Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » Antara Kiai Ali dan Saadah

Antara Kiai Ali dan Saadah

https://sintayudisia.files.wordpress.com/2013/01/karikatur-kita1.jpg
Seperti Ramadhan sebelum-sebelumnya, Kiai Ali menyambut gembira datangnya Ramadhan tahun ini. Berbagai persiapan sudah dilakukan jauh-jauh hari, seperti rajin olah raga jalan pagi, dan terutama minum ramuan-ramuan tradisional yang berkhasiat menjaga stamina tubuh. Semua itu dilakukan karena biasanya ketika memasuki Ramadhan aktivitas Kiai Ali semakin bertambah padat. Ia harus mengimami shalat taraweh, menghatamkan Al-Qur’an dan beberapa kitab bersama hampir dua ratus orang santri-santrinya.

            Dan khusus Ramadhan tahun ini Kiai Ali berencana akan membuat agenda kegiatan baru yang akan dilakukan bersama santri-santrinya itu.

            “Ramadhan tahun ini, tidak ada seorangpun yang boleh pulang kecuali setelah idul fitri. Itu artinya, selama bulan puasa kalian semua harus di pesantren.”

            Demikianlah pengumuman yang baru disampaikan oleh Kiai Ali sehabis mengimami shalat isya’ malam itu. Dan pengumuman itu sontak membuat semua santri terkejut. Mereka tidak menyangka akan ada peraturan baru seperti itu. Biasanya, lima belas hari sebelum idul fitri, aktivitas pesantren sudah mulai diliburkan dan para santri dengan gembira akan pulang ke kampung halamannya masing-masing. Tetapi pengumuman yang baru saja disampaikan oleh Kiai Ali sungguh berada di luar dugaan para santri.

            Bermacam-macam tanggapan mulai bermunculan di benak santri. Mereka benar-benar tidak menduga Kiai Ali membuat ketentuan baru yang bagi mereka sungguh tidak diharapkan. Bagaimana mungkin selama bulan Ramadhan mereka harus berada di pesantren. Bukankah bagi santri menjalankan ibadah puasa bersama keluarga jauh lebih mengesankan?

            “Ini tidak adil,” bisik Sami’un kepada Zhairi di sampingnya.

            “Ya. Benar. Ini ketentuan yang tidak adil,” tanggap Zhairi, “masak kita sebulan penuh harus berpuasa disini. Bisa stress kita?”

            Sekalipun kedua santri ini sangat keberatan dengan perintah baru Kiai Ali, tetapi sebagaimana santri-santri lainnya, keduanya tetap tidak memiliki keberanian untuk membantah. Keduanya tahu dengan siapa berhadapan. Di pesantren, tak ada yang berani membantah kata-kata Kiai Ali. Ia sangat dihormati dan tak satupun santri yang tidak merasa segan berhadapan dengan beliau.

            Sami’un menghela nafas. Terasa ada yang mengganjal di dadanya. Diantara para santri lainnya, dialah yang merasa paling dirugikan dengan ketentuan baru itu. Bagaimana tidak, jauh-jauh hari ia sudah membuat rencana yang akan dilakukan bersama keluarga saat pulang di bulan puasa tahun ini. Apalagi sudah hampir lima tahun ia tidak pulang kampung dan rencananya Ramadhan tahun ini ia baru akan pulang. Tetapi, apa yang baru saja disampaikan Kiai Ali itu membuatnya lemas namun juga geram. Ahh..payah. Gagal sudah rencanaku. Gerutu Sami’un dalam hati.

            “Nah, saya yakin kalian semua akan senang dan saya jamin kalian juga akan mendapatkan banyak pengalaman baru pada Ramadhan tahun ini. Sebab saya akan membuat sebuah kegiatan yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya.”

