Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » Lelaki Di Taman

Lelaki Di Taman

Taman
Setiap kali melintasi taman kota yang rindang itu, aku selalu melihatnya sendirian. Duduk di kursi bagian utara, persis pojokan timur dekat jalan. Kedua lututnya ditekuk dalam peluk. Bagai sosok yang selalu kedinginan biarpun matahari begitu panas terik.

Awalnya, aku melihatnya tak lebih sebagai lelaki biasa. Mungkin gelandangan. Atau manusia buangan yang tak memiliki tempat hunian. Apalagi dalam berpakaian, hanya itu-itu saja yang dikenakan. Celana panjang hitam dengan kaos putih kusam berlengan pendek. Kepalanya yang ditumbuhi rambut jarang-jarang, hampir tak pernah lepas dari selembar kain warna merah terang yang dibebatkan dengan kuat-kuat. Persis Ibuku kalau sedang mengeluh pusing karena kecapekan.

Tentang siapa dia. Dari mana asalnya. Mengapa beberapa hari ini selalu duduk di pojok taman kota, adalah sederet pertanyaan panjang yang entah mengapa tiba-tiba mengusik pikiranku.

Bahkan kian hari pertanyaan yang menumbuhkan rasa penasaran itu kian menggumpal saja dalam dada. Awalnya, aku hanya memikirkannya di waktu malam. Persis saat tubuh sudah telentang di pembaringan. Dan kalau sudah begitu, aku bisa memikirkannya hingga jauh tengah malam sampai-sampai di pagi hari aku harus tergopoh pergi ke kantor karena bangun kesiangan.

Namun sialnya, rasa penasaran itu terlintas juga hingga tempat aku bekerja. Maka demikian sempurnalah sosok lelaki yang biasa duduk di pojok taman kota itu menyita hampir seluruh waktuku. Di rumah, di kantor. Ah..

“Isna. Pak Asrul memanggilmu.”

Suara Marni membuyarkan lamunanku. Dan aku bergegas menuju ruangan Pak Asrul. Dia atasanku di kantor ini. Sekelebat aku bertanya-tanya apa keperluan Pak Asrul memanggilku datang ke ruangannya. Sesuatu yang tidak biasa ia lakukan sebelum-sebelumnya. Perlahan kudorong pintu ruangannya yang dingin dan harum itu.

“Isna, silahkan duduk,” perintahnya saat melihatku berdiri di mulut pintu.

“Isna. Dari laporan rekan-rekanmu, beberapa hari ini kamu sering melamun. Bahkan seringkali datang terlambat ke kantor.”

“Iya, Pak. Saya minta maaf,” jawabku dengan suara pelan.

“Satu lagi. Hasil kerjamu juga tidak seperti biasanya. Dan ini salah satu hasilnya,” Pak Asrul menyodorkan beberapa lembar kertas berisi laporan dari hasil sidang yang baru aku tulis kemarin hari.

“Ada banyak kesalahan dalam laporanmu. Sebagai seorang staf, kamu harusnya lebih teliti dalam bekerja. Kesalahanmu akan menimbulkan dampak buruk buatku, buat lembaga kita.”

Aku hanya diam sambil menatap kertas-kertas itu dengan tatapan kosong.    

“Ada apa dengan kamu, Isna?”

“Tidak apa-apa, Pak. Memang beberapa hari ini saya kurang sehat. Tapi sekarang kondisi saya sudah agak membaik,” jawabku.

“Baiklah. Sekarang kamu benahi laporan ini dan nanti serahkan padaku,” kata Pak Asrul sambil memberikan penjelasan tentang beberapa letak kesalahan yang harus kuperbaiki.

“Baik, Pak.”

Aku menarik nafas dalam-dalam saat kembali ke tempat kerjaku. Kulirik sebentar kertas-kertas berisi laporan yang mesti kuperbaiki hari ini. Malas sebenarnya. Tapi seorang staf sepertiku tidak boleh memiliki rasa malas. Dengan sisa semangat yang ada, kuselesaikan laporan itu dan segera kuserahkan hasilnya sama Pak Asrul.

