Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » Patung Pahlawan

Patung Pahlawan

http://www.wowkeren.com/images/news/120312-karya-patung-dari-kawat-kandang-ayam-02.jpg
Sudah lama Saujan memendam keinginannya untuk bisa ikut merayakan upacara kemerdekaan di kampung kelahirannya. Sekitar dua puluh tahun lebih ia pendam keinginan itu. Setelah istrinya meninggal, anak lelaki satu-satunya yang tinggal di kota, meminta dirinya tinggal bersama.
 
Maklum, Saujan yang sudah tua tidak ada lagi yang merawatnya. Apalagi dengan kedua kakinya yang buntung akibat perang. Sejak itulah Saujan tinggal bersama anak, menantu dan juga kedua cucunya di kota dan tak pernah lagi pulang ke kampung halamannya di desa.
 
Meski begitu, Saujan bukannya tak rindu. Pernah sebenarnya beberapa kali ia minta pada anaknya agar diantarkan pulang menjenguk kampung halamannya, terutama ketika hari kemerdekaan tiba. “Aku rindu suasana kemerdekaan di kampung.” Demikian alasan Saujan.
 
Namun, kesibukan kerja yang selalu jadi alasan anaknya membuat Saujan berusaha bersabar. Ia maklum meski sebenarnya tak puas dengan alasan itu. Dan puncak dari keinginannya itu pun terjadi lima hari sebelum hari kemerdekaan tahun ini.
 
“Mintalah cuti pada atasanmu barang tiga hari saja. Lalu antar aku pulang kampung. Bapak ingin sekali ikut upacara kemerdekaan di sana,” kata Saujan suatu sore pada anaknya sepulang kerja.
 
“Tiga hari..!?”
 
“Ya. Tiga hari. Kenapa?”
 
“Terlalu lama, Pak. Upacaranya saja tidak sampai setengah hari. Dua jam paling sudah kelar. Kalau bapak mau, besok saya bisa suruh Kang Ubay untuk ngantar bapak ke sana. Bapak bisa berangkat malam hari agar sampai di sana pagi harinya. Setelah upacara selesai, bapak bisa langsung pulang.”
 
“Tidak. Bapak ingin kau sendiri yang mengantarku. Sekalian bawa serta istri dan anak-anakmu.”
 
“Tapi, Pak. Aku sangat….”
 
“Kapan kau tak pernah sibuk, Khalid,” potong Saujan sambil memajukan kursi rodanya hingga tepat di depan anaknya yang sedang duduk santai sambil melepas lelah. Saujan memandang lekat pada wajah anaknya yang menurutnya sangat mirip dengan wajah mendiang almarhumah istrinya. Pada raut wajah anaknya itu, Saujan menemukan garis gurat kehidupan yang begitu keras dan kaku.
 
“Sudah dua puluh tahun lebih aku hidup di kota ini, Khalid. Dan selama dua puluh tahun itu, aku hanya mengikuti upacara bersama teman-teman kerjamu di kantor. Rasanya kurang mantap buat bapak. Bapak hanya minta waktumu tiga hari saja, Khalid. Hanya tiga hari,” tegas Saujan sambil merapatkan jaketnya. “Bapak juga ingin mengunjungi makam ibumu. Lalu mengunjungi beberapa teman seperjuangan dulu. Siapa tahu mereka masih hidup. Bapak rindu pada mereka semua.”
 
Khalid bergeming sambil menatap wajah bapaknya yang makin keriput. Melihat wajah bapaknya, tak terasa hatinya jadi terusik oleh keharuan mendalam hingga keharuan itu pun larut dalam tetesan air matanya yang sebentar kemudian menitik.
 
“Tapi bila kamu tidak ada waktu….”
 
“Tidak, Pak,” potong Khalid. “Maafkan, Khalid, Pak. Aku akan penuhi keinginan bapak. 
Besok kita akan ziarah pada almarhumah ibu bersama-sama,” ucap Khalid. Begitu perlahan.
 
Tepat di hari kemerdekaan, Saujan bersama anak, menantu dan cucunya sudah sampai di kampung halaman yang dua puluh tahun lebih ia tinggalkan. Mobil yang mereka tumpangi berjalan begitu perlahan karena kondisi jalan yang masih rusak di sana-sini. Dengan mengenakan stelan baju tentara, beberapa buah lencana di dada, Saujan juga menggenggam sebuah topi tentara berwarna hijau tua.
 
Terkenanglah ia akan pemilik topi itu, seorang tentara serdadu musuh yang masih muda, yang dulu berhasil ia tusuk dengan sebilah kelewang saat para serdadu itu menyerang tempat persembunyiannya bersama para pejuang lainnya. Tentara serdadu itu rupanya pura-pura mati saat Saujan hendak pergi setelah mengambil topinya yang sekarang ia pegang. Dari jarak dekat serdadu muda itu tiba-tiba menembakkan pistolnya beberapa kali hingga menghancurkan kedua kakinya.
 