            Suara Kiai Ali dari tempat imam seperti jarum yang menusuk-nusuk perasaan Sami’un. Ia hanya tertunduk. Namun hatinya penuh gemuruh. Ada keinginan untuk mengutarakan keberatannya dengan keputusan itu, namun lagi-lagi ia tak berani. Terlalu kuat kharisma kiainya itu untuk dibantah sebagaimana terlalu tajam sorot kedua matanya untuk ditatap. Maka tak heran kalau setiap santri yang berbicara dengan beliau akan tertunduk-tunduk bagai ilalang layu kekurangan air.

            Sampai semua santri bubar dan kembali ke bilik pondok masing-masing, Sami’un masih tetap tertunduk di atas sajadahnya. Pikirannya masih terus dihantui oleh pernyataan yang baru saja disampaikan Kiai Ali. Pernyataan itu, benar-benar telah mengubur impiannya untuk pulang kampung. Menuntaskan segala dendam kerinduannya kepada keluarga setalah lima tahun lamanya tak bersua. Namun di balik itu semua, ada alasan lain bagi Sami’un yang membuatnya benar-benar keberatan dengan perintah Kiai Ali.

Ya, Ramadhan tahun ini dia sudah berjanji untuk menemui Sa’adah. Perempuan sekampung yang sedang belajar di Kairo. Ramadhan tahun ini Sa’adah mendapatkan libur panjang. Melalui media facebook, perempuan itu mengutarakan keinginannya untuk bertemu Sami’un. Betapa girang hati Sami’un mendengar keinginan perempuan yang selama ini diidam-idamkan itu.

“Sejak berangkat ke Kairo, sudah hampir tujuh tahun aku tidak bertemu dengan dia,” kata Sami’un dengan suara berat. Dan Zhairi hanya mengangguk-angguk mendengarkan.

“Jadi itu alasannya kamu memutuskan untuk tidak pulang selama lima tahun?”

Sami’un mengangguk. “Salah satunya. Dan kau tahu kan, apa yang sudah kucapai selama ini? Aku salah seorang santri yang oleh Kiai Ali disebut-sebut sebagai santri paling mahir baca kitab kuning. Aku kan, yang sering dipercaya menggantikan beliau kalau sedang berhalangan memberi pengajian. Dan aku berusaha keras untuk itu. Aku mati-matian belajar untuk bisa baca kitab agar aku bisa mengimbangi kecerdasaan Sa’adah.”

“Untuk apa?”

“Ah..kau ini bodoh sekali. Ya jelas, agar aku tidak malu seandainya ngobrol dengan dia. Kau tahu, kan, dia sekolah di Kairo. Pasti baca kitabnya jago. Terus apa yang harus aku perbuat jika dia ingin menjajal kemampuan baca kitabku. Setidaknya, meski aku tidak sekolah di Kairo, aku masih bisa menjawab tantangannya.”

Zhairi hanya senyum-senyum. “Ah, kamu terlalu berlebihan. Iya kalau dia sampai mengujimu. Kalau tidak? Atau jangan-jangan kamu naksir dia, ya?”

“Ah, sudahlah. Tak perlu dibahas. Sekarang yang terpenting adalah bagaimana caranya agar rencana Kiai Ali tidak jadi terlaksana.”

“Kau apa-apaan. Bagaimana mungkin. Memangnya kamu berani mengajukan keberatanmu sama Pak Kiai?”

Mendengar pertanyaan Zhairi, Sami’un kembali terdiam. Apalagi pada saat itu juga Junaidi, teman sekamarnya memanggil-manggil dan mengajaknya makan. Dengan langkah gontai Sami’un berjalan keluar dari dalam masjid. Baginya, pernyataan Kiai Ali barusan benar-benar membuatnya kehilangan semangat. Ia bahkan tidak bisa menikmati makan malamnya meski perutnya terasa lapar. Setelah makan, Sami’un hanya tiduran di depan kamar pondoknya. Pikirannya selalu tertuju pada Sa’adah. Ah, seperti apa gadis yang sejak dulu selalu menghiasi mimpi-mimpinya itu sekarang?

