Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » Jadi Bilal atau Batunya?

Jadi Bilal atau Batunya?

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi7qGfUsRUeASP6btq17TWNodk1EFcF2t_I0blOyDc1zzDsUHM3C7cCFgT6qRH4cvAVb0WDpPHmvLc68YHmbDv2oXuO_4cjJZklPJffqrxDUaaq3E9d22Mr9goCV3Gza4KQEP2pdla40n1i/s400/1Bedaween.jpg
Di tengah terik matahari, yang panasnya menampar-nampar padang pasir tandus wilayah Mekkah ketika itu, seorang tuan dan budaknya sedang berhadap-hadapan.

“Kau tahu, sebagai seorang budak apa tugasmu?” tanya si tuan berkacak pinggang.

“Tentu,” jawab si budak tanpa sedikitpun merasa gentar.

“Kalau begitu, aku perintahkan sekarang. Lepaskanlah keyakinanmu. Kembalilah pada keyakinan semula. Keyakinan nenek moyang kita semua.”  

“Maaf. Saya tak mau.”

“Kau menentang tuanmu, wahai budak?” tanya si tuan dengan suara mulai lantang penuh geram.

“Iya. Lalu apa lagi yang tuan tunggu? Lakukan kawajiban tuan terhadap budakmu yang melakukan penentangan ini.”

Laiknya seorang tuan yang merasa bebas berbuat apa saja terhadap bawahannya, maka si budak segera diikat, dan lalu ditelentangkan di atas padang pasir tanpa pakaian. Tak lama kemudian lengking suara cambukan membahana menembus langit, yang barangkali membuat sekian malaikat ikut merasa perlu untuk melaknat.

“Kau tak akan merubah pendirianmu, wahai budak?”

“Jangan harap.”

“Akan kutindih tubuhmu dengan sebuah batu yang besar itu.”

“Lakukan jika dengan itu tuan merasa yakin akan sanggup merubah pendirianku.”

Maka diangkatlah batu hitam itu menindih tubuh sang budak yang juga berkulit hitam. Saya bayangkan, empat macam siksaan datang bertubi-tubi menimpa si budak. Tubuh yang terpanggang terik matahari dan pasir yang panas, pedihnya cambuk yang merobek kulit, batu hitam besar berat yang menindih badan, dan tak menutup kemungkinan si tuan pun melemparkan caci yang menyinggung hati.

Sekian siksaan yang datang bersamaan itu, rupanya tak sedikitpun membuat si budak berubah pikiran. Penyiksaan yang sangat dahsyat dan sebenarnya si budak sendiri merasa sakit, tetap tak menjadi alasan bagi mulut si budak untuk membolehkan dirinya mengeluh, merintih, mengeluarkan raungan-raungan selain kata “Ahad...Ahad...Allahu Ahad.”   

Kelak dari sejarah, kita mengenal si budak hitam itu dengan panggilan Bilal. Bilal bin Rabah. Seorang budak, manusia berkasta rendah yang kemudian namanya menjadi begitu harum dan populer hingga kini. Sejarah heroisme keimanannya kepada Allah SWT dan kesetiaan cintanya kepada Kanjeng Nabi Muhammad Saw terekam lewat peristiwa penyiksaan hebat yang beliau alami dengan penuh ketabahan.

Biarpun sama-sama batu, saya duga batu-batu Mekkah ketika itu tak bisa kita persamakan teksturnya dengan batu-batu yang manapun. Ia ditempa terik sinar matahari selama ribuan tahun yang bukan hanya menjadikannya kuat tetapi justru jauh lebih kuat dari yang kita kira.

Tetapi soal batu itu bisa saja tidak begitu penting. Selama batu yang menindih Bilal masih berstatus sebagai benda mati materi, dan tak diberi ijin oleh Allah untuk sanggup melawan saat manusia hendak menghancurkannya, maka ia sama sekali bukan tantangan. Beda soal kalau batu itu kita letakkan sebagai simbol karakter, sikap dan kebiasaan.

Abu Bakar, sahabat Nabi yang terkasih, sanggup menggeser batu yang menindih dada Bilal dengan cara menebus budak itu dari cengkeraman tuannya. Batu sebesar apapun, dari dulu hingga kini, tetap bisa ditaklukkan dan bahkan dengan mudah dapat dihancurkan oleh tangan-tangan manusia.

Namun sikap Bilal yang tak gentar di bawah tindihan batu besar yang menghimpit tubuhnya, seakan mengisyaratkan satu hal penting. Bahwa bukan lepasnya batu dari tubuh yang menjadikan Bilal begitu gembira, melainkan kesanggupan menghalau masuknya ‘batu’ ke dalam diri, ke dalam hati, yang membuatnya jadi mulia. Batu itu untuk konteks Bilal adalah batu kemusyrikan, ketundukan dan ketaatan kepada selain Allah.

Lalu saya, kamu, mereka dan kita semua bagaimana? Setiap hari, ada begitu banyak hal buruk yang saya masukkan ke dalam diri saya, ke dalam hati saya, yang kemudian saya biarkan dan endapkan untuk menumpuk dan membatu di sana. Ada banyak kecenderungan dan kebiasaan negatif yang sehari-hari saya lakukan tanpa pernah saya sadari bahwa kebiasaan itu jika sudah membatu, mengkarakter, maka ia akan sempurna membuat saya jadi manusia batu. Manusia keras, kaku, dan dapat dengan mudah dihancurkan dan ditenggelamkan.

Saya telah menjadi batu karena korupsi, suka ngapusi, mengkhianati amanah, suka pamer aurat dan menghamba kepada nafsu syahwat, dendam, iri hati, hoby menyakiti perasaan orang lain, sombong, tidak setia kepada Allah, Rasulullah dan apalagi kepada anak-istri sendiri, merasa paling benar dan suci serta sekian unsur-unsur lainnya.

Dalam ini saja, coba Anda hitung betapa banyak unsur-unsur yang membangun “kemembatuan” diri saya ini sehingga ia menjadi kuat, kokoh, tak mudah dihancurkan. Andai saya engkau letakkan di jernihnya air sungai yang sejuk itu, maka saya tak bisa mengambang menyaksikan cakrawala keindahan Langit, Matahari, bintang-bintang dan rembulan. Tetapi yang pasti, saya akan tenggelam ke dasar lumpur gelap penuh kehinaan.

Maka kemanakah engkau wahai, Abu Bakar! Yang akan datang untuk menebus kami yang selalu membudakkan diri tidak kepada Umayyah bin Khalaf melainkan pada ‘batu-batu’ yang kami bangun setiap hari dalam diri dan hati kami. Dimanakah engkau, wahai Abu Bakar! Yang akan menggeser batu besar yang tidak ditindihkan oleh Umayyah melainkan kami sendiri yang menimpakannya setiap saat ke dalam hati kami. Kemanakah engkau, wahai Bilal! Mengapa kami tak kunjung memilih menjadi sepertimu, tetapi lebih senang menjadi benda-benda mati seperti batu yang menindih tubuhmu.

0 komentar:

Posting Komentar