Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » Syetan Dikerangkeng, Pengaruhnya Masih Kita Pegang

Syetan Dikerangkeng, Pengaruhnya Masih Kita Pegang

https://basaudan.files.wordpress.com/2011/05/setan-lg.gif?w=630
حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنِي اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي ابْنُ أَبِي أَنَسٍ مَوْلَى التَّيْمِيِّينَ أَنَّ أَبَاهُ حَدَّثَهُ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ شَهْرُ رَمَضَانَ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ جَهَنَّمَ وَسُلْسِلَتْ الشَّيَاطِينُ
 
 Mungkin sudah tidak asing lagi bagi kita dengan hadis Nabi yang berbunyi, "Bila bulan Ramadhan tiba, maka pintu langit dibuka dan pintu neraka ditutup, sedangkan syetan-syetan dikerangkeng," (HR. Bukhari-Muslim).
 
Lalu pertanyaannya adalah; apakah tak ada syetan yang bergentayangan di bulan puasa ini? Wallahu a'lam. Apakah syetan yang dikerangkeng itu adalah syetan sebagai makhluk yang dicipta dari api ataukah syetan yang bagaimana? Wallahu a'lam.
 
Bila dirujuk pada akar katanya, syetan berasal dari akar kata syathnun (syathana, yasythunu, syathnan) yang maknanya adalah (sesuatu) yang menjauhkan. Bisa juga dipahami sebagai sesuatu yang melalaikan dari kebenaran. Disebut syetan karena ia memang senantiasa melalaikan, menggelincirkan atau menjauhkan seseorang dari kebenaran, ketaatan dan kebaikan.
 
Saat puasa, seringkali saya merasa merdeka atau merasa bebas dari syetan dengan berlindung di balik alibi-alibi kosong berdasarkan hadis di atas. Namun bukan berarti saya tak mempercayai kebenaran hadis tersebut. Hanya saja saya masih ragu apakah 'syetan-syetan' itu benar-benar hengkang dari diri saya lantaran saya berpuasa Ramadhan atau tidak.
 
Faktanya, banyak hal di bulan puasa ini yang saya rasakan telah menjauhkan, melalaikan dan menggelincirkan saya dari kebenaran. Sebut saja salah satunya adalah menu makanan di kala waktu berbuka tiba.
 
Karena begitu seksinya menu-menu dan aroma makanan yang disediakan untuk berbuka, apalagi ditimpali dengan rasa lapar dan haus seharian, maka tidak jarang di kala berbuka puasa menu-menu itu menjadikan saya menjauh dari cara-cara makan yang benar sesuai aturan Nabi.
 
Saat telinga mendengar suara bedug dan adzan maghrib, langsung saja tangan mencomot menu-menu itu dan menelannya. Tanpa doa, tanpa basmalah. Padahal sejatinya Islam mengajarkan agar makan-minum harus diawali dengan basmalah dan doa-doa. Tak hanya itu, demi menuntaskan rasa lapar dan haus, maka tak hanya seporsi yang ditelan. Bahkan bisa saja dua hingga tiga porsi habis sekali makan. Tak peduli bahwa etika makan adalah makan di kala lapar dan berhenti sebelum kenyang. Perut yang sepertiganya harus diisi  makanan, sepertiga minuman dan sepertiga buat nafas tergusur oleh memikatnya menu dan aroma makanan yang berkelindan dengan rasa lapar dan haus.
 
Sampai disini, jelas makanan dan minuman telah menjadikan saya lalai dan lupa dari cara makan yang digariskan oleh Islam. Makanan telah membuat saya menjauh dari norma yang benar tentang cara makan. Lalu, bukankah makanan itu dengan sendirinya mengandung syathnun atau sesuatu yang menjauhkan saya dari kebenaran? Dimana letak dikerangkengnya syetan itu sendiri?
 
Karenanya, wajar bila puasa begitu rahasia dan istimewa. Maknanya pun tidak terbatas pada kemampuan menahan diri dari makan dan minum, namun sekaligus kemampuan mengontrol diri agar tetap berpedoman pada aturan Islam dalam urusan makan dan kemampuan menahan diri untuk tidak berlebihan saat berbuka meski lapar dan haus begitu membadai dalam raga.

Jogja, 1-7-2015 (11:30 malam).

0 komentar:

Posting Komentar