Dan kenangan itu pun kembali terlontar ke dalam benak Sami’un. Ia tak akan pernah lupa betapa dulu ia sangat mengagumi Sa’adah. Sejak SMP, perempuan itu selalu mencuri perhatiannya. Sikapnya yang lembut dan dewasa membuat Sami’un selalu berpikir bahwa perempuan seperti itulah yang pantas mendampingi hidupnya kelak. Dulu ia sendiri sendiri merasa heran. Mengapa di usianya yang masih belia ia sudah berpikir tentang kehidupan rumah tangga. Namun akhirnya ia sendiri tahu alasannya. Semua karena kesempurnaan Sa’adah itu di matanya.

            Lembar demi lembar kenangan terus berlesatan memenuhi benak Sami’un. Dan kenangan yang paling tidak bisa ia lupakan adalah ketika sekolah mengadakan liburan bersama ke sebuah pantai. Entah jodoh atau kebetulan, di dalam bis, Sa’adah duduk bersebelahan dengan dirinya. Ini kesempatan yang tak boleh disia-siakan. Begitu pikir Sami’un waktu itu. Maka sepanjang perjalanan, di saat teman-temannya yang lain sibuk melihat-lihat pemandangan di luar, Sami’un justru asyik berbagi cerita dengan Sa’adah. Perempuan yang telah membuat hidupnya terasa berwarna.

            “Kemana kau akan melanjutkan setelah lulus nanti?” tanya Sa’adah sambil mulutnya mengunyah permen sehingga bibirnya yang selalu bergerak-gerak itu membuat Sami’un tertarik untuk terus melihatnya.

            “Ke pesantren,” jawab Sami’un sambil tetap mencuri-curi pandang agar terus dapat melihat bibir Sa’adah di sampingnya.

            “Ke pesantren? Kok sama?” 

            “Benarkah. Kau juga ke pesantren. Pesantren mana?” tanya Sami’un dengan girangnya. Dia berharap Sa’adah akan dikirim ke pesantren yang sama dengan pesantrennya tempat ia mondok nanti.

            “Kiai Muhammadun.”

            “Kamu?”

            Sami’un membuang nafas setelah mendengar jawaban Sa’adah barusan. Ada rasa kecewa di hatinya. Namun Sami’un berusaha untuk menyembunyikan perasaan itu. Sami’un tidak ingin Sa’adah mengetahui kalau dia kecewa. Lebih-lebih ia tidak ingin Sa’adah mengetahui kalau diam-diam ia menaruh hati padanya. Biarlah perasaan itu ia pendam. Pikir Sami’un. Ada waktu tersendiri yang lebih tepat untuk mengutarakan perasaannya pada perempuan itu. Begitulah hibur Sami’un pada dirinya. Tetapi sebenarnya ia tidak berani. Sama seperti Faki teman sebangkunya.

Sa’adah...Sa’adah. Andai saja kita bisa sekolah di pesantren yang sama, tentu aku memiliki waktu yang cukup untuk selalu melihatmu.

            “Heh...melamun. Sudah sampai nih.”

Sami’un tergeragap. Lengan kanannya terasa sakit. Namun ia segera menyadari bahwa ternyata Sa’adah baru saja mencubitnya. Sambil senyum-senyum Sami’un bergegas untuk turun dari dalam bis.

“Ingat ya. Kamu belum menjawab pertanyaanku.”

“Nanti aku akan memberitahumu.”

Perasaan kecewa yang dialami Sami’un makin lengkap saja. Di pantai, ia berusaha agar bisa selalu dekat dengan Sa’adah. Tetapi perempuan itu malah asyik bersama teman-teman perempuan yang lain. Maka untuk mengobati rasa kecewanya ia ikut masuk ke laut. Setelah merasa lelah bermain air bersama teman-temannya, Sami’un memutuskan untuk menyendiri. Sengaja ia memilih tempat yang agak jauh dari rombongan agar ia bisa leluasa mengingat kembali peristiwa yang dialaminya bersama Sa’adah di dalam bis tadi. Tetapi tak lama berselang Sami’un akhirnya dikejutkan oleh suara Sa’adah.

