Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » Menanti Surat Balasan

Menanti Surat Balasan

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi5R1HGZDjBqkSo_E38y_pWnjuKoqIgLjAmSAd0IeqJPyZ_oaszN6YXBocmEeI3mqiWk10v6E8ZhedOuCL1UOAMG7_80ZmyEh0RBIwj3l3h1Sam4xLx3EAZn1dgyzuHH8xe33wJhdDDQzbR/s400/tukang+pos.jpg
Hujan tak kunjung reda. Sudah dua jam lebih kira-kira. Di depan jendela yang kain kordennya dibiarkan terbuka, Farida menatap ke luar. Gelap. Pucuk-pucuk daun kelapa di kejauhan sesekali terlihat bersama cahaya kilat yang menerobos dari balik gumpalan mendung yang menghitam.

 “Aku ingin sekali menulis surat untuknya, Ina,” seru Farida kepada sahabat satu kosnya yang sedari tadi memainkan gitar kesayangannya di atas kasur.

“Untuk apa. Dia sudah memiliki kehidupan yang lain sekarang. Jangan kau ganggu dia lagi.”

Farida menarik nafas. Hujan di luar semakin deras. “Kau benar, Ina. Tetapi aku harus tetap menulis surat untuknya.”

“Kau jangan keras kepala. Suratmu hanya akan mencairkan kembali luka di hatinya yang sudah mulai mengering. Jangan memaksa, kasihan dia.”

“Kau tidak tahu apa-apa, Ina,” Farida menoleh ke arah Ina. Menatap sahabatnya itu dalam-dalam. “Kau tidak akan pernah tahu. Sebaiknya kau bantu aku saja.”

Ina duduk dan meletakkan gitarnya.

“Memangnya apa yang bisa kubantu?”

“Mainkan untukku nada instrumentalia

“Yang mana?”

“Moon Dance. Kau bisa?”

“Bisa.”

“Nah. Mainkan sekarang.”

Suara nada pun melantun dari petikan jemari lentik Ina yang putih. Di dekat jendela yang kacanya kian basah oleh kaki-kaki hujan, di atas meja belajarnya yang penuh dengan buku-buku kuliah, Farida mulai merangkai kata-katanya di atas selembar kertas berwarna hijau muda. Farida begitu bergairah meski kemudian dia harus berkali-kali mengumpat dirinya sendiri sambil melumat-lumat kertas surat itu dengan tangannya;

“Sialan!” gerutunya sambil melempar lumatan kertas itu ke dalam tempat sampah.

“Kenapa?” tanya Ina.

“Tidak apa-apa.”

Ina menghentikan permainan gitarnya. Di luar hujan makin deras. Menjadikan dinginnya cuaca malam kian merasuk hingga ke tulang. Ina menarik selimut tebalnya, membiarkan Farida bergelut dengan pikirannya sendiri.

“Dari mana harus kumulai,” guman Farida sambil memainkan pensil dengan jari-jarinya. Ingin sekali ia memulai suratnya dengan menuliskan peristiwa-peristiwa menggelikan yang pernah ia rasakan bersama kekasihnya itu beberapa puluh tahun yang lalu. Tetapi itu tak mungkin ia lakukan.

Farida memejamkan kedua matanya. Hening. Dan beberapa lama kemudian dia merasa menemukan sesuatu yang begitu mendesak untuk dituliskan. Segera ia mengambil kertas dan mulai tertulislah surat itu:

Kepada engkau.

Jika surat ini sampai kepadamu, aku tidak ingin kau terkejut. Apalagi setelah engkau tahu bahwa akulah pengirimnya. Aku ingin kau menerimanya dengan biasa-biasa saja. Seperti tidak pernah terjadi apa-apa sebelum-sebelumnya diantara kita. Kalau ada pertanyaan dalam benakmu, “Untuk apa aku berkirim surat kepadamu?” aku rasa itu wajar. Sebab berpuluh-puluh tahun lamanya kita hidup dengan dunia kita masing-masing, meniti pada jalan yang kita rintis sendiri-sendiri sehingga kita telah melupakan kebiasaan-kebiasaan lama yang pernah membuat kita begitu bergairah menyambut datangnya hari-hari.

Kau masih menyimak, kan? Terima kasih kalau begitu.

Pada suratku yang pertama kali kukirimkan ini, sesudah berpuluh-puluh tahun lamanya aku tak pernah melakukannya, ada hal yang ingin aku katakan dan sekaligus ingin aku tanyakan.

Bagaimana kalau terlebih dahulu aku mulai dari hal yang ingin kutanyakan? Kau setuju, kan?

Saat kau membaca surat ini dan tahu bahwa akulah pengirimnya, apa yang ada dalam benakmu? Kau tak perlu mengerutkan kedua alismu untuk bisa menemukan jawabannya karena aku yakin kau sudah memiliki kesimpulan cukup kuat untuk menilaiku, menganggapku bahkan menvonisku. Terutama sewaktu aku memutuskan untuk menapaki jalanku sendiri. Meninggalkanmu pada jalan yang sepi mengiris hati.

Aku sadar bahwa tindakanku benar-benar kejam karena telah berbuat demikian.

