Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » TUKANG TAMBAL BAN DAN MASJIDNYA

TUKANG TAMBAL BAN DAN MASJIDNYA

http://api.ning.com/files/UUHZoZFGT4ibPySXvcFwcUDnDu3dFddu8n0dbLd42F*6rcvjXbGwHiWfSAM4UXz-eDGv6goHTtVxsYLUMrNftsk3Z0cje2bR/268782_02193726062015_tukang_tambal_ban.jpg
Sebut saja namanya Moko. Sehari-hari pekerjaannya adalah sebagai tukang tambal ban. Dengan selembar terpal bekas, Moko mendirikan tenda untuk dijadikan sebagai bengkel sederhana di tepi jalan. Suatu waktu di hari Jum'at, Moko sambil terkantuk-kantuk mendengar sang khatib berkata dari atas mimbar bahwa umat Islam itu hatinya harus selalu condong ke masjid.
 
"Hanya mereka yang hatinya selalu condong ke masjid yang akan mendapatkan lindungan Rasulullah besok di hari kiamat."
 
Moko tersentak mendengar ucapan sang khatib. Sebab selama ini dia merasa kalau hatinya justru selalu teringat akan bengkelnya tempat dia mencari nafkah. Didorong antara keinginan mendapatkan lindungan Nabi dan kekhawatiran dirinya karena selama ini hatinya justru selalu teringat pada bengkelnya tempatnya bekerja, Moko memberanikan diri bertanya pada si khatib setelah shalat Jum'at selesai.
 
"Ustad. Saya ini harus bagaimana? Saya ingin mendapatkan perlindungan Nabi besok di hari kiamat. Tapi satu sisi setiap hari saya justru selalu ingat akan nasib bengkel saya. Apa yang harus saya lakukan, ustad?"
 
Si khatib muda yang berjenggot lebat dan ada tanda hitam di jidatnya itu dengan tegas menjawab, "Masjid lebih utama dari bengkel. Sebisa mungkin waktu Anda harus lebih banyak di masjid untuk berdzikir daripada di bengkel yang hanya ngurusi ban bocor. Atur saja waktunya, yang penting habiskan hari-hari Anda di masjid untuk berdzikir kepada Allah."
 
Moko semakin bingung. Ingin sekali dia menjadi orang yang hatinya selalu terpaut ke masjid, menghabiskan waktunya di masjid untuk dzikir. Tapi bagaimana dengan bengkelnya? Bukankah dari sanalah dia mendapatkan penghasilan? Atau jangan-jangan kalau dia lebih banyak menghabiskan waktunya di masjid rejekinya malah semakin bertambah. Ah.
 
Moko berjalan dengan langkah lesu menuju bengkelnya. 

Namun dia sangat terkejut sesampainya di bengkel, karena di sana sudah menunggu orang yang sangat istimewa yang mau memakai jasanya. Orang itu tak lain adalah Kiai Qosim. Kiai Qosim adalah guru ngajinya Moko yang masih kelihatan enerjik meski usianya sudah terbilang udzur. Serta merta Moko meraih tangan gurunya itu dan menciumnya dengan penuh takdzim.
 
"Ko, itu ontelku bannya yang depan bocor. Tolong kamu tambal ya."
 
"Iya, Pak Kiai."
 
Setelah ngobrol panjang lebar sambil tangannya cekatan membuka ban ontel Kiai Qosim, Moko kemudian teringat dengan masalahnya tadi sehabis shalat Jum'at. Moko pun berpikir untuk menanyakannya kepada guru ngajinya yang sangat sabar, santun dan murah senyum itu.
 
"Pak Kiai. Saya tadi di masjid mendengar khatib berkata bahwa orang yang akan mendapatkan lindungan Nabi besok di mahsyar salah satunya adalah orang yang hatinya selalu condong ke masjid. Saya sebenarnya ingin juga mendapatkan lindungan itu. Tapi sayangnya hati saya setiap hari malah selalu ingat bengkel ini. Mohon sarannya apa yang harus saya lakukan Pak Kiai."
 
Sambil membetulkan peci hitamnya, Kiai Qosim dengan bibir tersenyum menjawab pertanyaan salah satu murid ngajinya itu.
 
"Ko, Nabi Muhammad memang bersabda seperti itu. Tapi kamu tidak harus meninggalkan bengkelmu ini. Setidaknya, setiap masuk waktu shalat, usahakan kamu tinggalkan bengkelmu kalau memang tidak ada orang yang mau nembel dan pergi ke masjid untuk berjamaah. Itu juga termasuk orang yang hatinya condong ke masjid."
 
"Tapi Pak Kiai, tadi saya bertanya pada khatibnya katanya masjid lebih utama dari bengkel. Sebisa mungkin waktu saya harus banyak dihabiskan di masjid untuk dzikir daripada di bengkel yang cuma ngurusi ban bocor."
 
"Begini, Moko. Nabi juga pernah bersabda bahwa seluruh permukaan bumi ini tak lain adalah masjid yang bisa digunakan untuk mengingat Allah SWT. Artinya, dimana saja kamu berada, termasuk di bengkel ini, kalau hatimu senantiasa ingat kepada Allah, maka hakikatnya bengkelmu ini juga masjid. Masjid berbentuk bengkel...heheee."
 
"Apa bisa seperti itu, Kiai?"
 
"Bisa saja. Masjid itu jangan hanya dipahami dari bentuknya saja. Orang yang berada di dalam bangunan masjid, tapi kalau hatinya tidak juga ingat kepada Allah, maka masjid itu tidak ada pengaruhnya apa-apa. Malah lebih bagus orang yang berada di bengkel tapi hatinya selalu ingat kepada-Nya. Yaa...tentu makin bagus kalau orang datang ke masjid dan di sana makin ingat kepada Allah. Tapi banyak juga orang datang ke masjid tapi hatinya malah kemana-mana. Tidak ke Allah SWT."
 
"Lalu apa yang harus saya lakukan, Kiai?"
 
"Ya, jaga bengkelmu. Kalau masuk waktu shalat ya sembahyang dulu. Kalau ada pelanggan, ajak ngobrol yang baik-baik biar menjadi silaturrahmi. Kalau lagi sepi, berdzikirlah kepada-Nya. Syukur bisa tetap ngaji. Kalau kamu bisa melakukan itu, bengkelmu ini hakikatnya adalah masjid."
 
Moko mengangguk-angguk.
 
"Satu lagi, Moko. Kalau seseorang hatinya selalu ingat kepada Allah dimana saja ia berada atau dimana saja ia bekerja, maka tempat itu laksana masjid baginya. Di tempat itulah hatinya rukuk dan sujud kepada-Nya. Kalau hatinya sudah seperti itu, tidak mungkin dia akan berbuat curang di mana saja dia bekerja."

Kini moko semakin terlihat girang mendengar pitutur guru ngajinya itu.


Kebumen, 8 Juni 2016  
   

0 komentar:

Posting Komentar