Rupa-rupanya, Sa’adah tadi melihat ketika ia mendatangi tempat itu. Di bawah sebatang pohon bakau yang jarang-jarang daunnya, keduanya kembali terlibat dalam sebuah percakapan yang membuat Sami’un kembali terbuai. Meskipun Sami’un belum berani mengutarakan perasaannya, tetapi kedatangan Sa’adah menemuinya di saat seperti itu bagai sebuah pertanda bahwa ia memiliki perasaan yang sama dengan dirinya. Begitu yang terlintas dalam benak Sami’un.

Maka meluncurlah obrolan-obrolan ringan dari mulut Sami’un yang tak pernah lelah mengumbar senyum di hadapan Sa’adah. Saat kehabisan bahan untuk diceritakan, Sami’un mencoba untuk sedikit bersikap romantis.

“Kalau kamu lihat bentangan laut di depan kita ini, -kata Sami’un memulai cerita romantisnya- maka gemuruhnya seperti perasaan seseorang ketika sedang jatuh cinta atau sedang rindu pada orang lain.”

Meski Sa’adah menanggapinya dengan sikap biasa-biasa saja namun selalu ada tafsiran-tafsiran baru dalam benak Sami’un yang membuatnya semakin yakin bahwa gadis di sampingnya ini juga menaruh hati padanya. Dan tafsiran-tafsiran itulah yang selalu membuat Sami’un tak henti-hentinya mengumbar senyum. Bersemangat memberikan cerita. Ia ingin menumpahkan kegirangannya, perasaannya kepada gadis yang begitu ia kagumi.

“Heh, senyam-senyum sendirian. Dengar tidak sih. Tuh dipanggil Romo Kiai,” suara Zhairi membuyarkan lamunan Sami’un. Di ujung deretan pondok yang ditempati, ia melihat Kiai Ali berdiri, melambaikan tangan padanya. Dengan langkah penuh hormat dan tersipu, Sami’un pergi mendekat.

“Mi’un. Kamu tidak keberatan kalau besok nemani Chairil?” tanya Kiai Ali.

“Saya mbah Kiai. Memang Gus Chairil hendak pergi kemana?”

“Begini, -Kiai Ali kemudian bercerita kalau puteranya yang bernama Chairil itu sudah waktunya untuk menikah. Sudah banyak calon yang ditawarkan, namun semuanya ditolak oleh Chairil. Menurut Chairil, hanya ada satu orang yang membuatnya benar-benar tertarik. Tetapi ia tidak tahu seperti apa keluarganya.

“Nah, aku minta tolong kamu nemani Chairil untuk melihat lebih dekat seperti apa keluarganya. Atau mungkin keluargamu bisa menjelaskan seperti apa kedua orangtua perempuan yang disukai Chairil itu. Kamu tidak keberatan, kan?”

“Sama sekali tidak, Kiai.”

“Oh..ya. Kalau tidak salah nama kampungnya sama dengan nama kampungmu lho. Ya. Benar. Nama perempuan itu...Sa’adah. Ya, Sa’adah. Sekarang dia sekolah di Kairo dan katanya Chairil pernah ketemu dia disana.”

Seperti dentuman dinamit, perkataan Kiai Ali bagi Sami’un seperti melengkapkan kehancuran perasaannya. Dan malam itu, ia langsung berkemas untuk segera hengkang dari pesantren dan berniat meminta ayah-ibunya melamar Sa’adah malam itu juga. Sami’un tak peduli, demi Sa’adah, ia siap berhadapan dengan siapa saja. Termasuk Kiai Ali yang selama ini sangat dia segani.

Minggu Pagi, 2013

0 komentar:

Posting Komentar