Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » Rindu Abu Dzar

Rindu Abu Dzar

Aku harap Anda tak buru-buru menganggapku berbohong dengan judul tulisan ini. Memang aku tak pernah melakukan sungkem penuh hormat dan takdzim kepada salah satu shahabat Nabi yang cemerlang itu, sebagaimana itu kulakukan dikala lebaran kepada handai taulan. Bahkan sekadar didatangi lewat mimpi oleh beliau pun aku tak pernah.
https://pengkajianpelitahati.files.wordpress.com/2010/07/kemuliaan-sholat-dhuha.jpg


Cukup jauh jarak bagiku untuk bisa didatangi oleh Abu Dzar walau sekadar dalam mimpi. Apalagi oleh Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Dan seandainya Allah berkenan mempertemukanku dengan Abu Dzar lewat mimpi, mungkin aku akan menggigil ketakutan dan minder oleh pesona kasih sayangnya yang begitu memikat. Apalagi kalau sampai bertemu beliau, Rasulullah Muhammad Saw.

Dalam kalkulasi gaya hidup modern macam yang sekarang ini aku nikmati, jangankan Rasulullah, bahkan mungkin popularitas Abu Dzar di hatiku sudah tidak jelas lagi letaknya dimana. Lebih jelasnya ia sudah tergantikan oleh manusia-manusia masa kini yang saban hari selalu nongol di layar televisiku.

Sekian rumbai-rumbai dan eksotisme dari gemerlapnya gaya hidup serta kehebohan dunia para saleb itu telah sempurna mengambil ruang khusus dalam diriku. Maka tak usah heran jika kemudian aku tumbuh menjadi manusia yang mengidolakan mereka-mereka yang datang untuk menghibur itu.

Mohon maaf, aku bukan manusia ekstrem yang sama sekali tidak butuh hiburan. Tetapi aku juga belum cukup gila untuk membiarkan diriku terus-terusan dihibur dalam ketidakmengertianku tentang siapa dan bagaimana aku ini. Lebih tepatnya, aku butuh hiburan yang membuatku mampu mengidentifikasi tentang apa yang perlu kutertawakan dan barangkali juga apa yang perlu kutangisi di dalamnya.

Kadang, atau bahkan seringkali hidup itu penuh kelucuan-kelucuan. Namun kelucuan yang paling menggelikan adalah ketika kita menertawakan apa yang seharusnya kita tangisi, namun menangisi apa yang mestinya kita tertawakan. Sementara aku mencari satu peluang yang bisa membuatku tertawa dan sekaligus menangis dalam waktu yang bersamaan. Artinya, aku butuh satu formulasi humor yang tidak membiarkanku larut dalam tertawaan namun sekaligus mampu membuatku senang dan bahagia sekalipun harus berurai air mata.

Dan di tengah pencarian itu, aku membayangkan kalau tiba-tiba bertemu Abu Dzar.

“Hendak kemanakah engkau, wahai Abud Dzar?” tanyaku.

Masya Allah! Dia menatapku dengan penuh keheranan. Mungkin tak jelas benar dalam pandangannya, apakah aku ini manusia, setengah manusia atau malah terlihat seperti binatang yang bisa berbicara layaknya manusia. Tetapi kelembutan hatinya menjadikan beliau tetap menjawab.

“Hari ini, ada sidang pengadilan di kediaman Khalifah Umar bin Khattab,” jawabnya dengan senarai suara yang begitu lembut memikat.

Tak ada keberanian lagi sebenarnya dalam diriku untuk sekadar mengajukan agar aku diperkenankan mengikuti beliau. Tetapi beliaulah yang justru menawariku untuk ikut, “Jika saudara mau ikut, saya tak keberatan. Mari, ikutlah.”

Betapa girangnya perasaanku meski sepanjang jalan kami lebih banyak diam. Kuperhatikan betapa aura kemuliaan dan kesucian hati shahabat Nabi yang satu ini memendar-mendar, memantul-mantul meski tak sampai juga pantulan cahaya kesuciannya itu ke tubuh ini.

Dari jauh, kediaman Khalifah Umar bin Khattab sudah penuh ramai dengan orang-orang. Aku menyela diantara pengunjung dan pandanganku tertuju pada seorang pemuda yang sedang menghadap Khalifah Umar di depan sana. Raut wajah pemuda itu merah padam. Suaranya penuh amarah yang menggelegak.

“Atas nama keadilan, wahai Khalifah,” kata pemuda itu lantang, “Saya minta agar pemuda itu diberi hukuman yang setimpal. Dia telah membunuh ayah saya dengan kedua tangannya sendiri.”

