Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » Lagi, Duo Srigala dan Capitalisme Bermata Juling

Lagi, Duo Srigala dan Capitalisme Bermata Juling

Problem Eksistensialisme Dalam Kasus Susu-atunya Pamela Savitri

Dua Srigala
Saya sebenarnya takut disebut latah. Kesannya seperti orang yang tak punya pendirian, tak punya prinsip sehingga dengan mudah diombang-ambingkan arus bak nahkoda mabuk karena kebanyakan minum air laut campur solar. Tapi untuk masalah yang satu ini, saya tak bisa menahan diri untuk tidak ikutan latah. Apalagi sabab-musababnya cukup ‘menantang’ untuk membuat saya ikutan latah.

Dalam hati saya berkata, “Tidak apa-apa deh saya ikut-ikutan latah, apalagi dalam membicarakan susu-atu yang satu ini, heheee….”

Seperti yang Antum semua ketahui, beberapa waktu lalu, dunia maya di seluruh nusantara, yang semua masyarakatnya percaya kepada Tuhan, tiba-tiba heboh karena kasus beredarnya foto toples sekwildanya alias sekitar wilayah dadanya Pamela Savitri. Bahkan sebenarnya sampai sekarang kasus beliaunya masih tetap hangat karena menyangkut susu-atu tentang beliau yang emang ‘hangat’ banget untuk dilihat, apakalagi didekati dan lalu…..ah, lanjutin sendiri deh, saya sudah kehabisan kata buat ngelanjutinnya.

Bagi peselancar dunia maya, tampaknya mustahil tidak kenal nama Pamela. Personel Duo Srigala ini berhasil membetot ribuan pasang mata saat media mengorbitkannya sebagai penyanyi dengan ciri khas goyang driblenya yang seandainya dilihat oleh orang yang iman sama imronnya lemah, pastilah dia bakalan susah tidur. Kalaupun bisa tidur, pastilah dia berharap bisa bermimpi menyusuri ‘puncak’ susu-atunya si dia. Aih…susu-atu lagi, Dab!

Kira-kira kalau ada pertanyaan mengenai apa yang fantastis dan heboh dari Pam selain goyang driblenya? Semua orang tampaknya akan sepakat dengan satu jawaban. Itunya itu lho….nampol banget. Apalagi dianya juga kreatif memanfaatkan itunya itu. Haaa…itunya itu apaan sih. Ya, kira-kira itulah jawabannya. Tanpa kita sadari, Pam benar-benar ‘paham’ bagaimana seharusnya dia mengasah kreatifitasnya demi menancapkan eksistensi dirinya dalam dunia hiburan yang penuh persaingan mematikan bak kompetisi para gladiator. Hasilnya memang tokcer. Dengan goyang driblenya dia benar-benar berhasil menggapai impiannya menjadi seorang selebritis nasional.

Namun sepertinya, bagi dia, mengandalkan goyangan saja tidaklah cukup untuk mempertahankan raihan esksitensinya di dunia hiburan. Apalagi banyak artis senior yang juga tak kalah ngetop goyangan mereka, mulai dari goyang ngebor, goyang ngecor, goyang gergaji, goyang pacul, goyang sendok, goyang nyendok pacul sampai goyang kodok kesurupan. Melihat para seniornya itu, jelas Pam harus berpikir matang untuk bisa tetap menjaga dan mempertahankan eksistensinya agar dia tidak terjebak dalam kutukan kata-katanya Chairil Anwar, sekali berarti, sudah itu mati. Paling tidak media harus tetap menjadikannya sebagai objek berita. Berita tentang apa saja boleh, yang penting eksistensi tetap terjaga sebagai seorang seleb.

Lalu apa yang harus dilakukan Pam untuk itu? Yang jelas saya tak tahu pasti. Tapi kasus susu-atunya Pam jelas mendongkrak rating dan popularitasnya saat ini. Dulu ada juga kan anak band yang penjualan albumnya meroket tinggi bagai rudal scud-nya Irak setelah kasus tunggang-tungngannya sesama artis terbongkar. Entah beredarnya foto toples itu disengaja atau tidak, namun sulit untuk menepis lahirnya dugaan bahwa itu bisa saja bagian dari sebuah sensasi. Apalagi dunia selebritis sepertinya memang menganut satu paham tentang pentingnya sensasi itu sendiri. Lantas apakah dengan susu-atunya itu Pam sedang membangun sensasi demi mengukuhkan eksistensinya di dunia hiburan? Lah, tanya aja sendiri ke dia, Bro.

Yang jelas sensasi itu perlu dalam dunia keselebritisan agar masih ada orang yang tertarik melihat dan mengikuti beritanya. Bukankah selebritis tanpa berita, terutama berita yang heboh, itu nggak asyik kan. Yang tidak heboh pun harus dibuat heboh biar tivi tidak sepi. Apalagi artis yang sudah tidak banyak dipakai oleh produser dan tak lagi menarik minat para sponsor. Kepentingan mereka terhadap kehebohan jelas sangat tinggi, cin.  

Kalaupun kasus beredarnya foto susu-atunya si Pam itu memang disengaja sebagai sebuah sensasi demi mengukuhkan eksistensi dirinya, maka hal itu wajar-wajar saja dia lakukan meskipun akan muncul banyak tudingan, cacian dan pendapat-pendapat miring karenanya. Seorang ustadz mungkin akan berkata, “Jamaaaaah. Itu haram. Tak boleh karena mengumbar aurat. Agama mengecam keras tindakan yang begituan.” Menkominfopun pasti tak kalah ngerinya menanggapi hal itu sebagai sebuah tindakan pornoaksi yang efeknya bisa berbuntut ke ranah hukum.

