai melalui fisiknya, mulai dari rambut, pipi, kelopak mata dan bibir. Selain itu, mereka juga dinilai dengan caranya berdandan. Mereka mengenakan wewangian dan selalu membawanya di dalam saku setiap kali pergi. Wewangian menyebar dengan lewatnya seorang wanita.

Tak cukup sampai di situ, mereka juga mengenakan pakain dengan asesoris yang mencolok. Pakaian mereka panjang menyapu-nyapu tanah, sangat longgar, bagian depan terbelah tetapi ada kancing di bagian leher. Sehelai selendang melilit di pinggang. Cadarnya dibuat dari tenunan tipis lagi jarang, terkait pada lingkaran di kepala, dirias dengan mata uang dan jalinan mutiara dan menggantung sampai kaki.

Bila mereka berasal dari keluarga bangsawan, pakaian yang dikenakan bukan dari sembarang bahan; baju sutera, linen dengan warna yang mereka sebut ‘lembayung raja’, warna yang diperoleh dari kelenjar kista kecil yang terdapat di dekat kepala kerang murex, dicampur air dan dibasahkan ke linen. Bila terkena sinar matahari warnanya berubah menjadi lembayung merah cerah dan ini biasanya dikenakan oleh mereka yang berasal dari bangsawan dan hartawan. Bahkan semua perhiasan paling mahal yang dimiliki mereka jalin dengan seutas benang sutera dan jadikan sebagai asesoris yang menempel di pakaian mereka, menjuntai-juntai dan mereka kenakan kemana saja mereka pergi. Entah ke pasar dan lebih-lebih ke tempat-tempat dimana mereka menyembah berhala.

Maka menurut saya (maaf, bukan manafsirkan) tak heran kalau ayat 33 dalam surat Al-Ahzab itu Allah mempertentangkan cara berhias dan perilaku wanita jahiliyah itu dengan perintah shalat yang tak memerlukan semua perhiasan macam itu. Cukup menutupi aurat dengan sempurna.

Kedua, dalam surat Al-Fath ayat 26, Allah juga berfirman, “Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliyah lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat-takwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Tak jauh berbeda dengan surat Al-Ahzab, dalam surat Al-Fath ini Allah juga mempertentangkan kesombongan (kesombongan jahiliyah) dengan ketenangan. Bila demikian, seperti apakah sesungguhnya kesombongan jahiliyah itu?

Ignaz Goldzhiher, salah satu pemikir yang banyak mengkaji Al-Qur’an, menaruh perhatian salah satunya pada istilah jahiliyah ini. Menurutnya, jahiliyah bukanlah lawan kata dari ilmiyah, ‘ilm (kepintaran, kepandaian) melainkan sebagai sikap kejiwaan dan watak yang tidak dengan sendirinya mati hanya oleh datangnya Islam. Perwujudannya antara lain dengan adanya sikap congkak, sombong, arogan dan membangga-banggakan klan, suku, dan kelompok mereka. Kemudian juga semangat balas dendam, semangat kasar dan kejam kepada orang atau klan lain yang tak sepaham dengannya yang semuanya mereka tuangkan dengan semangat perang tak berkesudahan demi menunjukkan bahwa mereka yang terbaik, terkuat.

“Kalau tak kami temukan klan musuh, kami perangi saja tetangga dan sahabat, supaya nafsu perang kami jadi reda.” Begitu bunyi sebuah syair Arab kuno. Dengan pemahaman seperti itu, saya yakin bahwa sampai saat ini tidak ada jaminan kalau kita telah benar-benar dikeluarkan dari ‘alam’ jahiliyah, karena jahiliyah itu sendiri bukan soal tempat, zaman, melainkan watak atau karakter kejiwaan seseorang atau golongan.

Pertanyaannya kemudian; apakah saat ini ada orang-orang yang begitu membangga-banggakan klan atau kelompoknya sendiri, yang tercermin dari kebiasaan mereka memerangi klan atau kelompok lain dengan cara menjelek-jelekkan dan menghinanya dengan sedemikian keras dan kasarnya? Ada tidak? Kebiasaan seperti itu, jahiliyahkah atau islamiyahkah?.

Mari renungkan, teman!

0 komentar:

Posting Komentar