Sang Khalifah kemudian menatap seorang pemuda lain yang ada di sampingnya. “Benarkah, bahwa engkau yang membunuh ayah dia? Siapa saksinya?” tanya Umar dengan suara penuh wibawa.

“Benar, wahai Amirul Mukminin,” jawab si pemuda itu dengan tenang, “Tak ada saksi dari kalangan manusia yang bisa mengetahui bahwa saya telah membunuh. Tetapi Allah tahu apa yang sudah saya lakukan.”

Umar bin Khattab diam sejenak. Lalu kemudian, “Kalau begitu, atas nama keadilan,” seru Umar dengan lantang, “Saya memutuskan agar pemuda ini harus dihukum mati demi menebus dosa-dosanya.”

Kusaksikan semua yang hadir mendesah, menunduk dalam renyuh. Suasana hari itu menjadi peristiwa yang menggetarkan perasaanku. Sebab aku akan menyaksikan bagaimana seseorang harus menerima hukuman sesuai kesalahan yang diperbuatanya. Tak lebih, tak kurang. Aku melirik ke arah Abu Dzar. Dia tampak tercenung. Entah apa yang dipikirkan.

“Sebelum hukuman dilaksanakan, adakah permintaan terakhirmu wahai pemuda?” tanya Umar.

“Wahai Amirul Mukminin. Saya mempunyai satu urusan dengan seorang anak yatim piatu. Maka ijinkan saya untuk menyampaikan amanat saya kepadanya,” jawab pemuda itu.

“Permohonanmu ditolak. Sebab secara hukum itu tidak boleh. Kecuali kamu mempunyai jaminan yang akan menggantikan hukumanmu jika kamu ternyata berbohong,” tegas Umar.

Pemuda terpidana mati itu menatap sekeliling. Ia seperti mencari-cari seseorang yang dianggapnya sangat tepat untuk menggantikannya sebagai jaminan. Setiap orang yang ditatapnya berusaha membuang muka, menghindar. Mungkin mereka khawatir akan jadi yang terpilih. Memang siapa yang sudi, dan mungkin hanya orang bodoh yang mau menggantikan hukuman mati orang lain. Lagi pula tak ada jaminan kalau pemuda terpidana mati itu berkata jujur.

Innalillah! Pemuda terpidana mati itu menatap ke arahku. Tatapannya begitu tajam menusuk kalbu. Aku tidak tahu, apa yang membuatnya memandangku seperti itu. Apakah aku yang akan....

“Ini dia, wahai Khalifah. Orang yang saya tunjuk sebagai pengganti dan jaminan saya,” katanya.

Uedannn! Tidak...tidak. Ini tak boleh terjadi, pekikku dalam hati. Keputusan pemuda terpidana mati itu sungguh di luar yang aku duga, sebab yang dia tunjuk ternyata bukan aku. Tapi Abu Dzar.

“Kurang ajar. Djianncuk. Dasar pemuda berhati iblis,” umpatku. Kenapa harus Abu Dzar yang dia tunjuk. Benar-benar pemuda bangsat. Sudah membunuh orang dan sekarang malah menyodorkan Abu Dzar, shahabat Nabi yang penolong kaum papa itu ke tiang pancung.

“Pemuda iblis. Sini kowe. Tak tonyo raimu,” pekikku dengan penuh amarah yang tak tertahan. “Andai kowe memilih aku, mungkin itu lebih pantas. Abu Dzar lebih berharga dari seribu orang macam aku. Dia harusnya mati dengan cara lebih mulia. Bukan nggantikan kowe, dajjal berbulu iblis!”

Tetapi suaraku hanya menggema di kesunyian pikiran dan hatiku sendiri. Aku lihat pemuda itu berjalan bersama Abu Dzar mendekati Umar. “Wahai, Abu Dzar. Dia telah memilihmu jadi pengganti,” kata Umar saat keduanya tiba di depan beliau.

“Ya, Amirul Mukminin. Dia telah menunjukku. Itu artinya dia percaya kalau akulah yang dia anggap pantas untuk menjadi penjamin dan menggantikannya menerima hukuman mati jika dia berbohong. Maka itulah keputusannya. Dan aku tak bisa menolak,” jawab Abu Dzar menyanggupi.

Umar bin Khattab menarik nafas mendengar kesanggupan Abu Dzar. Mungkin beliau sendiri memiliki perasaan yang sama sepertiku. Mungkin. Tetapi hukum tetaplah hukum. Ia harus ditegakkan tanpa terkecuali. Setelah menemukan pengganti dan penjaminnya, pemuda terpidana mati itu pun pergi meninggalkan sidang. Sementara pemuda yang menuntut keadilan itu aku lihat dia sedang mendekati Abu Dzar. Masih dengan raut muka dipenuhi kemarahan, dia berkata.