Semua sah-sah saja memberikan komentarnya. Tapi ingat, untuk mempertahankan sebuah eksistensi, apalagi yang dibangun dengan banting tulang peras keringat tambah peras ‘susu’, itu tidaklah mudah lho. Bahkan pertimbangan rasio, moral, hukum apalagi pertimbangan agama dan ajaran kebenaran tidaklah ngefek. Begitu kata Blackham ketika berbicara soal eksistensialisme. Menurutnya, eksistensialisme adalah cara manusia berpikir tentang bagaimana dia dianggap ada dan diterima, sekalipun untuk itu dia harus berani menolak terhadap usaha rasionalisasi pemikiran tentang kebenaran, terutama bila semua itu dapat membuat yang bersangkutan tidak bisa eksis.

Coba tanya si Pam, apakah dia mau public menganggapnya sebagai seorang artis? awabannya pasti iya. Karena itu, dia harus berpikir untuk menjadikan dirinya ‘ada’, eksis dan diterima. Namanya juga dunia hiburan, yang semakin hari semakin ketat persaingannya, jelas dia harus tampil beda dengan yang lain. Dia tidak akan peduli bahkan pasti akan menolak seandainya ada seorang ustadz yang menyarankan, “Mbok itunya nggak usah diikut-ikutkan goyang drible. Bisa-bisa hancur nih moral umat.” Weee…..pasti dipelengosin nih ustadz. Kenapa? Karena sarannya itu jelas-jelas mengancam keinginannya untuk eksis. Apalagi susu-atunya itu justru mendukung dia sehingga bisa mencicipi ketenarannya seperti sekarang ini.

Tampaknya ada benarnya juga apa yang dikatakan Kierkegaarrd bahwa setiap pribadi membawa ‘kepenuhan’ eksistensi manusiawinya. Dan kepenuhan eksistensi ini terwujud pada keputusan bebas tiap-tiap manusia. Di dalam keputusan bebas itulah manusia menentukan dirinya sendiri, dia yang memutuskan kemana ia harus melangkah, dia yang berhak menentukan seperti apa dia harus bertindak untuk eksis. Ya, seperti Pam tentunya. Dia yang berhak menentukan sendiri secara bebas dengan cara dan melalui apa untuk bisa eksis.

Hufft….ngemeng apa to saya dari tadi. Sik, tak minum susu dulu! Glekk.….nyammm.

Lanjut ya. Kalaupun cara berpikir Pam sama seperti yang saya uraikan di atas, lantas sampai seberapa lama dia bisa bertahan. Bukankah sejatinya tidak ada yang abadi di dunia ini? Alamak….sok bijaknya saya ini. Tapi benar kan? Sekeras apapun usaha Pam dan selebritis lainnya mempertahankan eksistensi mereka dengan cara-cara yang terkadang bisa membuat kita mupeng seharian, toh itu semua tidak akan bertahan lama. Selama kekuatan capital yang membekinginya masih menaruh cinta dan membutuhkan mereka, ya selama itulah eksistensi mereka tetap terjaga. Bila sudah tak dicintai dan tak lagi dibutuhkan, ya singkirkan aja.

Coba renungkan, susu-atunya Pam emang apa bedanya dengan susu-atunya simbok-simbok tetangga kita yang seringkali mereka hanya kutangan saja sambil kipas-kipas di teras rumah. Nggak ada bedanya kan, meski kelihatannya susu-atu mereka sama-sama zupernya dengan si Pam. Tapi kenapa punya simbok-simbok tidak tenar, tidak masuk tipi. Jelas karena punya simbok tidak ‘dicintai’ oleh capital. Jangankan dicintai, dilirik saja eneg. Beda dengan punggawa Duo Srigala ini yang begitu dicinta sama kapitalisme yang berwujud dunia hiburan itu.

Biar mudah memahaminya, dengarkan Rumi bersyair:

Suatu saat gandum harganya senilai dengan emas. Namun pada saat lain harganya senilai dengan kotoran. Meskipun nilainya berbeda, sesungguhnya bentuk gandum itu tetaplah sama. Nilai dan harga gandum disebabkan karena adanya rasa cinta terhadapnya….

Kita bisa membuat analogi seperti ini:

Sepasang susu itu bisa bernilai jutaan bahkan miliaran. Tapi pada saat yang sama ada sepasang susu yang nilai harganya bisa hanya puluhan ribu saja. Meski nilai dan harga sepasang susu itu berbeda, namun sepasang susu ya tetap sepasang susu. Tinggi rendah nilai dan harganya disebabkan karena ada yang ‘mencintai’ dan membutuhkannya.

Sekarang jawab, siapa yang paling besar rasa butuh dan ‘cinta’nya terhadap susu-atunya si Pam? Bukan kamu, Dab. Tapi ya capital itu tadi. Kalau dipikir-pikir, makhluk yang bernama capital itu jeli juga ya. Dia tahu banget dan bisa membedakan dengan tepat ‘susu’ siapa yang bisa ‘diperah’ dan ‘dihisap’.

Salut deh buatmu, Pam. Kapan-kapan boleh dong diajak minum susu bareng.



Kebumen, 2015.

0 komentar:

Posting Komentar