Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » Lebaran Marlam

Lebaran Marlam



“Sampaikanlah salamku kepada istri dan anak-anakku. Tahun ini, untuk pertamakalinya aku tidak berlebaran dengan mereka.”
Itulah pesan Marlam kepada rekan seselnya yang dibebaskan menjelang lebaran.
       “Pasti aku sampaikan, Marlam. Jangan khawatir,” ucap rekannya sambil menyalami dan memeluk tubuh Marlam sebelum dia meninggalkan ruang tahanan itu.
            Setelah tubuh rekannya menghilang di ujung koridor ruang tahanan, Marlam kembali ke pojok kamar yang akan mengurungnya untuk sepuluh tahun ke depan. Lalu Marlam merebahkan tubuhnya di atas selembar tikar kasar juga sebuah bantal yang bau dan berwarna kusam.
            Di dalam kamarnya tengah malam itu, Marlam seperti dikurung kesunyian tiada ampun.
            Sepuluh tahun bukanlah waktu yang singkat. Marlam sadar hal itu. Apalagi waktu sepuluh tahun itu dihabiskan di balik tempok jeruji penjara. Tempat yang benar-benar tak pernah dibayangkan oleh Marlam sebelum-sebelumnya.
            Di atas selembar tikar pandan yang sebagian rajutannya sudah terlepas, pikiran Marlam mengembara menjumpai orang-orang yang dicintainya. Istri dan dua orang anaknya pasti sedih karena tahun ini dia tidak ikut merayakan lebaran bersama seluruh anggota keluarganya.
            Masih lekat dalam ingatan Marlam istri dan seluruh anggota keluarganya menangis tersedu-sedu saat hakim menjatuhkan vonis sepuluh tahun penjara kepada dirinya. Istrinya bersimpuh memeluk kedua kakinya. Juga kedua anaknya yang ikut meraung-raung meskipun mereka tidak benar-benar paham kenapa ayahnya bisa dipenjara.
            “Sudahlah. Jangan menangis. Air mata kalian hanya akan membuat pikiranku bertambah sumpek,” bujuk Marlam.
            Marlam pun memejamkan kedua mata saat semua anggota keluarganya diminta meninggalkan penjara. Marlam sadar, seiring langkah istrinya meninggalkan ruang penjara, hari-hari sepi akan segera dimulai. Semua yang dia miliki seperti tak ada artinya lagi. Rumah megah, mobil mewah, celoteh anak-anak dan kamar-kamar yang selama ini memberinya kesenangan, untuk sepuluh tahun ke depan hanya akan menjadi sebuah kenangan.
            Tanpa terasa, Marlam menitikkan air mata. Begitu hangat air mata itu membasahi kedua matanya. Mungkin itu disebabkan karena sudah lama dirinya tidak pernah menangisi apapun selama ini. Untuk apa menangis? Bukankah selama ini hidupnya bergelimang kemewahan. Sementara kemewahan seringkali membuat orang lupa untuk menangis.
            Namun, untuk waktu sepuluh tahun ke depan, Marlam harus melupakan semua kemewahan yang pernah diraihnya. Apalagi pengadilan juga sudah memutuskan untuk menyita semua harta kekayaannya.
            Tangis kesedihan Marlam semakin keras bersamaan dengan air matanya mengucur deras. Bukan hanya dirinya yang sedih, istri dan anak-anaknya pasti akan merasa ikut sedih. Kemewahan yang pernah mereka cicipi selama ini hanya akan menjadi sebuah cerita yang menyakitkan. Belum lagi pandangan orang-orang di sekitarnya yang akan melihatnya dengan tatapan penuh keburukan.
            “Kau menangis, Marlam?”
            Sebuah suara mengagetkan Marlam. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Kedua matanya melihat sesosok tubuh dengan mata merah menatap tajam ke arahnya. Sosok itu berdiri diantara garis-garis cahaya kuning berasal dari lampu halaman penjara yang menerobos lewat celah-celah fentilasi yang sempit.
Marlam berusaha menatap sosok yang berdiri di depannya.
            “Siapa kau?”
            Marlam menyeret tubuhnya ke pojok kamar.
            “Kau bertanya siapa aku, Marlam. Kau benar-benar tidak tahu siapa aku?”
            “Tidak!”
            “Sayang sekali, Marlam. Padahal aku selalu setia menemanimu selama ini meskipun kau sendiri tidak pernah mendengarkanku.”
            Marlam merasakan kedinginan mulai menguasai tubuhnya. Dia menarik sarungnya dan meringkuk di pojok kamar penjara. Keringat dingin mulai mengucur lewat pori-pori kulitnya.
            “Aku ucapkan selamat, Marlam. Sekarang kau benar-benar bebas,” kata sosok bermata merah yang berdiri diantara garis-garis cahaya itu.
            “Bebas! Aku bebas?” seru Marlam.
            “Ya, kau bebas, Marlam.”
“Kau gila. Aku baru saja dipenjara, tapi sekarang kau justru mengatakan aku bebas. Kau ingin menghinaku? Siapa kau sebenarnya?” teriak Marlam.
Sosok itu makin mendekat:
“Aku tidak menghinamu, Marlam. Yang aku katakan benar. Sekarang kau bebas. Benar-benar bebas. Justru seandainya kau tidak disini, kau akan semakin memenjarakan dirimu sendiri dengan perbuatanmu itu. Kau ingat, perbuatan apa yang sudah mengantarkanmu kemari, Marlam?”
“Brengsek. Kau tanya tentang itu untuk apa? Kau ingin mengatakan perbuatanku itu salah? Aku sudah habiskan banyak biaya untuk mendapatkan jabatan itu. Jadi apa salahnya kalau aku...”
“Marlam,” sosok itu memotong ucapan Marlam. “Bukankah aku sering mengingatkanmu, bahwa pikiran seperti itulah yang membuatmu terpenjara di luar sana. Dan kau tidak sadar bahwa dengan perbuatanmu itu kau juga ikut memenjarakan seluruh keluargamu.”
“Diammm..!!” teriak Marlam. “Sekarang kau pergi. Kalau kau peduli kepadaku, tolong kau bebaskan aku. Bebaskan aku.. Aku ingin pulang. Aku ingin berlebaran bersama istri dan anak-anakku. Aku ingin bebasss...” pekik Marlam.
“Sudah kukatakan, Marlam. Justru disinilah kau benar-benar mendapatkan kebebasanmu. Nikmatilah lebaranmu tahun ini disini. Di tempat yang benar-benar akan membuatmu merdeka. Siapa tahu dengan berlebaran disini, kau akan kembali menjadi manusia yang fitri, manusia yang memperoleh kemenangan sesungguhnya.”
“Bajingannn.”
Marlam bangkit. Dengan kalap ia menyerang sosok yang seketika menghilang dari hadapannya. Bagai orang kesurupan, Marlam menendang dinding kamar penjaranya dan meninjunya dengan keras. Tangannya berlumur darah. Tetapi Marlam seperti tak merasakan apa-apa. Dia terus mengamuk hingga petugas datang dan mengikatnya.
Penghuni penjara lain yang terbangun dari tidur mereka meneriaki Marlam dengan ejekan-ejekan, “Makanya kalau jadi pejabat jangan korupsi. Kualat lho makan uang rakyat. Belum seminggu sudah sinting begitu. Mampus.”
Di dalam sel penjaranya, serta dengan tubuh terikat dan berlumur darah, Marlam tertawa terbahak-bahak.

2014.

0 komentar:

Posting Komentar