“Kita langsung ke lapangan kecamatan. Teman-temanku pasti hadir juga di sana. Kau masih ingat arah ke lapangan, Khalid?” tanya Saujan.
 
“Masih, Pak.”
 
Tak ada yang berubah dengan situasi kampung itu meski sudah dua puluh tahun lebih Saujan meninggalkannya. Perubahan baru terasa ketika Saujan sudah mendekati lapangan kecamatan. Banyak bangunan-bangunan perkantoran baru yang dibangun di sana. Sekolah-sekolah yang dulunya reot juga sudah mulai diperbaiki.
 
Tapi…patung apa yang berdiri tegak di sana itu? Saujan membatin ketika kedua matanya melihat sebuah patung besar yang berdiri kukuh persis di samping pintu gerbang lapangan kecamatan yang sudah mulai ramai dengan beberapa pegawai yang hendak mengikuti upacara kemerdekaan.
 
“Berhenti disini. Bantu aku keluar dari mobil,” pinta Saujan pada Khalid saat mereka berada persis di samping patung seseorang dengan posisi tangan memberi hormat. Dari atas kursi rodanya, Saujan memperhatikan wajah patung yang berdiri tegak di depannya. Ia sepertinya tidak asing dengan wajah patung itu.
 
“Kakek kenal siapa wajah patung itu? Apa itu teman kakek dulu waktu berperang?” teriak Ridhafi dari dalam mobil. Saujan mengacuhkan pertanyaan cucunya. Pandangannya masih tak lepas dari wajah di patung itu. Tanpa Saujan sadari, seseorang yang sejak tadi memperhatikannya datang mendekat.
 
“Maaf, Pak. Sepertinya bapak ini seorang veteran dan kenal baik dengan sosok patung ini. Patung ini baru selesai dibangun dua hari yang lalu. Masih belum lengkap karena namanya belum dipasang. Rencananya, hari ini Pak Camat yang akan memulai prosesi pemasangan nama atas patung ini.”
 
Saujan menoleh pada orang yang barusan menyapanya. “Ya, aku sepertinya kenal dengan sosok patung ini.”
 
Orang itu tersenyum. “Saya sudah menduganya dari tadi. Dialah pahlawan pejuang kemerdekaan yang berasal dari daerah ini. Namanya Asmar. Dia baru meninggal sebulan yang lalu. Rencananya, sehabis upacara nanti, kami bersama para pegawai kecamatan lainnya akan melakukan tabur bunga di makamnya.”
 
Di atas kursi rodanya, Saujan menghela nafas panjang sambil memejamkan mata. Dadanya tiba-tiba berdegup kencang. Bayangan kelam dan pahit dari setiap peristiwa peperangan di masa lalu seakan tergambar kembali di pelupuk matanya.
 
“Asmar..!” Saujan dengan bibir gemetar berusaha kembali menyebut nama itu. Sebuah nama yang dulu juga pernah disebutkan oleh pemimpinnya, Komandan Alung, sesaat sebelum menghembuskan nafas di tengah-tengah hutan dengan dada hancur terkena peluru musuh. Saujan merasa sangat berdosa dan berhutang janji pada komandannya karena tidak berhasil menjalankan amanah yang dititahkan kepadanya; memburu Asmar, pengkhianat yang diketahui sering menjual informasi tentang tempat persembunyian para pejuang kepada serdadu musuh.
 
Saujan kembali memperhatikan patung di depannya. Darahnya mendidih melihat kenyataan bahwa seorang pengkhianat bangsa yang dulu pernah dia cari-cari bersama komandannya itu sekarang justru berdiri di depannya dengan menyandang gelar sebagai seorang pahlawan.
 
“Khalid. Antar aku ke makam ibumu.”
 
“Loh, bukannya bapak mau ikut upacara.”
 
“Antar aku ke makam ibumu,” bentak Saujan.
 
Khalid buru-buru memapah bapaknya ke dalam mobil dan berlalu dari tempat itu. Sepanjang jalan menuju pemakaman istrinya, Saujan berpikir betapa malangnya bangsa ini, yang tak bisa membedakan arti pengkhianat dengan pahlawan bangsanya sendiri. Sesampainya di kuburan istrinya dan sebelum sempat membaca doa, Saujan ambruk dari kursi rodanya setelah mengetahui bahwa di samping kuburan istrinya, kini terbujur sebuah kuburan baru. Kuburan Asmar.


Kebumen, Agustus 2015.

0 komentar:

Posting Komentar