***

“Isna. Kamu punya masalah? Bicara, dong?” bujuk Marni saat kami sedang berjalan pulang dari kantor. Aku dan Marni hampir selalu berangkat dan pulang kerja bersama. Dan kami berpisah di persimpangan utara taman kota.

“Pertanyaanmu persis Pak Asrul tadi,” jawabku sambil tersenyum.

“Aku serius, Isna.”

“Beberapa hari ini aku hanya kurang sehat. Tapi sekarang sudah baikan.”

“Kau yakin?”

Aku mengangguk dan segera berpamitan saat sampai di pertigaan. Aku melangkah ke arah selatan, melintasi taman kota, sementara Marni melangkah ke arah timur. Kuperhatikan jam tangan. Setengah lima sore.

Suasana taman kota terlihat mulai ramai dengan orang-orang yang meluangkan waktunya untuk bersantai. Melepas penat setelah lelah bekerja seharian. Keberadaan taman ini seperti menegaskan sebuah kepastian, bahwa di tengah keriuhan kota dengan warganya yang bergesa, manusia tetap memerlukan sebuah ruang untuk berteduh. Menikmati kesejukan. Memulihkan kesuntukan dengan sejenak menikmati elus lembut tangan angin.

Mungkinkah ini alasan lelaki yang setiap hari kulihat di taman itu?

Aku tak senang berbicara kemungkinan. Akan lebih baik seandainya aku mengenal siapa dia sebenarnya agar pikiranku tidak selalu terganggu karenanya. Setelah berpikir sejenak, kuputuskan untuk menemui lelaki itu sambil sekalian ikut bersantai. Apalagi masih tersisa beberapa menit waktu sebelum matahari benar-benar surup di ufuk barat.

Dari jarak beberapa meter, aku malihat lelaki itu seperti sedang terpekur. Kepalanya tertunduk dalam-dalam dengan kedua kaki dibiarkan menjuntai kedepan. Kedua tangannya bersedekap erat. Di tengah lalu-lalang orang-orang, ia terlihat seperti patung batu taman. Dingin, diam dan tak peduli dengan apa saja yang terjadi di sekitarnya. Padahal tidak jauh di sebalahnya, nampak sepasang muda-mudi sedang asyik bercakap sambil berangkulan. Membicarakan sesuatu yang menurutku sangat serius. Mungkin keduanya sedang serius membicarakan pernikahan mereka nanti.

Sejenak aku ragu untuk menyapanya. Apalagi ia terlihat seperti orang yang sedang pulas tertidur.

“Kenapa berdiri saja. Mari duduk disini.”

Ia tiba-tiba sudah duduk tegak dengan tatapan lurus ke arahku. Seiris senyum tersungging di bibirnya. Kutaksir usianya lima puluh tahunan meski paduan antara senyum dan keramahan suaranya membuatnya terkesan lebih muda dari itu. Didorong rasa penasaran yang amat sangat, tanpa canggung aku mengikuti perintahnya. Pelan-pelan kuhempaskan tubuhku pada sisi kiri kursi itu.

“Kau baru pulang kerja, Nak?” Aku mengangguk sambil tersenyum.

“Berapa tahun kau bekerja?”

“Hampir satu tahun,” jawabku dan dia mengangguk.

Aku diam saja. Lelaki tua ini menarik nafas dalam-dalam. Saat kuperhatikan raut wajahnya dari samping, tampak beberapa lembar janggut dan bulu alisnya sudah mulai memutih. Sebuah bukti bahwa ia memang sudah benar-benar tua.

“Sepertinya Bapak bukan warga sini.” Kuberanikan untuk bertanya agar bisa lebih banyak mengetahui siapa dia sebenarnya. Lelaki itu kembali tersenyum dan menghela nafas dalam-dalam.

“Bagaimana kamu tahu kalau aku bukan warga sini?” Kali ini ia menatapku dengan tatapan tajam. Sebuah tatapan yang memunculkan berbagai macam gambaran tentang kegelisahan dan kesedihan yang sudah terlalu lama bersarang.

Oh, tidak. Tatapannya juga justru mengingatkan aku akan mendiang almarhum ayahku, yang meninggal dalam usia tepat lima puluh tahun. Persis lelaki yang sedang berada di depanku kali ini.

