Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » Puasa dan Kebangkitan Kaum Hawa

Puasa dan Kebangkitan Kaum Hawa

Suatu ketika, tepatnya di bulan Februari lalu, penulis bersua dengan salah seorang teman yang saat ini sedang menekuni usaha penerbitan buku di Yogyakarta. Dalam pertemuan itu, dia berbicara panjang lebar mengenai seluk beluk dunia perbukuan.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiiLdXPnqrtXZWQXqSbT96D7TxF4wljMwdH9RcfFV1Fv-6Ksn2PGU4DJpwuzz79B4Slwj8uOWmnFVlXJH5qHTHEvvUs5HMXIj7xv3p2iWhYeHrzA93VttnMO9BalAa1vFSx0TnZBx9ZTvsA/s1600/wanita+shalat.jpg

Dari berbagai macam hal yang diutarakan, ada satu pernyataan menarik yang masih penulis ingat hingga saat ini. Menurutnya, di antara buku-buku agama yang dia terbitkan, kebanyakan buku-buku yang secara khusus ditujukan kepada kaum perempuan jauh lebih laris dibanding buku-buku yang ditujukan kepada kaum laki-laki.
 
Salah satu contoh misalnya buku berjudul Menjadi Muslimah Sejati yang dari judulnya saja sudah sangat jelas ditujukan kepada kaum wanita. Ada juga buku berjudul Menjadi Muslim Sejati yang juga sangat jelas ditujukan kepada kaum laki-laki. Di pasaran, ternyata buku Menjadi Muslimah Sejati jauh lebih laris dibanding buku yang satunya meskipun diterbitkan oleh penerbit yang sama.
 
Berangkat dari fakta ini, teman penulis tersebut berkesimpulan bahwa ternyata kaum wanita memiliki antusiasme tinggi untuk menjadi lebih baik ‘dibanding’ kaum laki-laki.  Salah satunya dilihat dari semangat mereka untuk belajar dengan cara membeli buku.
 
Meskipun kesimpulan ini bersifat subjektif dan tidak bisa digeneralisir, namun berangkat dari fakta tersebut, setidaknya di satu sisi ada kebanggaan tersendiri yang harus disyukuri oleh kaum wanita meskipun pada sisi yang lain ada juga stigma kurang menyenangkan terhadap kaum wanita terkait kebiasaan-kebiasaan negative yang mereka perbuat.
 
Namun bila dihubungkan dengan fakta-fakta lainnya, tampaknya anggapan teman di atas ada benarnya juga. Sebut saja misalnya dengan adanya acara-acara di bulan Ramadhan tahun ini seperti acara kultum menjelang buka puasa (takjilan), kultum shubuh dan sebagainya.
 
Bila kita menghadiri masjid-masjid, baik yang ada di kota maupun di desa-desa, terasa sekali bahwa seringkali peserta yang paling banyak memenuhi masjid atau mushalla adalah kaum ibu atau kaum perempuan. Mereka, baik tua ataupun muda, begitu antusias mengikuti jalannya acara. Sementara kaum laki-laki seringkali terlihat hanya beberapa orang saja.
 
Tanpa bermaksud menyepelekan kaum laki-laki, penulis di sini hanya ingin menegaskan bahwa puasa sepertinya dan sewajarnya harus menjadi momentum kebangkitan bagi kaum hawa. Di tengah kesibukan mereka menyiapkan segala sesuatu berkaitan dengan kebutuhan puasa, mereka masih antusias mengikuti program Ramadhan yang diadakan oleh para pengurus masjid dan mushalla di tempat mereka berada.
 
Fenomena seperti ini barangkali jarang diapresiasi. Tapi setidaknya, ada beberapa catatan penting yang harus dipahami bersama terutama oleh kita sebagai sesama kaum wanita. Pertama, puasa memang tidak ada hubungannya dengan kemalasan. Justru sebaliknya, puasa harus menjadi pemicu dan pemacu diri untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT.
 
Namun seringkali ada kesalahan pandangan terhadap kaum wanita terutama dengan datangnya bulan puasa. Anehnya, kesalahan pandangan seperti ini kerap dilontarkan oleh para pendakwah yang notabene berasal dari kaum laki-laki. Mereka berpandangan bahwa puasa acapkali menumbuhkan nafsu konsumerisme dimana sasaran dari pelaku konsumtif ini lebih banyak dialamatkan kepada kaum wanita.
 
Tapi perlu digarisbawahi, bahwa meningkatnya sikap konsumtif di bulan puasa sebenarnya merupakan persoalan individual yang bisa dilakukan oleh tiap-tiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Tentu sangat tidak adil apabila sikap konsumerisme yang dinilai negative itu hanya ditimpakan kepada kaum wanita (istri) sementara kaum laki-laki (suami) ikut menikmati di dalamnya.
 
Akan lebih bijak apabila kaum laki-laki (suami) memberikan pengarahan yang tepat kepada kaum wanita (istri) tentang bagaimana seharusnya menekan nafsu konsumerisme di kala kita sedang menjalankan ibadah puasa.
 
Kedua, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa tidak banyak yang mengapresiasi antusiasme kaum wanita dalam mengikuti berbagai macam acara yang dilakukan selama bulan puasa. Untuk itu, sebagai sesama kaum wanita, penulis merasa perlu untuk memberikan penghargaan kepada kaum ibu, kaum wanita yang tetap survive mengisi hari-hari mereka dengan kegiatan-kegiatan keagamaan yang tentu saja sangat positif manfaatnya bagi mereka.
 
Bila kita mengacu kepada firman Allah SWT berkaitan dengan puasa, maka sudah jelas Allah menyatakan di dalam Al-Qur’an bahwa tujuan utama dari puasa adalah untuk meraih derajat takwa di sisi-Nya. Sementara ketakwaan itu ada di dalam hati; Al-Taqwá há huná…Al-Taqwá há huná, kata Nabi Saw sambil menunjuk ke dada beliau.
 
Artinya, hakikat ketakwaan itu hanya diketahui oleh Allah dan yang bersangkutan. Jelasnya, ketakwaan itu tidak bisa dipamerkan. Bila kita melakukan puasa, menghadiri majlis taklim dan mengerjakan ibadah-ibadah lainnya, itu hanya salah satu cara atau upaya yang bisa kita lakukan demi meraih ketakwaan itu sendiri.
 
Akan tetapi, cara mendapatkan ketakwaan di bulan puasa tidak hanya diperoleh dari puasa semata. Seorang perempuan atau seorang istri yang menyiapkan buka dan sahur untuk keluarganya dengan hati yang tulus dan ikhlas, hal itu juga dapat bernilai sebagai ibadah yang sangat mungkin dapat menyempurnakan pahala puasanya.
 
Oleh sebab itu, kita perlu memberikan apresiasi yang tinggi kepada kaum wanita yang di bulan puasa ini masih begitu bersemangat mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan di tengah-tengah kesibukan mereka menyiapkan keperluan puasa untuk keluarganya.

Tulisan ini sudah dipublikasikan di harian Suara Merdeka, Juni 2015.

0 komentar:

Posting Komentar