“Aku tak mau tahu,” katanya, “Pemuda tadi itu mau datang atau tidak. Andai dia tak datang dan berbohong maka engkaulah yang akan jadi penggantinya.”

Abu Dzar tetap diam dengan sikapnya yang tenang. Maka pada hari dimana ekskusi mati akan dilaksanakan, banyak orang merasa cemas. Tak sedikit juga yang menangis. Kalau pemuda tadi ternyata berbohong dan tidak datang, maka mereka harus merelakan Abu Dzar, orang yang sangat mereka sayangi itu mati mengenaskan. Aku tak bisa menahan luapan emosi dan air mata melihat hidup Abu Dzar harus berakhir seperti ini. Diam-diam muncul satu niat dalam hatiku. “Kalau Abu Dzar mati, akulah yang akan membunuh pemuda si penuntut dan terpidana itu sekaligus.”

Lonceng tanda dilaksanakannya ekskusi mati berdentang nyaring. Semua orang yang hadir di tempat itu diam dalam pusaran keheningan dan keharuan. Kulihat Abu Dzar pun digiring menuju tempat ekskusi. Begitu tenang dia melangkah. Namun sebuah suara dari kejauhan datang memanggil.

“Tunggu...tunggu!” semua mata memandang ke arah datangnya suara. Dan seakan tak percaya, bahwa yang mereka lihat tidak lain adalah pemuda terpidana mati itu. Dia berlari kencang di bawah terik matahari dan langsung menuju tempat ekskusi. Nafasnya tersengal-sengal. Katanya kemudian:

“Maaf, kalau saya telah membuat kalian merasa cemas. Sekarang bukan dia, tapi sayalah yang harus dihukum mati. Sekarang saya siap,” katanya sambil mendekati Abu Dzar dan melepas ikatannya.

“Mungkin diantara kalian mengira saya akan mengingkari janji. Meskipun saya bisa melakukannya, tapi itu tidak saya lakukan. Saya tidak ingin orang-orang berkata bahwa tidak ada lagi orang Islam yang bisa dipercaya.”

Sungguh kata-kata pemuda itu bagai mantera sihir yang membuatku dan yang lainnya terperangah. Sekian perasaan haru berkecamuk. Mencipta pikiran-pikiran lain dalam diri kami. Diantara ketakjuban dan keterperangahan kami semua, kulihat pemuda yang menuntut keadilan itu ikut naik ke atas panggung ekskusi. Mau apa lagi dia? Tanyaku. Pemuda itu pun menatap Umar, Abu Dzar, si terpidana mati dan orang-orang di sekelilingnya. Kami semua makin penasaran. Menanti-nanti apa yang akan dia lakukan.

“Wahai, Abu Dzar,” tanya si penuntut itu kemudian, “Harus saya akui, kalau pemuda terpidana mati ini memiliki sifat jujur. Tapi apakah engkau sudah kenal siapa dia sebelumnya?” 

“Tidak,” jawab Abu Dzar.

“Mengapa engkau bersedia menjadi penggantinya? Bukankah itu sangat membahayakan nyawamu sendiri?”

Kulihat Abu Dzar menatap wajah pemuda si penuntut itu. “Aku memang tidak kenal siapa dia. Hanya saja aku tak bisa menolak saat dia menunjukku. Aku tidak ingin orang-orang berkata, bahwa dalam Islam itu sudah tidak ada lagi keharuan, kepedulian dan kasih sayang. Itulah sebabnya aku bersedia menerima permintaannya.”

Pemuda si penuntut itu diam sejenak. Lalu

“Kalau begitu, wahai Khalifah,” kata si penuntut, “Aku cabut semua tuntutanku kepadamu. Aku maafkan pemuda yang sudah membunuh ayahku ini.”

“Mengapa kau lakukan itu?” tanya Khalifah Umar.

“Aku tak ingin orang-orang berkata bahwa dalam Islam itu sudah tidak ada lagi rasa maaf dan belas kasihan.”

Seketika pecahlah tangisku. Entahlah, kenapa juga aku menangis. Aku bergegas hendak merangkul Abu Dzar. Tetapi ada satu kekuatan yang menahanku. Bahkan kekuatan itu seakan membantingku keras-keras ke atas tanah hingga membuatku sadar bahwa aku tak lagi bersama bayangan Abu Dzar, Khalifah Umar dan dua pemuda itu. Kini aku kembali pada kenyataan yang ada di negeriku sendiri, sebuah negeri dimana kepercayaan, kejujuran, kepedulian, keharuan dan kasih sayang kerap masih menjadi bayangan yang menyedihkan.

0 komentar:

Posting Komentar