“Sebab baru beberapa hari ini saya lihat Bapak disini. Duduk sendirian di kursi ini.” Jawabku dengan suara datar.

“Bukan beberapa hari ini, Nak. Justru aku sudah sering disini. Sejak beberapa tahun yang lalu. Sayangnya, kamu tak melihatku. Tapi aku melihatmu tiap hari melewati taman kota yang indah ini.”

Lelaki itu diam sejenak. Lalu, lagi-lagi ia menarik nafas dalam-dalam. Kemudian tanpa diminta ia mulai bercerita tentang masa mudanya dulu, tentang keluarganya bahkan tentang sebuah peristiwa yang dia alami hingga membuat ayahnya meninggal dunia.

“Dan sejak kematian ayahku, kehidupanku berubah,” katanya dengan suara berat.

“Kehilangan orang-orang yang kita cintai memang membuat seseorang jadi berubah,” jawabku menanggapi.

“Kau benar, Nak. Tapi bukan kematiannya yang membuatku sedih. Ayahku mati saat ia melawan orang-orang yang hendak merebut tanah miliknya. Ayahku seorang pekerja keras meski sebenarnya ia bodoh. Ia tidak tahu apa-apa. Ketika orang-orang itu menunjukkan dokumen palsu saat hendak merebut tanah ayahku, ayahku hanya bisa melawan dengan kemarahan dan kekesalannya. Sumpah serapah dan kutukannya. Tapi apa hasilnya? Tidak ada. Ayahku meninggal dan kami semua sekeluarga kalah. Orang-orang itu dilindungi negara, sementara negara tak pernah peduli akan kutukan apalagi kutukan yang keluar dari mulut pekerja keras dan bodoh seperti ayahku.”

“Boleh saya bertanya, Pak?”. Di menoleh ke arahku sejenak dan kemudian mengangguk.

“Setiap hari Bapak selalu duduk di sini. Apa yang Bapak pikirkan?” tanyaku hati-hati.

Tiba-tiba dia tertawa sampai tubuhnya terguncang-guncang.

“Maaf, Nak. Sebenarnya tidak ada yang aku pikirkan. Orang kalah sepertiku ini tak perlu berpikir, apalagi memikirkan kekalahan. Yang mengalahkan kami adalah negara. Sementara negara itu tak boleh kalah? Apalagi kalah terhadap rakyatnya yang kecil, yang papa. Negara harus selalu menang, Nak. Kalau aku selalu berada disini, di taman ini, aku hanya menikmati sisa-sisa hidup diantara kekalahan itu.”

“Apa yang sudah negara ambil dari, Bapak?”

“Banyak. Ayahku, dan yang terpenting adalah harapan-harapan kami sekeluarga.”

Aku menarik nafas dalam-dalam sebelum kembali bertanya, “Lalu apa sisa harapan Bapak sekarang?”

“Tak banyak, Nak. Tak banyak. Aku hanya ingin memperoleh apa yang memang menjadi hakku atas tanah yang sekarang di atasnya telah dibangun gedung itu,” katanya sambil menunjuk ke arah utara, ke sebuah gedung pengadilan megah yang tidak lain adalah kantor tempat aku bekerja kini.

“Bapak yakin bisa berhasil?” tanyaku memancing dan dia menggeleng. “Mengapa Bapak tidak yakin?”

Lelaki itu menatapku dengan tatapan santun layaknya seorang ayah yang hendak berdongeng pada anaknya. Lalu kemudian, “Kuberitahu kau, Nak. Itu gedung pengadilan. Orang-orang yang masuk ke sana sebagian datang untuk diadili. Kalau aku datang untuk menyampaikan gugatan dan harapanku, pasti aku juga akan diadili. Tapi, apakah setiap orang yang diadili bakal mendapat keadilan? Aku khawatir, kalau aku datang dan menggugat akan hak-hakku yang sudah dirampas oleh negara, aku takut hanya dijadikan sebagai orang yang diadili namun tidak diberi keadilan.”

Aku tersentak. Tiba-tiba ada yang terasa nyeri dalam hatiku. Sekian macam peristiwa yang terjadi dan pernah kusaksikan sendiri di dalam kantor pengadilan itu, terdedah dengan sejelas-jelasnya.

0 komentar:

Posting Komentar