Tetapi tahukah kau, sesudah berpuluh-puluh tahun aku berdiam pada sebuah dunia baru yang tak mungkin kau jangkau, benih-benih dari rasa bersalahku kian hari kian bertumbuh. Aku tidak bisa menghindar dari anggapan yang kubuat sendiri mengenaiku bahwa aku benar-benar manusia tak berperasaan karena telah meninggalkanmu pada sebuah jalan yang buram, menjerembabkanmu pada kebimbangan, kemarahan dan keputusasaan.

Mungkinkah Tuhan akan mengampuni dosaku?

Aku rasa tidak, karena dalam keyakinanku engkaulah saat ini satu-satunya orang yang  memegang kunci atas seluruh pengampunanku. Karena itu aku berkirim surat kepadamu, sesuatu yang sudah tidak mungkin lagi kulakukan setelah berpuluh-puluh tahun aku jauh meninggalkanmu.

Kau tahu maksud dari kiriman suratku ini, kan?

Ya, hal yang ingin aku katakan dengan mengirim surat ini tidak lain adalah aku ingin minta maaf kepadamu. Aku minta maaf atas nama diriku sendiri juga atas nama semua orang yang dunianya kesinggahi kini. Aku ingin minta maaf atas keputusanku meninggalkanmu di tengah jalan dan telah memberimu luka dan putus asa. Aku ingin minta maaf  atas semua perlakuan yang telah menyisakan kenangan-kenangan buruk jika diingat. Sungguh aku minta maaf. Dengan sepenuh hati dan perasaanku.

Apa kau bersedia memaafkanku?

Mungkin sulit bagimu. Tetapi apa yang bisa kuperbuat lagi? Tak ada. Engkaulah penentu nasibku di hadapan pengadilan Tuhan nantinya. Begitupun juga dengan nasib orang-orang yang kini bersama-sama dalam kehidupanku. Benar kata orang, bahwa penyesalan akan selalu datang di hari kemudian. Dan pada hari ini, bersama surat yang sudah kau terima ini, aku nyatakan penyesalanku bersama keinginanku mendapatkan pemaafanmu.

Demikianlah suratku kuakhiri. Semoga engkau tidak hanya menerima surat ini sebagai seratan di atas lembaran kertas belaka. Namun sekaligus mau menerima permohonan maafku agar hari ini dan masa depan nanti hatiku menjadi jauh lebih lega karena tiada lagi beban dosa dan barangkali engkaupun menjadi lebih tenang karena tak lagi dibayangi kenangan pemantik dendam dan kemarahan.

Aku yakin Tuhan Maha Baik, Maha Pemaaf. Dan aku ingin sekali melihat buktinya dari kebaikanmu memaafkanku.

***

            Sudah hampir dua bulan Farida menanti kabar tentang surat yang ia kirimkan. Tetapi belum juga ada tanda-tanda balasan. Beberapa kali ia juga bertanya kepada pemilik kos apakah ada petugas kantor pos yang menitipkan surat untuknya. Tetapi ia harus kecewa setelah mengetahui bahwa tak ada petugas pos selama dua bulan terakhir yang datang ke tempat itu.

Beberapa waktu berikutnya, pemilik kos datang mencarinya.

“Ada surat, Pak?”

“Bukan. Ada yang ingin ketemu kamu.”

“Dia tidak bawa surat?”

“Dia tidak bawa surat. Tapi katanya bawa pesan khusus.”

“Pesan khusus..!?”

Farida masih berpikir saat pemilik kos itu meninggalkan kamarnya. Lalu ia segera bergegas ke ruang tamu. Di sana, seorang perempuan duduk menunggu.

“Mbak Farida ya,” sapanya sambil mengulurkan tangan. Farida mengangguk sambil menerima uluran tangan perempuan tomboy dan sedikit berotot itu. Dilihat dari caranya duduk, perempuan itu seperti ahli bela diri.

“Maaf, Mbak bawa titipan surat untuk saya?” tanya Farida.

“Bukan. Perkenalkan, saya adalah istri dari orang yang Mbak kirimi surat beberapa bulan yang lalu.”

“Apa!?”

Farida terperanjat dan salah tingkah. Keringat dingin keluar dari pori-pori kulitnya. Wajahnya tegang. Hatinya berdegup kencang dan dia merasa kalau nyalinya tiba-tiba terasa ciut dan menghilang. Perempuan itu kemudian membuka ranselnya dengan sikap tenang dan perlahan-lahan.

Satu hal yang ada di benak Farida ketika itu. Bagaimana kalau ia mengeluarkan senjata tajam dan kemudian dengan kemampuan bela dirinya dia mengarahkan senjata itu ke lehernya. “Ah…tidak. Ampun..ampun. Saya tak akan mengganggu kalian lagi. Ampun..ampunnnnn…!!!” teriak Farida sambil bermaksud lari dari hadapan lelaki itu.

“Husyy…ada apa sih menggelepar-gelepar kayak orang kesetanan gitu,” bentak Ina. “Makanya jangan tidur sebelum maghrib. Kata orang bisa kerasukan jin. Bangun, mandi sana! Kusut banget wajahmu.”


Minggu Pagi, 2014

0 komentar:

Posting Komentar